"Ya, dia ini istriku sekarang, Mi."
"Maksud Ummi, siapa namanya?"
"Dini Yasmin, Mi. Kenapa?"
Ajeng mundur selangkah setelah dia berdiri mendekati Dini. Bayangan gadis yang terbangun dengan airmata mengalir hampir setahun yang lalu, terlintas kembali.
"Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku," ucap Ajeng waktu itu. Namun gadis itu tak pernah memanggilnya sama sekali, bahkan sampai Ajeng berpamitan dan meninggalkan rumah itu, dia tak pernah merespon ucapannya. Dia hanya terdiam dengan sesekali airmata mengalir di pipinya yang tembem. Benarkah dia Dini yang sama?
"Ummi, mau di sini? Dilan keluar nyapa Abi."
"E,...i,..iya."
Dilan sejenak tertegun. Melihat reaksi umminya dia merasa ada sesuatu yang terjadi. "Tolong jaga dia, Mi."
Sampai di luar, Dilan sudah disambut pelukan oleh Ibra. Lelaki yang sudah seperti ayah bagi Dilan itu bahkan menepuk-nepuk punggungnya.
"Kenapa Shania tak ikut, Bi?" tanya Dilan yang baru menyadari kalau Shania tidak berada diantara mereka.
"Dia kan di pondok, Dilan. Baru juga kelas IX."
"O, iya, lupa."
" Cuma ghak di pondok yang sama kayak kamu dan Bian duluh. Katanya takut setelah kejadian yang menimpa Bian."
"O, ya,... Ib, apa yang membunuh Bian sudah ditangkap?" tanya Pramono.
"Sampai sekarang belum tau siapa yang membunuhnya. Kasusnya seperti ditutup begitu saja. Sepertinya pelakunya orang besar, sedangkan saksi juga tak ada. Satu-satunya yang tau kejadian yang menimpa anak saya hanya gadis itu. Sedangkan gadis itu tak bisa dimintai keterangan apa-apa. Sejak kejadian itu dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya diam dengan sesekali meneteskan airmata."
"Kamu sudah laporkan ke polisi 'kan?" sela Giani.
"Sudah, Mbak. Tapi jawaban mereka tak memuaskan. Sepertinya mereka enggan menyelidiki kasus ini," Ibra menghela nafas panjang, "penyesalan memang datang belakangan. Kalau saja saya mengizinkan Bian menikahi gadis itu, mungkin tak seperti itu kejadiannya. Pikirku mereka masih anak-anak, belum mengerti apa makna pernikahan. Biar selesaikan sekolah duluh. Saat itu Bian sudah positif dapat beasiswa prestasi dari Al Azhar."
"Anakmu itu tipe orang yang serius, apa yang diinginkannya harus tercapai," ucap Pramono.
"Entah bagaimana ceritanya, sampai malam-malam mereka janjian keluar di dekat bumi perkemahan itu. Padahal Bian orangnya teguh agama, dia tak mungkin melakukan yang tidak-tidak dengan hanya berdua malam-malam kalau tidak karena terpaksa."
Dilan hanya mencerna cerita abinya. Mereka selama ini memang jarang berinteraksi dengan keluarga abinya itu. Saat kejadian itu pun mereka hanya datang mengungkapkan bela sungkawa ke Yogyakarta, tempat tinggal abinya. Itu pun keadaan amat berduka. Jangankan bercerita panjang lebar, umminya bahkan tak bisa menemuinya karena mengurung diri di kamar. Abinya juga tak bisa banyak berkata-kata. Kabut benar-benar menyelimuti keluarga itu dengan kepergian Bian yang tragis, dipukul orang di tengkuknya yang berakibat fatal sampai hilangnya nyawa.
"Berarti jalan satu-satunya hanya gadis itu. Apa kamu pernah menemui dia lagi?"
"Tidak, Mas. Umminya tak sanggup melihat gadis itu yang mengingatkan dia pada Bian."
"Tapi apa kamu rela anakkmu tak mendapatkan keadilan? Yang membunuhnya bahkan enak-enakan menikmati kebebasan?"
"Kalau dia saksi kunci, berarti gadis itu dalam bahaya," ucap Dilan terlenguh. "kesembuhannya berarti tidak diharapkan.'
"Sepertinya begitu Dilan."
"Terus, ini Abi cuma ke sini saja, atau mau ke sana, ceritanya?"
Ibra tersenyum. "Maunya sih mau ke sana, tapi transit duluh di sini. Ghak taunya kamar Ajeng dipakai pengantin baru."
"Pengantin baru apaan, Dik?" sela Giani. "La, itu orang gila di Menur di bawa kemari."
"Mama,.." Pramono tak enak hati melihat Dilan.
"Memang aku salah?"
"Orang gila bagaimana, Mbak?"
"Dini memang mengalami goncangan jiwa, Bi. Dia masuk rumah sakit jiwa di bawa ibunya. Karena saya memang mencintainya, saya menikahinya dengan harapan dia akan sembuh."
"Yang kamu harapkan juga palsu. Kalau sembuh dan dia tak mencintaimu? Bukankah kamu sudah bilang, duluh dia amat membencimu, lalu apalagi yang kauharapkan?"
"Setidaknya aku memberinya kesembuhan, Ma. Dan itu sudah cukup bagi aku."
"Cinta kamu emang kebangetan. Mama bantu do'a biar anak itu cepat sembuh. Mama yakin dia akan kembali membencimu. Dengan begitu Mama tak repot-repot memisahkan kalian."
"Mama,... do'a Mama kebangetan ya."
"Mas, saya permisi duluh," ucap Ibra tak enak hati dengan suasana panas yang terjadi.
Ibra membuka pintu kamarnya dan berusaha istirahat setelah perjalanan jauh yang mereka tempuh. Namun dia belum mendapati Ajeng di kamarnya. Ah, mungkin Ajeng lagi ke dapur atau keliling-keliling rumah ini, gumannya. Dia memang tidak tau kalau istrinya itu kini tertidur di sisi Dini. Dilihatnya rumah itu masih sama. Hermawan, ayah Ajeng dan Giani memberikan rumah itu ke Dilan agara mereka tak putus silaturrahmu karena Dialan sudah seperti anak bagi Ajeng.
Dilan yang masuk kamar mendapati umminya yang tidur bersisian dengan Dini merasa ada yang lain. Namun Dini yang kemudian bangun, menunjukkan jarinya ke arah ranjang, dimana seorang wanita berhijab tengah tertidur.
"Dia saudara Mama, namanya Ummi Ajeng."
"Ummi?" Dini memegang kepalanya, sepertinya dia mengingat sesuatu. "Panggil aku Ummi,...panggil aku Ummi!"
Dini terhuyung. Dilan menangkap tubuhnya. "Kamu kenapa?"
"Kamu kenapa?" Dilan meraih tubuh Dini yang terhuyung."Kepalaku agak berat, aku seperti pernah mendengar orang menyuruhku memanggilnya Ummi."Dilan tertegun. Dia tau Dini sedang mengingat sesuatu. Namun Dilan tak ingin membuat Dini stres dengan memikirkan apa yang knii tengah di kepalanya."Tenangkan dirimu, Din. Kamu tak perlu bersikeras mengingat semuanya. Nanti juga kamu akan mengingat dengan sendirinya," ucapnya lembut dengan mendudukkan Dini dengan tenang. Dilan mengambil air dan meminumkannya ke Dini. Saat dirasa Dini sudah tenang, Dilan menyodorkan roti untuknya. "Lapar?"Dini mengangguk, lalu memasukkan roti begitu saja ke mulutnya."Dini, pelan-pelan," tegur Dilan."Habis lapar banget setelah bangun tidur.""Nanti tersedat. Tuh, mulut kamu belepotan coklat." Dilan mengelap mulut Dini dengan ujung jarinya. Dipandanginya gadis di depannya dengan lekat. Dini pun makin mendekat hinggah wajah mereka menjadi tak berjarak. Tak terasa bibir mereka menyatu."Jadi benar dia Dini Yasm
Setelah Ajeng keluar, Dilan hanya terdiam, berkecamuk dengan pikirannya yang tak tentu. Dari duluh dia sudah tau tentang Dini yang mencintai orang lain, namun kenapa hatinya kini tersayat setelah mengetahui orang itu bukan orang lain, tapi orang yang telah dianggap seperti adiknya sendiri. Mereka sempat bersama selama beberapa tahun. Bian yang seusia Kanaya membuat Dilan merasa dialah yang justru adiknya. Yang suka dia goda sampai menangis. Hinggah Dilan harus pergi dari rumah untuk meneruskan keinginannya menjadi orang seperti Ibra yang menghafal Al Qur'an, dia meninggalkan adik yang sudah bisa diajak main bola itu dengan berat hati."Kamu pingin jadi muballigh kayak abimu?" saat itu mamanya sempat menentang keinginannya. Namun sang kakek, Hermawan, malah mendukungnya."Setidaknya kamu bisa belajar banyak tentang Al Qur'an duluh, biar nanti jadi pengusaha jadi pengusaha yang jujur," kata opanya waktu itu.Namun harapan opanya tidak juga dipenuhi Dilan. Saat dia pulang, dia mendapati
Semua yang di meja makan terlongo, terlebih Dilan."Apa maksud dari kata-kata Dini, Ma?""Ya, ghak tau, tanya aja ke orangnya," kata Giani dengan segera beranjak dari meja makan. Wajahnya sempat tegang dengan kata-kata yang ditinggal Dini. Namun bukan Giani kalau tak pandai berkelit.Imah yang beres-beres di dekat meja makan, menunduk merasa dilihat Dilan."Bu,..""Saya tak tau apa-apa, Den.""Baik, kalau kalian tak ada yang mau menjelaskannya. Suatu saat aku akan mendapat jawaban." Langkah Dilan menuju kamar dimana Dini berada.Dilihatnya Dini yang tiduran menelungkupkan wajahnya."Din, kamu kenapa?" Dilan memegang tangan Dini yang menutupi wajahnya."Lepas, lepaskan aku. Jangan sentuh aku!" teriak Dini, "kau pasti akan mengambil Azielku kembali.""Din,..!" Dibalikkannya wajah gadis itu, dan dipeluknya hangat, " ini aku Aziel, kamu masih bersamaku," ucapnya dengan hati yang tersayat karena mengakui dirinya adalah Aziel.Dini yang merasa orang yang memeluknya adalah Aziel, dia menumpa
"Kamu jadi pulang nanti sore, Jeng?" tanya Giani. Bagaimanapun juga Ajeng adalah adik satu-satunya. Dan dia amat menyayangi Ajeng."Iya, Mbak. Sebenarnya masih ingin lama di sini, tapi pekerjaan abinya ghak bisa ditinggal lama. Kami baru saja membuka cabang baru.""Hebat suami kamu. Ghak nyangka seorang muballigh kemudian menjadi pengusaha. Pengusaha yang ada hubungannya dengan pekerjaan lamanya.""Heem, Mbak. Mulanya diusuli teman-temannya untuk membuka jasa haji dan umroh. Ghak taunya yang percaya Abi amat banyak. Mereka yang membuat usaha kami maju." Sekilas Ajeng mengingat Bian yang telah mengutarakan maksudnya untuk mengelola travel cabang setelah menikahi Dini, namun tidak dihiraukan mereka."Coba kalau anakmu masih ada, akan ada yang membantu kalian mengelola usaha, jadinya Ibra ghak lari-lari dikejar kerjaan." Ajeng terdiam. Luka itu kembali menganga."Ummi!"Ajeng menoleh. Lalu menyunggingkan senyumnya melihat gadis cantik yang tengah memanggilnya tersenyum."Lho, ini,... ad
"Mbak, tolong yang dipakai menekin itu untuk istri saya." Dilan berusaha menuruti apa kemauan Dini. Sesekali dia melihat kembali ke arah orang itu. Dilan celingukan, namun merasa lega. Mereka telah pergi. Mudah-mudahan itu hanya sangkaanku belaka. Bukan apa-apa."Kami bisa ambil di stok, Pak. Tinggal tanya ukuran mbaknya berapa." Penjaga distro itu mencoba menawar."Maaf, Mbak, yang diinginkan dia di makenin itu. Nanti saya bayar lebih untuk Mbak. Tolong! Mbak tau sendiri bagaimana istri saya, jadi tolong dimaklumi." Dilan sampai memohon.Pramuniaga yang kerap melihat tingkah Dini yang menurutnya aneh itu kemudian tersenyum dan paham. Dengan merasa kagum pada Dilan. "Baiklah, Pak. Ditunggu ya?""Terimakasih, Mbak. Maaf merepotkan.""Dia benar-benar gadis beruntung. Seperti itu dapat orang tajir, tampan pula," bisik salah seorang pramuniaga itu."Hust, jaga bicaramu. Nanti mereka denger.""Cowok itu kelihatan sayang banget, jadi ngiri," ujar yang satunya."Nanti mbaknya juga akan dap
"Mereka pergi! Mereka pergi!" Dini menunjuk dari cela yang dari tadi dia lihat."Kita ghak jadi ke rumah sakit, Mi. Aku antar kalian pulang," ucap Dilan lalu turun. Diangkatnya terpal. Lalu setelah tengok sana, tengok sini, dia kembali melajukan mobilnya.Hening terjadi. Hinggah sampai di rumah. "Aku balik ke rumah rumah sakit duluh, Mi, ini sudah telat. Titip Dini. Sebelum Ummi pergi, aku pasti sudah pulang," ucap Dilan tanpa turun dari mobilnya. "Kamu hati-hati ya!"Dilan tersenyum, hampir menyalakan mobilnya kembali, saat Dini memanggilnya,..."Mas,..." ucap Dini malu dengan meremas tangannya. Dilan kaget dengan panggilannya."Hati-hati. Tengok belakang, barangkali mereka memukulmu dengan kayu lagi."Dilan tersekad, demikian juga dengan Ajeng. Dini seperti tak sengaja mengungkap kejadian yang dialami Bian waktu itu.Kejadian itu diceritakan Ajeng ke suaminya setelah mengantar Dini ke depan pintu kamarnya. Karena itu pulalah Ajeng kemudian menceritakan tentang Dini ke Ibra."Set
"Ayo, kejar,.. Bram!" Dengan secepat kilat, Radit, orang yang dipanggil 'bos' itu segera menyambar kunci mobilnya dan melajukan mobilnya kencang. Dilan yang tidak menyadari dibuntuti hanya berjalan biasa. Sesekali dilihatnya tisu yang tadi digunakan dia untuk mengusap peluh Dini. Seulas senyum tersungging di bibir tipisnya. Bayang wajah Dini yang memanggilnya 'Mas' terlintas di benaknya. Seandainya semuanya akan tetap seperti ini, Dini, hayalnya. Sayangnya kamu hanya menganggapku sebagai Aziel, walau aku kini telah berusaha memberi sinyal akan diriku yang sebenarnya, yang amat jauh berbeda dengan Aziel atau Bian itu."Tengok belakang ya, jangan sampai dia memukulmu dengan kayu seperti duluh." Terngiang di telinga Dilan kata-kata itu. Dilan bergidik. Betapa tragis nasibmu, Bian. Ternyata kamu meninggal dengan cara dipukul dari belakang. Dilan kemudian reflek menoleh ke belakang saat lampu merah menyala. Dia membekam mulutnya manakala dia melihat mobil hitam yang tadi siang membuntuti
Erka segera menyongsong kekasihnya dengan mendaratkan ciuman di pipinya. Walau kemudian Dilan yang di dekatnya menyenggolnya.“Dilan, kamu ngapain juga. Orang lagi asik kamu gangguin begitu,” gerutu Erka yang hanya disambut senyum oleh kekasihnya, termasuk senyum dari gadis di sebelahnya yang mashi membuat Dilan terkejut.“Emang siapa dia, enak saja kamu asal ngosor aja.”“Namanya juga pacar, ya bolehlah cuma cium pipi doang. Iya kan, Say?”Gadis itu hanya tersenyum malu dengan memandang Dilan. “Mbaknya juga, mau aja disosor begitu.”Erka ganti menyengggol Dilan. “Sono-sono, bikin ghak asik aja kamu.”Dilan menarik lengan sahabatnya itu. “Jadi sholat ghak?”“Iya, iya. ” Erka lalu menatap gadisnya. “Say, ayo sholat, mumpug ada ustaznya.”“O, dia ustaz?” tanya gadis itu.“Dia penghafal Al Qur'an, lho!” timpal Sisil dengan menatap Dilan yang kini telah mengambil air wudhu.Cewk Erka itu menatap Dilan dengan heran. Perasaan penghafal Al Qur'an ghak semodis ini. Lihat aja rambutnya yang
"Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya
"Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c
Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma
Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i
Dini baru saja menghembuskan napas lega ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh dan melihat sosok Pak Pramono tersenyum padanya."InsyaAllah ada titik terang di sidang ini. Dan kenangan ada di pihak kita," ucap Pak Pramono sambil mengusap kepalanya dengan sayang.Dini menunduk, air mata menggenang di pelupuknya. Begitu banyak hal yang telah terjadi, begitu banyak fitnah yang menimpanya. Namun kini, satu per satu kebenaran mulai terungkap."Selamat, Kak Dini!"Suara ceria Kanaya membuyarkan lamunannya. Gadis itu mendekat dengan senyum lebar, lalu memeluk Dini erat. Di belakangnya, Davin ikut tersenyum sambil mengangguk sopan."Aku tahu Kak Dini tidak mungkin melakukan semua itu. Aku percaya sejak awal," bisik Kanaya, membuat Dini makin terharu.Namun, tak semua orang menunjukkan ekspresi yang sama. Giani, mertua Dini, hanya melipat tangan di dada. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menunjukkan ketidakpuasan. Dalam hatinya, ia bergumam, "Aku pikir dia akan dipenjara selamanya."
Sekelompok pemuda pemudi datang menghampirinya."Mbak ingat kami?"Dini mencoba mengingat kembali.Seorang cewek mendekat. "Kemarin kami mau dekati Mbak, tapi saya lihat Mbak mendekati pria itu, sementara kami juga diajak ngobrol sama Pak Pramono dari kubu mana kami ini dan mau membela siapa.""Mbak, .. bukannya yang kasih minum aku ya,.." tebak Dini."Bener, Mbak. Kami mengikuti perkembangan kasus Mbak. Dari mulai Mbak diculik sampai kemarin di pengadilan. Rasanya kami berdosa jika kami membiarkan Mbak Dini hanya berjuang sendiri mengungkap hal yang seharusnya diungkap," ucap cewek itu.Seseorang datang mendekat sambil berdehem. Sepertinya dia satu diantara orang suruan Barata."Mbak Dini, sebentar ya," ucap dia permisi.Diin mengangguk dengan memperhatikan tngkah gadis yang sesekali melirik ke arahnya."Pak, tenang saja, kami tidak akan mengingkari perjanjian kita," ucap cewek itu, Ailin yang kemudian menepi dan menggiring orang yang mendekat sambil berdehem itu."Ingat, kami telah
"Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka
Dini yang menghampiri Danu, segera meneluarkan unek-uneknya. "Aku memaafkanmu, aku pikir kamu udah bener-bener insaf, Kak. Kenyataannya, kamu hanya ingin menjebakku."Danu yang tak menyukai Dilan di samping Dini, sebenar-sebentar menatap pegangan tangan mereka. "Aku tidak menjebakmu, Din. Mulanya aku justru yang ingin mengakuinya dengan ihlas. Namun melihat sikapmu yang sdelah tak perduli dengan perasaanku, aku tak bisa membuatmu melenggang begitu saja, sementara aku yang akan merasakan dinginnya jeruji besi.""Memang itu kesalahanmu, kenapa duluh kamu ghak nyadar kalau itu resikonya?""Aku ghak sengaja, Din. Kamu tau itu. itu hanya karena didorng rasa inginnnya aku memilikimu.""Aku sudah bilang mengenai hal itu kan? Aku tak bisa bersamamu.""Itu bukan alasan, Din. kalau kita bersama, rasa itu akan tumbuh, karena aku tulus mencintaimu."Dini menggelengkan kepalanya."Belum terlambat, Din. Tinggalkan lelaki itu. Aku akan mengakui kesalahanku. Aku mungkin hanya setahun dua tahun di pen
Sekelompok pemuda dan pemudi datang. Model mereka yang laki-laki kebanyakan rambutnya panjang, membuat banyak mata memperhatikan. Terlebih cara berpakaian mereka yang nyentrik."Siapa kalian? Semua ada prosedurnya. Ikuti duluh prosedurnya. Dan sidang hari ini ditunda sampai di sini duluh. Dilanjutkan besuk kembali." Pak Hakim Ketua menginstruksikan."Kami hanyalah sekelompok orang yang ingin menegakkan keadilan Pak.""Baiklah, saya hargai usaha kalian. Besuk, kalian bisa kembali ke sini lagi. Sementara itu kalian harus berhati-hati untuk menjaga diri."Seorang gadis mendekat ke Hakim Ketua. "Terimakasih banyak, Pak."Gemuruh pengunjung sidang merasa kecewa karena sidang harus dilanjutkan besuk. Mereka penasaran dengan sekelompok pemuda pemudi yang datang ingin menjadi saksi.Sementara Pramono dan pengacaranya mendekati sekelompok pemuda dan pemudi yang datang hendak menjadi saksi. Kanaya yang selalu di dekat papanya ikut mendekat. Perbincangan pun terjadi diantara mereka."Kalian sia