Share

Bab 05. Kekhawatiran Dilan

Dilan mendekati Dini. Sepertinya dia tak mampu mengerem dirinya. Namun yang mencium, justru sudah terlelap dalam tidurnya. Dilan tersenyum, memegangi kepalanya yang seperti berdenyut menahan hasrat. Dengan sayang, diciumnya kening Dini. Untunglah kamu sudah tidur, jika tidak, aku tidak tau apa yang terjadi dengan diriku. Bagaimanapun sekarang ini kamu dalam kondisi yang tidak sadar, dan aku tak ingin mengambil keuntungan dari semua ini, bathinnya kelu dengan merengkuh Dini dalam pelukannya.

Sementara Dilan masih tak dapat memejamkan matanya, mengingat bagaimana dia besuk bisa meninggalkan Dini di rumahnya. Berkali-kali disentuhnya bibirnya dengan menyentuh bibir Dini dengan jemarinya. Rasanya dia ingin membalas ciuman itu kembali, tapi diurungkannya. Dia takut, dia akan menuntut yang lain lagi seperti tadi. 

Dilan bangun di saat Subuh telah berkumandang. Dilihatnya Dini yang sudah tersenyum memandanginya. Bajunya sudah berganti dengan terusan, bukan baju tidur lagi. Tubuhnya pun sudah harum bau handbodi yang dipakainya.

"Wah, istri aku sudah cantik," ujar Dilan terpana dengan kecantikan Dini. "sini, cium, Mas.!"

"Ih, apaan sih," Dini tersipu, " panggil Mas lagi."

"Aku kan sudah jadi suamimu, masak iya, kamu masih panggil namaku saja."

Dini hanya tersenyum, lalu membiarkan pipinya dicium Dilan saat dia mendekati suaminya yang meraih tubuhnya itu.

"Adu, sakit, tau!" teriak Dini manakala Dilan mencoel hidung mancungnya.

Dilan terkekeh  dengan beranjak ke kamar mandi.

 "Kamu benar-benar jadi orang asing sekarang," teriak Dini dengan bersungut mengingat kenapa kini Dilan seolah orang asing, bukan seperti Aziel yang pernah dia kenal duluh.

"Kamu sudah sholat ya?" tanya Dilan setelah keluar kamar mandi. Rambutnya yang panjang depan menetes oleh air wudhu.

Dini menggeleng. Lalu mengambil mukenanya. Mengikuti Dilan yang sholat .

"Aku kok ngerasa kamu sekarang aneh, ya," ucap Dini setelah mereka menyelesaikan sholatnya.

"Aneh bagaimana?"

"Kamu lebih suka menggoda. Aku jadi teringat seseorang yang,..." Dini memegang kepalanya. Rasa sakit tiba-tiba saja datang. Dia memang merasakan sakit  kepala jika dipaksa mengingat sesuatu.

"Sudahlah, kamu hanya aneh saja melihat sisi lain dari diriku yang sebenarnya romantis," guraunya. "Duluh kan kita masih pacaran, masak iya aku bisa romantis-romantisan sama kamu, dosa tau!"

"Tapi bukan hanya itu, kamu duluh ghak seperti ini. Kamu hampir tak pernah tertawa, hanya tersenyum. Sekarang?"

Dilan mendekat dan meraih tubuh kurus Dini, memeluknya hangat, "Aku tuh bahagia banget dapetin kamu, makanya sekarang aku mau tertawa saja sepuasnya." Dilan merasa tak enak hati dengan kebohongannya, "ayo kita keluar, kita makan."

Dini menggandeng Dilan, namun kemudian menyelinap di belakang Dilan manakala dilihatnya sorot mata Giani menatapnya.

"Mama ghak ke kantor?" sapa Dilan begitu dilihatnya mamanya tidak memakai baju rapi seperti biasanya. Rambutnya pun dikuncir, tidak digerai seperti saat dia pergi.

"Badan Mama pegal-pegal, kayaknya ghak enak badan."

"Dini, sini, duduk,.. jangan berdiri terus," ucap Pramono dengan memberikan kursi untuk diduduki Dini.

Sementara kedua adik Dilan, Davin dan Kanaya hanya memandang Dini sinis.

"Kanaya pergi duluh, Ma," pamit gadis itu dengan segera meninggalkan ruang makan.

"Pagi sekali, Nay?" tanya Pramono heran.

"Ada kuliah pagi, Pa," katanya sambil memandang Dini selintas. Gadis yang seusia Dini, 19 tahun itu, yang seharusnya bisa jadi teman Dini, malah mengacuhkannya.

Hening. Dilan hanya sibuk dengan Dini yang makan begitu lahap. Sesekali dia hanya terkekeh dengan ulah Dini yang menghabiskan banyak makanan dengan cepat, lalu bersendawa.

"Dasar gadis kampung!" Giani segera bangkit, "kayak ghak pernah makan setahun."

"Jangan diambil hati sikap mamamu, Dilan," ucap Pramono yang kemudian pergi ke kantor.

"Bu, tolong jaga Dini. Ajak dia di kamar nonton TV.  Duluh Ibu mengasuh saya, saya harap Ibu sekarang bisa mengasuh Dini walau dia memang bukan anak kecil." Setelah memakai seragam kerjanya, Dilan berpesan ke Imah. Dia merasa berat hati meninggalkan Dini. Imah, pembantu yang telah mengasuh Dilan sejak dia ditinggal mamanya ke luar negri itu, mengangguk. Dia sudah seperti orang tua bagi Dilan, selain Ajeng, hinggah dia memanggilnya Ibu, bukan Bibi seperti yang lain memanggilnya.

"Mas pergi duluh, kamu baik-baik di rumah." Dilan mengulurkan tangannya, dan Dini menyambutnya dengan mencium tangan suaminya.

Imah lalu mengajak Dini ke kamarnya.

"Mau ke mana kamu Dini?"

"Mau saya ajak ke kamar, Nyonya."

Perempuan cantik itu mendekati Dini. "Cuci piring. Habis makan enak saja kamu pergi ke kamar."

"Tapi, Nya,.. saya bisa mencucinya nanti. Biar den Dini saya antar ke kamar duluh."

"Kamu bisa "kan cuci piring di rumahmu?" tanyanya ke Dini.

"Bisa," ucap Dini malah tersenyum, "saya biasa cuci piring jika Ibu pergi kerja."

"Baguslah," Giani berkacak pinggang. "cuci yang bersih, baru nanti siang kamu dapat makan enak lagi seperti tadi."

Dini mengangguk-angguk tersenyum. Lalu dia memulai kerjanya.

"Imah, jangan dekat-dekat," teriak Giani lagi setelah hampir meninggalkan dapur dan melihat Ima mendekati Dini.

"Kalau tidak bersih bagaimana, Nya?"

"Bener juga, kamu!"

Imah segera membantu Dini. Dielusnya kepala gadis yang tertutup jilbab instan itu. "Yang sabar ya, Dhuk!"

Dini hanya tersenyum. Dia bahkan bernyanyi-nyanyi kecil. "Nanti kan dapat makan enak, Bi."

Ima mengelus dadanya.

Namun yang diperintahkan untuk Dini tidak hanya sebatas itu. Sekar, pembantu yang bertugas membersihkan rumah, bahkan tersenyum senang dengan tugasnya yang diambil alih Dini.

Dini bernyanyi-nyanyi dengan mengepel lantai, Diguyurnya air, dia kemudian perosotan di sana. Tak terasa dia menabrak seseorang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status