"Kamu kenapa?" Dilan meraih tubuh Dini yang terhuyung.
"Kepalaku agak berat, aku seperti pernah mendengar orang menyuruhku memanggilnya Ummi."
Dilan tertegun. Dia tau Dini sedang mengingat sesuatu. Namun Dilan tak ingin membuat Dini stres dengan memikirkan apa yang knii tengah di kepalanya.
"Tenangkan dirimu, Din. Kamu tak perlu bersikeras mengingat semuanya. Nanti juga kamu akan mengingat dengan sendirinya," ucapnya lembut dengan mendudukkan Dini dengan tenang.
Dilan mengambil air dan meminumkannya ke Dini. Saat dirasa Dini sudah tenang, Dilan menyodorkan roti untuknya. "Lapar?"
Dini mengangguk, lalu memasukkan roti begitu saja ke mulutnya.
"Dini, pelan-pelan," tegur Dilan.
"Habis lapar banget setelah bangun tidur."
"Nanti tersedat. Tuh, mulut kamu belepotan coklat." Dilan mengelap mulut Dini dengan ujung jarinya. Dipandanginya gadis di depannya dengan lekat. Dini pun makin mendekat hinggah wajah mereka menjadi tak berjarak. Tak terasa bibir mereka menyatu.
"Jadi benar dia Dini Yasmin yang Ummi kenal?" tanya Ajeng begitu dia melihat Dini.
Dilan terkejut dengan suara yang datang tiba-tiba dari belakang mereka. Terlebih karena dirinya yang di luar kendali mencium Dini tanpa mengingat jika di kamar ini juga ada orang lain.
Dini menunduk malu. Terlebih saat Ajeng yang kemudian mendekatinya dengan menelisik dirinya dengan duduk, berjongkok di hadapan gadis itu. Disibaknya rambut indah itu untuk melihat wajahnya. Benar, benar, kamu Dini Yasmin yang Ummi kenal, gumannya lirih.
Dilan memperhatikan umminya dengan penuh tanda tanya. Terlebih saat dilihatnya Ajeng yang segera memeluk Dini dengan tangisnya yang pecah, sementara Dini hanya termangu.
"Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku." Diucapnya kembali kata-kata itu di telinga Dini. Membuat gadis itu terkesiap dengan mengurai pelukan Ajeng dan menatapnya.
"Panggil aku Ummi, Dini. Aku umminya Aziel." Kembali Ajeng mengatakan itu dengan airmata yang berderai.
Dini menatap Dilan yang termangu tak percaya. Betapa sempitnya dunia. Dia tak pernah menyangka, orang yang dicintainya ternyata adalah cinta mati Bian yang dikenal Dini dengan Aziel.
"Dia, dia,.. memang ummiku, Dini," ucap Dilan tergagap menjawab wajah Dini yang penuh tanda tanya menatapnya.
"Pak Kyai yang memanggil Bian dengan nama Aziel, katanya biar ghak kebarat-baratan." Ajeng menjelaskan ke Dilan. kenapa Dini mengenal Bian dengan Aziel, bukan Bian seperti keluarga mereka yang memanggil.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Ummi? Tadi di depan kami baru saja bahas orang yang membunuh Bian yang kasusnya seperti ditutup begitu saja. Dan Dini?" Dilan memandang Dini lalau mendekapnya.
Ajeng menatap Dilan.
Dilan kembali memandang Dini yang menatapnya dengan bingung di dekapannya. "Jadi Dini yang menjadi saksi kunci pembunuhan Bian?"
Ajeng mengangguk. Tangannya masih membelai rambut Dini dengan begitu sayangnnya. Dia memang melihat Bian kembali dengan menatap wajah gadis di depannya. Walau Dini terlihat bingung dengan hanya menatap Dian dan Ajeng bergantian.
Dilan mulai cemas. Kesembuhan Dini yang dia harapkan walau setelah itu dia tak dapat berharap lebih, namun juga kecemasan menghantui dirinya jika yang membunuh Bian mengetahui Dini sembuh dan akan berbuat sesuatu kepada Dini.
"Akhirnya tanpa ke sana, Ummi sudah menemukanmu." Kembali Ajeng memeluk Dini yang masih terpaku dengan ingatannya setelah mengurai dekapan Dilan. Dia memang tak pernah ingat wajah di depannya. Karena pikirannya telah pergi sejak kepergian Aziel. Satu yang terlintas di pikirannya hinggah sekarang, hanya satu kata,.. panggil aku Ummi, seperti Aziel memanggilku!
"Benar, dia ummimu, Aziel,.. e,.. Mas?" tanya Dini dengan ragu.
"Dia memang ummiku, Dini."
Dini lalu menghambur ke pelukan Ajeng. Ajeng makin sesenggukan mendekapnya dan menciumi gadis di depannya. "Anakku telah kembali, anakku telah kembali," ucap Ajeng lirih. Dia memang merasa seolah-olah kini telah memeluk Bian.
Ada yang tiba-tiba terselip di hati Dilan saat melihat umminya memluk Dini dengan mengatakan semua itu, seolah-olah dia hanya sebuah alat untuk menutupi semuanya dan hanya sebatas sandiwara. Hati Dilan merasa ciut melihat kini seolah Dini ada untuk Aziel, bukan untuk dirinya.
"Dilan, bisakah kamu simpan rahasia Dini ini ada diantara kita saja?"
Dilan menatap umminya dengan heran. "Kenapa begitu, Ummi?"
"Kenapa begitu, Mi?"
"Entah kenapa Ummi sangat menghawatirkan dia." Kembali wanita dengan hijab panjang itu membelai wajah ayu Dini. "biarkan dia sembuh, setelah itu kita susun langkah selanjutnya,"
"Termasuk tidak mengatakan ke Abi?"
"Biar nanti saat sampai di rumah, Ummi akan cerita semuanya."
"Bagaimana Ummi akan mengatakan untuk tak jadi ke desa Dini, bukankah maksud Abi ke sini untuk mengajak Ummi ke sana, melihat kondisi Dini dan ke makam Bian di pondok?"
"Itu bisa Ummi jelaskan nanti," katanya sambil mengelus kepala Dini. Dia kemudian bangkit, "baiklah, Ummi akan istirahan sebentar di kamar sebelah, Ummi akan tidur nyenyak sekarang. Melihat Dini kembali, seolah Ummi melihat Aziel di mata lembutnya."
Dilan tertegun. Mata Bian memang selembut mata Dini, pikirnya dengan sedikit cemburu terselip.
Setelah Ajeng keluar, Dilan hanya terdiam, berkecamuk dengan pikirannya yang tak tentu. Dari duluh dia sudah tau tentang Dini yang mencintai orang lain, namun kenapa hatinya kini tersayat setelah mengetahui orang itu bukan orang lain, tapi orang yang telah dianggap seperti adiknya sendiri. Mereka sempat bersama selama beberapa tahun. Bian yang seusia Kanaya membuat Dilan merasa dialah yang justru adiknya. Yang suka dia goda sampai menangis. Hinggah Dilan harus pergi dari rumah untuk meneruskan keinginannya menjadi orang seperti Ibra yang menghafal Al Qur'an, dia meninggalkan adik yang sudah bisa diajak main bola itu dengan berat hati."Kamu pingin jadi muballigh kayak abimu?" saat itu mamanya sempat menentang keinginannya. Namun sang kakek, Hermawan, malah mendukungnya."Setidaknya kamu bisa belajar banyak tentang Al Qur'an duluh, biar nanti jadi pengusaha jadi pengusaha yang jujur," kata opanya waktu itu.Namun harapan opanya tidak juga dipenuhi Dilan. Saat dia pulang, dia mendapati
Semua yang di meja makan terlongo, terlebih Dilan."Apa maksud dari kata-kata Dini, Ma?""Ya, ghak tau, tanya aja ke orangnya," kata Giani dengan segera beranjak dari meja makan. Wajahnya sempat tegang dengan kata-kata yang ditinggal Dini. Namun bukan Giani kalau tak pandai berkelit.Imah yang beres-beres di dekat meja makan, menunduk merasa dilihat Dilan."Bu,..""Saya tak tau apa-apa, Den.""Baik, kalau kalian tak ada yang mau menjelaskannya. Suatu saat aku akan mendapat jawaban." Langkah Dilan menuju kamar dimana Dini berada.Dilihatnya Dini yang tiduran menelungkupkan wajahnya."Din, kamu kenapa?" Dilan memegang tangan Dini yang menutupi wajahnya."Lepas, lepaskan aku. Jangan sentuh aku!" teriak Dini, "kau pasti akan mengambil Azielku kembali.""Din,..!" Dibalikkannya wajah gadis itu, dan dipeluknya hangat, " ini aku Aziel, kamu masih bersamaku," ucapnya dengan hati yang tersayat karena mengakui dirinya adalah Aziel.Dini yang merasa orang yang memeluknya adalah Aziel, dia menumpa
"Kamu jadi pulang nanti sore, Jeng?" tanya Giani. Bagaimanapun juga Ajeng adalah adik satu-satunya. Dan dia amat menyayangi Ajeng."Iya, Mbak. Sebenarnya masih ingin lama di sini, tapi pekerjaan abinya ghak bisa ditinggal lama. Kami baru saja membuka cabang baru.""Hebat suami kamu. Ghak nyangka seorang muballigh kemudian menjadi pengusaha. Pengusaha yang ada hubungannya dengan pekerjaan lamanya.""Heem, Mbak. Mulanya diusuli teman-temannya untuk membuka jasa haji dan umroh. Ghak taunya yang percaya Abi amat banyak. Mereka yang membuat usaha kami maju." Sekilas Ajeng mengingat Bian yang telah mengutarakan maksudnya untuk mengelola travel cabang setelah menikahi Dini, namun tidak dihiraukan mereka."Coba kalau anakmu masih ada, akan ada yang membantu kalian mengelola usaha, jadinya Ibra ghak lari-lari dikejar kerjaan." Ajeng terdiam. Luka itu kembali menganga."Ummi!"Ajeng menoleh. Lalu menyunggingkan senyumnya melihat gadis cantik yang tengah memanggilnya tersenyum."Lho, ini,... ad
"Mbak, tolong yang dipakai menekin itu untuk istri saya." Dilan berusaha menuruti apa kemauan Dini. Sesekali dia melihat kembali ke arah orang itu. Dilan celingukan, namun merasa lega. Mereka telah pergi. Mudah-mudahan itu hanya sangkaanku belaka. Bukan apa-apa."Kami bisa ambil di stok, Pak. Tinggal tanya ukuran mbaknya berapa." Penjaga distro itu mencoba menawar."Maaf, Mbak, yang diinginkan dia di makenin itu. Nanti saya bayar lebih untuk Mbak. Tolong! Mbak tau sendiri bagaimana istri saya, jadi tolong dimaklumi." Dilan sampai memohon.Pramuniaga yang kerap melihat tingkah Dini yang menurutnya aneh itu kemudian tersenyum dan paham. Dengan merasa kagum pada Dilan. "Baiklah, Pak. Ditunggu ya?""Terimakasih, Mbak. Maaf merepotkan.""Dia benar-benar gadis beruntung. Seperti itu dapat orang tajir, tampan pula," bisik salah seorang pramuniaga itu."Hust, jaga bicaramu. Nanti mereka denger.""Cowok itu kelihatan sayang banget, jadi ngiri," ujar yang satunya."Nanti mbaknya juga akan dap
"Mas, saya harus menikahkan orang lain lagi. Bagaimana ini? Sampai kapan kita harus menunggu?" tanya Pak Penghulu resah. Dilihatnya arlojinya berkali-kali."Sebentar, Pak. Tolong ditunggu sepuluh menit lagi, siapa tau masih di jalan. Ini saya telpon juga ghak bisa dihubungi," jawab Dilan lebih resah. Pandangannya tak pernah lepas dari halaman rumah Dini yang rimbun oleh pepohonan buah yang lagi tak berbuah karena tak musimnya.Sementara tak jauh dari tempat duduknya, seorang gadis tak berhenti memandangnya dengan senyuman yang sesekali tersungging di bibir mungilnya. Wajah putihnya tersapu make up titip-tipis, menampakkan kecantikan alaminya. Dibalut baju pengantin yang sederhana, tubuh tinggi semampai itu tampak mempesona, mengundang decak kagum yang melihatnya. Sekaligus mengundang rasa kasihan dengan nasib yang telah dialaminya."Kamu memang cantik, Dhuk. Mudah-mudahan dengan pernikahan ini kamu akan sembuh." Harapan kerabat terucap, mewakili harapan tetangga-tetangga Dini yang ter
Semua yang hadir kaget dengan suara yang datang tiba-tiba. Seorang lelaki tinggi dengan badan agak gemuk melangkah mendekati kerabat dan tetangga Dini yang hadir."Saya juga ingin menyaksikan putra saya menikah. Maaf, saya terlambat," ucapnya kemudian.Semua yang hadir memandang pria itu, Pramono Aji, dengan mempersilahkan dia duduk di sebelah mempelai."Pa, terimakasih sudah mau datang," kata Dilan kemudian. Sambil menandatangani berkas yang ada, Dilan akhirnya sedikit lega walau yang hadir dari keluarganya hanya papanya. Dia memang tak mungkin berharap mamanya akan datang setelah pertengkaran mereka.Pak Penghulu pun dengan cepat meninggalkan tempat. Dia harus menikahkan orang lain lagi."Akhirnya kamu menikah juga. Maaf jika pernikahan kamu hanya seperti ini.""Tidak apa-apa, Pa. Saya maklum dengan kondisi Dini. ""Pak, maafkan saya jika semua ini tidak seperti yang Bapak harapkan untuk putra bapak." Astri mendekat dengan mengatupkan kedua tangan di dada. Dia lalu membimbing Dini u
"Dilan, sudah ashar. Bangun, Le. Biar nanti ghak kemalaman di jalan," ucap Astri sambil mengetuk pintu kamar berkali-kali. "Iya, Bu," sahut Dilan. Diurainya pelukan Dini. "Bangun, Din." "Sudah pagi ya?"Dilan terkekeh. Disentilnya hidung Dini. "Sudah sore yang bener."Dini mengulas senyum. "Kirain malam.""Ayo mandi, sholat, kita siap-siap berangkat.""Ke mana?""Ke rumahku, kamu kan istriku."Dini terkekeh. Lalu mengikat rambutnya dan pergi ke kamar mandi yang letaknya di belakang sendiri, dekat dapur. Leher jenjang putihnya terlihat sempurna. Lagi-lagi Dilan menelan ludah.Tak lama Dini sudah keluar. Bau semerbak sabun mandi menyeruak melewati Dilan yang masih terpana dengan kecantikan Dini yang segar setelah mandi."Aku sudah bawakan kamu baju ganti, kamu pakai ya?" kata Dilan yang tadi saat Dini ke kamar mandi telah menyiapkan baju ganti lengkap untuk Dini.Dilan mengguyur tubuhnya. juga membasahi rambutnya dengan memakai shampo. Air di desa ini sangat sejuk, mengalir dari at
namun yang mencium, justru sudah terlelap dalam tidurnya. Sementara Dilan masih tak dapat memejamkan matanya, mengingat bagaimana dia bisa meninggalkan Dini di rumahnya. Berkali-kali disentuhnya bibirnya dengan menyentuh bibir Dini. Rasanya dia ingin membalas ciuman itu, tapi diurungkannya. Dia takut, dia akan menuntut yang lain lagi.Dilan bangun di saat Subuh telah berkumandang. Dilihatnya Dini yang sudah tersenyum memandanginya. Bajunya sudah berganti. Tubuhnya pun sudah harum bau handbodi yang dipakainya."Wah, istri aku sudah cantik," ujar Dilan terpana dengan kecantikan Dini. "sini, cium, Mas.!""Ih, apaan sih," Dini tersipu. " panggil Mas lagi.""Aku kan sudah jadi suamimu, masak iya, kamu masih panggil namaku saja."Dini hanya tersenyum, lalu membiarkan pipinya dicium Dilan."Adu, sakit, tau!" teriak Dini manakala Dilan mencoel dagunya, yang ditanggapi Dilan dengan terkekeh ke kamar mandi. "kamu benar-benar jadi orang asing sekarang," teriak Dini."Kamu sudah sholat ya?" tanya