Share

Bab 09. Panggil aku Ummi,..panggil aku Ummi!

"Dia siapa, Dilan?" tanya Ajeng curiga. Hidung mancung itu, bulu mata lentik itu, rambut indah bergelombang hitam legam itu,...

"Ya, dia ini istriku sekarang, Mi."

"Maksud Ummi, siapa namanya?"

"Dini Yasmin, Mi. Kenapa?"

Ajeng mundur selangkah setelah dia berdiri mendekati Dini. Bayangan gadis yang terbangun dengan airmata mengalir hampir setahun yang lalu, terlintas kembali.

"Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku," ucap Ajeng waktu itu. Namun gadis itu tak pernah memanggilnya sama sekali, bahkan sampai Ajeng berpamitan dan meninggalkan rumah itu, dia tak pernah merespon ucapannya. Dia hanya terdiam dengan sesekali airmata mengalir di pipinya yang tembem. Benarkah dia Dini yang sama?

"Ummi, mau di sini? Dilan keluar nyapa Abi."

"E,...i,..iya."

Dilan sejenak tertegun. Melihat reaksi umminya dia merasa ada sesuatu yang terjadi. "Tolong jaga dia, Mi."

Sampai di luar, Dilan sudah disambut pelukan oleh Ibra. Lelaki yang sudah seperti ayah bagi Dilan itu bahkan menepuk-nepuk punggungnya.

"Kenapa Shania tak ikut, Bi?" tanya Dilan yang baru menyadari kalau Shania tidak berada diantara mereka.

"Dia kan di pondok, Dilan. Baru juga kelas IX."

"O, iya, lupa." 

" Cuma ghak di pondok yang sama kayak kamu dan Bian duluh. Katanya takut setelah kejadian yang menimpa Bian."

"O, ya,... Ib, apa yang membunuh Bian sudah ditangkap?" tanya Pramono.

"Sampai sekarang belum tau siapa yang membunuhnya. Kasusnya seperti ditutup begitu saja. Sepertinya pelakunya orang besar, sedangkan saksi juga tak ada. Satu-satunya yang tau kejadian yang menimpa anak saya hanya gadis itu. Sedangkan gadis itu tak bisa dimintai keterangan apa-apa. Sejak kejadian itu dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya diam dengan sesekali meneteskan airmata."

"Kamu sudah laporkan ke polisi 'kan?" sela Giani.

"Sudah, Mbak. Tapi jawaban mereka tak memuaskan. Sepertinya mereka enggan menyelidiki kasus ini," Ibra menghela nafas panjang, "penyesalan memang datang belakangan. Kalau saja saya mengizinkan Bian menikahi gadis itu, mungkin tak seperti itu kejadiannya. Pikirku mereka masih anak-anak, belum mengerti apa makna pernikahan. Biar selesaikan sekolah duluh. Saat itu Bian sudah positif dapat beasiswa prestasi dari Al Azhar."

"Anakmu itu tipe orang yang serius, apa yang diinginkannya harus tercapai," ucap Pramono.

"Entah bagaimana ceritanya, sampai malam-malam mereka janjian keluar di dekat bumi perkemahan itu. Padahal Bian orangnya teguh agama, dia tak mungkin melakukan yang tidak-tidak dengan hanya berdua malam-malam kalau tidak karena terpaksa."

Dilan hanya mencerna cerita abinya. Mereka selama ini memang jarang berinteraksi dengan keluarga abinya itu. Saat kejadian itu pun mereka hanya datang mengungkapkan bela sungkawa ke Yogyakarta, tempat tinggal abinya. Itu pun keadaan amat berduka. Jangankan bercerita panjang lebar, umminya bahkan tak bisa menemuinya karena mengurung diri di kamar. Abinya juga tak bisa banyak berkata-kata. Kabut benar-benar menyelimuti keluarga itu dengan kepergian Bian yang tragis, dipukul orang di tengkuknya yang berakibat fatal sampai hilangnya nyawa.

"Berarti jalan satu-satunya hanya gadis itu. Apa kamu pernah menemui dia lagi?"

"Tidak, Mas. Umminya tak sanggup melihat gadis itu yang mengingatkan dia pada Bian."

"Tapi apa kamu rela anakkmu tak mendapatkan keadilan? Yang membunuhnya bahkan enak-enakan menikmati kebebasan?" 

"Kalau dia saksi kunci, berarti gadis itu dalam bahaya," ucap Dilan terlenguh. "kesembuhannya berarti tidak diharapkan.'

"Sepertinya begitu Dilan."

"Terus, ini Abi cuma ke sini saja, atau mau ke sana, ceritanya?"

Ibra tersenyum. "Maunya sih mau ke sana, tapi transit duluh di sini. Ghak taunya kamar Ajeng dipakai pengantin baru."

"Pengantin baru apaan, Dik?" sela Giani. "La, itu orang gila di Menur di bawa kemari."

"Mama,.." Pramono tak enak hati melihat Dilan.

"Memang aku salah?"

"Orang gila bagaimana, Mbak?"

"Dini memang mengalami goncangan jiwa, Bi. Dia masuk rumah sakit jiwa di bawa ibunya. Karena saya memang mencintainya, saya menikahinya dengan harapan dia akan sembuh."

"Yang kamu harapkan juga palsu. Kalau sembuh dan dia tak mencintaimu? Bukankah kamu sudah bilang, duluh dia amat membencimu, lalu apalagi yang kauharapkan?"

"Setidaknya aku memberinya kesembuhan, Ma. Dan itu sudah cukup bagi aku."

"Cinta kamu emang kebangetan. Mama bantu do'a biar anak itu cepat sembuh. Mama yakin dia akan kembali membencimu. Dengan begitu Mama tak repot-repot memisahkan kalian."

"Mama,... do'a Mama kebangetan ya."

"Mas, saya permisi duluh," ucap Ibra tak enak hati dengan suasana panas yang terjadi.

Ibra membuka pintu kamarnya dan berusaha istirahat setelah perjalanan jauh yang mereka tempuh. Namun dia belum mendapati Ajeng di kamarnya. Ah, mungkin Ajeng lagi ke dapur atau keliling-keliling rumah ini, gumannya. Dia memang tidak tau kalau istrinya itu kini tertidur di sisi Dini. Dilihatnya rumah itu masih sama. Hermawan, ayah Ajeng dan Giani memberikan rumah itu ke Dilan agara mereka tak putus silaturrahmu karena Dialan sudah seperti anak bagi Ajeng.

Dilan yang masuk kamar mendapati umminya yang tidur bersisian dengan Dini merasa ada yang lain. Namun Dini yang kemudian bangun, menunjukkan jarinya ke arah ranjang, dimana seorang wanita berhijab tengah tertidur.

"Dia saudara Mama, namanya Ummi Ajeng."

"Ummi?" Dini memegang kepalanya, sepertinya dia mengingat sesuatu. "Panggil aku Ummi,...panggil aku Ummi!"

Dini terhuyung. Dilan menangkap tubuhnya. "Kamu kenapa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status