Dilan mendekati Dini. Sepertinya dia tak mampu mengerem dirinya. Namun yang mencium, justru sudah terlelap dalam tidurnya. Dilan tersenyum, memegangi kepalanya yang seperti berdenyut menahan hasrat. Dengan sayang, diciumnya kening Dini. Untunglah kamu sudah tidur, jika tidak, aku tidak tau apa yang terjadi dengan diriku. Bagaimanapun sekarang ini kamu dalam kondisi yang tidak sadar, dan aku tak ingin mengambil keuntungan dari semua ini, bathinnya kelu dengan merengkuh Dini dalam pelukannya.
Sementara Dilan masih tak dapat memejamkan matanya, mengingat bagaimana dia besuk bisa meninggalkan Dini di rumahnya. Berkali-kali disentuhnya bibirnya dengan menyentuh bibir Dini dengan jemarinya. Rasanya dia ingin membalas ciuman itu kembali, tapi diurungkannya. Dia takut, dia akan menuntut yang lain lagi seperti tadi.
Dilan bangun di saat Subuh telah berkumandang. Dilihatnya Dini yang sudah tersenyum memandanginya. Bajunya sudah berganti dengan terusan, bukan baju tidur lagi. Tubuhnya pun sudah harum bau handbodi yang dipakainya.
"Wah, istri aku sudah cantik," ujar Dilan terpana dengan kecantikan Dini. "sini, cium, Mas.!"
"Ih, apaan sih," Dini tersipu, " panggil Mas lagi."
"Aku kan sudah jadi suamimu, masak iya, kamu masih panggil namaku saja."
Dini hanya tersenyum, lalu membiarkan pipinya dicium Dilan saat dia mendekati suaminya yang meraih tubuhnya itu.
"Adu, sakit, tau!" teriak Dini manakala Dilan mencoel hidung mancungnya.
Dilan terkekeh dengan beranjak ke kamar mandi.
"Kamu benar-benar jadi orang asing sekarang," teriak Dini dengan bersungut mengingat kenapa kini Dilan seolah orang asing, bukan seperti Aziel yang pernah dia kenal duluh.
"Kamu sudah sholat ya?" tanya Dilan setelah keluar kamar mandi. Rambutnya yang panjang depan menetes oleh air wudhu.
Dini menggeleng. Lalu mengambil mukenanya. Mengikuti Dilan yang sholat .
"Aku kok ngerasa kamu sekarang aneh, ya," ucap Dini setelah mereka menyelesaikan sholatnya.
"Aneh bagaimana?"
"Kamu lebih suka menggoda. Aku jadi teringat seseorang yang,..." Dini memegang kepalanya. Rasa sakit tiba-tiba saja datang. Dia memang merasakan sakit kepala jika dipaksa mengingat sesuatu.
"Sudahlah, kamu hanya aneh saja melihat sisi lain dari diriku yang sebenarnya romantis," guraunya. "Duluh kan kita masih pacaran, masak iya aku bisa romantis-romantisan sama kamu, dosa tau!"
"Tapi bukan hanya itu, kamu duluh ghak seperti ini. Kamu hampir tak pernah tertawa, hanya tersenyum. Sekarang?"
Dilan mendekat dan meraih tubuh kurus Dini, memeluknya hangat, "Aku tuh bahagia banget dapetin kamu, makanya sekarang aku mau tertawa saja sepuasnya." Dilan merasa tak enak hati dengan kebohongannya, "ayo kita keluar, kita makan."
Dini menggandeng Dilan, namun kemudian menyelinap di belakang Dilan manakala dilihatnya sorot mata Giani menatapnya.
"Mama ghak ke kantor?" sapa Dilan begitu dilihatnya mamanya tidak memakai baju rapi seperti biasanya. Rambutnya pun dikuncir, tidak digerai seperti saat dia pergi.
"Badan Mama pegal-pegal, kayaknya ghak enak badan."
"Dini, sini, duduk,.. jangan berdiri terus," ucap Pramono dengan memberikan kursi untuk diduduki Dini.
Sementara kedua adik Dilan, Davin dan Kanaya hanya memandang Dini sinis.
"Kanaya pergi duluh, Ma," pamit gadis itu dengan segera meninggalkan ruang makan.
"Pagi sekali, Nay?" tanya Pramono heran.
"Ada kuliah pagi, Pa," katanya sambil memandang Dini selintas. Gadis yang seusia Dini, 19 tahun itu, yang seharusnya bisa jadi teman Dini, malah mengacuhkannya.
Hening. Dilan hanya sibuk dengan Dini yang makan begitu lahap. Sesekali dia hanya terkekeh dengan ulah Dini yang menghabiskan banyak makanan dengan cepat, lalu bersendawa.
"Dasar gadis kampung!" Giani segera bangkit, "kayak ghak pernah makan setahun."
"Jangan diambil hati sikap mamamu, Dilan," ucap Pramono yang kemudian pergi ke kantor.
"Bu, tolong jaga Dini. Ajak dia di kamar nonton TV. Duluh Ibu mengasuh saya, saya harap Ibu sekarang bisa mengasuh Dini walau dia memang bukan anak kecil." Setelah memakai seragam kerjanya, Dilan berpesan ke Imah. Dia merasa berat hati meninggalkan Dini. Imah, pembantu yang telah mengasuh Dilan sejak dia ditinggal mamanya ke luar negri itu, mengangguk. Dia sudah seperti orang tua bagi Dilan, selain Ajeng, hinggah dia memanggilnya Ibu, bukan Bibi seperti yang lain memanggilnya.
"Mas pergi duluh, kamu baik-baik di rumah." Dilan mengulurkan tangannya, dan Dini menyambutnya dengan mencium tangan suaminya.
Imah lalu mengajak Dini ke kamarnya.
"Mau ke mana kamu Dini?"
"Mau saya ajak ke kamar, Nyonya."
Perempuan cantik itu mendekati Dini. "Cuci piring. Habis makan enak saja kamu pergi ke kamar."
"Tapi, Nya,.. saya bisa mencucinya nanti. Biar den Dini saya antar ke kamar duluh."
"Kamu bisa "kan cuci piring di rumahmu?" tanyanya ke Dini.
"Bisa," ucap Dini malah tersenyum, "saya biasa cuci piring jika Ibu pergi kerja."
"Baguslah," Giani berkacak pinggang. "cuci yang bersih, baru nanti siang kamu dapat makan enak lagi seperti tadi."
Dini mengangguk-angguk tersenyum. Lalu dia memulai kerjanya.
"Imah, jangan dekat-dekat," teriak Giani lagi setelah hampir meninggalkan dapur dan melihat Ima mendekati Dini.
"Kalau tidak bersih bagaimana, Nya?"
"Bener juga, kamu!"
Imah segera membantu Dini. Dielusnya kepala gadis yang tertutup jilbab instan itu. "Yang sabar ya, Dhuk!"
Dini hanya tersenyum. Dia bahkan bernyanyi-nyanyi kecil. "Nanti kan dapat makan enak, Bi."
Ima mengelus dadanya.
Namun yang diperintahkan untuk Dini tidak hanya sebatas itu. Sekar, pembantu yang bertugas membersihkan rumah, bahkan tersenyum senang dengan tugasnya yang diambil alih Dini.
Dini bernyanyi-nyanyi dengan mengepel lantai, Diguyurnya air, dia kemudian perosotan di sana. Tak terasa dia menabrak seseorang.
"Astaga, apa yang kamu lakukan?""Maaf, saya hanya bermain.""Mama, lihat ini apa yang dilakukan kakak iparku?"Dari dalam Giani tergopoh keluar. Namun kemudian dia terpeleset. "Dasar gadis gila!"Imah yang datang, mengambil alat pel. Lalu mengepel lantai setelah membangunkan Dini. "Kamu ghak apa-apa, Dhuk?"Dini menggeleng dengan memegangi pantatnya yang terasa sakit. "Saya hanya bermain, Bu""Duduk sini sebentar, Dhuk, biar Ibu selesaikan ngepelnya. Kamu sambil lihat cara Ibu ngepel, ya," Dini manggut-manggut. "Sebenarnya apa yang terjadi, Ma?" tanya Davin.Giani memegangi pinggang dan pantatnya. Gavin memijitnya pelan. "Memang dasar wanita gila, dia pikir rumah kita mainan.""Mama tidak mengerjainya 'kan?" Davin curiga."Memang kamu pikir apa?""Hati-hati, Ma. Ketauan Dilan, Mama akan dapat masalah besar.""Kamu mengancam Mama?""Davin mengingatkan Mama." Davin menghentikan pijitannya. "kalau Mama sudah baikan, Davin pergi lagi, Ma.""Memangnya kenapa kamu jam segini pulang?""A
Giani merasa tak enak hati dengan yang dilakukan Dilan. Namun setelah Dilan menyalami Bramantyo, papanya Sisil, dia menjadi lebih lunak."Maaf, anakku yang satu ini dari kecil hidup di pesantren, jadi tolong dimaklumi," ujar pramono, "Sini Dilan, duduk dekat Sisil," Rena, mamanya Sisil mempersilahkan Dilan. Namun Dilan hanya tersenyum."Di sini saja, Tan.""Sisil ini teman satu fakultas sama Kanaya," jelas Rena.Dilan mengangguk, dia dapat melihat Kanaya yang begitu akrap dengannya hinggah sering cekikikan bersama."Kita makan, yuk,.. ngobrolnya sambil makan saja," ajak Giani."Dia anak tunggal Tante Rena, lho, Dilan," kata Giani berusaha mengakrabkan Dilan dengan Sisil yang memang cantik dengan body aduhai itu. Tubuhnya yang tinggi proporsional dibalut gaun peach dengan lengan pendek, menampakkan kulit mulusnya yang sedikit terbuka."Dia pintar lho, Kak," kata Kanaya begitu mereka setelah makan duduk di taman dekat kolam."Heem, aku dapat melihatnya.""Sisil, dia kakakku yang the b
Dilan dengan tak sabar mencari keberadaan Dini. Dia seperti orang yang sudah kesurupan. Baru juga dia beranjak pergi ke taman di belakang, dia menemukan makanan yang tercecer di bawah dekat meja makan. "Ternyata kamu kelaparan, Din," gumannya pelan. Dilan merasa bersalah, kenapa dia tak menyediakan roti atau apa di kamarnya.Dilan kembali mencari keberadaan Dini dengan ke taman belakang. Terdengar raungan menyayat. Dilan yang tidak menyangka sama sekali mendekat. Menarik pria yang tak lain adalah adiknya sendiri dari tubuh Dini yang ditindihnya di balai dekat taman. Dipukulnya keras pria yang tubuhnya lebih besar dari dirinya itu hinggah terjungkal.Dini yang ketakutan segera menghambur memeluk Dilan."Bisa-bisanya kamu melakukan ini. Tidak taukah kamu siapa dia?" "Dia hanya wanita gila yang kaubawa kemari." Dengan sempoyongan Davin memegangi bibirnya yang keluar darah"Yang kausebut wanita gila itu istriku, Davin!"Ramai yang terjadi membuat Ima dan Sekar yang kamarnya dekat taman,
"Dia siapa, Dilan?" tanya Ajeng curiga. Hidung mancung itu, bulu mata lentik itu, rambut indah bergelombang hitam legam itu,..."Ya, dia ini istriku sekarang, Mi.""Maksud Ummi, siapa namanya?""Dini Yasmin, Mi. Kenapa?"Ajeng mundur selangkah setelah dia berdiri mendekati Dini. Bayangan gadis yang terbangun dengan airmata mengalir hampir setahun yang lalu, terlintas kembali."Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku," ucap Ajeng waktu itu. Namun gadis itu tak pernah memanggilnya sama sekali, bahkan sampai Ajeng berpamitan dan meninggalkan rumah itu, dia tak pernah merespon ucapannya. Dia hanya terdiam dengan sesekali airmata mengalir di pipinya yang tembem. Benarkah dia Dini yang sama?"Ummi, mau di sini? Dilan keluar nyapa Abi.""E,...i,..iya."Dilan sejenak tertegun. Melihat reaksi umminya dia merasa ada sesuatu yang terjadi. "Tolong jaga dia, Mi."Sampai di luar, Dilan sudah disambut pelukan oleh Ibra. Lelaki yang sudah seperti ayah bagi Dilan itu bahkan menepuk-nepuk punggungny
"Kamu kenapa?" Dilan meraih tubuh Dini yang terhuyung."Kepalaku agak berat, aku seperti pernah mendengar orang menyuruhku memanggilnya Ummi."Dilan tertegun. Dia tau Dini sedang mengingat sesuatu. Namun Dilan tak ingin membuat Dini stres dengan memikirkan apa yang knii tengah di kepalanya."Tenangkan dirimu, Din. Kamu tak perlu bersikeras mengingat semuanya. Nanti juga kamu akan mengingat dengan sendirinya," ucapnya lembut dengan mendudukkan Dini dengan tenang. Dilan mengambil air dan meminumkannya ke Dini. Saat dirasa Dini sudah tenang, Dilan menyodorkan roti untuknya. "Lapar?"Dini mengangguk, lalu memasukkan roti begitu saja ke mulutnya."Dini, pelan-pelan," tegur Dilan."Habis lapar banget setelah bangun tidur.""Nanti tersedat. Tuh, mulut kamu belepotan coklat." Dilan mengelap mulut Dini dengan ujung jarinya. Dipandanginya gadis di depannya dengan lekat. Dini pun makin mendekat hinggah wajah mereka menjadi tak berjarak. Tak terasa bibir mereka menyatu."Jadi benar dia Dini Yasm
Setelah Ajeng keluar, Dilan hanya terdiam, berkecamuk dengan pikirannya yang tak tentu. Dari duluh dia sudah tau tentang Dini yang mencintai orang lain, namun kenapa hatinya kini tersayat setelah mengetahui orang itu bukan orang lain, tapi orang yang telah dianggap seperti adiknya sendiri. Mereka sempat bersama selama beberapa tahun. Bian yang seusia Kanaya membuat Dilan merasa dialah yang justru adiknya. Yang suka dia goda sampai menangis. Hinggah Dilan harus pergi dari rumah untuk meneruskan keinginannya menjadi orang seperti Ibra yang menghafal Al Qur'an, dia meninggalkan adik yang sudah bisa diajak main bola itu dengan berat hati."Kamu pingin jadi muballigh kayak abimu?" saat itu mamanya sempat menentang keinginannya. Namun sang kakek, Hermawan, malah mendukungnya."Setidaknya kamu bisa belajar banyak tentang Al Qur'an duluh, biar nanti jadi pengusaha jadi pengusaha yang jujur," kata opanya waktu itu.Namun harapan opanya tidak juga dipenuhi Dilan. Saat dia pulang, dia mendapati
Semua yang di meja makan terlongo, terlebih Dilan."Apa maksud dari kata-kata Dini, Ma?""Ya, ghak tau, tanya aja ke orangnya," kata Giani dengan segera beranjak dari meja makan. Wajahnya sempat tegang dengan kata-kata yang ditinggal Dini. Namun bukan Giani kalau tak pandai berkelit.Imah yang beres-beres di dekat meja makan, menunduk merasa dilihat Dilan."Bu,..""Saya tak tau apa-apa, Den.""Baik, kalau kalian tak ada yang mau menjelaskannya. Suatu saat aku akan mendapat jawaban." Langkah Dilan menuju kamar dimana Dini berada.Dilihatnya Dini yang tiduran menelungkupkan wajahnya."Din, kamu kenapa?" Dilan memegang tangan Dini yang menutupi wajahnya."Lepas, lepaskan aku. Jangan sentuh aku!" teriak Dini, "kau pasti akan mengambil Azielku kembali.""Din,..!" Dibalikkannya wajah gadis itu, dan dipeluknya hangat, " ini aku Aziel, kamu masih bersamaku," ucapnya dengan hati yang tersayat karena mengakui dirinya adalah Aziel.Dini yang merasa orang yang memeluknya adalah Aziel, dia menumpa
"Kamu jadi pulang nanti sore, Jeng?" tanya Giani. Bagaimanapun juga Ajeng adalah adik satu-satunya. Dan dia amat menyayangi Ajeng."Iya, Mbak. Sebenarnya masih ingin lama di sini, tapi pekerjaan abinya ghak bisa ditinggal lama. Kami baru saja membuka cabang baru.""Hebat suami kamu. Ghak nyangka seorang muballigh kemudian menjadi pengusaha. Pengusaha yang ada hubungannya dengan pekerjaan lamanya.""Heem, Mbak. Mulanya diusuli teman-temannya untuk membuka jasa haji dan umroh. Ghak taunya yang percaya Abi amat banyak. Mereka yang membuat usaha kami maju." Sekilas Ajeng mengingat Bian yang telah mengutarakan maksudnya untuk mengelola travel cabang setelah menikahi Dini, namun tidak dihiraukan mereka."Coba kalau anakmu masih ada, akan ada yang membantu kalian mengelola usaha, jadinya Ibra ghak lari-lari dikejar kerjaan." Ajeng terdiam. Luka itu kembali menganga."Ummi!"Ajeng menoleh. Lalu menyunggingkan senyumnya melihat gadis cantik yang tengah memanggilnya tersenyum."Lho, ini,... ad