"Kamu kenapa?" Dilan meraih tubuh Dini yang terhuyung.
"Kepalaku agak berat, aku seperti pernah mendengar orang menyuruhku memanggilnya Ummi."
Dilan tertegun. Dia tau Dini sedang mengingat sesuatu. Namun Dilan tak ingin membuat Dini stres dengan memikirkan apa yang knii tengah di kepalanya.
"Tenangkan dirimu, Din. Kamu tak perlu bersikeras mengingat semuanya. Nanti juga kamu akan mengingat dengan sendirinya," ucapnya lembut dengan mendudukkan Dini dengan tenang.
Dilan mengambil air dan meminumkannya ke Dini. Saat dirasa Dini sudah tenang, Dilan menyodorkan roti untuknya. "Lapar?"
Dini mengangguk, lalu memasukkan roti begitu saja ke mulutnya.
"Dini, pelan-pelan," tegur Dilan.
"Habis lapar banget setelah bangun tidur."
"Nanti tersedat. Tuh, mulut kamu belepotan coklat." Dilan mengelap mulut Dini dengan ujung jarinya. Dipandanginya gadis di depannya dengan lekat. Dini pun makin mendekat hinggah wajah mereka menjadi tak berjarak. Tak terasa bibir mereka menyatu.
"Jadi benar dia Dini Yasmin yang Ummi kenal?" tanya Ajeng begitu dia melihat Dini.
Dilan terkejut dengan suara yang datang tiba-tiba dari belakang mereka. Terlebih karena dirinya yang di luar kendali mencium Dini tanpa mengingat jika di kamar ini juga ada orang lain.
Dini menunduk malu. Terlebih saat Ajeng yang kemudian mendekatinya dengan menelisik dirinya dengan duduk, berjongkok di hadapan gadis itu. Disibaknya rambut indah itu untuk melihat wajahnya. Benar, benar, kamu Dini Yasmin yang Ummi kenal, gumannya lirih.
Dilan memperhatikan umminya dengan penuh tanda tanya. Terlebih saat dilihatnya Ajeng yang segera memeluk Dini dengan tangisnya yang pecah, sementara Dini hanya termangu.
"Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku." Diucapnya kembali kata-kata itu di telinga Dini. Membuat gadis itu terkesiap dengan mengurai pelukan Ajeng dan menatapnya.
"Panggil aku Ummi, Dini. Aku umminya Aziel." Kembali Ajeng mengatakan itu dengan airmata yang berderai.
Dini menatap Dilan yang termangu tak percaya. Betapa sempitnya dunia. Dia tak pernah menyangka, orang yang dicintainya ternyata adalah cinta mati Bian yang dikenal Dini dengan Aziel.
"Dia, dia,.. memang ummiku, Dini," ucap Dilan tergagap menjawab wajah Dini yang penuh tanda tanya menatapnya.
"Pak Kyai yang memanggil Bian dengan nama Aziel, katanya biar ghak kebarat-baratan." Ajeng menjelaskan ke Dilan. kenapa Dini mengenal Bian dengan Aziel, bukan Bian seperti keluarga mereka yang memanggil.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Ummi? Tadi di depan kami baru saja bahas orang yang membunuh Bian yang kasusnya seperti ditutup begitu saja. Dan Dini?" Dilan memandang Dini lalau mendekapnya.
Ajeng menatap Dilan.
Dilan kembali memandang Dini yang menatapnya dengan bingung di dekapannya. "Jadi Dini yang menjadi saksi kunci pembunuhan Bian?"
Ajeng mengangguk. Tangannya masih membelai rambut Dini dengan begitu sayangnnya. Dia memang melihat Bian kembali dengan menatap wajah gadis di depannya. Walau Dini terlihat bingung dengan hanya menatap Dian dan Ajeng bergantian.
Dilan mulai cemas. Kesembuhan Dini yang dia harapkan walau setelah itu dia tak dapat berharap lebih, namun juga kecemasan menghantui dirinya jika yang membunuh Bian mengetahui Dini sembuh dan akan berbuat sesuatu kepada Dini.
"Akhirnya tanpa ke sana, Ummi sudah menemukanmu." Kembali Ajeng memeluk Dini yang masih terpaku dengan ingatannya setelah mengurai dekapan Dilan. Dia memang tak pernah ingat wajah di depannya. Karena pikirannya telah pergi sejak kepergian Aziel. Satu yang terlintas di pikirannya hinggah sekarang, hanya satu kata,.. panggil aku Ummi, seperti Aziel memanggilku!
"Benar, dia ummimu, Aziel,.. e,.. Mas?" tanya Dini dengan ragu.
"Dia memang ummiku, Dini."
Dini lalu menghambur ke pelukan Ajeng. Ajeng makin sesenggukan mendekapnya dan menciumi gadis di depannya. "Anakku telah kembali, anakku telah kembali," ucap Ajeng lirih. Dia memang merasa seolah-olah kini telah memeluk Bian.
Ada yang tiba-tiba terselip di hati Dilan saat melihat umminya memluk Dini dengan mengatakan semua itu, seolah-olah dia hanya sebuah alat untuk menutupi semuanya dan hanya sebatas sandiwara. Hati Dilan merasa ciut melihat kini seolah Dini ada untuk Aziel, bukan untuk dirinya.
"Dilan, bisakah kamu simpan rahasia Dini ini ada diantara kita saja?"
Dilan menatap umminya dengan heran. "Kenapa begitu, Ummi?"
"Kenapa begitu, Mi?"
"Entah kenapa Ummi sangat menghawatirkan dia." Kembali wanita dengan hijab panjang itu membelai wajah ayu Dini. "biarkan dia sembuh, setelah itu kita susun langkah selanjutnya,"
"Termasuk tidak mengatakan ke Abi?"
"Biar nanti saat sampai di rumah, Ummi akan cerita semuanya."
"Bagaimana Ummi akan mengatakan untuk tak jadi ke desa Dini, bukankah maksud Abi ke sini untuk mengajak Ummi ke sana, melihat kondisi Dini dan ke makam Bian di pondok?"
"Itu bisa Ummi jelaskan nanti," katanya sambil mengelus kepala Dini. Dia kemudian bangkit, "baiklah, Ummi akan istirahan sebentar di kamar sebelah, Ummi akan tidur nyenyak sekarang. Melihat Dini kembali, seolah Ummi melihat Aziel di mata lembutnya."
Dilan tertegun. Mata Bian memang selembut mata Dini, pikirnya dengan sedikit cemburu terselip.
Setelah Ajeng keluar, Dilan hanya terdiam, berkecamuk dengan pikirannya yang tak tentu. Dari duluh dia sudah tau tentang Dini yang mencintai orang lain, namun kenapa hatinya kini tersayat setelah mengetahui orang itu bukan orang lain, tapi orang yang telah dianggap seperti adiknya sendiri. Mereka sempat bersama selama beberapa tahun. Bian yang seusia Kanaya membuat Dilan merasa dialah yang justru adiknya. Yang suka dia goda sampai menangis. Hinggah Dilan harus pergi dari rumah untuk meneruskan keinginannya menjadi orang seperti Ibra yang menghafal Al Qur'an, dia meninggalkan adik yang sudah bisa diajak main bola itu dengan berat hati."Kamu pingin jadi muballigh kayak abimu?" saat itu mamanya sempat menentang keinginannya. Namun sang kakek, Hermawan, malah mendukungnya."Setidaknya kamu bisa belajar banyak tentang Al Qur'an duluh, biar nanti jadi pengusaha jadi pengusaha yang jujur," kata opanya waktu itu.Namun harapan opanya tidak juga dipenuhi Dilan. Saat dia pulang, dia mendapati
Semua yang di meja makan terlongo, terlebih Dilan."Apa maksud dari kata-kata Dini, Ma?""Ya, ghak tau, tanya aja ke orangnya," kata Giani dengan segera beranjak dari meja makan. Wajahnya sempat tegang dengan kata-kata yang ditinggal Dini. Namun bukan Giani kalau tak pandai berkelit.Imah yang beres-beres di dekat meja makan, menunduk merasa dilihat Dilan."Bu,..""Saya tak tau apa-apa, Den.""Baik, kalau kalian tak ada yang mau menjelaskannya. Suatu saat aku akan mendapat jawaban." Langkah Dilan menuju kamar dimana Dini berada.Dilihatnya Dini yang tiduran menelungkupkan wajahnya."Din, kamu kenapa?" Dilan memegang tangan Dini yang menutupi wajahnya."Lepas, lepaskan aku. Jangan sentuh aku!" teriak Dini, "kau pasti akan mengambil Azielku kembali.""Din,..!" Dibalikkannya wajah gadis itu, dan dipeluknya hangat, " ini aku Aziel, kamu masih bersamaku," ucapnya dengan hati yang tersayat karena mengakui dirinya adalah Aziel.Dini yang merasa orang yang memeluknya adalah Aziel, dia menumpa
"Kamu jadi pulang nanti sore, Jeng?" tanya Giani. Bagaimanapun juga Ajeng adalah adik satu-satunya. Dan dia amat menyayangi Ajeng."Iya, Mbak. Sebenarnya masih ingin lama di sini, tapi pekerjaan abinya ghak bisa ditinggal lama. Kami baru saja membuka cabang baru.""Hebat suami kamu. Ghak nyangka seorang muballigh kemudian menjadi pengusaha. Pengusaha yang ada hubungannya dengan pekerjaan lamanya.""Heem, Mbak. Mulanya diusuli teman-temannya untuk membuka jasa haji dan umroh. Ghak taunya yang percaya Abi amat banyak. Mereka yang membuat usaha kami maju." Sekilas Ajeng mengingat Bian yang telah mengutarakan maksudnya untuk mengelola travel cabang setelah menikahi Dini, namun tidak dihiraukan mereka."Coba kalau anakmu masih ada, akan ada yang membantu kalian mengelola usaha, jadinya Ibra ghak lari-lari dikejar kerjaan." Ajeng terdiam. Luka itu kembali menganga."Ummi!"Ajeng menoleh. Lalu menyunggingkan senyumnya melihat gadis cantik yang tengah memanggilnya tersenyum."Lho, ini,... ad
"Mbak, tolong yang dipakai menekin itu untuk istri saya." Dilan berusaha menuruti apa kemauan Dini. Sesekali dia melihat kembali ke arah orang itu. Dilan celingukan, namun merasa lega. Mereka telah pergi. Mudah-mudahan itu hanya sangkaanku belaka. Bukan apa-apa."Kami bisa ambil di stok, Pak. Tinggal tanya ukuran mbaknya berapa." Penjaga distro itu mencoba menawar."Maaf, Mbak, yang diinginkan dia di makenin itu. Nanti saya bayar lebih untuk Mbak. Tolong! Mbak tau sendiri bagaimana istri saya, jadi tolong dimaklumi." Dilan sampai memohon.Pramuniaga yang kerap melihat tingkah Dini yang menurutnya aneh itu kemudian tersenyum dan paham. Dengan merasa kagum pada Dilan. "Baiklah, Pak. Ditunggu ya?""Terimakasih, Mbak. Maaf merepotkan.""Dia benar-benar gadis beruntung. Seperti itu dapat orang tajir, tampan pula," bisik salah seorang pramuniaga itu."Hust, jaga bicaramu. Nanti mereka denger.""Cowok itu kelihatan sayang banget, jadi ngiri," ujar yang satunya."Nanti mbaknya juga akan dap
"Mereka pergi! Mereka pergi!" Dini menunjuk dari cela yang dari tadi dia lihat."Kita ghak jadi ke rumah sakit, Mi. Aku antar kalian pulang," ucap Dilan lalu turun. Diangkatnya terpal. Lalu setelah tengok sana, tengok sini, dia kembali melajukan mobilnya.Hening terjadi. Hinggah sampai di rumah. "Aku balik ke rumah rumah sakit duluh, Mi, ini sudah telat. Titip Dini. Sebelum Ummi pergi, aku pasti sudah pulang," ucap Dilan tanpa turun dari mobilnya. "Kamu hati-hati ya!"Dilan tersenyum, hampir menyalakan mobilnya kembali, saat Dini memanggilnya,..."Mas,..." ucap Dini malu dengan meremas tangannya. Dilan kaget dengan panggilannya."Hati-hati. Tengok belakang, barangkali mereka memukulmu dengan kayu lagi."Dilan tersekad, demikian juga dengan Ajeng. Dini seperti tak sengaja mengungkap kejadian yang dialami Bian waktu itu.Kejadian itu diceritakan Ajeng ke suaminya setelah mengantar Dini ke depan pintu kamarnya. Karena itu pulalah Ajeng kemudian menceritakan tentang Dini ke Ibra."Set
"Ayo, kejar,.. Bram!" Dengan secepat kilat, Radit, orang yang dipanggil 'bos' itu segera menyambar kunci mobilnya dan melajukan mobilnya kencang. Dilan yang tidak menyadari dibuntuti hanya berjalan biasa. Sesekali dilihatnya tisu yang tadi digunakan dia untuk mengusap peluh Dini. Seulas senyum tersungging di bibir tipisnya. Bayang wajah Dini yang memanggilnya 'Mas' terlintas di benaknya. Seandainya semuanya akan tetap seperti ini, Dini, hayalnya. Sayangnya kamu hanya menganggapku sebagai Aziel, walau aku kini telah berusaha memberi sinyal akan diriku yang sebenarnya, yang amat jauh berbeda dengan Aziel atau Bian itu."Tengok belakang ya, jangan sampai dia memukulmu dengan kayu seperti duluh." Terngiang di telinga Dilan kata-kata itu. Dilan bergidik. Betapa tragis nasibmu, Bian. Ternyata kamu meninggal dengan cara dipukul dari belakang. Dilan kemudian reflek menoleh ke belakang saat lampu merah menyala. Dia membekam mulutnya manakala dia melihat mobil hitam yang tadi siang membuntuti
Erka segera menyongsong kekasihnya dengan mendaratkan ciuman di pipinya. Walau kemudian Dilan yang di dekatnya menyenggolnya.“Dilan, kamu ngapain juga. Orang lagi asik kamu gangguin begitu,” gerutu Erka yang hanya disambut senyum oleh kekasihnya, termasuk senyum dari gadis di sebelahnya yang mashi membuat Dilan terkejut.“Emang siapa dia, enak saja kamu asal ngosor aja.”“Namanya juga pacar, ya bolehlah cuma cium pipi doang. Iya kan, Say?”Gadis itu hanya tersenyum malu dengan memandang Dilan. “Mbaknya juga, mau aja disosor begitu.”Erka ganti menyengggol Dilan. “Sono-sono, bikin ghak asik aja kamu.”Dilan menarik lengan sahabatnya itu. “Jadi sholat ghak?”“Iya, iya. ” Erka lalu menatap gadisnya. “Say, ayo sholat, mumpug ada ustaznya.”“O, dia ustaz?” tanya gadis itu.“Dia penghafal Al Qur'an, lho!” timpal Sisil dengan menatap Dilan yang kini telah mengambil air wudhu.Cewk Erka itu menatap Dilan dengan heran. Perasaan penghafal Al Qur'an ghak semodis ini. Lihat aja rambutnya yang
"Cepatlah, Den! Kasihan Den Dini." Ima terisak di depan kamar Dini dengan tergopoh menyongsong Dilan yang baru datang."Dasar gadis tak tau diri! Bisa-bisanya kauundang anakku ke kamarmu." Terdengar Giani memarahi Dini."Kamu memang sudah dibutakan dengan kasih sayangmu. Kamu tak pernah berfikir mana yang benar dan mana yang salah." Keras kata-kata yang dilontarkan Pramono ke istrinya sambil berusaha mengambil selimut untuk menyelimuti Dini yang ketakutan meringkuk di pojok kamar.Dilan yang datang segera menyelinap papanya. Memeluk Dini yang ketakutan dan menyelimutinya dengan selimut yang tadi mau dipakaikan papanya ke Dini. Pakaiannnya compang camping. Bibirnya yang memakai lipstik tampak belepotan kesana kemari. Dilan segera mengambil tisu di mejanya dan mengelap bibir Dini dengan tisu tersebut. Nampak airmata berurai tak berhenti dengan wajahnya yang ketakutan.Dialn menatap Davin dengan marahnya. "Kapan hari aku memaafkanmu karena pikirku benar seperti saat kamu minta maaf, ba
Dilan masih mendekap Dini yang terisak dalam pelukannya. Dilan memang tak habis pikir, apa yang terjadi dengan Dini. "Apa kamu takut dengan menjadi saksi ini?"Dilan mencoba menerka. Dini menggeleng. Kembali mendongak ke wajah Dilan yang kini telah mendaratkan kecupan di keningnya. "Kamu jangan takut, Din, aku akan selalu ada di sampingmu. aku akan terus mendampingimu, apapun masalah yang kauhadapi."Aku tidak takut soal itu," jawab Dini pelan."Lalu apa?"Dini masih diam dan sesenggukan."Apa ini ada hubungannya dengan ucapanmu di meja makan tadi?" Dilan mendaratkan ciumannya di ubun-ubun Dini. Bau segar rambut Dini membuatnya lebih lama dengan memejamkan matanya. "jika sampai rumah ini sudah tidak boleh kita tempati lagi, aku janji akan membelikanmu rumah dengan menyicil KPR, atau mungkin beli tanah kapling duluh. Aku ada tabungan kalau hanya untuk tanah satu kapling. Kita akan bangun rumah, walau rumah kecil ghak apa-apa, asal kita selalu bersama. Yang penting tamannya aja banyak b
"Din, kamu kenapa, aku perhatikan sejak kamu dari kamar atas tadi kok diemi aku?" tanya Dilan, namun Dini hanya diam dengan terus menjalankan sholat Maghrib tanpa mengajak Dilan jamaah."Ghak nunggu aku dari kamar mandi, Din? Kita jamaah Maghrib."Dini langsung mengangkat tangannya dengan memulai takbir.Dilan lalu meninggalkannya dengan bergegas mengambil mandi sekalian. Saat dia keluar dari kamar mandi, dia hanya mengenakan handuk dengan dililitkan di pinggangnya. Rambutnya yang tampak basah indah terjuntai di wajahnya, sekilas membuat debar di hati Dini yang memandangnya, terlebih saat melihat tubuh Dilan. Dini lalu meninggalkan kamarnya menuju dapur. Kenapa pikiranku jadi ngeres begini saat melihatnya? rutuk Dini."Masak apa, Bu? Harum sambal terasinya kok sudah tercium?" Dini mendekati Ima yang tengah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Ima hanya tersenyum. Dini lalu membuat teh hangat. Menyiapkan semuanya di meja makan dekat mini bar.Ajeng dan Ibra menuruni tangga. Tampak ju
"Dasar wanita gila!" umpat Giani yang takut siapa Dini bagi Dilan, diketahui Sisil. Dia memang sama sekali tidak menyangka gadis itu akan kembali ke rumah ini. Bahkan dengan sikap yang kini jauh dari yang dia duga. Saat kapan hari Sisil yang menunggu Dilan dari siang di rumahnya, sampai mendekati malam, dia hanya berfikir untuk membawanya ke rumah ini. Dia sendiri juga khawatir akan keadaan Dilan yang dari kemarin tak aktif handphone-nya, setelah terjadi pertengkaran dengannya kapan hari. Terlebih saat dia dibilangi Sisil, kalau Sisil sendiri tak bisa menghubungi Dilan.Dini yang mengurung dirinya di kamar atas, merasakan hatinya amat suntuk. Dia bahkan tidak keluara sampai terdengar bunyi mobil yang beranjak pergi dari halaman rumahnya.Dari balkom dia mencoba melihat, ternyata sedan mewah yang dikendarai gadis itu telah pergi. Dini menghela nafas panjang. Syukurlah mereka telah pergi, guman Dini sambil merebahkan dirinya ke tempat tidur. Dini baru menggulir handphone-nya saat terden
Giani, orang yang pertama turun dari sedan itu segera menghampiri Dini. Pandangan matanya menelisik tajam ke Dini. Dalam hati dia memang mengakui betapa cantik gadis tinggi semampai yang kini tubuhnya terlihat lebih berisi dan segar. Wajahnya pun nampak makin ayu dengan bedak ringan dan goresan tipis lipstik warna nude. Namun kebencian yang memuncak sampai ke ubun-ubun, mengalahlan kekagumannya."Kenapa kamu kembali? Siapa yang menyuruhmu? Bukankah aku telah menyuruhmu pergi dari kehidupan anakku?" tanyanya bertubi-tubi tanpa jeda.Dini menatap tajam wanita di depannya. Cukup sudah selama ini dia menginjak harga diriku, bahkan saat itu mengusirku dengan semena-mena, bathin Dini."Kenapa kamu kembali? Budeg ya, kamu?" Giani tidak sabar dengan kediaman Dini. Kembali dia mengeluarkan kata-kata kasarnya."Biasanya orang yang suka teriak-teriak yang budek, Tante." Dini berjalan mendekatinya, meninggalkan bunga anggreknya. "benar kan saya harus memanggil Tante, seperti keinginan Anda?"Gian
"Hentikan, Danu, apa yang akan kaulakulan dengan pisau buah itu. Kamu mau bunuh papamu?" Tantri ketakutan melihat putra tunggalnya mengacungkan pisau."Itu keenakan untuk Papa jika aku membunuhnya. Aku hanya ingin menghabisi diriku sendiri. Biar Papa sama Mama akan menekuri hari tua sendirian. Bukankah itu lebih menyakitkan?" Danu kemudian tertawa."Dasar anak tidak tau diuntung!" Barata memegangi dadanya setelah Danu meletakkan pisaunya."Sekali lagi Danu tegaskan,... jangan kembali mengusik hidup Dini." Danu pun pergi dengan menyambar kunci mobilnya yang sempat terjatuh.Tantri mendekati suaminya. "Papa tidak apa-apa?" Dia lalu mengambil air minum untuk suaminya.Barata meminum hingga tandas air di gelasnya.Tantri duduk di samping Barata, mencoba menenangkan dirinya meski tangannya masih gemetar. "Kita harus bicara lagi dengan Danu, Pa. Dia semakin sulit dikendalikan," katanya dengan suara rendah. "Setip kita membicarakan tentang Dini, dia akan cepat menanggapi, kita harus hati-hat
"Assalamualaikum, Kak!" Dini memulai telponnya dengan salam."Waalaikum salam, Mel. Gimana, jadi dijemput kapan? kamu sudah selesai liburannya?" tanya seorang pemuda di sebarang sana."E, begini, Kak. Ada persoalan baru yang membuat aku harus kembali ke rumah kami. " Dini menjeda ucapannya merasa tak enak ke Haidar setelah apa yang telah diungkapkan umminya kapan hari. "aku harus menyelesaikan persoalanku duluh, Kak. Aku tak boleh lari dari kenyataan.""Maksudnya apa, Mel?""saya harus memberi Aziel keadilan dengan menjadi saksi atas kematian Aziel.""Kamu ghak apa-apa? Kamu siap?""InsyAllah, Kak. Doaian ya," ucap Dini."Baiklah, Mel. Memang harus itu yang kamu hadapi.""Tapi aku tidak bisa sebebas dulu untuk kerja di tempat Kakak. Setelah aku bersedia menjadi saksi, otomatis hari-hariku harus selalu waspada. Dan sepertinya aku hanya bisa tinggal di rumah kami, utitu pun kayaknya kau harus pakai penjaga.""Rumah kami?" Tak sengaja Haidar mengulang kata Dini soal rumah."E, maksudku r
"Kamu suadh lama di situ, Din?" tanya wanita itu dengan sudah menatap Dini dengan senyumnya yang menyejukkan.Sapaan itu membuat Dini reflek menoleh. Sisa air matanya segera dia habus dengan menunduk. Alisnya bertaut, berusaha mengingat siapa wanita yang kini telah di depannya. Diingatnya wajah itu seperti pernah dia lihat." Aku Ajeng, umminya Aziel, Dini." Wanita yang paham dengan kebingungan Dini itu menjelaskan.Selintas kembali Dini teringat wanita itu pernah menyuruhnya memanggil 'ummi'. Dini berdiri dan menyalaminya. Lalu mengatupkan kedua tangannya ke dada untuk Ibra yang juga tengah memamerkan senyumnya untk Dini.Dini bergeser. Mereka lalu duduk di depan makam Aziel. Sejenak mereka kemudian membisu, khususnya kedua orang tua Aziel yang sibuk melantunkan do'a untuk Aziel."Jangan kautangisi Aziel, Din. Dia telah bahagia di sana,' ucap Ibra."Tapi Dini belum bias membantu Aziel mendapatkan keadilan."Ajeng menatap Dini setelah menyelesaikan do'anya. "Kamu berhak bahagia bersama
Dilan mendekat dengan menyingkirkan bantalnya. Dini memejamkan mata. Dilan sudah merasa tak sabar dengan mendekatkan wajahnya hendak mencium Dini. Namun,.."Aww,..Dini!" pekik Dilan kesakitan, sambil memegangi pantatnya karena terjatuh dari springbad yang mereka tiduri. Dilan memang tak menyangka dengan reaksi Dini yang tiba-tiba menyibakkan tangannya. "Jahat bener kamu, ya. Aku ajak kamu ke surga, kamu memberiku neraka.""Rasain!" Dini malah terkekeh melihat Dilan yang kesakitan'Jangan jahat sama suami sendiri. Kamu diajak sudah menolak itu dapat laknak dari malaikat. Tadi denger ghak kata Pak Kyai, kalau semalaman malaikat juga akan menjahuimu.""Biarin dijahui malaikat, daripada didekati malaikat Izrail.'" Kausamakan aku dengan Izrail? Kebangetan kamu ya,.! Sini,.." Dilan sudah tak sabar dengan makin menggoda Dini dengan mendekatiya dan memeluknya. Dini yang meronta seperti anak kecil membuat Dilan malah gemas dengan menciumnya. Lagi-lagi Dini menendangnya."Auww!" Dilan memegang
Dini membalikkan tubuhnya hinggah dia dapat menatap dengan jelas siapa yang kini berdiri dengan kedua tangan di dada sambil memandanginya."Sudah lama di situ?" tanya Dini sewot. Giginya gemertak ingin segera menerkam pria yang kini tersnyum itu."Lumayan." Senyum tipis Dilan mengembang. Namun bagi Dini itu seolah seringaian untuk menelan dirinya."Kenapa ghak di luar duluh nunggunya?""Kenapa? Aku ghak boleh mandangi kamu? Atau kamu,.."Dilan mendekat. Dini mundur selangkah.Dilan tersenyum. "Setidaknya pakailah ini agar orang tak tau kalau kita lagi berantem." Dilan meraih tangan Dini, menyematkan cincim kawinnya, juga gelangnya. Lalu dia hendak meraih bahu Dini dengan bermaksud mengenakan kalung di lehernya, namun dia kemudian menggeleng pelan, ragu dengan melihat tatapan Dini. "Yang lain, kamu pakai sendiri, ya. Jangan ditinggal lagi," ucap Dilan yang membiarkan Dini terpaku. Lalu keluar.Dini mengerjapkan matanya, menata hatinya yang seolah tersengat listrik saat Dilan menyemat