"Dilan, sudah ashar. Bangun, Le. Biar nanti ghak kemalaman di jalan," ucap Astri sambil mengetuk pintu kamar berkali-kali.
"Iya, Bu," sahut Dilan. Diurainya pelukan Dini. "Bangun, Din."
"Sudah pagi ya?"
Dilan terkekeh. Disentilnya hidung Dini. "Sudah sore yang bener."
Dini mengulas senyum. "Kirain malam."
"Ayo mandi, sholat, kita siap-siap berangkat."
"Ke mana?"
"Ke rumahku, kamu kan istriku."
Dini terkekeh. Lalu mengikat rambutnya dan pergi ke kamar mandi yang letaknya di belakang sendiri, dekat dapur. Leher jenjang putihnya terlihat sempurna. Lagi-lagi Dilan menelan ludah.
Tak lama Dini sudah keluar. Bau semerbak sabun mandi menyeruak melewati Dilan yang masih terpana dengan kecantikan Dini yang segar setelah mandi.
"Aku sudah bawakan kamu baju ganti, kamu pakai ya?" kata Dilan yang tadi saat Dini ke kamar mandi telah menyiapkan baju ganti lengkap untuk Dini.
Dilan mengguyur tubuhnya. juga membasahi rambutnya dengan memakai shampo. Air di desa ini sangat sejuk, mengalir dari atas bukit yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk, juga untuk mengairi persawahan warga. Sudah begitu lama dia tak merasakan air yang duluh menjadi candunya berlama-lama di aliran air, mandi beramai-ramai dengan santri pondok lainnya.
Dilan menganggukkan kepalanya saat di dapur ada Fahmi dan Astri. Mereka memandangi Dilan. Dilan bahkan merasa mereka memperhatikan rambut Dilan yang basah.
"Apa kamu juga memiliki pemikiran yang sama dengan Ibu, Le?" tanya Astri begitu Dilan berlalu dari mereka.
Fahmi mengangguk sedikit malu.
"Kamu juga seumuran Dilan, 26 tahun, kamu juga memahami orang menikah."
"Tapi Dilan sudah berjanji tidak akan menyentuh Dini sampai Dini benar-benar sadar siapa dirinya, Bu."
"Iya, Le. Tapi walaupun dia menyentuhnya, itu sudah haknya, Le. Ibu percaya Dilan. Dia akan menanggung resikonya dan tidak akan meninggalkan adikmu dalam kesengsaraan."
"Fahmi juga percaya Dilan, Bu." Fahmi memang tak pernah meragukan Dilan. Teman sekelasnya itu teramat mencintai Dini sejak Dini masih ingusan. Walau duluh sering mengodanya, namun dia tau, dia amat mencintai Dini. Hanya sifatnya saja yang suka bercanda, bahkan keterlaluan, yang sering membuat Dini amat membencinya.
"Bu..., Fahmi,... kami pamit," ucap Dilan mendekat. Dengan pakaian senada yang Dini kenakan, dia nampak mempesona dengan wajah tampannya.
Astri menghampri keduanya dan memeluk Dini erat. Airmata terurai di pipinya yang keriput.
"Jaga adikku, Dilan," Fahmi memeluk Dilan, "ingat, aku tak segan-segan membunuhmu jika kamu menyakitinya."
"Apaan sih? Bisa-bisanya kamu ngomong begitu kepadaku?"
Fahmi terkekeh.
"Ibu, Mas Fahmi,..., jangan lupa jenguk Dini, ya," ucap Dini lalu kembali menghambur ke pelukan ibunya.
Mereka kemudian mengantar Dilan hinggah mobil merah yang dikendarai Dilan, hilang dari pandangan.
"Kamu kenapa menangis?" tanya Dilan dengan menepikan mobilnya. Dilihatnya Dini dengan sesekali berurai airmata.
"Enggak," ucap Dini sambil mengelap matanya juga hidungnya yang keluar ingus dengan kerudungnya.
Dilan mengambil tisu. "Begini kalau nangis, jangan asal kerudung buat lap," katanya sambil mengelap airmata dan ingus Dini. Dipandanginya gadis itu lekad dengan senyum gelinya.
"Kamu akan baik-baik saja bersamaku. Aku janji." Dipeluknya Dini hangat. Gadis itu sesenggukan di dadanya.
"Sudah, ayo jalan lagi, biar ghak kemalaman di jalan. Belum nanti kita beli baju duluh."
Dini mengangguk dan tersenyum. Dilan gemas memandangnya.
Dilan menepikan mobilnya setelah sekian lama mereka berkendara dan sampai di sebuah toko busana yang menjual pakaian wanita lengkap dengan aksesoris dan kebutuhannya.
Dini tak berhenti melepas lengan Dilan dengan sesekali memandangnya mesra.
"Selamat sore, Mas. Selamat sore, Mbak! Ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga.
"Kami membutuhkan pakaian lengkap untuk istri saya, Mbak."
"Mari saya bantu." Gadis muda itu menunjukkan berbagai macam koleksinya. Dilan memilihkan pakaian untuk Dini, dari rok terusan untuk keluar rumah, sampai untuk pakaian santai di rumah dengan tekstur dingin agar Dini yang terbiasa hidup di udara sejuk itu tidak kepanasan di rumah Dilan. Sejenak Dilan memandang baju tipis dihiasi renda. disunggingnya senyum, terlebih saat Dini memandangnya. Kapan-kapan, kamu pasti akan mengenakan pakaian itu di depanku, batihinnya. Aku akan membelikan kamu selusin lingery dengan berbagai warna.
Tak seberapa lama, mobil Dilan sudah sampai di halaman rumahnya. Sebuah rumah tinggkat dua dengan halaman luas penuh tanaman bunga terhampar. Dini memandangi rumah di depannya dengan takjub.
"Den, malam sekali pulangnya?" sapa Ima, pembantu rumah mereka yang sudah seperti ibu bagi Dilan.
"Kenalin, Bu,.. ini Dini," ucap Dilan dengan memanggil pembantunya itu dengan 'Bu'. Dialah yang mengasuh Dilan sejak kecil, saat sering ditinggal mamanya.
Dini mengulurkan tangannya, dan disambut dengan elusan lembut di kepalanya yang tertutup jilbab salem.
"Sudah disiapkan kamar kami, Bu?"
"Sudah, Den,... tapi Nyonya marah-marah," kata Ima sambil melirik ke belakang, "katanya kalau Den Ajeng ke sini bagaimana?"
"Toh di sebelahnya masih ada kamar tamu, Bu," kata Dilan.
Sekilas Dilan tersenyum dengan memandang Dini yang mengedarkan pandangannya sambil memegang benda apapun di kamar yang kini mereka tempati dengan takjub.
Dilan berhenti saat dilihatnya seorang perempuan di ambang pintu kamarnya yang terbuka.
"Kamu benar-benar membawa dia kemari Dilan? Kamu mau menghancurkan reputasi keluarga kita dengan membawa wanita gila kemari?"
namun yang mencium, justru sudah terlelap dalam tidurnya. Sementara Dilan masih tak dapat memejamkan matanya, mengingat bagaimana dia bisa meninggalkan Dini di rumahnya. Berkali-kali disentuhnya bibirnya dengan menyentuh bibir Dini. Rasanya dia ingin membalas ciuman itu, tapi diurungkannya. Dia takut, dia akan menuntut yang lain lagi.Dilan bangun di saat Subuh telah berkumandang. Dilihatnya Dini yang sudah tersenyum memandanginya. Bajunya sudah berganti. Tubuhnya pun sudah harum bau handbodi yang dipakainya."Wah, istri aku sudah cantik," ujar Dilan terpana dengan kecantikan Dini. "sini, cium, Mas.!""Ih, apaan sih," Dini tersipu. " panggil Mas lagi.""Aku kan sudah jadi suamimu, masak iya, kamu masih panggil namaku saja."Dini hanya tersenyum, lalu membiarkan pipinya dicium Dilan."Adu, sakit, tau!" teriak Dini manakala Dilan mencoel dagunya, yang ditanggapi Dilan dengan terkekeh ke kamar mandi. "kamu benar-benar jadi orang asing sekarang," teriak Dini."Kamu sudah sholat ya?" tanya
Dilan mendekati Dini. Sepertinya dia tak mampu mengerem dirinya. Namun yang mencium, justru sudah terlelap dalam tidurnya. Dilan tersenyum, memegangi kepalanya yang seperti berdenyut menahan hasrat. Dengan sayang, diciumnya kening Dini. Untunglah kamu sudah tidur, jika tidak, aku tidak tau apa yang terjadi dengan diriku. Bagaimanapun sekarang ini kamu dalam kondisi yang tidak sadar, dan aku tak ingin mengambil keuntungan dari semua ini, bathinnya kelu dengan merengkuh Dini dalam pelukannya.Sementara Dilan masih tak dapat memejamkan matanya, mengingat bagaimana dia besuk bisa meninggalkan Dini di rumahnya. Berkali-kali disentuhnya bibirnya dengan menyentuh bibir Dini dengan jemarinya. Rasanya dia ingin membalas ciuman itu kembali, tapi diurungkannya. Dia takut, dia akan menuntut yang lain lagi seperti tadi. Dilan bangun di saat Subuh telah berkumandang. Dilihatnya Dini yang sudah tersenyum memandanginya. Bajunya sudah berganti dengan terusan, bukan baju tidur lagi. Tubuhnya pun sudah
"Astaga, apa yang kamu lakukan?""Maaf, saya hanya bermain.""Mama, lihat ini apa yang dilakukan kakak iparku?"Dari dalam Giani tergopoh keluar. Namun kemudian dia terpeleset. "Dasar gadis gila!"Imah yang datang, mengambil alat pel. Lalu mengepel lantai setelah membangunkan Dini. "Kamu ghak apa-apa, Dhuk?"Dini menggeleng dengan memegangi pantatnya yang terasa sakit. "Saya hanya bermain, Bu""Duduk sini sebentar, Dhuk, biar Ibu selesaikan ngepelnya. Kamu sambil lihat cara Ibu ngepel, ya," Dini manggut-manggut. "Sebenarnya apa yang terjadi, Ma?" tanya Davin.Giani memegangi pinggang dan pantatnya. Gavin memijitnya pelan. "Memang dasar wanita gila, dia pikir rumah kita mainan.""Mama tidak mengerjainya 'kan?" Davin curiga."Memang kamu pikir apa?""Hati-hati, Ma. Ketauan Dilan, Mama akan dapat masalah besar.""Kamu mengancam Mama?""Davin mengingatkan Mama." Davin menghentikan pijitannya. "kalau Mama sudah baikan, Davin pergi lagi, Ma.""Memangnya kenapa kamu jam segini pulang?""A
Giani merasa tak enak hati dengan yang dilakukan Dilan. Namun setelah Dilan menyalami Bramantyo, papanya Sisil, dia menjadi lebih lunak."Maaf, anakku yang satu ini dari kecil hidup di pesantren, jadi tolong dimaklumi," ujar pramono, "Sini Dilan, duduk dekat Sisil," Rena, mamanya Sisil mempersilahkan Dilan. Namun Dilan hanya tersenyum."Di sini saja, Tan.""Sisil ini teman satu fakultas sama Kanaya," jelas Rena.Dilan mengangguk, dia dapat melihat Kanaya yang begitu akrap dengannya hinggah sering cekikikan bersama."Kita makan, yuk,.. ngobrolnya sambil makan saja," ajak Giani."Dia anak tunggal Tante Rena, lho, Dilan," kata Giani berusaha mengakrabkan Dilan dengan Sisil yang memang cantik dengan body aduhai itu. Tubuhnya yang tinggi proporsional dibalut gaun peach dengan lengan pendek, menampakkan kulit mulusnya yang sedikit terbuka."Dia pintar lho, Kak," kata Kanaya begitu mereka setelah makan duduk di taman dekat kolam."Heem, aku dapat melihatnya.""Sisil, dia kakakku yang the b
Dilan dengan tak sabar mencari keberadaan Dini. Dia seperti orang yang sudah kesurupan. Baru juga dia beranjak pergi ke taman di belakang, dia menemukan makanan yang tercecer di bawah dekat meja makan. "Ternyata kamu kelaparan, Din," gumannya pelan. Dilan merasa bersalah, kenapa dia tak menyediakan roti atau apa di kamarnya.Dilan kembali mencari keberadaan Dini dengan ke taman belakang. Terdengar raungan menyayat. Dilan yang tidak menyangka sama sekali mendekat. Menarik pria yang tak lain adalah adiknya sendiri dari tubuh Dini yang ditindihnya di balai dekat taman. Dipukulnya keras pria yang tubuhnya lebih besar dari dirinya itu hinggah terjungkal.Dini yang ketakutan segera menghambur memeluk Dilan."Bisa-bisanya kamu melakukan ini. Tidak taukah kamu siapa dia?" "Dia hanya wanita gila yang kaubawa kemari." Dengan sempoyongan Davin memegangi bibirnya yang keluar darah"Yang kausebut wanita gila itu istriku, Davin!"Ramai yang terjadi membuat Ima dan Sekar yang kamarnya dekat taman,
"Dia siapa, Dilan?" tanya Ajeng curiga. Hidung mancung itu, bulu mata lentik itu, rambut indah bergelombang hitam legam itu,..."Ya, dia ini istriku sekarang, Mi.""Maksud Ummi, siapa namanya?""Dini Yasmin, Mi. Kenapa?"Ajeng mundur selangkah setelah dia berdiri mendekati Dini. Bayangan gadis yang terbangun dengan airmata mengalir hampir setahun yang lalu, terlintas kembali."Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku," ucap Ajeng waktu itu. Namun gadis itu tak pernah memanggilnya sama sekali, bahkan sampai Ajeng berpamitan dan meninggalkan rumah itu, dia tak pernah merespon ucapannya. Dia hanya terdiam dengan sesekali airmata mengalir di pipinya yang tembem. Benarkah dia Dini yang sama?"Ummi, mau di sini? Dilan keluar nyapa Abi.""E,...i,..iya."Dilan sejenak tertegun. Melihat reaksi umminya dia merasa ada sesuatu yang terjadi. "Tolong jaga dia, Mi."Sampai di luar, Dilan sudah disambut pelukan oleh Ibra. Lelaki yang sudah seperti ayah bagi Dilan itu bahkan menepuk-nepuk punggungny
"Kamu kenapa?" Dilan meraih tubuh Dini yang terhuyung."Kepalaku agak berat, aku seperti pernah mendengar orang menyuruhku memanggilnya Ummi."Dilan tertegun. Dia tau Dini sedang mengingat sesuatu. Namun Dilan tak ingin membuat Dini stres dengan memikirkan apa yang knii tengah di kepalanya."Tenangkan dirimu, Din. Kamu tak perlu bersikeras mengingat semuanya. Nanti juga kamu akan mengingat dengan sendirinya," ucapnya lembut dengan mendudukkan Dini dengan tenang. Dilan mengambil air dan meminumkannya ke Dini. Saat dirasa Dini sudah tenang, Dilan menyodorkan roti untuknya. "Lapar?"Dini mengangguk, lalu memasukkan roti begitu saja ke mulutnya."Dini, pelan-pelan," tegur Dilan."Habis lapar banget setelah bangun tidur.""Nanti tersedat. Tuh, mulut kamu belepotan coklat." Dilan mengelap mulut Dini dengan ujung jarinya. Dipandanginya gadis di depannya dengan lekat. Dini pun makin mendekat hinggah wajah mereka menjadi tak berjarak. Tak terasa bibir mereka menyatu."Jadi benar dia Dini Yasm
Setelah Ajeng keluar, Dilan hanya terdiam, berkecamuk dengan pikirannya yang tak tentu. Dari duluh dia sudah tau tentang Dini yang mencintai orang lain, namun kenapa hatinya kini tersayat setelah mengetahui orang itu bukan orang lain, tapi orang yang telah dianggap seperti adiknya sendiri. Mereka sempat bersama selama beberapa tahun. Bian yang seusia Kanaya membuat Dilan merasa dialah yang justru adiknya. Yang suka dia goda sampai menangis. Hinggah Dilan harus pergi dari rumah untuk meneruskan keinginannya menjadi orang seperti Ibra yang menghafal Al Qur'an, dia meninggalkan adik yang sudah bisa diajak main bola itu dengan berat hati."Kamu pingin jadi muballigh kayak abimu?" saat itu mamanya sempat menentang keinginannya. Namun sang kakek, Hermawan, malah mendukungnya."Setidaknya kamu bisa belajar banyak tentang Al Qur'an duluh, biar nanti jadi pengusaha jadi pengusaha yang jujur," kata opanya waktu itu.Namun harapan opanya tidak juga dipenuhi Dilan. Saat dia pulang, dia mendapati