Share

Bab 02. Bolehkah Aku Memelukmu?

Semua yang hadir kaget dengan suara yang datang tiba-tiba. Seorang lelaki tinggi dengan badan agak gemuk melangkah mendekati kerabat dan tetangga Dini yang hadir.

"Saya juga ingin menyaksikan putra saya menikah. Maaf, saya terlambat," ucapnya kemudian.

Semua yang hadir memandang pria itu, Pramono Aji, dengan mempersilahkan dia duduk di sebelah mempelai.

"Pa, terimakasih sudah mau datang," kata Dilan kemudian. Sambil menandatangani berkas yang ada, Dilan akhirnya sedikit lega walau yang hadir dari keluarganya hanya papanya. Dia memang tak mungkin berharap mamanya akan datang setelah pertengkaran mereka.

Pak Penghulu pun dengan cepat meninggalkan tempat. Dia harus menikahkan orang lain lagi.

"Akhirnya kamu menikah juga. Maaf jika pernikahan kamu hanya seperti ini."

"Tidak apa-apa, Pa. Saya maklum dengan kondisi Dini. "

"Pak, maafkan saya jika semua ini tidak seperti yang Bapak harapkan untuk putra bapak." Astri mendekat dengan mengatupkan kedua tangan di dada. Dia lalu membimbing Dini untuk  menyalami orang yang kini sudah menjadi ayah mertuanya.

Pramono mengelus kepala Dini, " Setelah kamu sembuh, insyaallah Papa akan memberikan pesta yang mewah untuk kalian."

Dini hanya tersenyum dengan memandang pria di depannya. Tangannya sudah tak lepas memegang lengan Dilan.

"Kami hanya butuh restu Papa, butuh dukungan Papa."

"Itu pasti Dilan," kata Pramono dengan terus memindai Dini yang sesekali melempar senyum cantiknya. Dia memang benar-benar cantik. Kulitnya yang bening begitu halus bagai sutra, pantas sekali putraku begitu tergila-gila padanya, bathinnya.

"O, ya,.. Bu, ini sekedar oleh-oleh dari saya. Maaf, tidak bisa membawa apa-apa ke sini." Pramono mengangsurkan sebuah amplop coklat tebal.

"Ghak usah, Pak. Ini semua yang ngatur juga Dilan. Makanan sebanyak ini juga datang sendiri, didatangkan Dilan. Kami hanya menyediakan tempat," kata Astri lalu memandang putrinya dengan mata mengaca, "Dini bisa mendapatkan pria sebaik Dilan saja, saya sudah berterimakasih. Semoga benar harapan Dilan, Dini bisa  sembuh setelah bersamanya."

"Jangan ditolak, Bu. Ini sekedar oleh-oleh saja." Pramono masih bersikeras.

"Diterima saja, Bu." Dilan ikut memberikan suaranya.

"Kalau begitu, terimakasih, Pak. Saya jadi ghak enak hati."

"Baiklah, Dilan, Papa harus segera pergi, ada rapat penting dengan clien. Ditunggu Papa di rumah," pamit Pramono. Lagi-lagi pandangannya tak lepas dari Dini yang bergayut manja di lengan Dilan yang beranjak mengikuti papanya keluar.

"Terimakasih banyak, Pak, sudah datang." Astri ikut mengantar besannya bersama dengan Fahmi, hinggah keluar ke halaman rumahnya yang masih luas dengan ditumbuhi banyak tumbuhan buah.

"Dilan, kalian istirahat duluh, nanti sore saja kembali ke rumahmu," ucap Astri setelah tamu berpamitan.

"Iya, Bu. Kalau besuk Dilan ghak kerja, Dilan malah di sini saja duluh. Dilan kangen suasana desa ini. Dilan pingin ke Pak Kyai. Duluh waktu ngurus surat, juga belum bisa ke sana, bagaimanapun Dilan belum lama kerjanya, ghak bisa bolos sesukanya."

Dini masih bergayut manja di lengan Dilan, hinggah Dilan mengajaknya istirahat di kamar.

"Maaf, Le,... tidak seperti di rumahmu." Astri merasa tak enak hati dengan kondisi rumahnya. 

"Bu, ghak usah sungkan. Kayak sama siapa saja. Bukannya dari duluh Dilan sudah tau rumah Ibu."

Astri tersenyum. "Biar Ibu saja yang gantiin pakaian pengantin Dini."

"Ghak usah, Bu. Dilan bisa kok ambil jarum-jarum di kepalanya itu."

"Terimakasih, Le," ucap Astri kembali. Lalu meninggalkan kamar Dini.

"Sini, kamu duduk," Dilan membimbing  

Dini tersenyum malu.

Dengan cekatan Dilan mengambil jarum pentul yang menempel di jilbab yang dikenakan Dini.

 "Jangan banyak gerak ya," himbaunya. Tak seberapa lama, dia sudah menyelesaikannya. Rambut ikal Dini kini terlihat. Rambut hitam legam itu ditali dengan tali rambut dengan posisi agak ke atas, rupanya perias sudah cukup dengan rambut Dini yang membuat jilbabnya lebih terkesan bagus. . Dilan mengurainya setelah Dini merasa tak nyaman dengan menunjuk ke rambutnya.

"Kekencengen," katanya mengadu.

"Kenapa tadi tak bilang ke mbak yang ngrias?" Dilan menelan ludahnya. Melihat betapa cantik bidadari yang di depannya kini dengan rambut terurai bergelombang sepunggung. 

"Malu,"

 Dilan lalu  mengambil baju di kabinet. Sebuah rok santai berlengan pendek diambilnya. Dilan hampir tak mendapati baju bagus yang  bisa dipakai Dini. Bajunya hanya sekedarnya saja. Sama seperti yang dia lihat saat di rumah sakit jiwa.

"Nanti sebelum ke rumahku, kita beli baju ya, Din?" 

"Baju baru?"

"Heem

Wajah Dini nampak berbinar.

 Dilan lalu mengambil peniti di baju pengantin  Dini yang lumayan banyaknya karena tubuh kurus Dini membuat perias mengecilkan bajunya. Dia juga Melepaskan kancing belakangnya satu persatu. Dilan mengalihkan pandangannya melihat pemandangan indah di depannya.

"Aku lepas sendiri, Ziel. Kamu jangan lihat ya, aku mau ganti baju."

"Emang kenapa kalau lihat? Kita kan sudah halal. Aku juga,.." Dilan menutup mulutnya yang keceplosan. Sikap slengeannya muncul. Dia memang sedikit lelah dengan pura-pura tetap menjadi pribadi Aziel yang serius dan pendiam selama berada di rumaj sakit jiwa bersama Dini. 

"Idih, kamu mulai nakal ya?"

Dilan tartawa kecil.

"Ayo, tutup mata sama bantal."

"Iya, iya." Dilan kembali terkekeh. Dia lalu membuka handphonenya. Namun Dini datang dan rebahan dis isinya. Sekejab Dilan terpana dengan wajah yang mengulas senyum itu. Rasa berdebar begitu menghantui degup jangtungnya.

"Akhirnya iIbu merestui pernikahan kita, Ziel."

Dilan masih terpana. 

"Ziel, boleh aku meminta sesuatu?"

"Apa?"

"Aku ingin memelukmu."

Degup hati Dilan makin tak beraturan. Dia begitu mempesona. Ada yang bergeliak di jiwa lelakiku. Bukankah dia sudah halal bagiku? Tidak bolehkah aku lebih dari sekedar memeluk?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status