Share

Bab 08. Lepaskan Diniku.

Dilan dengan tak sabar mencari keberadaan Dini. Dia seperti orang yang sudah kesurupan. Baru juga dia beranjak pergi ke taman di belakang, dia menemukan makanan yang tercecer di bawah dekat meja makan. "Ternyata kamu kelaparan, Din," gumannya pelan. Dilan merasa bersalah, kenapa dia tak menyediakan roti atau apa di kamarnya.

Dilan kembali mencari keberadaan Dini dengan ke taman belakang. Terdengar raungan menyayat. Dilan yang tidak menyangka sama sekali mendekat. Menarik pria yang tak lain adalah adiknya sendiri dari tubuh Dini yang ditindihnya di balai dekat taman. Dipukulnya keras pria yang tubuhnya lebih besar dari dirinya itu hinggah terjungkal.

Dini yang ketakutan segera menghambur memeluk Dilan.

"Bisa-bisanya kamu melakukan ini. Tidak taukah kamu siapa dia?" 

"Dia hanya wanita gila yang kaubawa kemari." Dengan sempoyongan Davin memegangi bibirnya yang keluar darah

"Yang kausebut wanita gila itu istriku, Davin!"

Ramai yang terjadi membuat Ima dan Sekar yang kamarnya dekat taman, berlarian menghampiri. Sekar kemudian memanggil majikannya.

"Kamu bikin ulah apa, Davin?" tanya Pramono.

"Davin, bibirmu berdarah. Siapa yang melakukan ini?"

"Menurut Mama siapa kalau bukan aku?" Dilan lalu merangkul Dini yang pakaianya tercabik dan menampakkan bagian atasnya yang robek. 

"Belum apa-apa kamu sudah buat onar di sini. Dasar wanita gila!" 

"Bisa-bisanya Mama membela Davin dengan mengatai Dini seperti itu? Kesalahan apa yang dibuat Dini hinggah dilecehkan seperti ini?"

"Dia yang pasti menggoda Davin."

"Mama sadar ghak sih, siapa Dini?  Jangankan dia memikirkan menggoda pria, memikirkan dirinya sendiri saja dia tak mampu." Dilan lalu memapah Dini ke kamarnya. Dipeluknya Dini erat. Mata elang yang biasa berpijar ceria itu kini buram dengan air yang siap tumpah di sudutnya.

"Maafkn, Mas,...Din. Mas tidak bisa menjagamu."

"Dini takut!" 

"Maafkan, Mas." Dilan sudah tak kuasa lagi membendung airmatanya. 

Terdengar bunyi di perut Dini. "Kamu lapar?"

Dini mengangguk.

"Barusan Subuh, kita sholat duluh, ya,.. habis itu kita makan di luar sambil jalan-jalan."

Dini mengangguk. Dia bahkan mengambil pakaian untuk ganti dengan membawanya ke kamar mandi. 

Dilan menatap Dini yang keluar dengan segar. Direngkuhnya kembali Dini.

"Mandi juga, ya,..kamu bau habis mukuli orang."

Dilan terkekeh mendengar kata-kata Dini

"Mau makan nasi pecel?" tanya Dilan setelah mereka sampai di warung.

"Kamu kenapa?" tanya Dilan dengan mengusap airmata Dini dengan ujung jarinya saat makanan disajikan.

"Ibu."  Dini teringat ibunya. Makanan seperti inilah yang bisa Dini dapati di rumahnya.

"Makanlah, kamu harus makan dengan kenyang agar tak kurus kerempeng seperti itu. Kapan-kapan kalau Mas ada libur lumayan, kita bisa dolan ke Ibu. Biar  Ibu senang kalau lihat kamu seger."

"Emang kamu juga pingin aku gendut?"

"Ya, ghak gendut-gendut amat sih, yang penting seger saja," ucap Dilan sambil merangkul Dini. "biar aku makin,.." Dilan mengerlingkan matanya.

"Tuh, kan, jadi orang lain lagi. "

Dilan terkekeh. Dia sudah tak ingin menggantikan pribadinya dengan menjadi orang kalem seperti Aziel. 

"Bagaimana? Enak ghak pecelnya?"

"Heem. Enak. Kayak masakan Ibu," ujar Dini dengan masih mengunyah makanan di mulutnya dengan belepotan. Dilan mengambil tisu dan mengelap mulut di depannya dengan tersenyum geli. Apapun yang dilakukan Dini, bagi Dilan, lucu saja. 

Dilan mengajak Dini mampir di toko roti yang tak jauh dari mereka makan. Dia ingat Dini yang tadi malam kelaparan sampai keluar dari kamarnya. Kembali Dilan teringat kejadian malam itu. Walau  Davin tak sadar karena dalam pegaruh alkohol, Dilan menjadi kuatir dengan Dini.

Dilan keluar dari mobilnya setelah mereka sampai di rumah. Belum juga dia mengeluarkan Dini, dia sudah dikejutkan dengan wanita yang kini tengah duduk-duduk di depan rumahnya.

"Ummi,... kapan Ummi datang? Kenapa ghak bilang-bilang?"

"Biar kejutan untuk kamu," ucap Ajeng lalu menyambut uluran tangan Dilan dan membiarkan pemuda jangkung itu mencium tangannya.

"Kamu ya, bisa-bisanya menikah ghak kasih kabar ke Ummi," diacaknya rambut Dilan. Sekilas Ajeng terdiam, diingatnya kembali anaknya yang hampir setahun meninggalkannya. Sosok Dilan, walau berbeda karakter, mengingatkan dia pada Bian,... Biandra Azierul Alam.

"Semuanya tak normal seperti layaknya pengantin biasa, Ummi. Jadi Dilan tak berani berkoar-koar. Dilan hanya menunggu dia sembuh. Setelah itu, entah apa yang terjadi, lihat saja nanti."

"Maksud kamu apa?"

"Dia duluh teramat membenci Dilan, Mi." 

"Lalu sekarang di mana gadis itu? Setidaknya kenalin ke Ummi."

Dilan terkekeh. Dia baru menyadari, selama itu dia membiarkan Dini di dalam mobilnya. Dilan kemudian beranjak ke mobilnya, membuka pintunya pelan. Ternyata Dini sedang tidur. Kembali Dilan mengeryitkan dahinya. Apa karena kejadian semalam dia kini tertidur, atau karena sesuatu? Tidurnya begitu lelap seperti orang kecapean.

"Dia ketiduran, Mi."

Ajeng terkekeh. "Ghak usah dibangunin, Dilan. Kamu angkat saja dia ke dalam kamar, biar dia lanjutkan tidurnya."

Dilan mengeluarkan Dini dan mengangkatnya. Melewati rumahnya dengan tersenyum menyapa kepada Ibra, suami Ajeng yang dipanggilnya Abi, yang kini tengah bercakap-cakap dengan mama dan papanya.

Ajeng yang mengikuti Dilan ke kamar, terlihat kaget dengan wajah gadis yang kini telah ditidurkan Dilan. Wajah itu, walau hanya sekali dia pernah bertemu dengannya, Ajeng seperti tak merasa asing. Bahkan dia duluh juga menunggu dia membuka mata dengan posisi tidur seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status