"Astaga, apa yang kamu lakukan?"
"Maaf, saya hanya bermain."
"Mama, lihat ini apa yang dilakukan kakak iparku?"
Dari dalam Giani tergopoh keluar. Namun kemudian dia terpeleset. "Dasar gadis gila!"
Imah yang datang, mengambil alat pel. Lalu mengepel lantai setelah membangunkan Dini. "Kamu ghak apa-apa, Dhuk?"
Dini menggeleng dengan memegangi pantatnya yang terasa sakit. "Saya hanya bermain, Bu"
"Duduk sini sebentar, Dhuk, biar Ibu selesaikan ngepelnya. Kamu sambil lihat cara Ibu ngepel, ya,"
Dini manggut-manggut.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ma?" tanya Davin.
Giani memegangi pinggang dan pantatnya. Gavin memijitnya pelan. "Memang dasar wanita gila, dia pikir rumah kita mainan."
"Mama tidak mengerjainya 'kan?" Davin curiga.
"Memang kamu pikir apa?"
"Hati-hati, Ma. Ketauan Dilan, Mama akan dapat masalah besar."
"Kamu mengancam Mama?"
"Davin mengingatkan Mama." Davin menghentikan pijitannya. "kalau Mama sudah baikan, Davin pergi lagi, Ma."
"Memangnya kenapa kamu jam segini pulang?"
"Ada berkas Davin yang tertinggal."
"Baiklah, Sayang. Hati-hati!" kata Giani.
Davin keluar dari kamar mamanya di lantai atas. Namun dia berbelok saat baru turun.
"Cantik! Cantik yang sempurna," guman Davin dengan terus memandangi Dini yang kini berlari menangkap kupu-kupu. Pantas kakakku tergila-gila padanya. Jadi gila saja sudah cantik, apalagi kalau nanti sudah sembuh dan bisa berdandan, bathinnya lagi.
"Den!"
Davin terkejut dengan datangnya Ima dari belakangnya. Dia lalu pergi dengan meninggalkan Dini. Sementara Ima mengelus dadanya. Dia tau betul siapa Davin.
"Bu, sini!. Kupu-kupunya lepas terus."
Ima tersenyum, lalu dia berjongkok, berusaha menangkap kupu-kupu untuk Dini.
"Hup!" ditangkapnya satu kupu-kupu. "Dapat."
Dini berjingkat mendekat, "Cari tempat, Bu,...cari tempat!" katanya sambil berjingkat-jingkat.
"Iya, ayo ke dalam cari tempat."
Sambil membawa kupu-kupu, wanita yang yang sudah tigapuluh tahun bekerja di rumah keluarga Hermawan itu melewati ruang samping.
"Rupanya ketularan gila kamu, Bi," celetuk Sekar.
Tak lama Dini sudah sholat. Walau sholat sekedarnya, tapi dia akan selalu sholat tiap mendengar adzan. Dia bahkan pernah sholat dua kali gara-gara azan subuh yang tak bersamaan antara dua aliran yang berbeda.
Imah memperhatikan Dini. Rasa kasihan terselip di hatinya. Setelah melepas mukenanya, Dini memegang perutnya.
"Lapar!" katanya lalu beranjak keluar. Saat itu dilihatnya Giani sudah duduk, makan di meja makan. Dini segera ke meja, hendak mengambil makanan.
"Siapa suruh makan di sini?"
Dini mematung.
"Bi Imah, ajak Dini makan di kamarmu."
"Tapi, Nya,.."
"Budeg ya, telingamu? Ajak dia makan di kamarmu. Aku ghak bisa menelan kalau ada dia di sini."
Imah tergopoh. Mengambilkan makanan sekedarnya yang disodorkan Giani, lalu mengajak makan Dini di kamarnya.
"Jangan cerita apapun ke Dilan!" kata Giani sambil beranjak dari tempatnya makan. "Dini jangan lupa, cuci piring yang kotor."
"Baik, Ma."
"Jangan panggil aku 'Mama'! Kamu tak pantas memanggilku 'Mama'"
"Ayo, Dhuk!"
"O, ya,... nanti malam ada rekan bisnis saya yang makan malam di sini. Saya sudah pesan makanan, kamu bertiga beresi rumah, bersiin semua pernik-pernik rumah ini dengan baik."
Ima mengangguk.
Dini menguap berkali-kali. Waktu tidur siangnya harus dia gunakan membersihkan rumah. Imah yang melihatnya hatinya teriris.
Tak terasa azhan Ashar berbunyi. Dini segera pergi ke kamarnya walau berkali-kali Giani meneriakinya. Dia pun sholat. Karena kelelahan, dia tertidur dengan masih mengenakan mukena. Hinggah tak terasa, tepukan lembut di pipinya membangunkannya.
"Kenapa kamu tidur dengan memakai mukena?"
"Ketiduran," ucapnya sambil tersenyum. "kamu kenapa pulangnya lama sekali?"
"Mas kerja, Din. Ya biasanya pulang jam segini," Dilan menjelaskan sambil melepas mukena Dini. "ih, bau asem, mandi sono. "
Dini terkekeh. "Cium duluh," rengeknya.
Dengan cepat Dilan mencium Dini, namun kali ini tidak lagi di kening atau pipi Dini, tapi di bibirnya. Dini terkesiap dengan terpaku memandangi Dilan.
"Ayo mandi, bau nih!" alih Dilan menahan gejolak dirinya setelah mencium Dini.
Dilan terdiam dengan pikirannya. Kenapa Dini seperti habis melakukan kerja berat?
Dini keluar dengan wajah segar dan tubuh harum. Dia sudah berpakaian lengkap. Dia memang membawa baju saat ke kamar mandi. Rambutnya yang basah dia gerai. Dilan menyalakan hairdyer dan mengeringkan rambut Dini. Kembali dia merasakan sensani yang berlebih di jiwa lelakinya.
"Sudah kering, aku mandi duluh." Dilan mengalihkan pikirannya.
"Heem. Bau."
"Ih, mana ada aku bau. Sini,.." Dilan meraih Dini dan membenamkan wajah Dini di tubuhnya.
"Ih, lepasin. Bau!"
Dilan terkekeh.
"Dilan, nanti ada rekan bisnis mama, kamu jangan biarkan dia keluar. Suruh Bi Ima temani dia." Tiba-tiba saja Giani datang.
"Lain kali kalau masuk kamar orang, mengetuk pintu duluh, Ma."
"Memangnya kenapa aku harus mengetuk pintu?"
"Bagaimanapun Dilan sekarang sudah beristri. Kalau Mama melihat yang tidak-tidak."
"Halah, istri apa,...orang gila saja!"
"Mama!" tak terasa suara Dilan meninggi. "maaf, Mama membuat Dilan sampai mengeluarkan kata-kata kasar. Dilan yang akan menjaga Dini."
"Kamu harus ikut di jamuan itu. Biar Dini dijaga Bi Ima."
Dilan terdiam Untuk ke-sekian kalinya dia harus mengalah. Menjadi pajangan melengkapi keharmonisan keluarga Pramono Aji di mata rekan-rekan bisnisnya.
Dini menguap. Dan makin sering setelah sholat maghrib. Dia bahkan tertidur saat menonton TV, bersandar di lengan Dilan . Dilan memapahnya ke tempat tidur. Mencium keningnya. Kembali dia heran dengan apa yang dikerjakan Dini hari ini sampai Dini seperti orang kelelahan. Baru saja dia beranjak, hendak bertanya ke Imah, di ruang tamu sudah ada satu keluarga.
"Ini anak Tante yang tertua, ...Dilan. Kenalan dong, Sil," ucap Giani kepada gadis muda yang diapit kedua orangtunya.
Sisil segera mengulurkan tangannya. Namun Dilan mengatupkan kedua tangannya di dada. Sisil nampak kecewa, namun kemudian malah menyunggingkan senyumnya. Cowok aneh, aku makin menyukainya. Lihat saja nanti,.. aku bakal mendapatkanmu! tekad Sisil.
Giani merasa tak enak hati dengan yang dilakukan Dilan. Namun setelah Dilan menyalami Bramantyo, papanya Sisil, dia menjadi lebih lunak."Maaf, anakku yang satu ini dari kecil hidup di pesantren, jadi tolong dimaklumi," ujar pramono, "Sini Dilan, duduk dekat Sisil," Rena, mamanya Sisil mempersilahkan Dilan. Namun Dilan hanya tersenyum."Di sini saja, Tan.""Sisil ini teman satu fakultas sama Kanaya," jelas Rena.Dilan mengangguk, dia dapat melihat Kanaya yang begitu akrap dengannya hinggah sering cekikikan bersama."Kita makan, yuk,.. ngobrolnya sambil makan saja," ajak Giani."Dia anak tunggal Tante Rena, lho, Dilan," kata Giani berusaha mengakrabkan Dilan dengan Sisil yang memang cantik dengan body aduhai itu. Tubuhnya yang tinggi proporsional dibalut gaun peach dengan lengan pendek, menampakkan kulit mulusnya yang sedikit terbuka."Dia pintar lho, Kak," kata Kanaya begitu mereka setelah makan duduk di taman dekat kolam."Heem, aku dapat melihatnya.""Sisil, dia kakakku yang the b
Dilan dengan tak sabar mencari keberadaan Dini. Dia seperti orang yang sudah kesurupan. Baru juga dia beranjak pergi ke taman di belakang, dia menemukan makanan yang tercecer di bawah dekat meja makan. "Ternyata kamu kelaparan, Din," gumannya pelan. Dilan merasa bersalah, kenapa dia tak menyediakan roti atau apa di kamarnya.Dilan kembali mencari keberadaan Dini dengan ke taman belakang. Terdengar raungan menyayat. Dilan yang tidak menyangka sama sekali mendekat. Menarik pria yang tak lain adalah adiknya sendiri dari tubuh Dini yang ditindihnya di balai dekat taman. Dipukulnya keras pria yang tubuhnya lebih besar dari dirinya itu hinggah terjungkal.Dini yang ketakutan segera menghambur memeluk Dilan."Bisa-bisanya kamu melakukan ini. Tidak taukah kamu siapa dia?" "Dia hanya wanita gila yang kaubawa kemari." Dengan sempoyongan Davin memegangi bibirnya yang keluar darah"Yang kausebut wanita gila itu istriku, Davin!"Ramai yang terjadi membuat Ima dan Sekar yang kamarnya dekat taman,
"Dia siapa, Dilan?" tanya Ajeng curiga. Hidung mancung itu, bulu mata lentik itu, rambut indah bergelombang hitam legam itu,..."Ya, dia ini istriku sekarang, Mi.""Maksud Ummi, siapa namanya?""Dini Yasmin, Mi. Kenapa?"Ajeng mundur selangkah setelah dia berdiri mendekati Dini. Bayangan gadis yang terbangun dengan airmata mengalir hampir setahun yang lalu, terlintas kembali."Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku," ucap Ajeng waktu itu. Namun gadis itu tak pernah memanggilnya sama sekali, bahkan sampai Ajeng berpamitan dan meninggalkan rumah itu, dia tak pernah merespon ucapannya. Dia hanya terdiam dengan sesekali airmata mengalir di pipinya yang tembem. Benarkah dia Dini yang sama?"Ummi, mau di sini? Dilan keluar nyapa Abi.""E,...i,..iya."Dilan sejenak tertegun. Melihat reaksi umminya dia merasa ada sesuatu yang terjadi. "Tolong jaga dia, Mi."Sampai di luar, Dilan sudah disambut pelukan oleh Ibra. Lelaki yang sudah seperti ayah bagi Dilan itu bahkan menepuk-nepuk punggungny
"Kamu kenapa?" Dilan meraih tubuh Dini yang terhuyung."Kepalaku agak berat, aku seperti pernah mendengar orang menyuruhku memanggilnya Ummi."Dilan tertegun. Dia tau Dini sedang mengingat sesuatu. Namun Dilan tak ingin membuat Dini stres dengan memikirkan apa yang knii tengah di kepalanya."Tenangkan dirimu, Din. Kamu tak perlu bersikeras mengingat semuanya. Nanti juga kamu akan mengingat dengan sendirinya," ucapnya lembut dengan mendudukkan Dini dengan tenang. Dilan mengambil air dan meminumkannya ke Dini. Saat dirasa Dini sudah tenang, Dilan menyodorkan roti untuknya. "Lapar?"Dini mengangguk, lalu memasukkan roti begitu saja ke mulutnya."Dini, pelan-pelan," tegur Dilan."Habis lapar banget setelah bangun tidur.""Nanti tersedat. Tuh, mulut kamu belepotan coklat." Dilan mengelap mulut Dini dengan ujung jarinya. Dipandanginya gadis di depannya dengan lekat. Dini pun makin mendekat hinggah wajah mereka menjadi tak berjarak. Tak terasa bibir mereka menyatu."Jadi benar dia Dini Yasm
Setelah Ajeng keluar, Dilan hanya terdiam, berkecamuk dengan pikirannya yang tak tentu. Dari duluh dia sudah tau tentang Dini yang mencintai orang lain, namun kenapa hatinya kini tersayat setelah mengetahui orang itu bukan orang lain, tapi orang yang telah dianggap seperti adiknya sendiri. Mereka sempat bersama selama beberapa tahun. Bian yang seusia Kanaya membuat Dilan merasa dialah yang justru adiknya. Yang suka dia goda sampai menangis. Hinggah Dilan harus pergi dari rumah untuk meneruskan keinginannya menjadi orang seperti Ibra yang menghafal Al Qur'an, dia meninggalkan adik yang sudah bisa diajak main bola itu dengan berat hati."Kamu pingin jadi muballigh kayak abimu?" saat itu mamanya sempat menentang keinginannya. Namun sang kakek, Hermawan, malah mendukungnya."Setidaknya kamu bisa belajar banyak tentang Al Qur'an duluh, biar nanti jadi pengusaha jadi pengusaha yang jujur," kata opanya waktu itu.Namun harapan opanya tidak juga dipenuhi Dilan. Saat dia pulang, dia mendapati
Semua yang di meja makan terlongo, terlebih Dilan."Apa maksud dari kata-kata Dini, Ma?""Ya, ghak tau, tanya aja ke orangnya," kata Giani dengan segera beranjak dari meja makan. Wajahnya sempat tegang dengan kata-kata yang ditinggal Dini. Namun bukan Giani kalau tak pandai berkelit.Imah yang beres-beres di dekat meja makan, menunduk merasa dilihat Dilan."Bu,..""Saya tak tau apa-apa, Den.""Baik, kalau kalian tak ada yang mau menjelaskannya. Suatu saat aku akan mendapat jawaban." Langkah Dilan menuju kamar dimana Dini berada.Dilihatnya Dini yang tiduran menelungkupkan wajahnya."Din, kamu kenapa?" Dilan memegang tangan Dini yang menutupi wajahnya."Lepas, lepaskan aku. Jangan sentuh aku!" teriak Dini, "kau pasti akan mengambil Azielku kembali.""Din,..!" Dibalikkannya wajah gadis itu, dan dipeluknya hangat, " ini aku Aziel, kamu masih bersamaku," ucapnya dengan hati yang tersayat karena mengakui dirinya adalah Aziel.Dini yang merasa orang yang memeluknya adalah Aziel, dia menumpa
"Kamu jadi pulang nanti sore, Jeng?" tanya Giani. Bagaimanapun juga Ajeng adalah adik satu-satunya. Dan dia amat menyayangi Ajeng."Iya, Mbak. Sebenarnya masih ingin lama di sini, tapi pekerjaan abinya ghak bisa ditinggal lama. Kami baru saja membuka cabang baru.""Hebat suami kamu. Ghak nyangka seorang muballigh kemudian menjadi pengusaha. Pengusaha yang ada hubungannya dengan pekerjaan lamanya.""Heem, Mbak. Mulanya diusuli teman-temannya untuk membuka jasa haji dan umroh. Ghak taunya yang percaya Abi amat banyak. Mereka yang membuat usaha kami maju." Sekilas Ajeng mengingat Bian yang telah mengutarakan maksudnya untuk mengelola travel cabang setelah menikahi Dini, namun tidak dihiraukan mereka."Coba kalau anakmu masih ada, akan ada yang membantu kalian mengelola usaha, jadinya Ibra ghak lari-lari dikejar kerjaan." Ajeng terdiam. Luka itu kembali menganga."Ummi!"Ajeng menoleh. Lalu menyunggingkan senyumnya melihat gadis cantik yang tengah memanggilnya tersenyum."Lho, ini,... ad
"Mbak, tolong yang dipakai menekin itu untuk istri saya." Dilan berusaha menuruti apa kemauan Dini. Sesekali dia melihat kembali ke arah orang itu. Dilan celingukan, namun merasa lega. Mereka telah pergi. Mudah-mudahan itu hanya sangkaanku belaka. Bukan apa-apa."Kami bisa ambil di stok, Pak. Tinggal tanya ukuran mbaknya berapa." Penjaga distro itu mencoba menawar."Maaf, Mbak, yang diinginkan dia di makenin itu. Nanti saya bayar lebih untuk Mbak. Tolong! Mbak tau sendiri bagaimana istri saya, jadi tolong dimaklumi." Dilan sampai memohon.Pramuniaga yang kerap melihat tingkah Dini yang menurutnya aneh itu kemudian tersenyum dan paham. Dengan merasa kagum pada Dilan. "Baiklah, Pak. Ditunggu ya?""Terimakasih, Mbak. Maaf merepotkan.""Dia benar-benar gadis beruntung. Seperti itu dapat orang tajir, tampan pula," bisik salah seorang pramuniaga itu."Hust, jaga bicaramu. Nanti mereka denger.""Cowok itu kelihatan sayang banget, jadi ngiri," ujar yang satunya."Nanti mbaknya juga akan dap
Aziel...Namanya masih terngiang di kepalaku, berputar seperti gema dalam ruangan kosong. Semua terjadi begitu cepat. Suaranya yang menyebut Allah menjadi kalimat terakhir yang kudengar darinya. Seakan dunia berhenti bersuara ketika tubuhnya terkulai. Perawat yang berdiri di sisinya hanya memandangiku dengan sorot mata penuh iba, lalu mengucapkan kalimat itu:"Maaf, Mbak, dia sudah pergi selamanya."Aku tidak bisa merespons. Tubuhku kaku, seperti terikat oleh ribuan tali yang tak terlihat. Seorang mbak di kemah itu yang menemani sejak tadi kini merangkulku, tubuhku gemetar di pelukannya. "Yang sabar, ya, Dik. Dia pasti bahagia di sana. Tolong ikhlaskan."Ikhlaskan? Kata itu seperti pisau yang menusuk pelan, tapi berulang-ulang. Aku mencoba membuka mulut, memanggil namanya, Aziel. Kata itu keluar lirih, disertai air mata yang sudah tak bisa kubendung."Jangan pergi... Kita pasti akan menikah. Kita akan sekolah bersama..." ucapku di antara isak tangis. Tapi kalimatku menggantung. Dunia
Dini mengusap airmata yang tiba-tiba saja mengalir. Ingatan dia pada Aziel membuatnya menangis. Salahkah aku jika aku masih menangisinya, sementara ada suamiku yang begitu menyayangiku? Bathin Dini dengan kembali menitikkan airmata saat dia meras tak adil pada Dilan karena hatinya masih terbagi."Tolong diteruskan," perintah Pak Hakim saat melihat Dini menunduk.Aku dan Aziel menatap ke arah datangnya suara yang ternyata ada di belakang kami. Aziel terperanjak dengan tangan mengepal. Kata-kata tak senonoh itu bahkan tak pantas untuk didengar seekor jangkrik yang kebetulan lewat."Danu?" ucapku spontan manakala seseorang yang di belakang kedua orang itu, menampakkan wajahnya."Kamu pikir kamu bisa dimiliki orang lain, sebelum aku mencicipimu?" ucapnya dengan wajah merah padam. Aku bahkan seolah tak mengenalinya lagi. Sosok yang duluh amat kuhormati bahkan kuidolai, kini bisa mengatakan semua itu."Jaga ucapanmu!" bentak Aziel."Kamu telah menolakku, Dini. Aku datang dengan baik-baik me
"Ibu sehat?" tanya Dilan. Lalu mencium punggung tangan wanita di depannya."Sehat, Nak. Lihat, nih," ucap Astri tersenyum."Ibu sudah tidak sabar pingin ketemu Dini, Dilan, sampai pas aku telpon kamu semalam, Ibu pingin ngomong sama Dini."Kapan Mas telpon?" tanya Dini pada Fahmi."Tadi malam," jawab Fahmi. yang segera membuat mata Dini membelalak menatap Dilan yang hanya cengingisan di depannya."Jadi Mas Fahmi yang telpon, Mas? Yang kamu sembunyikan itu?""He,he, he,.. kejutan, Dek.""Ih, bisa-bisanya ya, kamu,.." Dini sudah menimpuk Dilan dengan tas kecil yang dibawanya."Dini,..apa-apaan sih kamu, sama suami kamu ghak sopan begitu?" tegur Astri."Ya, begitu itu, Bu, anak Ibu. Ghak sopan sama suami."Dini makin menggertakkan giginya. Dilan hanya ngakak tertawa."Ibu,..!" Dini segera memeluk Astri. "Aku kangen sekal sama Ibu,""Ibu juga, Nak. Kamu baik-baik saja, kan?"Dini hampir saja bercerita tentang kejadian semalam, tapi Dilan memegang tangannya, "Kami baik-baik saja, Bu. Aku
Pria itu mengulurkan air mineral untuk Dini dan Dilan. "Mas, nggak kenapa-napa?" suara beratnya terdengar.Dilan menoleh dan tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma kaget aja.""Maaf, Mas. Saya tadi telat datang karena ada keperluan mendadak," ujar pria itu.Dini memandang pria itu dengan tatapan bingung. "Mas, ini siapa?"Dilan membantu Dini bangkit, kemudian beralih menatap pria tersebut. "Dia? suruan Papa, Din.""Suruan Papa?" Dini mengerutkan dahi, bingung dengan istilah yang baru saja keluar dari mulut suaminya.Dilan tertawa kecil, mencoba menenangkan istrinya. "Maksudnya dia ini yang jaga kita, Din. Nggak usah khawatir. Sekarang kita masuk ke dalam aja, ya."Dini masih ingin bertanya lebih banyak, tapi melihat tatapan serius Dilan, ia memilih untuk menurut. Mereka berjalan menuju kamar resort dengan pria tadi mengikuti di belakang, memastikan semuanya aman."Terimakasih, Pak. Bapak bisa pergi sekarang. Insyaallah ghak ada apa-apa."Setelah masuk ke kamar, Dilan mengun
Dini mengerutkan alis sambil mengunyah jagung bakarnya yang mulai dingin. Aroma asap arang yang menguar dari kedai di tepi pantai membuat perutnya kembali bergemuruh, meskipun tangannya sudah memegang setengah potongan jagung bakar yang tersisa. Matanya menatap kosong ke depan, ke arah laut yang tenang dengan ombak kecil yang menggulung perlahan."Mas, aku baru ingat. Kita belum telpon Bu Ima. Kasihan, dia sendirian di rumah," katanya tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.Dilan, yang sedang menggoyang-goyangkan gelas es kelapa di tangannya hingga terdengar suara es yang beradu dengan dinding gelas, hanya terkekeh pelan. "Sudah aman, kok. Nggak perlu khawatir. Bu Ima nggak bakal takut di sana."Dini mengangkat wajah, menatap suaminya dengan rasa ingin tahu. Alisnya yang tipis sedikit berkerut, menambah ekspresi herannya. "Lho, kok bisa yakin? Kenapa?""Ada yang nemenin," jawab Dilan sambil memamerkan senyum kecil, ekspresi wajahnya seperti menyimpan rahasia yang sengaja ingin
"Tuh, kan, gimana ini?" Dini merajuk. "Kamu sih, Mas aneh-aneh yang kamu kerjain, jadi gimana, dong?""Maaf, ya,.." DIlan merasa ghak enak. Direngkuhnya Dini di pelukannya. Ciuman di ubun-ubun pun dia lakukan sebagai penebus rasa bersalah. Namun Dilan lantas merasa aneh, tubuh Dini terguncang. Bukan karena menangis, tapi terkekeh. Cepat-cepat Dilan mengangkat wajah istrinya itu dari pangkuannya."Dini,..kamu bikin ulah apa lagi? Aku ngerasa bersalah, kamu malah tertawa.""Seneng banget bikin kamu begitu. Ngersa aku makin kamu sayang.""Emang kamu kurang bukti apa lagi sampai kamu bikin perasaanku kayak gini?" Dengan gemes Dilan menciumi Dini sampai wanita itu ampun-ampun. "Hayo ngomong sama aku, kenapa kamu ketawai aku?"Dini mengambil nafas masih dengan menyimpan senyumnya. "Mas tau ghak, rumahnya yang sebelahan sama kita, itu kan bidan," kata Dini dengan manja meletakkan kepalanya di pangkuan Dilan."Memangnya kenapa?""Kapan hari aku ke sana Kb. Dia menyuruhku tes urin terlebih d
"Maaf, Pak. Seperti juga kemarin-kemarin, setiap mau masuk, saya harus memastikan ruangan ini aman terlebih dahulu. Seorang saksi kunci di persidangan besuk akan menjalani tes di ruangan ini." Seseorang menjelaskan pada pihak kampus setelah menyerahkan bukti resmi dari kepolisian seperti yang dia lakukan pada hari-hari sebelumnya.Petugas kampus selalu mengangguk. Mereka memang sebelumnya telah diberi penjelasan.Dini yang datang selalu heran, kenapa di ruangannya selalu ada seseorang berpostur tinggi tegap yang pergi setelah dia datang. Namun itu tak terlalu dipikirkannya. Dia sudah bisa bersyukur bisa mengikuti tes ini hinggah akhir. Apalagi bisa memilih siang, setelah Dilan menyelesaikan kerjanya walau dengan izin pulang lebih cepat satu jam dari biasanya. Kalau saja pengacara yang disewa Pramono tidak minta mundur untuk kesaksian Dini, dia memilih mundur tak mengikuti tes. Untunglah aku bisa mengikuti ujian ini. Semoga nanti kau lolos, do'a DiniDini juga sering merasa aneh diperl
Hati dini berdetak lebih keras dari biasanya. Apalagi yang akan dikatakan lelaki itu dengan mengirim WA, resah Dini.Dilan yang mengetahui keresahan Dini, merangkul pundaknya. Berusaha menenangkannya. "Jangan takut, Dek. Kamu akan baik-baik saja, percaya Mas," hibur Dilan yang kemudian sudah membuka pesan WA Dini tersebut. Terlihat jelas logo sebuah hotel terpampang. Nama Elsa mengikuti di balik pesanannya. "Duapuluh rangkaian bunga meja setiap hari. Kamu sanggup?"Dini mendekatkan matanya menatap layar handphone, hinggah wajahnya amat dekat dengan Dilan, "Apa? Duapuluh rangkaian, Mas?" Wajahnya berbinar yang kemudian mendadak bersemu merah saat Dilan mendaratkan ciuman di pipinya."Iya. Selamat ya!" Kembali Dilan menghadiai Dini ciuman. Kali ini lebih diperdalam di bibirnya dengan menatap wajah Dini lekat. Baginya, kebahagiaan Dini adalah segalanya. Dan bunga itu adalah kehidupan bagi Dini yang merasakan kebahagiaan saat karyanya dihargai orang dengan membelinya. Pekerjaan yang dulun
Mereka sudah tiba di kantin rumah sakit jiwa tempat Dilan bekerja. Suasana nampak ruh oleh pegawai rumah sakit juga keluarga pasien yang datang menjenguk"Makan duluh ya, Dek?" tanya Dilan yang sudah menggandeng Dini untuk duduk di kursi kantin rumah sakit. Ditariknya kursi untuk diduduki Dini.Dini sontak menatap Dilan dengan tajam. "Tentu saja, Sayangku.L lawong kita juga udah di sini gitu, Mas. Emang mau ngapain kalau bukan mau makan."Dilan tertawa, ngakak. "Aku pikir kita mau itu,.." Dilan mengerling. Sebuah timpukan sudah didaratkan Dini. "Otak kamu ngeres melulu."Tawa Dilan makin keras."Biar ghak tegang. Setelah membaca WA kamu sepertinya tak ada semangat." Dilan segera diuduk di sebelah Dini, menatap Dini tanpa merasa puas. Seolah kalau memungkinkan, matanya tak berhenti bergerak dari wajah Dini.Dini setelah terdiam sesaat, dia menatap Dilan. Matanya yang bersitatap, masih kerap memberinya debar-debar halus. "Terkadang aku takut, Mas. Mereka memutarbalikkan fakta. Bukannya a