"Kamu kenapa?" Dilan meraih tubuh Dini yang terhuyung.
"Kepalaku agak berat, aku seperti pernah mendengar orang menyuruhku memanggilnya Ummi."
Dilan tertegun. Dia tau Dini sedang mengingat sesuatu. Namun Dilan tak ingin membuat Dini stres dengan memikirkan apa yang knii tengah di kepalanya.
"Tenangkan dirimu, Din. Kamu tak perlu bersikeras mengingat semuanya. Nanti juga kamu akan mengingat dengan sendirinya," ucapnya lembut dengan mendudukkan Dini dengan tenang.
Dilan mengambil air dan meminumkannya ke Dini. Saat dirasa Dini sudah tenang, Dilan menyodorkan roti untuknya. "Lapar?"
Dini mengangguk, lalu memasukkan roti begitu saja ke mulutnya.
"Dini, pelan-pelan," tegur Dilan.
"Habis lapar banget setelah bangun tidur."
"Nanti tersedat. Tuh, mulut kamu belepotan coklat." Dilan mengelap mulut Dini dengan ujung jarinya. Dipandanginya gadis di depannya dengan lekat. Dini pun makin mendekat hinggah wajah mereka menjadi tak berjarak. Tak terasa bibir mereka menyatu.
"Jadi benar dia Dini Yasmin yang Ummi kenal?" tanya Ajeng begitu dia melihat Dini.
Dilan terkejut dengan suara yang datang tiba-tiba dari belakang mereka. Terlebih karena dirinya yang di luar kendali mencium Dini tanpa mengingat jika di kamar ini juga ada orang lain.
Dini menunduk malu. Terlebih saat Ajeng yang kemudian mendekatinya dengan menelisik dirinya dengan duduk, berjongkok di hadapan gadis itu. Disibaknya rambut indah itu untuk melihat wajahnya. Benar, benar, kamu Dini Yasmin yang Ummi kenal, gumannya lirih.
Dilan memperhatikan umminya dengan penuh tanda tanya. Terlebih saat dilihatnya Ajeng yang segera memeluk Dini dengan tangisnya yang pecah, sementara Dini hanya termangu.
"Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku." Diucapnya kembali kata-kata itu di telinga Dini. Membuat gadis itu terkesiap dengan mengurai pelukan Ajeng dan menatapnya.
"Panggil aku Ummi, Dini. Aku umminya Aziel." Kembali Ajeng mengatakan itu dengan airmata yang berderai.
Dini menatap Dilan yang termangu tak percaya. Betapa sempitnya dunia. Dia tak pernah menyangka, orang yang dicintainya ternyata adalah cinta mati Bian yang dikenal Dini dengan Aziel.
"Dia, dia,.. memang ummiku, Dini," ucap Dilan tergagap menjawab wajah Dini yang penuh tanda tanya menatapnya.
"Pak Kyai yang memanggil Bian dengan nama Aziel, katanya biar ghak kebarat-baratan." Ajeng menjelaskan ke Dilan. kenapa Dini mengenal Bian dengan Aziel, bukan Bian seperti keluarga mereka yang memanggil.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Ummi? Tadi di depan kami baru saja bahas orang yang membunuh Bian yang kasusnya seperti ditutup begitu saja. Dan Dini?" Dilan memandang Dini lalau mendekapnya.
Ajeng menatap Dilan.
Dilan kembali memandang Dini yang menatapnya dengan bingung di dekapannya. "Jadi Dini yang menjadi saksi kunci pembunuhan Bian?"
Ajeng mengangguk. Tangannya masih membelai rambut Dini dengan begitu sayangnnya. Dia memang melihat Bian kembali dengan menatap wajah gadis di depannya. Walau Dini terlihat bingung dengan hanya menatap Dian dan Ajeng bergantian.
Dilan mulai cemas. Kesembuhan Dini yang dia harapkan walau setelah itu dia tak dapat berharap lebih, namun juga kecemasan menghantui dirinya jika yang membunuh Bian mengetahui Dini sembuh dan akan berbuat sesuatu kepada Dini.
"Akhirnya tanpa ke sana, Ummi sudah menemukanmu." Kembali Ajeng memeluk Dini yang masih terpaku dengan ingatannya setelah mengurai dekapan Dilan. Dia memang tak pernah ingat wajah di depannya. Karena pikirannya telah pergi sejak kepergian Aziel. Satu yang terlintas di pikirannya hinggah sekarang, hanya satu kata,.. panggil aku Ummi, seperti Aziel memanggilku!
"Benar, dia ummimu, Aziel,.. e,.. Mas?" tanya Dini dengan ragu.
"Dia memang ummiku, Dini."
Dini lalu menghambur ke pelukan Ajeng. Ajeng makin sesenggukan mendekapnya dan menciumi gadis di depannya. "Anakku telah kembali, anakku telah kembali," ucap Ajeng lirih. Dia memang merasa seolah-olah kini telah memeluk Bian.
Ada yang tiba-tiba terselip di hati Dilan saat melihat umminya memluk Dini dengan mengatakan semua itu, seolah-olah dia hanya sebuah alat untuk menutupi semuanya dan hanya sebatas sandiwara. Hati Dilan merasa ciut melihat kini seolah Dini ada untuk Aziel, bukan untuk dirinya.
"Dilan, bisakah kamu simpan rahasia Dini ini ada diantara kita saja?"
Dilan menatap umminya dengan heran. "Kenapa begitu, Ummi?"
"Kenapa begitu, Mi?"
"Entah kenapa Ummi sangat menghawatirkan dia." Kembali wanita dengan hijab panjang itu membelai wajah ayu Dini. "biarkan dia sembuh, setelah itu kita susun langkah selanjutnya,"
"Termasuk tidak mengatakan ke Abi?"
"Biar nanti saat sampai di rumah, Ummi akan cerita semuanya."
"Bagaimana Ummi akan mengatakan untuk tak jadi ke desa Dini, bukankah maksud Abi ke sini untuk mengajak Ummi ke sana, melihat kondisi Dini dan ke makam Bian di pondok?"
"Itu bisa Ummi jelaskan nanti," katanya sambil mengelus kepala Dini. Dia kemudian bangkit, "baiklah, Ummi akan istirahan sebentar di kamar sebelah, Ummi akan tidur nyenyak sekarang. Melihat Dini kembali, seolah Ummi melihat Aziel di mata lembutnya."
Dilan tertegun. Mata Bian memang selembut mata Dini, pikirnya dengan sedikit cemburu terselip.
Setelah Ajeng keluar, Dilan hanya terdiam, berkecamuk dengan pikirannya yang tak tentu. Dari duluh dia sudah tau tentang Dini yang mencintai orang lain, namun kenapa hatinya kini tersayat setelah mengetahui orang itu bukan orang lain, tapi orang yang telah dianggap seperti adiknya sendiri. Mereka sempat bersama selama beberapa tahun. Bian yang seusia Kanaya membuat Dilan merasa dialah yang justru adiknya. Yang suka dia goda sampai menangis. Hinggah Dilan harus pergi dari rumah untuk meneruskan keinginannya menjadi orang seperti Ibra yang menghafal Al Qur'an, dia meninggalkan adik yang sudah bisa diajak main bola itu dengan berat hati."Kamu pingin jadi muballigh kayak abimu?" saat itu mamanya sempat menentang keinginannya. Namun sang kakek, Hermawan, malah mendukungnya."Setidaknya kamu bisa belajar banyak tentang Al Qur'an duluh, biar nanti jadi pengusaha jadi pengusaha yang jujur," kata opanya waktu itu.Namun harapan opanya tidak juga dipenuhi Dilan. Saat dia pulang, dia mendapati
Semua yang di meja makan terlongo, terlebih Dilan."Apa maksud dari kata-kata Dini, Ma?""Ya, ghak tau, tanya aja ke orangnya," kata Giani dengan segera beranjak dari meja makan. Wajahnya sempat tegang dengan kata-kata yang ditinggal Dini. Namun bukan Giani kalau tak pandai berkelit.Imah yang beres-beres di dekat meja makan, menunduk merasa dilihat Dilan."Bu,..""Saya tak tau apa-apa, Den.""Baik, kalau kalian tak ada yang mau menjelaskannya. Suatu saat aku akan mendapat jawaban." Langkah Dilan menuju kamar dimana Dini berada.Dilihatnya Dini yang tiduran menelungkupkan wajahnya."Din, kamu kenapa?" Dilan memegang tangan Dini yang menutupi wajahnya."Lepas, lepaskan aku. Jangan sentuh aku!" teriak Dini, "kau pasti akan mengambil Azielku kembali.""Din,..!" Dibalikkannya wajah gadis itu, dan dipeluknya hangat, " ini aku Aziel, kamu masih bersamaku," ucapnya dengan hati yang tersayat karena mengakui dirinya adalah Aziel.Dini yang merasa orang yang memeluknya adalah Aziel, dia menumpa
"Kamu jadi pulang nanti sore, Jeng?" tanya Giani. Bagaimanapun juga Ajeng adalah adik satu-satunya. Dan dia amat menyayangi Ajeng."Iya, Mbak. Sebenarnya masih ingin lama di sini, tapi pekerjaan abinya ghak bisa ditinggal lama. Kami baru saja membuka cabang baru.""Hebat suami kamu. Ghak nyangka seorang muballigh kemudian menjadi pengusaha. Pengusaha yang ada hubungannya dengan pekerjaan lamanya.""Heem, Mbak. Mulanya diusuli teman-temannya untuk membuka jasa haji dan umroh. Ghak taunya yang percaya Abi amat banyak. Mereka yang membuat usaha kami maju." Sekilas Ajeng mengingat Bian yang telah mengutarakan maksudnya untuk mengelola travel cabang setelah menikahi Dini, namun tidak dihiraukan mereka."Coba kalau anakmu masih ada, akan ada yang membantu kalian mengelola usaha, jadinya Ibra ghak lari-lari dikejar kerjaan." Ajeng terdiam. Luka itu kembali menganga."Ummi!"Ajeng menoleh. Lalu menyunggingkan senyumnya melihat gadis cantik yang tengah memanggilnya tersenyum."Lho, ini,... ad
"Mbak, tolong yang dipakai menekin itu untuk istri saya." Dilan berusaha menuruti apa kemauan Dini. Sesekali dia melihat kembali ke arah orang itu. Dilan celingukan, namun merasa lega. Mereka telah pergi. Mudah-mudahan itu hanya sangkaanku belaka. Bukan apa-apa."Kami bisa ambil di stok, Pak. Tinggal tanya ukuran mbaknya berapa." Penjaga distro itu mencoba menawar."Maaf, Mbak, yang diinginkan dia di makenin itu. Nanti saya bayar lebih untuk Mbak. Tolong! Mbak tau sendiri bagaimana istri saya, jadi tolong dimaklumi." Dilan sampai memohon.Pramuniaga yang kerap melihat tingkah Dini yang menurutnya aneh itu kemudian tersenyum dan paham. Dengan merasa kagum pada Dilan. "Baiklah, Pak. Ditunggu ya?""Terimakasih, Mbak. Maaf merepotkan.""Dia benar-benar gadis beruntung. Seperti itu dapat orang tajir, tampan pula," bisik salah seorang pramuniaga itu."Hust, jaga bicaramu. Nanti mereka denger.""Cowok itu kelihatan sayang banget, jadi ngiri," ujar yang satunya."Nanti mbaknya juga akan dap
"Mereka pergi! Mereka pergi!" Dini menunjuk dari cela yang dari tadi dia lihat."Kita ghak jadi ke rumah sakit, Mi. Aku antar kalian pulang," ucap Dilan lalu turun. Diangkatnya terpal. Lalu setelah tengok sana, tengok sini, dia kembali melajukan mobilnya.Hening terjadi. Hinggah sampai di rumah. "Aku balik ke rumah rumah sakit duluh, Mi, ini sudah telat. Titip Dini. Sebelum Ummi pergi, aku pasti sudah pulang," ucap Dilan tanpa turun dari mobilnya. "Kamu hati-hati ya!"Dilan tersenyum, hampir menyalakan mobilnya kembali, saat Dini memanggilnya,..."Mas,..." ucap Dini malu dengan meremas tangannya. Dilan kaget dengan panggilannya."Hati-hati. Tengok belakang, barangkali mereka memukulmu dengan kayu lagi."Dilan tersekad, demikian juga dengan Ajeng. Dini seperti tak sengaja mengungkap kejadian yang dialami Bian waktu itu.Kejadian itu diceritakan Ajeng ke suaminya setelah mengantar Dini ke depan pintu kamarnya. Karena itu pulalah Ajeng kemudian menceritakan tentang Dini ke Ibra."Set
"Ayo, kejar,.. Bram!" Dengan secepat kilat, Radit, orang yang dipanggil 'bos' itu segera menyambar kunci mobilnya dan melajukan mobilnya kencang. Dilan yang tidak menyadari dibuntuti hanya berjalan biasa. Sesekali dilihatnya tisu yang tadi digunakan dia untuk mengusap peluh Dini. Seulas senyum tersungging di bibir tipisnya. Bayang wajah Dini yang memanggilnya 'Mas' terlintas di benaknya. Seandainya semuanya akan tetap seperti ini, Dini, hayalnya. Sayangnya kamu hanya menganggapku sebagai Aziel, walau aku kini telah berusaha memberi sinyal akan diriku yang sebenarnya, yang amat jauh berbeda dengan Aziel atau Bian itu."Tengok belakang ya, jangan sampai dia memukulmu dengan kayu seperti duluh." Terngiang di telinga Dilan kata-kata itu. Dilan bergidik. Betapa tragis nasibmu, Bian. Ternyata kamu meninggal dengan cara dipukul dari belakang. Dilan kemudian reflek menoleh ke belakang saat lampu merah menyala. Dia membekam mulutnya manakala dia melihat mobil hitam yang tadi siang membuntuti
Erka segera menyongsong kekasihnya dengan mendaratkan ciuman di pipinya. Walau kemudian Dilan yang di dekatnya menyenggolnya.“Dilan, kamu ngapain juga. Orang lagi asik kamu gangguin begitu,” gerutu Erka yang hanya disambut senyum oleh kekasihnya, termasuk senyum dari gadis di sebelahnya yang mashi membuat Dilan terkejut.“Emang siapa dia, enak saja kamu asal ngosor aja.”“Namanya juga pacar, ya bolehlah cuma cium pipi doang. Iya kan, Say?”Gadis itu hanya tersenyum malu dengan memandang Dilan. “Mbaknya juga, mau aja disosor begitu.”Erka ganti menyengggol Dilan. “Sono-sono, bikin ghak asik aja kamu.”Dilan menarik lengan sahabatnya itu. “Jadi sholat ghak?”“Iya, iya. ” Erka lalu menatap gadisnya. “Say, ayo sholat, mumpug ada ustaznya.”“O, dia ustaz?” tanya gadis itu.“Dia penghafal Al Qur'an, lho!” timpal Sisil dengan menatap Dilan yang kini telah mengambil air wudhu.Cewk Erka itu menatap Dilan dengan heran. Perasaan penghafal Al Qur'an ghak semodis ini. Lihat aja rambutnya yang
"Cepatlah, Den! Kasihan Den Dini." Ima terisak di depan kamar Dini dengan tergopoh menyongsong Dilan yang baru datang."Dasar gadis tak tau diri! Bisa-bisanya kauundang anakku ke kamarmu." Terdengar Giani memarahi Dini."Kamu memang sudah dibutakan dengan kasih sayangmu. Kamu tak pernah berfikir mana yang benar dan mana yang salah." Keras kata-kata yang dilontarkan Pramono ke istrinya sambil berusaha mengambil selimut untuk menyelimuti Dini yang ketakutan meringkuk di pojok kamar.Dilan yang datang segera menyelinap papanya. Memeluk Dini yang ketakutan dan menyelimutinya dengan selimut yang tadi mau dipakaikan papanya ke Dini. Pakaiannnya compang camping. Bibirnya yang memakai lipstik tampak belepotan kesana kemari. Dilan segera mengambil tisu di mejanya dan mengelap bibir Dini dengan tisu tersebut. Nampak airmata berurai tak berhenti dengan wajahnya yang ketakutan.Dialn menatap Davin dengan marahnya. "Kapan hari aku memaafkanmu karena pikirku benar seperti saat kamu minta maaf, ba
Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i
Dini baru saja menghembuskan napas lega ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh dan melihat sosok Pak Pramono tersenyum padanya."InsyaAllah ada titik terang di sidang ini. Dan kenangan ada di pihak kita," ucap Pak Pramono sambil mengusap kepalanya dengan sayang.Dini menunduk, air mata menggenang di pelupuknya. Begitu banyak hal yang telah terjadi, begitu banyak fitnah yang menimpanya. Namun kini, satu per satu kebenaran mulai terungkap."Selamat, Kak Dini!"Suara ceria Kanaya membuyarkan lamunannya. Gadis itu mendekat dengan senyum lebar, lalu memeluk Dini erat. Di belakangnya, Davin ikut tersenyum sambil mengangguk sopan."Aku tahu Kak Dini tidak mungkin melakukan semua itu. Aku percaya sejak awal," bisik Kanaya, membuat Dini makin terharu.Namun, tak semua orang menunjukkan ekspresi yang sama. Giani, mertua Dini, hanya melipat tangan di dada. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menunjukkan ketidakpuasan. Dalam hatinya, ia bergumam, "Aku pikir dia akan dipenjara selamanya."
Sekelompok pemuda pemudi datang menghampirinya."Mbak ingat kami?"Dini mencoba mengingat kembali.Seorang cewek mendekat. "Kemarin kami mau dekati Mbak, tapi saya lihat Mbak mendekati pria itu, sementara kami juga diajak ngobrol sama Pak Pramono dari kubu mana kami ini dan mau membela siapa.""Mbak, .. bukannya yang kasih minum aku ya,.." tebak Dini."Bener, Mbak. Kami mengikuti perkembangan kasus Mbak. Dari mulai Mbak diculik sampai kemarin di pengadilan. Rasanya kami berdosa jika kami membiarkan Mbak Dini hanya berjuang sendiri mengungkap hal yang seharusnya diungkap," ucap cewek itu.Seseorang datang mendekat sambil berdehem. Sepertinya dia satu diantara orang suruan Barata."Mbak Dini, sebentar ya," ucap dia permisi.Diin mengangguk dengan memperhatikan tngkah gadis yang sesekali melirik ke arahnya."Pak, tenang saja, kami tidak akan mengingkari perjanjian kita," ucap cewek itu, Ailin yang kemudian menepi dan menggiring orang yang mendekat sambil berdehem itu."Ingat, kami telah
"Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka
Dini yang menghampiri Danu, segera meneluarkan unek-uneknya. "Aku memaafkanmu, aku pikir kamu udah bener-bener insaf, Kak. Kenyataannya, kamu hanya ingin menjebakku."Danu yang tak menyukai Dilan di samping Dini, sebenar-sebentar menatap pegangan tangan mereka. "Aku tidak menjebakmu, Din. Mulanya aku justru yang ingin mengakuinya dengan ihlas. Namun melihat sikapmu yang sdelah tak perduli dengan perasaanku, aku tak bisa membuatmu melenggang begitu saja, sementara aku yang akan merasakan dinginnya jeruji besi.""Memang itu kesalahanmu, kenapa duluh kamu ghak nyadar kalau itu resikonya?""Aku ghak sengaja, Din. Kamu tau itu. itu hanya karena didorng rasa inginnnya aku memilikimu.""Aku sudah bilang mengenai hal itu kan? Aku tak bisa bersamamu.""Itu bukan alasan, Din. kalau kita bersama, rasa itu akan tumbuh, karena aku tulus mencintaimu."Dini menggelengkan kepalanya."Belum terlambat, Din. Tinggalkan lelaki itu. Aku akan mengakui kesalahanku. Aku mungkin hanya setahun dua tahun di pen
Sekelompok pemuda dan pemudi datang. Model mereka yang laki-laki kebanyakan rambutnya panjang, membuat banyak mata memperhatikan. Terlebih cara berpakaian mereka yang nyentrik."Siapa kalian? Semua ada prosedurnya. Ikuti duluh prosedurnya. Dan sidang hari ini ditunda sampai di sini duluh. Dilanjutkan besuk kembali." Pak Hakim Ketua menginstruksikan."Kami hanyalah sekelompok orang yang ingin menegakkan keadilan Pak.""Baiklah, saya hargai usaha kalian. Besuk, kalian bisa kembali ke sini lagi. Sementara itu kalian harus berhati-hati untuk menjaga diri."Seorang gadis mendekat ke Hakim Ketua. "Terimakasih banyak, Pak."Gemuruh pengunjung sidang merasa kecewa karena sidang harus dilanjutkan besuk. Mereka penasaran dengan sekelompok pemuda pemudi yang datang ingin menjadi saksi.Sementara Pramono dan pengacaranya mendekati sekelompok pemuda dan pemudi yang datang hendak menjadi saksi. Kanaya yang selalu di dekat papanya ikut mendekat. Perbincangan pun terjadi diantara mereka."Kalian sia
Setelah waktu rehat, kembali Dini maju ke depan untuk menghadapi pertanyaan Pembela Danu."Saudari Dini,.. tolong dijawab iya dan tidak saja." Pembela mendekati Dini. Menatapnya dengan tatapan tajam."Apa Anda mengenal saudara Danu?" Dia memulai pertanyaannya."Iya.""Anda mengidolainya kan seperti yang tadi Anda katakan?""Maaf itu duluh. Setelah,..""Dijawab dengan iya atau tidak," bentak Pembela.Dilan yang melihatnya mengepalkan tangannya. Sesak dirasakan pria tinggi itu, demikian juga dengan Astri dan lainnya dari keluarga Dini, selain Giani dan Ajeng."Tidak, sekarang.""Anda plin plan. Tadi mengatakan sendiri mengidolai, sekarang tidak." Pembela itu mencibir. Seringai licik terpancar dari wajahnya."Pertanyaan Anda yang tak bisa hanya dijawab iya dan tidak," bantah Dini dengan hati yang panas."Apakah Anda tau Danu mencintai Anda?""Iya.""Bahkan sangat mencintai Anda?"Dini mendongak dengan sekilas menatap Danu yang juga menatapnya. "Iya!" Dini mulai jengkel dengan menjawab se
Di meja makan sederhana itu, suasana tampak tegang meski suara piring dan sendok beradu sesekali mengisi kekosongan. Astri, seorang ibu yang selalu tahu gelagat anaknya, memandang Dini dengan cemas. Dini hanya memutar sendok di atas nasi tanpa benar-benar memakannya. Wajahnya pucat, jelas dia sedang menghadapi beban berat."Makanlah, Dhuk," ujar Astri lembut, mencoba membangkitkan selera makan Dini. Suaranya penuh kasih, seperti ingin menyelimuti hati putrinya yang rapuh.Dini hanya tersenyum tipis, tetapi matanya tetap tertunduk. Sesaat kemudian, Dilan mendekat, membawa ketenangan yang Dini butuhkan. Wajahnya tenang, gerak-geriknya tegas, tetapi kelembutan terlihat dari caranya memperhatikan Dini."Dek, ayo makan." Dilan mengambil sendok, menyendokkan nasi ke piring Dini, lalu menyuapinya. Tatapan matanya penuh cinta, namun kini dibalut kekhawatiran. Dini tidak menolak, tetapi air matanya mulai menetes tanpa bisa ditahan.Melihat itu, Dilan menghentikan gerakannya. Dengan hati-hati,
Aziel...Namanya masih terngiang di kepalaku, berputar seperti gema dalam ruangan kosong. Semua terjadi begitu cepat. Suaranya yang menyebut Allah menjadi kalimat terakhir yang kudengar darinya. Seakan dunia berhenti bersuara ketika tubuhnya terkulai. Perawat yang berdiri di sisinya hanya memandangiku dengan sorot mata penuh iba, lalu mengucapkan kalimat itu:"Maaf, Mbak, dia sudah pergi selamanya."Aku tidak bisa merespons. Tubuhku kaku, seperti terikat oleh ribuan tali yang tak terlihat. Seorang mbak di kemah itu yang menemani sejak tadi kini merangkulku, tubuhku gemetar di pelukannya. "Yang sabar, ya, Dik. Dia pasti bahagia di sana. Tolong ikhlaskan."Ikhlaskan? Kata itu seperti pisau yang menusuk pelan, tapi berulang-ulang. Aku mencoba membuka mulut, memanggil namanya, Aziel. Kata itu keluar lirih, disertai air mata yang sudah tak bisa kubendung."Jangan pergi... Kita pasti akan menikah. Kita akan sekolah bersama..." ucapku di antara isak tangis. Tapi kalimatku menggantung. Dunia