Share

Bab 03. Selamat Datang!

"Dilan, sudah ashar.  Bangun, Le. Biar nanti ghak kemalaman di jalan," ucap Astri sambil mengetuk pintu kamar berkali-kali. 

"Iya, Bu," sahut Dilan. Diurainya pelukan Dini. "Bangun, Din." 

 "Sudah pagi ya?"

Dilan terkekeh. Disentilnya hidung Dini. "Sudah sore yang bener."

Dini mengulas senyum. "Kirain malam."

"Ayo mandi, sholat, kita siap-siap berangkat."

"Ke mana?"

"Ke rumahku, kamu kan istriku."

Dini terkekeh. Lalu mengikat rambutnya dan pergi ke kamar mandi yang letaknya di belakang sendiri, dekat dapur. Leher jenjang putihnya terlihat sempurna. Lagi-lagi Dilan menelan ludah.

Tak lama Dini sudah keluar. Bau semerbak sabun mandi menyeruak melewati Dilan yang masih terpana dengan kecantikan Dini yang segar setelah mandi.

"Aku sudah bawakan kamu baju ganti, kamu pakai ya?" kata Dilan yang tadi saat Dini ke kamar mandi telah menyiapkan baju ganti lengkap untuk Dini.

Dilan mengguyur tubuhnya.  juga membasahi rambutnya dengan memakai shampo. Air di desa ini sangat sejuk, mengalir dari atas  bukit yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk,  juga untuk mengairi persawahan warga. Sudah begitu lama dia tak merasakan air yang duluh menjadi candunya berlama-lama di aliran air, mandi beramai-ramai dengan santri pondok lainnya.

Dilan menganggukkan kepalanya saat di dapur ada Fahmi dan Astri. Mereka memandangi Dilan. Dilan bahkan merasa mereka memperhatikan rambut Dilan yang basah.

"Apa kamu juga memiliki pemikiran yang sama dengan Ibu, Le?" tanya Astri begitu Dilan berlalu dari mereka.

Fahmi mengangguk sedikit malu.

"Kamu juga seumuran Dilan, 26 tahun, kamu juga memahami orang menikah."

"Tapi Dilan sudah berjanji tidak akan menyentuh Dini sampai Dini benar-benar sadar siapa dirinya, Bu."

"Iya, Le. Tapi walaupun dia menyentuhnya, itu sudah haknya, Le. Ibu percaya Dilan. Dia akan menanggung resikonya dan tidak akan meninggalkan adikmu dalam kesengsaraan."

"Fahmi juga percaya Dilan, Bu." Fahmi memang tak pernah meragukan Dilan. Teman sekelasnya itu teramat mencintai Dini sejak Dini masih ingusan. Walau duluh sering mengodanya, namun dia tau, dia amat mencintai Dini. Hanya sifatnya saja yang suka bercanda, bahkan keterlaluan, yang sering membuat Dini amat membencinya.

"Bu..., Fahmi,... kami pamit," ucap Dilan mendekat. Dengan pakaian senada yang Dini kenakan, dia nampak mempesona dengan wajah tampannya.

Astri menghampri keduanya dan memeluk Dini erat. Airmata terurai di pipinya yang keriput.

"Jaga adikku, Dilan," Fahmi memeluk Dilan, "ingat, aku tak segan-segan membunuhmu jika kamu menyakitinya."

"Apaan sih? Bisa-bisanya kamu ngomong begitu kepadaku?"

Fahmi terkekeh. 

"Ibu, Mas Fahmi,..., jangan lupa jenguk Dini, ya," ucap Dini  lalu kembali menghambur ke pelukan ibunya.

 Mereka kemudian mengantar Dilan hinggah mobil merah  yang dikendarai Dilan, hilang dari pandangan.

"Kamu kenapa menangis?" tanya Dilan dengan menepikan mobilnya. Dilihatnya Dini dengan sesekali berurai airmata. 

"Enggak," ucap Dini sambil mengelap matanya juga hidungnya yang keluar ingus dengan kerudungnya. 

Dilan mengambil tisu. "Begini kalau nangis, jangan asal kerudung buat lap," katanya sambil mengelap airmata dan ingus Dini. Dipandanginya gadis itu lekad dengan senyum gelinya.

"Kamu akan baik-baik saja bersamaku. Aku janji." Dipeluknya Dini hangat. Gadis itu sesenggukan di dadanya.

"Sudah, ayo jalan lagi, biar ghak kemalaman di jalan. Belum nanti kita beli baju duluh."

Dini mengangguk dan tersenyum. Dilan gemas memandangnya. 

Dilan menepikan mobilnya setelah sekian lama mereka berkendara dan sampai di sebuah toko busana yang menjual pakaian wanita lengkap dengan aksesoris dan kebutuhannya.

Dini tak berhenti melepas lengan Dilan dengan sesekali memandangnya mesra.

"Selamat sore, Mas. Selamat sore, Mbak! Ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga.

"Kami membutuhkan pakaian lengkap untuk istri saya, Mbak."

"Mari saya bantu." Gadis muda itu menunjukkan berbagai macam koleksinya. Dilan memilihkan pakaian untuk Dini, dari rok terusan untuk keluar rumah, sampai untuk pakaian santai di rumah dengan tekstur dingin agar Dini yang terbiasa hidup di udara sejuk itu tidak kepanasan di rumah Dilan. Sejenak Dilan memandang baju tipis dihiasi renda. disunggingnya senyum, terlebih saat Dini memandangnya. Kapan-kapan, kamu pasti akan mengenakan pakaian itu di depanku, batihinnya. Aku akan membelikan kamu selusin lingery dengan berbagai warna.

Tak seberapa lama, mobil Dilan sudah sampai di halaman rumahnya. Sebuah rumah tinggkat dua dengan halaman luas penuh tanaman bunga terhampar. Dini memandangi rumah di depannya dengan takjub. 

"Den, malam sekali pulangnya?" sapa  Ima, pembantu rumah mereka yang sudah seperti ibu bagi Dilan.

"Kenalin, Bu,.. ini Dini," ucap Dilan dengan memanggil pembantunya itu dengan 'Bu'. Dialah yang mengasuh Dilan sejak kecil, saat sering ditinggal mamanya.

Dini mengulurkan tangannya, dan disambut dengan elusan lembut di kepalanya yang tertutup jilbab salem.

"Sudah disiapkan kamar kami, Bu?"

"Sudah, Den,... tapi Nyonya marah-marah," kata  Ima sambil melirik ke belakang, "katanya kalau Den Ajeng ke sini bagaimana?"

"Toh di sebelahnya masih ada kamar tamu, Bu," kata Dilan.

Sekilas Dilan tersenyum dengan memandang Dini yang mengedarkan pandangannya sambil memegang  benda apapun di kamar yang kini mereka tempati dengan takjub.

 Dilan berhenti saat dilihatnya seorang perempuan di ambang pintu kamarnya yang terbuka.

"Kamu benar-benar membawa dia kemari Dilan? Kamu mau menghancurkan reputasi keluarga kita dengan membawa wanita gila kemari?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status