Arin memperbaiki rambut dan juga penampilannya yang telah hancur. Dia melihat sekelilingnya, matanya tengah mencari keberadaan sahabatnya itu. Tak lama kemudian seseorang yang ditunggu-tunggu pun datang dan menghampirinya. Dia sangat terkejut saat melihat sahabatnya dengan kondisi yang kacau.
"Kau tidak apa-apa, Rin? Siapa yang telah berbuat hal ini padamu?" tanya sahabatnya yang bernama Lala itu. Wajahnya memperlihatkan bagaimana perasaannya saat ini. Ya khawatir. Dia sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya yang hancur.Dia mengelap keringat yang bercucuran di wajah Arin dengan tisu. Kemudian dia mengambil segelas air putih yang terletak di meja dan memberinya pada Arin. Arin pun meminumnya. Dia pastinya sangat haus. Sejak tadi pria yang telah memperlakukan dirinya sangat kasar tidak membiarkannya bebas melawan, apalagi sampai memberinya minum. Mustahil!"Kenapa kau tidak panggil aku tadi, Rin? Aku bisa datang membantumu cepat," ucap Lala sambil merapikan rambut sahabatnya itu."Aku tidak butuh sahabat sepertimu, kau mengerti itu? Aku tidak membutuhkan sahabat. Dan jelas-jelas aku tidak menginginkannya." Kata-kata itu diucapkan dengan nada bergetar yang membuat pendengar Arindinita di Club terperangah."Arin, tenanglah," mohonnya."Sahabat? Ya ampun! Aku sudah hidup 20 tahun tanpa repot-repot terlibat dengan makhluk yang menyebalkan dan tak berguna —""Maukah kau mendengarkan dulu?""Dan saat aku mendapati sahabatku sendiri yang membiarkan aku datang kesini—Ya Tuhan! Kau benar-benar punya nyali, Lala.""Aku tidak membohongimu atau menjembakmu," sahut Lala membela diri. "Aku cuma berpikir kau mungkin akan menganggap ajakanku ini cukup berguna untuk menghibur hatimu yang kacau."Arin mendengus."Tak seorangpun atau tempat manapun yang cukup berguna," jelasnya tegas. "Makhluk sejenismu memang diciptakan hanya untuk menyakitiku.""Baiklah, aku takkan berdebat."Kedua wanita itu bersahabat sudah lama, mereka sama-sama putih dan manis. Hanya rambut pirang Lala satu-satunya ciri-cirinya yang membedakan kedua wanita itu dengan orang tua mereka. Tetapi pada Lala, wanita yang banyak mencuri perhatian lawan jenisnya, pirang pada rambutnya yang ikal lebat bergradasi sehingga terkesan glamor. Sementara pada Arindinita, tidak memakai pirang aliat rambut hitam yang lurus kaku, membingkai wajahnya yang terkesan serius.Cara berpakaian mereka pun memperlihatkan kepribadian yang bertolak belakang. Lala mengenakan pakaian mengikuti perkembangan mode modern mutakhir yang eksklusif. Sementara Arindinita sepertinya mengenakan ala saja yang berada dalam jangkauannya dan terasa nyaman. Lala memiliki sosok tubuh langsing menggiurkan. Sementara Arindinita, jelas-jelas bertubuh langsing. Tapi sulit menilai hal lainnya.Lala mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang Club yang mewah di pusat bagian barat kota. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai benda-benda seperti gelas ala-ala modern dan vas bunga yang kalau terjatuh saja langsung pecah, dan bebas di antaranya menarik perhatian para pengunjung."Dia menakjubkan," seru Lala, menunjuk dada seorang pria muda yang terlihat sangat tampan."Darimana dia? Tampaknya dia masih terlihat sangat muda," jelas Arin sembari menengadah, "Betul, dia memang masih muda.""Benar-benar ganteng," desah Lala, sembari mengamati wajah pria itu dari dekat. "Hidung mancung, wajah aristokrat yang disangga leher kokoh berotot, dan bibir itu—terkesan tegas sekaligus menyembunyikan sensualitas yang menggairahkan. Aku bertaruh dia bak macan sepanjang berurusan dengan wanita.""Kau menghabiskan waktu terlalu banyak memikirkan yang bukan-bukan," sahut Arin tajam."Dan mau sama sekali tidak menghabiskan waktu memikirkannya. Itu memalukan."Arin cuma mengangkat bahu. "Banyak hal lain yang lebih menarik dalam hidup ini.""Omong kosong, tentu saja tidak ada," bantah Lala yakin. "Aku cuma berharap kau lebih tertarik pada pria yang masih bernapas yang ada di sini daripada kau hanya menjomblo terus.""Coba lihat dirimu sendiri!" sindir Arin. "Kau barusan mengkhayalkan pria itu. Omong-omong pria itu pasti tidak akan menyukaimu, karena seleranya memang berbeda dari pria lain. Dan kau sama sekali bukan pilihannya.""Sinis sekali. Asal kau tahu saja, pria itu juga tertarik padaku. Kalau tidak, dia mungkin sudah mengalihkan pandangannya dariku.""Kau hanya menilai lirikannya saja dan bukan hatinya?" Arin sungguh tak menyangka bahwa ada gadis seperti Lala yang hanya melihat penampilan dibandingkan dengan sifatnya."Dia pria tampan, sepertinya dia kaya raya dan cukup bagiku hanya memikirkan uangnya saja dibandingkan perasaannya padaku," jelas Lala penuh perasaan."Cih!" Arin memandang lekat wajah dari sahabatnya itu dengan penuh arti. Hal yang paling sulit dia tuntaskan malam ini. Mengingat dirinya tadi diperlakukan kasar oleh pria yang tidak dikenal, hatinya merasakan hancur berkeping-keping. Karena penasaran siapa sebenarnya pria itu, Arin tak bisa menutupi semua yang terjadi padanya."La," pangillnya lirih. Mulutnya memang sangat sulit untuk bicara, namun dia harus mencaritahu siapa sebenarnya orang itu dan apa maunya."Apa kau mengenal pria yang bernama Levis Mouse yang sering berkunjung ke tempat ini?" tanya Arin kemudian."Kenapa kau menanyakan hal itu?" Lala sampai kaget mendengarnya. Tentu saja dia mengenal siapa pria itu. Dan berkali-kali dia berusaha menutupinya dari Arin, karena tidak mau Arin mendapat kesempatan untuk mencuri hatinya."A—aku tidak mengenalnya," jawab Lala dengan gugup."Apa kau serius?" tanya Arin sambil mengerutkan kening, bagaimana mungkin? "Bukannya dia terkenal di tempat ini? Lalu, kenapa kau malah tidak kenal sama pria itu?"Arin merasa kalau yang diucapkan oleh sahabatnya itu tidaklah benar. Bagaimana mungkin sosok pria mafia kejam yang terkenal di tempat itu tidak dikenal oleh Lala. Apa yang sebenarnya yang disembunyikan Lala tentang pria itu?"Aku serius, Rin. Aku tidak kenal dengan pria yang kau sebut. Aku mungkin lama di sini, tapi tidak semua tentang Club malam ini aku mengetahuinya, bukan?"Lala masih saja terus berbohong. Untuk membuat Arin merasa yakin dengan jawaban, dia menawarkan Arin untuk minum. "Apa kau mau minum? Biar aku panggilkan," ucap Lala yang kemudian memanggil seorang pelayan."Ah, tidak usah. Aku ingin pulang saja. Ini sudah jam berapa, besok aku harus bekerja," tolak Arin saat Lala menawarkan minuman."Owh begitu, baiklah, aku mengerti keadaanmu. Ditambah penampilanmu yang sudah berantakan kayak gini sudah seharusnya tadi kamu merapikannya dulu. Dan kita malah asik membahas pria itu," sahut Lala sambil terkekeh.Arin hanya tersenyum tipis, kemudian pamit pergi. Meninggalkan sahabatnya sendirian di sana. Arin tahu bahwa Lala bisa menjaga dirinya. jadi, dia tak perlu mengkhawatirkannya lagi.Saat Arin keluar dari Club itu, tiba-tiba seseorang datang dan membekap mulutnya. Saat mata Arin akan tertutup rapat, Arin sempat wajah dari orang itu hingga akhirnya tertutup rapat."Tuan, aku telah mengamankannya," ucapnya memberitahu seseorang di balik telepon."Apa kau tahu sedang berurusan dengan siapa, Alex?"Suara yang menantang itu kembali terdengar di telinga Alex yang sudah tak berdaya sedang duduk di atas kursi, mulai dari kaki dan tangannya diikat kuat, sehingga untuk melepaskan diri pun pria itu tidak sanggup.Alex bahkan tidak memedulikan ucapan dari pria yang telah berbicara padanya. Dia tersenyum smirk dan tidak terlihat sedikitpun rasa ketakutan di wajahnya."Apa kau pikir aku takut denganmu? Aku memang kau tangkap sekarang, namun aku nanti juga bisa bebas," ucap Alex sangat sombong."Sebelum kau bebas, aku sudah terlebih dulu memotong kepalamu.""Aku takut..." Alex mengejek pria yang berdiri di hadapannya, meskipun dia melihat ada kemarahan yang besar yang bahkan bisa membunuhnya saat itu juga, tidak sedikitpun dia merasa goyah dan terus menantang."Kurang ajar!" umpatnya, kemudian memberi satu pukulan tepat di ujung bibirnya."PUKUL SAJA... PUKUL SAJA..." Teriakan suara Alex menggema penuh di ruangan tua itu. "AKU BAHKAN TIDAK TAKUT MATI, TUAN MUDA LEVIS MOUSE!!!""Kau tidak takut mati?"Alex hanya tertawa kecil. Kemudian menatap tajam. "Kau akan hancur berkeping-keping di tanganku!""Cih!" Levis membuang ludahnya tepat di wajah Alex. Melihat keadaannya saat ini yang tak bisa bergerak bebas, hanya menatap wajah itu dengan penuh kebencian sampai akhirnya air ludah Levis menetes ke bawah.Alex memilih diam dan memalingkan muka. Dia sama sekali tak bergairah untuk melawannya. Dia melirik ke seluruh tempat dan mencari akal bagaiman caranya untuk bisa bebas dari penjagaan yang dilakukan oleh Levis. Dan dia juga sedang menunggu kabar dari anak buahnya dalam melakukan rencana barunya."Sial! Lama sekali mereka melakukannya," batin Alex, kalau sampai hari ini dia belum juga mendapat kabar, dia pasti akan memberikan hukuman yang seberat-beratnya pada mereka."Kenapa kau diam, Alex Ferguson?" Levis kembali mengangkat suaranya. Dia sangat tahu sisi kepribadian Alex. Pria itu tidak akan mau mengalah sebelum rencana yang dia susun untuk menghancurkan Levis, dia akan terus mencobanya.Alex tidak menjawab. Hanya keheningan yang tercipta di antara keduanya. Levis yang merasa bosan berada disitu ingin segera pergi dari sana, namun langkahnya terhenti saat ponsel yang ada dibalik sakunya berbunyi. Levis segera mengangkatnya."Halo," jawab Levis sembari mengangkat satu alis. Dia penasaran siapa yang telah berani menghubunginya di saat-saat dirinya telah menangkap musuhnya. Apalagi nomor yang masuk adalah nomor tidak dikenal."Itu pasti anak buahku sudah menjalankan tugasnya dengan baik," sambung Alex sambil tersenyum licik.Levis tidak memedulikan pria itu. Dia masih tetap terjaga. "Halo, ini siapa?" Dia yang tak punya kesabaran segera membanting ponselnya. "Tidak penting!" tukasnya, kemudian dia meninggalkan tempat itu.Alex tahu kalau itu pasti anak buahnya. Dia tidak sabar untuk bebas dan membuat perhitungan pada Levis, karena telah berani mengurungnya di tempat yang tidak layak untuk dia tempati. Awalnya dia datang untuk menghancurkan kota Kane, tempat lahir dan tempat berkuasanya sosok Levis Mouse dan akan membunuh pria itu, namun ternyata dirinya berujung ditahan. Kekuatan dari musuhnya lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan yang dia bersama anak buahnya selama beberapa tahun belakangan ini."Kau sudah mencarinya ke seluruh kota ini?" tanya Levis.Pria itu sangat marah saat mendengar nama Arin menghilang. Baru saja dia kepikiran untuk memberinya pelajaran dan sekarang semua yang sudah dia rencanakan gagal sepenuhnya. Dia menatap sekretaris pribadinya itu dengan tatapan sengit. Mana mungkin dia akan membiarkan gadis itu pergi tanpa izinnya. Maka, kemanapun gadis itu pergi, dia akan tetap bisa menemukannya. Inilah janji nyata seorang Levis Mouse yang tak terkalahkan."Saya sudah berusaha mencari, Tuan. Namun, keberadaan Nona Arin memang tidak bisa dilacak. Kemungkinan seseorang telah merencanakan ini semua dengan baik, Tuan.""Sialan!"Levis Mouse tidak akan menyangka bahwa gadis itu benar-benar membuat kesalahan yan akan memberinya pelajaran hidup. Entah apa yang sudah dipikirkannya sampai berani melakukan itu. Dan inilah yang ingin dilakukan olehnya, membuat gadis itu sampai sengsara dan tidak ada harapan baginya untuk hidup."Kalian harus mencarinya! Kalau sampai hari in
"Evander!" bentak seorang wanita setengah baya pada seorang putranya yang masih tertidur pulas di ranjang.Anaknya itu langsung terbangun saat mendengar suara ibunya yang keras. Matanya yang masih dalam keadaan mengantuk berusaha membuka mata lebar-lebar untuk menatap ibunya."Ada apa, Mom? Malam-malam begini membangunkan, Evan," rengek anak manjanya itu."Kau tidak boleh terus-terusan begini, Evan! Kau tidak lihat sekarang apa yang sudah direncanakan Levis, anak gundik itu?"Evander ingin mendengar, namun matanya terus ditarik untuk tidur. Dia tidak menghiraukan ucapan ibunya yang sedang marah. Wanita itu tidak tinggal diam saat melihat putranya sendiri tidak mendengarkannya. Dia merasa kesal dan menjewer kupingnya."Arggh, sakit Mom..." Evan meringis kesakitan. Kupingnya terasa panas. Sudah pasti memerah akibat jeweran ibunya yang terlalu kuat."Makanya dengarkan ibu!" tegasnya.Evan yang tak punya pilihan lain, terpaksa melebarkan matanya dan mendengarkan ibunya berbicara."Iya, ad
Keesokan harinya, Arin bangun saat mendengar bunyi jam beker. Tangannya meraihnya di atas nakas dan segera mematikannya. Dia melihat sudah pukul tujuh. Matanya yang masih mengantuk mau tidak mau harus membuka matanya, "ssshhh, aww," dia mendesis kesakitan saat bagian kepalanya masih terasa sakit, dia melihat tempat itu sangat berbeda dari kamarnya. Dimanakah dia? Arin mengelilingi setiap sudut kamar, ingin melihat kamar siapakah yang sangat indah itu yang tersusun rapi. Jauh dari kata berantakan yang sering dia lakukan di kamarnya sendiri.Dia berjalan menelusuri bingkai yang ada pada nakas di sebelah kiri ranjang. Dari jaraknya yang beberapa meter sedang mengerutkan kening seakan-akan dia pernah melihatnya. Karena rasa penasaran yang tinggi dia pun mendekatinya. Dan betapa terkejutnya dia saat mengetahui siapa orang di balik foto tersebut."Dia? Apa ini adalah kamarnya?" batin Arin saat tercengang melihatnya.Bagaimana mungkin dia bisa berada di tempat pria itu, sedangkan dia baru sa
"Semalam kau darimana?" tanya Arin dengan raut wajah polos yang masih sungkan terhadap suaminya itu. "Apa urusanmu?" tekan Levis Mouse, suami yang baru satu hari saja bersama setelah pernikahan mereka. Arin mengangkat kepalanya, awalnya dia tak berani menatap, namun dirinya tidak lemah. Dia membusungkan dadanya dan mendekat seolah tak merasakan takut. "Aku adalah istrimu, tentu saja aku berlagak seperti istri di matamu. Meski aku tahu status ku di hidupmu tak pernah ada artinya. Namun, gelar yang kudapat saat menjadi istrimu tentu aku tak akan sia-siakan," ucap Arin tersenyum menantang. "Dan kamu pikir dengan dirimu yang bergemilang harta, aku akan diam, begitu maksudmu?" lanjut gadis itu sangat lantang. Levis Mouse sangat marah. Dia kembali mendekati gadis itu dan mencengangkan erat tangannya. Sedangkan Arin hanya membola, menatap lekat wajah suaminya itu. Perasaannya bertambah kalut. "Apa maksud dari ucapanmu itu gadis jalang? Aku bukan saja seorang suami untukmu, tet
"Apa yang kurang dariku, Arin? Bukankah kau melihat semua yang ada padaku tidak ada pada yang lain?" Sorot mata yang tajam sedang menghadang tatapan gadis cantik yang tengah gemetar menghadapinya."Anda memang memiliki segalanya, tapi aku tidak tertarik sama sekali!" Keberanian macam apa itu? Bisa-bisanya Arin mengatakan langsung pada pria yang hanya memiliki kesabaran setipis tisu."Menikah denganku atau kuserahkan pada mereka!"Arin semakin takut. Dia melihat banyak pria di arena club seperti zombie yang kehausan darah. Manik mata Arin hanya menatap nanar pada sosok pria yang tengah mengancam dirinya."Apa maumu, Tuan Levis Mouse?!" tegas Arin semakin berani. Jika memilih diam dan membiarkan pria itu menginjak-injak harga dirinya tentu bukan namanya Arin."Aku tidak akan mengulang perkataan ku lagi setelah ini. Aku ingin kau jadi milikku sampai aku nantinya tidak memerlukan dirimu lagi. Kau hanya perlu berbalas budi padaku!"Deg!Jantung Arin mendadak berhenti. Dia merasakan napasny
"Semalam kau darimana?" tanya Arin dengan raut wajah polos yang masih sungkan terhadap suaminya itu. "Apa urusanmu?" tekan Levis Mouse, suami yang baru satu hari saja bersama setelah pernikahan mereka. Arin mengangkat kepalanya, awalnya dia tak berani menatap, namun dirinya tidak lemah. Dia membusungkan dadanya dan mendekat seolah tak merasakan takut. "Aku adalah istrimu, tentu saja aku berlagak seperti istri di matamu. Meski aku tahu status ku di hidupmu tak pernah ada artinya. Namun, gelar yang kudapat saat menjadi istrimu tentu aku tak akan sia-siakan," ucap Arin tersenyum menantang. "Dan kamu pikir dengan dirimu yang bergemilang harta, aku akan diam, begitu maksudmu?" lanjut gadis itu sangat lantang. Levis Mouse sangat marah. Dia kembali mendekati gadis itu dan mencengangkan erat tangannya. Sedangkan Arin hanya membola, menatap lekat wajah suaminya itu. Perasaannya bertambah kalut. "Apa maksud dari ucapanmu itu gadis jalang? Aku bukan saja seorang suami untukmu, tet
Keesokan harinya, Arin bangun saat mendengar bunyi jam beker. Tangannya meraihnya di atas nakas dan segera mematikannya. Dia melihat sudah pukul tujuh. Matanya yang masih mengantuk mau tidak mau harus membuka matanya, "ssshhh, aww," dia mendesis kesakitan saat bagian kepalanya masih terasa sakit, dia melihat tempat itu sangat berbeda dari kamarnya. Dimanakah dia? Arin mengelilingi setiap sudut kamar, ingin melihat kamar siapakah yang sangat indah itu yang tersusun rapi. Jauh dari kata berantakan yang sering dia lakukan di kamarnya sendiri.Dia berjalan menelusuri bingkai yang ada pada nakas di sebelah kiri ranjang. Dari jaraknya yang beberapa meter sedang mengerutkan kening seakan-akan dia pernah melihatnya. Karena rasa penasaran yang tinggi dia pun mendekatinya. Dan betapa terkejutnya dia saat mengetahui siapa orang di balik foto tersebut."Dia? Apa ini adalah kamarnya?" batin Arin saat tercengang melihatnya.Bagaimana mungkin dia bisa berada di tempat pria itu, sedangkan dia baru sa
"Evander!" bentak seorang wanita setengah baya pada seorang putranya yang masih tertidur pulas di ranjang.Anaknya itu langsung terbangun saat mendengar suara ibunya yang keras. Matanya yang masih dalam keadaan mengantuk berusaha membuka mata lebar-lebar untuk menatap ibunya."Ada apa, Mom? Malam-malam begini membangunkan, Evan," rengek anak manjanya itu."Kau tidak boleh terus-terusan begini, Evan! Kau tidak lihat sekarang apa yang sudah direncanakan Levis, anak gundik itu?"Evander ingin mendengar, namun matanya terus ditarik untuk tidur. Dia tidak menghiraukan ucapan ibunya yang sedang marah. Wanita itu tidak tinggal diam saat melihat putranya sendiri tidak mendengarkannya. Dia merasa kesal dan menjewer kupingnya."Arggh, sakit Mom..." Evan meringis kesakitan. Kupingnya terasa panas. Sudah pasti memerah akibat jeweran ibunya yang terlalu kuat."Makanya dengarkan ibu!" tegasnya.Evan yang tak punya pilihan lain, terpaksa melebarkan matanya dan mendengarkan ibunya berbicara."Iya, ad
"Kau sudah mencarinya ke seluruh kota ini?" tanya Levis.Pria itu sangat marah saat mendengar nama Arin menghilang. Baru saja dia kepikiran untuk memberinya pelajaran dan sekarang semua yang sudah dia rencanakan gagal sepenuhnya. Dia menatap sekretaris pribadinya itu dengan tatapan sengit. Mana mungkin dia akan membiarkan gadis itu pergi tanpa izinnya. Maka, kemanapun gadis itu pergi, dia akan tetap bisa menemukannya. Inilah janji nyata seorang Levis Mouse yang tak terkalahkan."Saya sudah berusaha mencari, Tuan. Namun, keberadaan Nona Arin memang tidak bisa dilacak. Kemungkinan seseorang telah merencanakan ini semua dengan baik, Tuan.""Sialan!"Levis Mouse tidak akan menyangka bahwa gadis itu benar-benar membuat kesalahan yan akan memberinya pelajaran hidup. Entah apa yang sudah dipikirkannya sampai berani melakukan itu. Dan inilah yang ingin dilakukan olehnya, membuat gadis itu sampai sengsara dan tidak ada harapan baginya untuk hidup."Kalian harus mencarinya! Kalau sampai hari in
Arin memperbaiki rambut dan juga penampilannya yang telah hancur. Dia melihat sekelilingnya, matanya tengah mencari keberadaan sahabatnya itu. Tak lama kemudian seseorang yang ditunggu-tunggu pun datang dan menghampirinya. Dia sangat terkejut saat melihat sahabatnya dengan kondisi yang kacau."Kau tidak apa-apa, Rin? Siapa yang telah berbuat hal ini padamu?" tanya sahabatnya yang bernama Lala itu. Wajahnya memperlihatkan bagaimana perasaannya saat ini. Ya khawatir. Dia sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya yang hancur.Dia mengelap keringat yang bercucuran di wajah Arin dengan tisu. Kemudian dia mengambil segelas air putih yang terletak di meja dan memberinya pada Arin. Arin pun meminumnya. Dia pastinya sangat haus. Sejak tadi pria yang telah memperlakukan dirinya sangat kasar tidak membiarkannya bebas melawan, apalagi sampai memberinya minum. Mustahil!"Kenapa kau tidak panggil aku tadi, Rin? Aku bisa datang membantumu cepat," ucap Lala sambil merapikan rambut sahabatnya itu."Ak
"Apa yang kurang dariku, Arin? Bukankah kau melihat semua yang ada padaku tidak ada pada yang lain?" Sorot mata yang tajam sedang menghadang tatapan gadis cantik yang tengah gemetar menghadapinya."Anda memang memiliki segalanya, tapi aku tidak tertarik sama sekali!" Keberanian macam apa itu? Bisa-bisanya Arin mengatakan langsung pada pria yang hanya memiliki kesabaran setipis tisu."Menikah denganku atau kuserahkan pada mereka!"Arin semakin takut. Dia melihat banyak pria di arena club seperti zombie yang kehausan darah. Manik mata Arin hanya menatap nanar pada sosok pria yang tengah mengancam dirinya."Apa maumu, Tuan Levis Mouse?!" tegas Arin semakin berani. Jika memilih diam dan membiarkan pria itu menginjak-injak harga dirinya tentu bukan namanya Arin."Aku tidak akan mengulang perkataan ku lagi setelah ini. Aku ingin kau jadi milikku sampai aku nantinya tidak memerlukan dirimu lagi. Kau hanya perlu berbalas budi padaku!"Deg!Jantung Arin mendadak berhenti. Dia merasakan napasny