Semua yang hadir kaget dengan suara yang datang tiba-tiba. Seorang lelaki tinggi dengan badan agak gemuk melangkah mendekati kerabat dan tetangga Dini yang hadir.
"Saya juga ingin menyaksikan putra saya menikah. Maaf, saya terlambat," ucapnya kemudian.
Semua yang hadir memandang pria itu, Pramono Aji, dengan mempersilahkan dia duduk di sebelah mempelai.
"Pa, terimakasih sudah mau datang," kata Dilan kemudian. Sambil menandatangani berkas yang ada, Dilan akhirnya sedikit lega walau yang hadir dari keluarganya hanya papanya. Dia memang tak mungkin berharap mamanya akan datang setelah pertengkaran mereka.
Pak Penghulu pun dengan cepat meninggalkan tempat. Dia harus menikahkan orang lain lagi.
"Akhirnya kamu menikah juga. Maaf jika pernikahan kamu hanya seperti ini."
"Tidak apa-apa, Pa. Saya maklum dengan kondisi Dini. "
"Pak, maafkan saya jika semua ini tidak seperti yang Bapak harapkan untuk putra bapak." Astri mendekat dengan mengatupkan kedua tangan di dada. Dia lalu membimbing Dini untuk menyalami orang yang kini sudah menjadi ayah mertuanya.
Pramono mengelus kepala Dini, " Setelah kamu sembuh, insyaallah Papa akan memberikan pesta yang mewah untuk kalian."
Dini hanya tersenyum dengan memandang pria di depannya. Tangannya sudah tak lepas memegang lengan Dilan.
"Kami hanya butuh restu Papa, butuh dukungan Papa."
"Itu pasti Dilan," kata Pramono dengan terus memindai Dini yang sesekali melempar senyum cantiknya. Dia memang benar-benar cantik. Kulitnya yang bening begitu halus bagai sutra, pantas sekali putraku begitu tergila-gila padanya, bathinnya.
"O, ya,.. Bu, ini sekedar oleh-oleh dari saya. Maaf, tidak bisa membawa apa-apa ke sini." Pramono mengangsurkan sebuah amplop coklat tebal.
"Ghak usah, Pak. Ini semua yang ngatur juga Dilan. Makanan sebanyak ini juga datang sendiri, didatangkan Dilan. Kami hanya menyediakan tempat," kata Astri lalu memandang putrinya dengan mata mengaca, "Dini bisa mendapatkan pria sebaik Dilan saja, saya sudah berterimakasih. Semoga benar harapan Dilan, Dini bisa sembuh setelah bersamanya."
"Jangan ditolak, Bu. Ini sekedar oleh-oleh saja." Pramono masih bersikeras.
"Diterima saja, Bu." Dilan ikut memberikan suaranya.
"Kalau begitu, terimakasih, Pak. Saya jadi ghak enak hati."
"Baiklah, Dilan, Papa harus segera pergi, ada rapat penting dengan clien. Ditunggu Papa di rumah," pamit Pramono. Lagi-lagi pandangannya tak lepas dari Dini yang bergayut manja di lengan Dilan yang beranjak mengikuti papanya keluar.
"Terimakasih banyak, Pak, sudah datang." Astri ikut mengantar besannya bersama dengan Fahmi, hinggah keluar ke halaman rumahnya yang masih luas dengan ditumbuhi banyak tumbuhan buah.
"Dilan, kalian istirahat duluh, nanti sore saja kembali ke rumahmu," ucap Astri setelah tamu berpamitan.
"Iya, Bu. Kalau besuk Dilan ghak kerja, Dilan malah di sini saja duluh. Dilan kangen suasana desa ini. Dilan pingin ke Pak Kyai. Duluh waktu ngurus surat, juga belum bisa ke sana, bagaimanapun Dilan belum lama kerjanya, ghak bisa bolos sesukanya."
Dini masih bergayut manja di lengan Dilan, hinggah Dilan mengajaknya istirahat di kamar.
"Maaf, Le,... tidak seperti di rumahmu." Astri merasa tak enak hati dengan kondisi rumahnya.
"Bu, ghak usah sungkan. Kayak sama siapa saja. Bukannya dari duluh Dilan sudah tau rumah Ibu."
Astri tersenyum. "Biar Ibu saja yang gantiin pakaian pengantin Dini."
"Ghak usah, Bu. Dilan bisa kok ambil jarum-jarum di kepalanya itu."
"Terimakasih, Le," ucap Astri kembali. Lalu meninggalkan kamar Dini.
"Sini, kamu duduk," Dilan membimbing
Dini tersenyum malu.
Dengan cekatan Dilan mengambil jarum pentul yang menempel di jilbab yang dikenakan Dini.
"Jangan banyak gerak ya," himbaunya. Tak seberapa lama, dia sudah menyelesaikannya. Rambut ikal Dini kini terlihat. Rambut hitam legam itu ditali dengan tali rambut dengan posisi agak ke atas, rupanya perias sudah cukup dengan rambut Dini yang membuat jilbabnya lebih terkesan bagus. . Dilan mengurainya setelah Dini merasa tak nyaman dengan menunjuk ke rambutnya.
"Kekencengen," katanya mengadu.
"Kenapa tadi tak bilang ke mbak yang ngrias?" Dilan menelan ludahnya. Melihat betapa cantik bidadari yang di depannya kini dengan rambut terurai bergelombang sepunggung.
"Malu,"
Dilan lalu mengambil baju di kabinet. Sebuah rok santai berlengan pendek diambilnya. Dilan hampir tak mendapati baju bagus yang bisa dipakai Dini. Bajunya hanya sekedarnya saja. Sama seperti yang dia lihat saat di rumah sakit jiwa.
"Nanti sebelum ke rumahku, kita beli baju ya, Din?"
"Baju baru?"
"Heem
Wajah Dini nampak berbinar.
Dilan lalu mengambil peniti di baju pengantin Dini yang lumayan banyaknya karena tubuh kurus Dini membuat perias mengecilkan bajunya. Dia juga Melepaskan kancing belakangnya satu persatu. Dilan mengalihkan pandangannya melihat pemandangan indah di depannya.
"Aku lepas sendiri, Ziel. Kamu jangan lihat ya, aku mau ganti baju."
"Emang kenapa kalau lihat? Kita kan sudah halal. Aku juga,.." Dilan menutup mulutnya yang keceplosan. Sikap slengeannya muncul. Dia memang sedikit lelah dengan pura-pura tetap menjadi pribadi Aziel yang serius dan pendiam selama berada di rumaj sakit jiwa bersama Dini.
"Idih, kamu mulai nakal ya?"
Dilan tartawa kecil.
"Ayo, tutup mata sama bantal."
"Iya, iya." Dilan kembali terkekeh. Dia lalu membuka handphonenya. Namun Dini datang dan rebahan dis isinya. Sekejab Dilan terpana dengan wajah yang mengulas senyum itu. Rasa berdebar begitu menghantui degup jangtungnya.
"Akhirnya iIbu merestui pernikahan kita, Ziel."
Dilan masih terpana.
"Ziel, boleh aku meminta sesuatu?"
"Apa?"
"Aku ingin memelukmu."
Degup hati Dilan makin tak beraturan. Dia begitu mempesona. Ada yang bergeliak di jiwa lelakiku. Bukankah dia sudah halal bagiku? Tidak bolehkah aku lebih dari sekedar memeluk?
"Dilan, sudah ashar. Bangun, Le. Biar nanti ghak kemalaman di jalan," ucap Astri sambil mengetuk pintu kamar berkali-kali. "Iya, Bu," sahut Dilan. Diurainya pelukan Dini. "Bangun, Din." "Sudah pagi ya?"Dilan terkekeh. Disentilnya hidung Dini. "Sudah sore yang bener."Dini mengulas senyum. "Kirain malam.""Ayo mandi, sholat, kita siap-siap berangkat.""Ke mana?""Ke rumahku, kamu kan istriku."Dini terkekeh. Lalu mengikat rambutnya dan pergi ke kamar mandi yang letaknya di belakang sendiri, dekat dapur. Leher jenjang putihnya terlihat sempurna. Lagi-lagi Dilan menelan ludah.Tak lama Dini sudah keluar. Bau semerbak sabun mandi menyeruak melewati Dilan yang masih terpana dengan kecantikan Dini yang segar setelah mandi."Aku sudah bawakan kamu baju ganti, kamu pakai ya?" kata Dilan yang tadi saat Dini ke kamar mandi telah menyiapkan baju ganti lengkap untuk Dini.Dilan mengguyur tubuhnya. juga membasahi rambutnya dengan memakai shampo. Air di desa ini sangat sejuk, mengalir dari at
namun yang mencium, justru sudah terlelap dalam tidurnya. Sementara Dilan masih tak dapat memejamkan matanya, mengingat bagaimana dia bisa meninggalkan Dini di rumahnya. Berkali-kali disentuhnya bibirnya dengan menyentuh bibir Dini. Rasanya dia ingin membalas ciuman itu, tapi diurungkannya. Dia takut, dia akan menuntut yang lain lagi.Dilan bangun di saat Subuh telah berkumandang. Dilihatnya Dini yang sudah tersenyum memandanginya. Bajunya sudah berganti. Tubuhnya pun sudah harum bau handbodi yang dipakainya."Wah, istri aku sudah cantik," ujar Dilan terpana dengan kecantikan Dini. "sini, cium, Mas.!""Ih, apaan sih," Dini tersipu. " panggil Mas lagi.""Aku kan sudah jadi suamimu, masak iya, kamu masih panggil namaku saja."Dini hanya tersenyum, lalu membiarkan pipinya dicium Dilan."Adu, sakit, tau!" teriak Dini manakala Dilan mencoel dagunya, yang ditanggapi Dilan dengan terkekeh ke kamar mandi. "kamu benar-benar jadi orang asing sekarang," teriak Dini."Kamu sudah sholat ya?" tanya
Dilan mendekati Dini. Sepertinya dia tak mampu mengerem dirinya. Namun yang mencium, justru sudah terlelap dalam tidurnya. Dilan tersenyum, memegangi kepalanya yang seperti berdenyut menahan hasrat. Dengan sayang, diciumnya kening Dini. Untunglah kamu sudah tidur, jika tidak, aku tidak tau apa yang terjadi dengan diriku. Bagaimanapun sekarang ini kamu dalam kondisi yang tidak sadar, dan aku tak ingin mengambil keuntungan dari semua ini, bathinnya kelu dengan merengkuh Dini dalam pelukannya.Sementara Dilan masih tak dapat memejamkan matanya, mengingat bagaimana dia besuk bisa meninggalkan Dini di rumahnya. Berkali-kali disentuhnya bibirnya dengan menyentuh bibir Dini dengan jemarinya. Rasanya dia ingin membalas ciuman itu kembali, tapi diurungkannya. Dia takut, dia akan menuntut yang lain lagi seperti tadi. Dilan bangun di saat Subuh telah berkumandang. Dilihatnya Dini yang sudah tersenyum memandanginya. Bajunya sudah berganti dengan terusan, bukan baju tidur lagi. Tubuhnya pun sudah
"Astaga, apa yang kamu lakukan?""Maaf, saya hanya bermain.""Mama, lihat ini apa yang dilakukan kakak iparku?"Dari dalam Giani tergopoh keluar. Namun kemudian dia terpeleset. "Dasar gadis gila!"Imah yang datang, mengambil alat pel. Lalu mengepel lantai setelah membangunkan Dini. "Kamu ghak apa-apa, Dhuk?"Dini menggeleng dengan memegangi pantatnya yang terasa sakit. "Saya hanya bermain, Bu""Duduk sini sebentar, Dhuk, biar Ibu selesaikan ngepelnya. Kamu sambil lihat cara Ibu ngepel, ya," Dini manggut-manggut. "Sebenarnya apa yang terjadi, Ma?" tanya Davin.Giani memegangi pinggang dan pantatnya. Gavin memijitnya pelan. "Memang dasar wanita gila, dia pikir rumah kita mainan.""Mama tidak mengerjainya 'kan?" Davin curiga."Memang kamu pikir apa?""Hati-hati, Ma. Ketauan Dilan, Mama akan dapat masalah besar.""Kamu mengancam Mama?""Davin mengingatkan Mama." Davin menghentikan pijitannya. "kalau Mama sudah baikan, Davin pergi lagi, Ma.""Memangnya kenapa kamu jam segini pulang?""A
Giani merasa tak enak hati dengan yang dilakukan Dilan. Namun setelah Dilan menyalami Bramantyo, papanya Sisil, dia menjadi lebih lunak."Maaf, anakku yang satu ini dari kecil hidup di pesantren, jadi tolong dimaklumi," ujar pramono, "Sini Dilan, duduk dekat Sisil," Rena, mamanya Sisil mempersilahkan Dilan. Namun Dilan hanya tersenyum."Di sini saja, Tan.""Sisil ini teman satu fakultas sama Kanaya," jelas Rena.Dilan mengangguk, dia dapat melihat Kanaya yang begitu akrap dengannya hinggah sering cekikikan bersama."Kita makan, yuk,.. ngobrolnya sambil makan saja," ajak Giani."Dia anak tunggal Tante Rena, lho, Dilan," kata Giani berusaha mengakrabkan Dilan dengan Sisil yang memang cantik dengan body aduhai itu. Tubuhnya yang tinggi proporsional dibalut gaun peach dengan lengan pendek, menampakkan kulit mulusnya yang sedikit terbuka."Dia pintar lho, Kak," kata Kanaya begitu mereka setelah makan duduk di taman dekat kolam."Heem, aku dapat melihatnya.""Sisil, dia kakakku yang the b
Dilan dengan tak sabar mencari keberadaan Dini. Dia seperti orang yang sudah kesurupan. Baru juga dia beranjak pergi ke taman di belakang, dia menemukan makanan yang tercecer di bawah dekat meja makan. "Ternyata kamu kelaparan, Din," gumannya pelan. Dilan merasa bersalah, kenapa dia tak menyediakan roti atau apa di kamarnya.Dilan kembali mencari keberadaan Dini dengan ke taman belakang. Terdengar raungan menyayat. Dilan yang tidak menyangka sama sekali mendekat. Menarik pria yang tak lain adalah adiknya sendiri dari tubuh Dini yang ditindihnya di balai dekat taman. Dipukulnya keras pria yang tubuhnya lebih besar dari dirinya itu hinggah terjungkal.Dini yang ketakutan segera menghambur memeluk Dilan."Bisa-bisanya kamu melakukan ini. Tidak taukah kamu siapa dia?" "Dia hanya wanita gila yang kaubawa kemari." Dengan sempoyongan Davin memegangi bibirnya yang keluar darah"Yang kausebut wanita gila itu istriku, Davin!"Ramai yang terjadi membuat Ima dan Sekar yang kamarnya dekat taman,
"Dia siapa, Dilan?" tanya Ajeng curiga. Hidung mancung itu, bulu mata lentik itu, rambut indah bergelombang hitam legam itu,..."Ya, dia ini istriku sekarang, Mi.""Maksud Ummi, siapa namanya?""Dini Yasmin, Mi. Kenapa?"Ajeng mundur selangkah setelah dia berdiri mendekati Dini. Bayangan gadis yang terbangun dengan airmata mengalir hampir setahun yang lalu, terlintas kembali."Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku," ucap Ajeng waktu itu. Namun gadis itu tak pernah memanggilnya sama sekali, bahkan sampai Ajeng berpamitan dan meninggalkan rumah itu, dia tak pernah merespon ucapannya. Dia hanya terdiam dengan sesekali airmata mengalir di pipinya yang tembem. Benarkah dia Dini yang sama?"Ummi, mau di sini? Dilan keluar nyapa Abi.""E,...i,..iya."Dilan sejenak tertegun. Melihat reaksi umminya dia merasa ada sesuatu yang terjadi. "Tolong jaga dia, Mi."Sampai di luar, Dilan sudah disambut pelukan oleh Ibra. Lelaki yang sudah seperti ayah bagi Dilan itu bahkan menepuk-nepuk punggungny
"Kamu kenapa?" Dilan meraih tubuh Dini yang terhuyung."Kepalaku agak berat, aku seperti pernah mendengar orang menyuruhku memanggilnya Ummi."Dilan tertegun. Dia tau Dini sedang mengingat sesuatu. Namun Dilan tak ingin membuat Dini stres dengan memikirkan apa yang knii tengah di kepalanya."Tenangkan dirimu, Din. Kamu tak perlu bersikeras mengingat semuanya. Nanti juga kamu akan mengingat dengan sendirinya," ucapnya lembut dengan mendudukkan Dini dengan tenang. Dilan mengambil air dan meminumkannya ke Dini. Saat dirasa Dini sudah tenang, Dilan menyodorkan roti untuknya. "Lapar?"Dini mengangguk, lalu memasukkan roti begitu saja ke mulutnya."Dini, pelan-pelan," tegur Dilan."Habis lapar banget setelah bangun tidur.""Nanti tersedat. Tuh, mulut kamu belepotan coklat." Dilan mengelap mulut Dini dengan ujung jarinya. Dipandanginya gadis di depannya dengan lekat. Dini pun makin mendekat hinggah wajah mereka menjadi tak berjarak. Tak terasa bibir mereka menyatu."Jadi benar dia Dini Yasm
Dini memandangi jalanan yang dilalui taxi dengan tatapan kosong. Pikirannya kalut setelah meninggalkan rumah Dilan. Hati dan pikirannya bercampur aduk, membuatnya tidak memperhatikan supir taxi yang terus mencuri pandang ke arahnya. Sesekali, lelaki itu melirik ke kaca spion, memperhatikan wajah Dini yang tertutup cadar."Pak, ke kanan saja," ucap Dini dengan suara pelan namun tegas, mengarahkan tujuan perjalanannya."Baik, Mbak," jawab supir taxi itu, melirik sekilas melalui kaca spion. Tangan kirinya memegang kemudi, sementara tangan kanannya bergerak pelan untuk menyentuh layar ponselnya yang terpasang di dashboard.Dini mendengar lelaki itu berbicara, meskipun dengan suara pelan, seperti memberi kode pada seseorang melalui panggilan telepon. Kata-kata yang diucapkan terasa janggal di telinga Dini, namun ia terlalu lelah untuk memikirkannya lebih jauh. Hatinya masih diliputi rasa suntuk dan kecewa. Pikirannya sibuk memikirkan apa yang terjadi di rumah Dilan.Ketika taxi berhenti di
Gadis itu mendekat. "Hai, Dilan, bagaimana khabarmu?" sapanya dengan senyum ramah dan menggoda. Dini merasakan tenggorokannya kering seketika.Dilan tersenyum, "Baik. Maaf Minggu lalu aku tidak bisa datang," ucap Dilan akhirnya, sebuah ucapan yang membuat Dini tertegun.Dini mengamati keduanya. Jadi benar, mereka janjian ketemu minggu lalu? Bisa-bisanya Dilan masih mengejarku sementara dia sudah janjian bertemu dengan gadis lain? bathin Dini berkecamuk."Iya, aku sampai menelponmu, tapi telponmu ghak aktif. Aku pikir kamu matikan, tapi lama aku telpon balik juga masih ghak aktif. Akhirnya aku ke sini saja. Ketemu Tante giani. Di sini pun kamu ghak ada. Akhirnya aku diajak Tante pergi.""Aku lagi pergi. Di sana sulit sinyal." Ucapan Dilan membuat Dini ingat, Dilan memang mengejar dia ke rumahnya."O, pantes." Gadis itu menyibakkan poninya dengan sesekali melihat Dini yang masih diam di sisi Dilan dengan wajah ditekuk. Sisil juga merasa heran dnegan gamis mewah yang dikenakan Dini yang
Terdengar adzan Subuh menggema."Udah Subuh, sholat, yuk!' ucap Dini beranjak dari pelukan Dilan dengan wajah memerahnya.Dilan geleng-geleng. Baru juga ingin itu,.. kok Subuh sudah datang, gumannya."Din, nanti kita ulang lagi ya?" teriak Dilan menunggu Dini ke kamar mandi."Apanya?" Dini pura-pura tak mengerti sambil menyimpan senyum di bibirnya."Yang tadi.""Yang mana?""Ih, kamu sok ghak ngerti ya." Gemes Dilan dengan menjitak Dini pelan"Ghak janji ya, habis sholat aku mau lihat tanamanku.""Dini,...!"Dini terkekeh. Dia bahkan segera pergi setelah mencium punggung tangan Dilan selesai sholat Subuh. Dilan yang merasa keinginannya di ubun-ubun masih bisa menahannya saat dilihatnya Dini sudah asik dengan bunga-bunganya. Melihatmu bahagia, aku juga merasakan kebahagiaan itu, Din. Hanya hal sepele saja, aku bahkan berbulan bisa menahannya. Kenapa sekarang tidak?Waktu seperti cepat berlalu, Dilan hanya senang berayun di taman, menggulir handphon-nya dengan sesekali menjepret wajah D
"Selamat malam, Pak. Maaf mengganggu tidur Anda." Salah satu dari dua orang itu membuka ucapannya. Lalu mengangsurkan sebuah amplop. Dilan mengambilnya ddan ememgangnya dengan hati-hati dengan sesekali menatap kedua orang itu dengan tatapan selidik. Yang satunya berambut biasa, yang satunya berambut sebahu."Bapak bisa baca, itu surat dari kepolisian. Mulai hari ini kami harus menjaga Nyonya Dini. Walau kami tak terus terang seperti duluh. Bagaimanapun juga kasus Nyonya Dini kini makin serius, jadi kami harus lebih berhati-hati.""Kok cepat sekali, Pak kami mendapat eprlindungan. Kami bahkan belum memasukkan gugatan atas kasus meninggalnya Bian."Yang berambut panjang tersenyum, berusaha menetralkan kecurigaan Dilan. "Pak Danu kemarin menyerahkan diri. Satu-satunya saksi hidup hanyalah Nyonya Dini. Setelah kejadian penculikan sebulan yang lalu, kami harus lebih hati-hati untuk menjaganya. Bagaimanapun juga orang tua Pak Danu memiliki kekuasaan dan kedatangan Pak Danu untuk menyerahka
Dilan masih mendekap Dini yang terisak dalam pelukannya. Dilan memang tak habis pikir, apa yang terjadi dengan Dini. "Apa kamu takut dengan menjadi saksi ini?"Dilan mencoba menerka. Dini menggeleng. Kembali mendongak ke wajah Dilan yang kini telah mendaratkan kecupan di keningnya. "Kamu jangan takut, Din, aku akan selalu ada di sampingmu. aku akan terus mendampingimu, apapun masalah yang kauhadapi."Aku tidak takut soal itu," jawab Dini pelan."Lalu apa?"Dini masih diam dan sesenggukan."Apa ini ada hubungannya dengan ucapanmu di meja makan tadi?" Dilan mendaratkan ciumannya di ubun-ubun Dini. Bau segar rambut Dini membuatnya lebih lama dengan memejamkan matanya. "jika sampai rumah ini sudah tidak boleh kita tempati lagi, aku janji akan membelikanmu rumah dengan menyicil KPR, atau mungkin beli tanah kapling duluh. Aku ada tabungan kalau hanya untuk tanah satu kapling. Kita akan bangun rumah, walau rumah kecil ghak apa-apa, asal kita selalu bersama. Yang penting tamannya aja banyak b
"Din, kamu kenapa, aku perhatikan sejak kamu dari kamar atas tadi kok diemi aku?" tanya Dilan, namun Dini hanya diam dengan terus menjalankan sholat Maghrib tanpa mengajak Dilan jamaah."Ghak nunggu aku dari kamar mandi, Din? Kita jamaah Maghrib."Dini langsung mengangkat tangannya dengan memulai takbir.Dilan lalu meninggalkannya dengan bergegas mengambil mandi sekalian. Saat dia keluar dari kamar mandi, dia hanya mengenakan handuk dengan dililitkan di pinggangnya. Rambutnya yang tampak basah indah terjuntai di wajahnya, sekilas membuat debar di hati Dini yang memandangnya, terlebih saat melihat tubuh Dilan. Dini lalu meninggalkan kamarnya menuju dapur. Kenapa pikiranku jadi ngeres begini saat melihatnya? rutuk Dini."Masak apa, Bu? Harum sambal terasinya kok sudah tercium?" Dini mendekati Ima yang tengah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Ima hanya tersenyum. Dini lalu membuat teh hangat. Menyiapkan semuanya di meja makan dekat mini bar.Ajeng dan Ibra menuruni tangga. Tampak ju
"Dasar wanita gila!" umpat Giani yang takut siapa Dini bagi Dilan, diketahui Sisil. Dia memang sama sekali tidak menyangka gadis itu akan kembali ke rumah ini. Bahkan dengan sikap yang kini jauh dari yang dia duga. Saat kapan hari Sisil yang menunggu Dilan dari siang di rumahnya, sampai mendekati malam, dia hanya berfikir untuk membawanya ke rumah ini. Dia sendiri juga khawatir akan keadaan Dilan yang dari kemarin tak aktif handphone-nya, setelah terjadi pertengkaran dengannya kapan hari. Terlebih saat dia dibilangi Sisil, kalau Sisil sendiri tak bisa menghubungi Dilan.Dini yang mengurung dirinya di kamar atas, merasakan hatinya amat suntuk. Dia bahkan tidak keluara sampai terdengar bunyi mobil yang beranjak pergi dari halaman rumahnya.Dari balkom dia mencoba melihat, ternyata sedan mewah yang dikendarai gadis itu telah pergi. Dini menghela nafas panjang. Syukurlah mereka telah pergi, guman Dini sambil merebahkan dirinya ke tempat tidur. Dini baru menggulir handphone-nya saat terden
Giani, orang yang pertama turun dari sedan itu segera menghampiri Dini. Pandangan matanya menelisik tajam ke Dini. Dalam hati dia memang mengakui betapa cantik gadis tinggi semampai yang kini tubuhnya terlihat lebih berisi dan segar. Wajahnya pun nampak makin ayu dengan bedak ringan dan goresan tipis lipstik warna nude. Namun kebencian yang memuncak sampai ke ubun-ubun, mengalahlan kekagumannya."Kenapa kamu kembali? Siapa yang menyuruhmu? Bukankah aku telah menyuruhmu pergi dari kehidupan anakku?" tanyanya bertubi-tubi tanpa jeda.Dini menatap tajam wanita di depannya. Cukup sudah selama ini dia menginjak harga diriku, bahkan saat itu mengusirku dengan semena-mena, bathin Dini."Kenapa kamu kembali? Budeg ya, kamu?" Giani tidak sabar dengan kediaman Dini. Kembali dia mengeluarkan kata-kata kasarnya."Biasanya orang yang suka teriak-teriak yang budek, Tante." Dini berjalan mendekatinya, meninggalkan bunga anggreknya. "benar kan saya harus memanggil Tante, seperti keinginan Anda?"Gian
"Hentikan, Danu, apa yang akan kaulakulan dengan pisau buah itu. Kamu mau bunuh papamu?" Tantri ketakutan melihat putra tunggalnya mengacungkan pisau."Itu keenakan untuk Papa jika aku membunuhnya. Aku hanya ingin menghabisi diriku sendiri. Biar Papa sama Mama akan menekuri hari tua sendirian. Bukankah itu lebih menyakitkan?" Danu kemudian tertawa."Dasar anak tidak tau diuntung!" Barata memegangi dadanya setelah Danu meletakkan pisaunya."Sekali lagi Danu tegaskan,... jangan kembali mengusik hidup Dini." Danu pun pergi dengan menyambar kunci mobilnya yang sempat terjatuh.Tantri mendekati suaminya. "Papa tidak apa-apa?" Dia lalu mengambil air minum untuk suaminya.Barata meminum hingga tandas air di gelasnya.Tantri duduk di samping Barata, mencoba menenangkan dirinya meski tangannya masih gemetar. "Kita harus bicara lagi dengan Danu, Pa. Dia semakin sulit dikendalikan," katanya dengan suara rendah. "Setip kita membicarakan tentang Dini, dia akan cepat menanggapi, kita harus hati-hat