Share

MENANTU IMPIAN IBU
MENANTU IMPIAN IBU
Penulis: HaniHadi_LTF

Bab 01. Pernikahan Tanpa Restu

"Mas, saya harus menikahkan orang lain lagi. Bagaimana ini? Sampai kapan kita harus menunggu?" tanya Pak Penghulu resah. Dilihatnya arlojinya berkali-kali.

"Sebentar, Pak. Tolong ditunggu sepuluh menit lagi, siapa tau masih di jalan. Ini saya telpon juga ghak bisa dihubungi," jawab Dilan lebih resah. Pandangannya tak pernah lepas dari halaman rumah Dini yang rimbun oleh pepohonan buah yang lagi tak berbuah karena tak musimnya.

Sementara tak jauh dari tempat duduknya, seorang gadis tak berhenti memandangnya dengan senyuman yang sesekali tersungging di bibir mungilnya. Wajah putihnya tersapu make up titip-tipis, menampakkan kecantikan alaminya. Dibalut baju pengantin yang sederhana, tubuh tinggi semampai itu tampak mempesona, mengundang decak kagum yang melihatnya. Sekaligus mengundang rasa kasihan dengan nasib yang telah dialaminya.

"Kamu memang cantik, Dhuk. Mudah-mudahan dengan pernikahan ini kamu akan sembuh." Harapan kerabat terucap, mewakili harapan tetangga-tetangga Dini yang terpesona melihat Dini keluar dari kamar setelah dirias tadi. Dini hanya menyunggingkan senyumnya dengan menatap orang-orang di sekitarnya yang rata-rata menyayangi dirinya.

"Dhuk, tenang. Jangan senyum-senyum terus, malu dilihat orang banyak." Astri, ibunya Dini berusaha menenangkan Dini dengan menggenggam tangannya.

"Aziel, Bu,..Aziel," ucap Dini dengan wajah berbinar menatap ibunya."Akhirnya kami menikah juga. Terimakasih, Ibu tak lagi menghalangi pernikahan kami."

"Iya, Dhuk. Maafkan Ibu yang duluh pernah melarang kalian menikah." Astri meng-iyakan saja apa kata Dini yang memanggil Dilan dengan 'Aziel', kekasihnya yang meninggal hampir setahun yang lalu.

Para tetangga mulai berbisik-bisik. Untunglah mereka tetangga yang baik, yang bahkan memiliki rasa kasihan kepada keluarga Astri. Dari anaknya masih kecil, suaminya sudah meninggal. Dia menghidupi Dini dan kakaknya dengan menjadi abdi dalem di pesantren.

Melihat anak-anaknya sudah dewasa seharusnya menjadikan hidupnya bahagia, terlebih dengan memiliki putri cantik seperti Dini yang mengundang banyak pemuda menginginkannya. Bahkan masih di SMA sudah banyak yang melamarnya. Namun ternyata kecantikan Dini malah menjadi petaka. Entah apa yang sebenarnya terjadi, sampai kekasihnya meninggal saat bersamanya. Belum ada seorang pun yang tau kejadiannya. Karena setelah itu, Dini hanya terdiam, tak bisa bercerita. Pandangannya kosong dan hanya airmata yang menetes sesekali di pipinya.

"Yang sabar, Bu!" Seorang tetangga mendekati Astri dengan menepuk punggungnya saat dilihatnya Astri gusar menunggu calon besannya.

Astri mengangguk. Dia hampir tak bisa berkata apa-apa. Wanita yang terlihat lebih tua dari usianya yang baru 41 tahun itu, terharu melihat Dini akhirnya menikah, terlebih dengan pemuda yang dari dia sekolah di pondok pesantren tempat Astri menjadi 'abdi dalem', telah mencuri hati Astri akan kebaikan hati dan keindahan budi pekertinya. Dia penghafal Al Qur'an yang sering disebut Astri dalam do'a sepertiga malamnya untuk kelak bisa bersama dengan Dini. Dan ternyata do'a itu kini dikabulkan Tuhan.

"Aziel, Bu... Aziel. Dia Azeil, Bu!" Astri teringat kata pertama yang diucapkan Dini setelah sekian lamanya dia hanya mematung diam , tak berkata apa-apa, dengan sesekali airmata menetes di pipi putihnya yang makin tirus.

Astri yang saat itu sedang mengajak Dini jalan-jalan di taman rumah sakit jiwa, langsung memeluk Dini. 

"Alhamdulillah! Akhirnya kamu mau bicara lagi, Dhuk."

"Dia Aziel, Bu!" seru Dini lagi dengan menunjuk ke arah suara.

Astri mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjukkan Dini. Dan langsung menarik tangan Dini saat gadis itu beranjak masuk ke mushola. Didengarnya alunan Al Qur'an mengalun dengan merdu. Astri baru menyadari, Dini berfikir dia Aziel saat mendengar seseorang menjadi imam di mushola. Aziel memang pandai melantunkan Al Qur'an.

"Bi..., benar ini Bi Astri?" tanya seorang pemuda yang keluar dari mushola. Tubuhnya yang tinggi, walau tidak sekurus dulu, amat dikenali Astri. Terlebih dengan potongan rambut lurusnya yang terjatuh di keningnya sampai hampir melintasi alis tebalnya, yang dulu sampai kena tilang saat di pesantren.

"Dilan? Bener ini kamu, Dilan?"

Pertemuan itulah awal dari pertemuan Dini dan Dilan selanjutnya karena Dini masih di rumah sakit jiwa dan Dilan menjadi Psikolog Klinis di sana. Dengan Dilan, Dini sudah mulai banyak bicara dengan banyak bercanda, walau belum seperti Dini sebelumnya.

"Bi, bolehkah saya menikahi Dini?" Pertanyaan yang membuat Astri terperanjak dilontarkan Dilan di suatu hari. Yang kini diwujudkannya setelah meyakinkan Astri, bahwa dia masih mencintai Dini.

"Mungkin sudah tak mungkin  datang keluargamu, Le," ucap Astri. "Bibi faham kenapa mereka tak datang, mengingat keluaragmu dan mengingat keadaan putri ibu."

Dilan merasa segan dengan mengangguk. Hinggah Fahmi, kakak Dini , yang juga gusar, mondar mandir di halaman, akhirnya  masuk, memandang Dilan dengan menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu kita mulai saja, Pak," kata Dilan kepada penghulu setelah Fahmi masuk dan duduk di tengah Dilan dan Dini, sebagai wali dari Dini karena ayah mereka telah meninggal.

"Bismillahirrohmanirrohim! Saudara Dilan Devangga binti Pramono Aji. Saya kawinkan dan saya nikahkan engkau dengan seorang gadis bernama Dini Yasmin binti Salim almarhum dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan emas, dibayar tunai."

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahri madzkur wa rodhitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."

"Bagaimana para saksi?"

"Sah!"

"Sah!"

Gemuruh suara kegembiraan tetangga Dini dengan segala rasa syukur mereka, memenuhi rumah bambu beralaskan semen itu.

"Tunggu!"

Semua yang hadir kaget dengan suara lantang yang datang tiba-tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status