Share

Bab 07. Cewek untuk Dilan.

Giani merasa tak enak hati dengan yang dilakukan Dilan. Namun setelah Dilan menyalami Bramantyo, papanya Sisil, dia menjadi lebih lunak.

"Maaf, anakku yang satu ini dari kecil hidup di pesantren, jadi tolong dimaklumi," ujar pramono, 

"Sini Dilan, duduk dekat Sisil," Rena, mamanya Sisil mempersilahkan Dilan. Namun Dilan hanya tersenyum.

"Di sini saja, Tan."

"Sisil ini teman satu fakultas sama Kanaya," jelas Rena.

Dilan mengangguk, dia dapat melihat Kanaya yang begitu akrap dengannya hinggah sering cekikikan bersama.

"Kita makan, yuk,.. ngobrolnya sambil makan saja," ajak Giani.

"Dia anak tunggal Tante Rena, lho, Dilan," kata Giani berusaha mengakrabkan Dilan dengan Sisil yang memang cantik dengan body aduhai itu. Tubuhnya yang tinggi proporsional dibalut gaun peach dengan lengan pendek, menampakkan kulit mulusnya yang sedikit terbuka.

"Dia pintar lho, Kak," kata Kanaya begitu mereka  setelah makan duduk di taman dekat kolam.

"Heem, aku dapat melihatnya."

"Sisil, dia kakakku yang the best," ujar Kanaya lagi, "kamu ghak akan menemukan orang sebaik dia di dunia manapun."

"Adik aku sponsor, nih."

"Emang bener begitu," kata Kanaya yang sudah menggayut manja di lengan Dilan. Dia memang dekat dengan Dilan. 

"Kak, tau ghak, Sisil itu sudah terjun di dunia bisnis membantu orangtuanya sejak SMA, menangani kontrak-kontrak besar dia sudah biasa."

"Wah, hebat, dong."

"Iya, ghak kayak Kakak, sukanya nangani pasien rumah sakit. Mending pasien biasa, ini Kakak pasien gila."

Dilan hanya ngakak. Sementara Sisil begitu antusias dengan apa yang dibicarakan Kanaya. 

"Justru yang hebat itu kakakmu, Nay,.. dia bisa urus orang-orang seperti itu."

"Ei, kalian sudah akrab rupanya. Tante dengar kalian bahkan tertawa." Giani yang datang merasa senang dengan Dilan yang terlihat ceria dengan tawa kerasnya yang khas.

"Emang dia suka tertawa ngakak ya, Tan?"

"Heem, dia paling suka renyah kalau tertawa. Kalian pasti cocok kalau jalan bareng."

Dilan mendekati mamanya. "Ma, apa maksud Mama dengan perkataan itu?" 

Giani memamerkan senyumnya ke Sisil, "Kami bermaksud menjodohkan kalian."

"Mama berfikir ghak, Dilan sudah memiliki Dini."

"Perkawianan macam apa yang kaujanjikan dalam hidup dengan bersama orang gila?"

"Kenapa tidak Davin saja, Ma?" protes Dilan, "dia cocok dengan Sisil yang sesama pebisnis. Usaha Mama akan maju pesat dengan menggandengkan mereka berdua."

 "Kamu ngerti ghak sih, Mama menghawatirkan masa depanmu? Kamu memilih profesi itu silahkan, tapi apa yang kamu dapat tidak akan sebesar menjadi pengusaha. Sisil yang akan memberikan itu ke kamu."

"Tapi, Ma,.."

"Aku tidak akan mengusik pernikahan kalian selama kamu mau menuruti Mama. Kamu bisa sembuhkan Dini. Setelah itu kita lihat saja nanti. Kamu tidak akan menyesal setelah mengenal Sisil," ucap Giani masih dengan sesekali melempar senyumnya ke Sisil. " bukankah kamu berkata sama Mama, tujuanmu hanya untuk menyembuhkan gadis itu? "

Dilan mengacak rambutnya. Kini dia tau, kenapa Davin malah tidak diajak dalam jamuan makan malam ini. Selain Davin memang sesukanya dia jika setelah kerja, apalagi malam minggu, dia akan begadang dengan teman-temannya sampai malam, dan pulang mendekati subuh. Terkadang dengan bau alkohol.

"Kak, sini,.." Kanaya memanggil. Dilan yang pikirannya sudah tak lagi seger mendengar kata-kata mamanya, inginnnya dia menjauh, namun melihat Kanaya yang kembali baik kepadanya, dia tak bisa menolak. Kanaya memang sempat menjahui Dilan saat dia memilih Dini.

"Sisil, sudah malam, ayo pulang." Rena muncul dengan mengajak Sisil pulang.

"Iya, Mi," sahut Sisil sambil berdiri.

Dilan merasa lega dengan tak lagi pura-pura terus menemani Sisil.

"Sering main ke sini ya, Sil. Dilan tuh suka kalau kamu ke sini," ucap Giani saat mengantar keluarga itu ke luar. Sisil selintas memandang dengan senyum.

Dilan meredam perasaannya dengan ucapan mamanya. Kemudian segera beranjak ke kamarnya.

"Ingat yang Mama katakan, Dilan. Mama tidak main-main."

Dilan hanya mendengar tanpa menyahut teriakan Giani. Dia segera membuka pintu. Dilihatnya Dini masih tertidur pulas, demikian juga dengan Imah, yang tidur di lantai bawah, di karpet dekat TV dengan TV yang masih menyala.

"Bu, bangun!" Dilan menyentuh tangan Ima. Wanita setengah tua itu mengerjap.

"Maaf, Den,.. ketiduran."

"Ghak apa, Bu. Lagian yang Ibu jaga juga masih tidur lelap."

Ima tersenyum memandang Dini. Dia tau, Dini pasti kelelahan setelah apa yang dia kerjakan hari ini.

"Lagian, kenapa juga Ibu tidur di sini? Ibu kan bisa temani Dini dengan di atas?"

Ima hanya tersenyum. Dilan memang tak pernah membedakan siapa dirinya. Dia sudah diperlakukan dengan baik selama dia bekerja di rumah ini, sejak opanya masih hidup.

"Saya permisi duluh, Den."

Dilan yang baru teringat dengan apa yang akan ditanyakan, mengejar Ima sampai ke pintu. Namun tidak jadi saat melihat Ima sudah menutup kamarnya yang letaknya berjejer dengan kamar Sekar di ujung rumah ini. Besuk saja, pikirnya.

Dilan kembali ke kamar. Dilihatnya Dini masih tidur pulas. Dipeluknya Dini hangat dengan mata yang kembali mengaca. Segeralah sembuh Dini, aku tidak sabar melihatmu kembali sembuh. Aku ingin tau, apa setelah sembuh kamu bisa menerimaku atau masih membenciku lagi seperti duluh?

Dilan meraba-raba sampingnya. Masih mengantuk, dia mendapati Dini yang tak lagi di sisinya. Dengan cepat dia bangun. Dilihatnya kamar mandi, namun dia juga tak menemukan Dini. Dengan bergegas Dilan keluar, mencari keberadaan Dini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status