"Dilan, sudah ashar. Bangun, Le. Biar nanti ghak kemalaman di jalan," ucap Astri sambil mengetuk pintu kamar berkali-kali.
"Iya, Bu," sahut Dilan. Diurainya pelukan Dini. "Bangun, Din."
"Sudah pagi ya?"
Dilan terkekeh. Disentilnya hidung Dini. "Sudah sore yang bener."
Dini mengulas senyum. "Kirain malam."
"Ayo mandi, sholat, kita siap-siap berangkat."
"Ke mana?"
"Ke rumahku, kamu kan istriku."
Dini terkekeh. Lalu mengikat rambutnya dan pergi ke kamar mandi yang letaknya di belakang sendiri, dekat dapur. Leher jenjang putihnya terlihat sempurna. Lagi-lagi Dilan menelan ludah.
Tak lama Dini sudah keluar. Bau semerbak sabun mandi menyeruak melewati Dilan yang masih terpana dengan kecantikan Dini yang segar setelah mandi.
"Aku sudah bawakan kamu baju ganti, kamu pakai ya?" kata Dilan yang tadi saat Dini ke kamar mandi telah menyiapkan baju ganti lengkap untuk Dini.
Dilan mengguyur tubuhnya. juga membasahi rambutnya dengan memakai shampo. Air di desa ini sangat sejuk, mengalir dari atas bukit yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk, juga untuk mengairi persawahan warga. Sudah begitu lama dia tak merasakan air yang duluh menjadi candunya berlama-lama di aliran air, mandi beramai-ramai dengan santri pondok lainnya.
Dilan menganggukkan kepalanya saat di dapur ada Fahmi dan Astri. Mereka memandangi Dilan. Dilan bahkan merasa mereka memperhatikan rambut Dilan yang basah.
"Apa kamu juga memiliki pemikiran yang sama dengan Ibu, Le?" tanya Astri begitu Dilan berlalu dari mereka.
Fahmi mengangguk sedikit malu.
"Kamu juga seumuran Dilan, 26 tahun, kamu juga memahami orang menikah."
"Tapi Dilan sudah berjanji tidak akan menyentuh Dini sampai Dini benar-benar sadar siapa dirinya, Bu."
"Iya, Le. Tapi walaupun dia menyentuhnya, itu sudah haknya, Le. Ibu percaya Dilan. Dia akan menanggung resikonya dan tidak akan meninggalkan adikmu dalam kesengsaraan."
"Fahmi juga percaya Dilan, Bu." Fahmi memang tak pernah meragukan Dilan. Teman sekelasnya itu teramat mencintai Dini sejak Dini masih ingusan. Walau duluh sering mengodanya, namun dia tau, dia amat mencintai Dini. Hanya sifatnya saja yang suka bercanda, bahkan keterlaluan, yang sering membuat Dini amat membencinya.
"Bu..., Fahmi,... kami pamit," ucap Dilan mendekat. Dengan pakaian senada yang Dini kenakan, dia nampak mempesona dengan wajah tampannya.
Astri menghampri keduanya dan memeluk Dini erat. Airmata terurai di pipinya yang keriput.
"Jaga adikku, Dilan," Fahmi memeluk Dilan, "ingat, aku tak segan-segan membunuhmu jika kamu menyakitinya."
"Apaan sih? Bisa-bisanya kamu ngomong begitu kepadaku?"
Fahmi terkekeh.
"Ibu, Mas Fahmi,..., jangan lupa jenguk Dini, ya," ucap Dini lalu kembali menghambur ke pelukan ibunya.
Mereka kemudian mengantar Dilan hinggah mobil merah yang dikendarai Dilan, hilang dari pandangan.
"Kamu kenapa menangis?" tanya Dilan dengan menepikan mobilnya. Dilihatnya Dini dengan sesekali berurai airmata.
"Enggak," ucap Dini sambil mengelap matanya juga hidungnya yang keluar ingus dengan kerudungnya.
Dilan mengambil tisu. "Begini kalau nangis, jangan asal kerudung buat lap," katanya sambil mengelap airmata dan ingus Dini. Dipandanginya gadis itu lekad dengan senyum gelinya.
"Kamu akan baik-baik saja bersamaku. Aku janji." Dipeluknya Dini hangat. Gadis itu sesenggukan di dadanya.
"Sudah, ayo jalan lagi, biar ghak kemalaman di jalan. Belum nanti kita beli baju duluh."
Dini mengangguk dan tersenyum. Dilan gemas memandangnya.
Dilan menepikan mobilnya setelah sekian lama mereka berkendara dan sampai di sebuah toko busana yang menjual pakaian wanita lengkap dengan aksesoris dan kebutuhannya.
Dini tak berhenti melepas lengan Dilan dengan sesekali memandangnya mesra.
"Selamat sore, Mas. Selamat sore, Mbak! Ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga.
"Kami membutuhkan pakaian lengkap untuk istri saya, Mbak."
"Mari saya bantu." Gadis muda itu menunjukkan berbagai macam koleksinya. Dilan memilihkan pakaian untuk Dini, dari rok terusan untuk keluar rumah, sampai untuk pakaian santai di rumah dengan tekstur dingin agar Dini yang terbiasa hidup di udara sejuk itu tidak kepanasan di rumah Dilan. Sejenak Dilan memandang baju tipis dihiasi renda. disunggingnya senyum, terlebih saat Dini memandangnya. Kapan-kapan, kamu pasti akan mengenakan pakaian itu di depanku, batihinnya. Aku akan membelikan kamu selusin lingery dengan berbagai warna.
Tak seberapa lama, mobil Dilan sudah sampai di halaman rumahnya. Sebuah rumah tinggkat dua dengan halaman luas penuh tanaman bunga terhampar. Dini memandangi rumah di depannya dengan takjub.
"Den, malam sekali pulangnya?" sapa Ima, pembantu rumah mereka yang sudah seperti ibu bagi Dilan.
"Kenalin, Bu,.. ini Dini," ucap Dilan dengan memanggil pembantunya itu dengan 'Bu'. Dialah yang mengasuh Dilan sejak kecil, saat sering ditinggal mamanya.
Dini mengulurkan tangannya, dan disambut dengan elusan lembut di kepalanya yang tertutup jilbab salem.
"Sudah disiapkan kamar kami, Bu?"
"Sudah, Den,... tapi Nyonya marah-marah," kata Ima sambil melirik ke belakang, "katanya kalau Den Ajeng ke sini bagaimana?"
"Toh di sebelahnya masih ada kamar tamu, Bu," kata Dilan.
Sekilas Dilan tersenyum dengan memandang Dini yang mengedarkan pandangannya sambil memegang benda apapun di kamar yang kini mereka tempati dengan takjub.
Dilan berhenti saat dilihatnya seorang perempuan di ambang pintu kamarnya yang terbuka.
"Kamu benar-benar membawa dia kemari Dilan? Kamu mau menghancurkan reputasi keluarga kita dengan membawa wanita gila kemari?"
namun yang mencium, justru sudah terlelap dalam tidurnya. Sementara Dilan masih tak dapat memejamkan matanya, mengingat bagaimana dia bisa meninggalkan Dini di rumahnya. Berkali-kali disentuhnya bibirnya dengan menyentuh bibir Dini. Rasanya dia ingin membalas ciuman itu, tapi diurungkannya. Dia takut, dia akan menuntut yang lain lagi.Dilan bangun di saat Subuh telah berkumandang. Dilihatnya Dini yang sudah tersenyum memandanginya. Bajunya sudah berganti. Tubuhnya pun sudah harum bau handbodi yang dipakainya."Wah, istri aku sudah cantik," ujar Dilan terpana dengan kecantikan Dini. "sini, cium, Mas.!""Ih, apaan sih," Dini tersipu. " panggil Mas lagi.""Aku kan sudah jadi suamimu, masak iya, kamu masih panggil namaku saja."Dini hanya tersenyum, lalu membiarkan pipinya dicium Dilan."Adu, sakit, tau!" teriak Dini manakala Dilan mencoel dagunya, yang ditanggapi Dilan dengan terkekeh ke kamar mandi. "kamu benar-benar jadi orang asing sekarang," teriak Dini."Kamu sudah sholat ya?" tanya
Dilan mendekati Dini. Sepertinya dia tak mampu mengerem dirinya. Namun yang mencium, justru sudah terlelap dalam tidurnya. Dilan tersenyum, memegangi kepalanya yang seperti berdenyut menahan hasrat. Dengan sayang, diciumnya kening Dini. Untunglah kamu sudah tidur, jika tidak, aku tidak tau apa yang terjadi dengan diriku. Bagaimanapun sekarang ini kamu dalam kondisi yang tidak sadar, dan aku tak ingin mengambil keuntungan dari semua ini, bathinnya kelu dengan merengkuh Dini dalam pelukannya.Sementara Dilan masih tak dapat memejamkan matanya, mengingat bagaimana dia besuk bisa meninggalkan Dini di rumahnya. Berkali-kali disentuhnya bibirnya dengan menyentuh bibir Dini dengan jemarinya. Rasanya dia ingin membalas ciuman itu kembali, tapi diurungkannya. Dia takut, dia akan menuntut yang lain lagi seperti tadi. Dilan bangun di saat Subuh telah berkumandang. Dilihatnya Dini yang sudah tersenyum memandanginya. Bajunya sudah berganti dengan terusan, bukan baju tidur lagi. Tubuhnya pun sudah
"Astaga, apa yang kamu lakukan?""Maaf, saya hanya bermain.""Mama, lihat ini apa yang dilakukan kakak iparku?"Dari dalam Giani tergopoh keluar. Namun kemudian dia terpeleset. "Dasar gadis gila!"Imah yang datang, mengambil alat pel. Lalu mengepel lantai setelah membangunkan Dini. "Kamu ghak apa-apa, Dhuk?"Dini menggeleng dengan memegangi pantatnya yang terasa sakit. "Saya hanya bermain, Bu""Duduk sini sebentar, Dhuk, biar Ibu selesaikan ngepelnya. Kamu sambil lihat cara Ibu ngepel, ya," Dini manggut-manggut. "Sebenarnya apa yang terjadi, Ma?" tanya Davin.Giani memegangi pinggang dan pantatnya. Gavin memijitnya pelan. "Memang dasar wanita gila, dia pikir rumah kita mainan.""Mama tidak mengerjainya 'kan?" Davin curiga."Memang kamu pikir apa?""Hati-hati, Ma. Ketauan Dilan, Mama akan dapat masalah besar.""Kamu mengancam Mama?""Davin mengingatkan Mama." Davin menghentikan pijitannya. "kalau Mama sudah baikan, Davin pergi lagi, Ma.""Memangnya kenapa kamu jam segini pulang?""A
Giani merasa tak enak hati dengan yang dilakukan Dilan. Namun setelah Dilan menyalami Bramantyo, papanya Sisil, dia menjadi lebih lunak."Maaf, anakku yang satu ini dari kecil hidup di pesantren, jadi tolong dimaklumi," ujar pramono, "Sini Dilan, duduk dekat Sisil," Rena, mamanya Sisil mempersilahkan Dilan. Namun Dilan hanya tersenyum."Di sini saja, Tan.""Sisil ini teman satu fakultas sama Kanaya," jelas Rena.Dilan mengangguk, dia dapat melihat Kanaya yang begitu akrap dengannya hinggah sering cekikikan bersama."Kita makan, yuk,.. ngobrolnya sambil makan saja," ajak Giani."Dia anak tunggal Tante Rena, lho, Dilan," kata Giani berusaha mengakrabkan Dilan dengan Sisil yang memang cantik dengan body aduhai itu. Tubuhnya yang tinggi proporsional dibalut gaun peach dengan lengan pendek, menampakkan kulit mulusnya yang sedikit terbuka."Dia pintar lho, Kak," kata Kanaya begitu mereka setelah makan duduk di taman dekat kolam."Heem, aku dapat melihatnya.""Sisil, dia kakakku yang the b
Dilan dengan tak sabar mencari keberadaan Dini. Dia seperti orang yang sudah kesurupan. Baru juga dia beranjak pergi ke taman di belakang, dia menemukan makanan yang tercecer di bawah dekat meja makan. "Ternyata kamu kelaparan, Din," gumannya pelan. Dilan merasa bersalah, kenapa dia tak menyediakan roti atau apa di kamarnya.Dilan kembali mencari keberadaan Dini dengan ke taman belakang. Terdengar raungan menyayat. Dilan yang tidak menyangka sama sekali mendekat. Menarik pria yang tak lain adalah adiknya sendiri dari tubuh Dini yang ditindihnya di balai dekat taman. Dipukulnya keras pria yang tubuhnya lebih besar dari dirinya itu hinggah terjungkal.Dini yang ketakutan segera menghambur memeluk Dilan."Bisa-bisanya kamu melakukan ini. Tidak taukah kamu siapa dia?" "Dia hanya wanita gila yang kaubawa kemari." Dengan sempoyongan Davin memegangi bibirnya yang keluar darah"Yang kausebut wanita gila itu istriku, Davin!"Ramai yang terjadi membuat Ima dan Sekar yang kamarnya dekat taman,
"Dia siapa, Dilan?" tanya Ajeng curiga. Hidung mancung itu, bulu mata lentik itu, rambut indah bergelombang hitam legam itu,..."Ya, dia ini istriku sekarang, Mi.""Maksud Ummi, siapa namanya?""Dini Yasmin, Mi. Kenapa?"Ajeng mundur selangkah setelah dia berdiri mendekati Dini. Bayangan gadis yang terbangun dengan airmata mengalir hampir setahun yang lalu, terlintas kembali."Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku," ucap Ajeng waktu itu. Namun gadis itu tak pernah memanggilnya sama sekali, bahkan sampai Ajeng berpamitan dan meninggalkan rumah itu, dia tak pernah merespon ucapannya. Dia hanya terdiam dengan sesekali airmata mengalir di pipinya yang tembem. Benarkah dia Dini yang sama?"Ummi, mau di sini? Dilan keluar nyapa Abi.""E,...i,..iya."Dilan sejenak tertegun. Melihat reaksi umminya dia merasa ada sesuatu yang terjadi. "Tolong jaga dia, Mi."Sampai di luar, Dilan sudah disambut pelukan oleh Ibra. Lelaki yang sudah seperti ayah bagi Dilan itu bahkan menepuk-nepuk punggungny
"Kamu kenapa?" Dilan meraih tubuh Dini yang terhuyung."Kepalaku agak berat, aku seperti pernah mendengar orang menyuruhku memanggilnya Ummi."Dilan tertegun. Dia tau Dini sedang mengingat sesuatu. Namun Dilan tak ingin membuat Dini stres dengan memikirkan apa yang knii tengah di kepalanya."Tenangkan dirimu, Din. Kamu tak perlu bersikeras mengingat semuanya. Nanti juga kamu akan mengingat dengan sendirinya," ucapnya lembut dengan mendudukkan Dini dengan tenang. Dilan mengambil air dan meminumkannya ke Dini. Saat dirasa Dini sudah tenang, Dilan menyodorkan roti untuknya. "Lapar?"Dini mengangguk, lalu memasukkan roti begitu saja ke mulutnya."Dini, pelan-pelan," tegur Dilan."Habis lapar banget setelah bangun tidur.""Nanti tersedat. Tuh, mulut kamu belepotan coklat." Dilan mengelap mulut Dini dengan ujung jarinya. Dipandanginya gadis di depannya dengan lekat. Dini pun makin mendekat hinggah wajah mereka menjadi tak berjarak. Tak terasa bibir mereka menyatu."Jadi benar dia Dini Yasm
Setelah Ajeng keluar, Dilan hanya terdiam, berkecamuk dengan pikirannya yang tak tentu. Dari duluh dia sudah tau tentang Dini yang mencintai orang lain, namun kenapa hatinya kini tersayat setelah mengetahui orang itu bukan orang lain, tapi orang yang telah dianggap seperti adiknya sendiri. Mereka sempat bersama selama beberapa tahun. Bian yang seusia Kanaya membuat Dilan merasa dialah yang justru adiknya. Yang suka dia goda sampai menangis. Hinggah Dilan harus pergi dari rumah untuk meneruskan keinginannya menjadi orang seperti Ibra yang menghafal Al Qur'an, dia meninggalkan adik yang sudah bisa diajak main bola itu dengan berat hati."Kamu pingin jadi muballigh kayak abimu?" saat itu mamanya sempat menentang keinginannya. Namun sang kakek, Hermawan, malah mendukungnya."Setidaknya kamu bisa belajar banyak tentang Al Qur'an duluh, biar nanti jadi pengusaha jadi pengusaha yang jujur," kata opanya waktu itu.Namun harapan opanya tidak juga dipenuhi Dilan. Saat dia pulang, dia mendapati
Dilan masih mendekap Dini yang terisak dalam pelukannya. Dilan memang tak habis pikir, apa yang terjadi dengan Dini. "Apa kamu takut dengan menjadi saksi ini?"Dilan mencoba menerka. Dini menggeleng. Kembali mendongak ke wajah Dilan yang kini telah mendaratkan kecupan di keningnya. "Kamu jangan takut, Din, aku akan selalu ada di sampingmu. aku akan terus mendampingimu, apapun masalah yang kauhadapi."Aku tidak takut soal itu," jawab Dini pelan."Lalu apa?"Dini masih diam dan sesenggukan."Apa ini ada hubungannya dengan ucapanmu di meja makan tadi?" Dilan mendaratkan ciumannya di ubun-ubun Dini. Bau segar rambut Dini membuatnya lebih lama dengan memejamkan matanya. "jika sampai rumah ini sudah tidak boleh kita tempati lagi, aku janji akan membelikanmu rumah dengan menyicil KPR, atau mungkin beli tanah kapling duluh. Aku ada tabungan kalau hanya untuk tanah satu kapling. Kita akan bangun rumah, walau rumah kecil ghak apa-apa, asal kita selalu bersama. Yang penting tamannya aja banyak b
"Din, kamu kenapa, aku perhatikan sejak kamu dari kamar atas tadi kok diemi aku?" tanya Dilan, namun Dini hanya diam dengan terus menjalankan sholat Maghrib tanpa mengajak Dilan jamaah."Ghak nunggu aku dari kamar mandi, Din? Kita jamaah Maghrib."Dini langsung mengangkat tangannya dengan memulai takbir.Dilan lalu meninggalkannya dengan bergegas mengambil mandi sekalian. Saat dia keluar dari kamar mandi, dia hanya mengenakan handuk dengan dililitkan di pinggangnya. Rambutnya yang tampak basah indah terjuntai di wajahnya, sekilas membuat debar di hati Dini yang memandangnya, terlebih saat melihat tubuh Dilan. Dini lalu meninggalkan kamarnya menuju dapur. Kenapa pikiranku jadi ngeres begini saat melihatnya? rutuk Dini."Masak apa, Bu? Harum sambal terasinya kok sudah tercium?" Dini mendekati Ima yang tengah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Ima hanya tersenyum. Dini lalu membuat teh hangat. Menyiapkan semuanya di meja makan dekat mini bar.Ajeng dan Ibra menuruni tangga. Tampak ju
"Dasar wanita gila!" umpat Giani yang takut siapa Dini bagi Dilan, diketahui Sisil. Dia memang sama sekali tidak menyangka gadis itu akan kembali ke rumah ini. Bahkan dengan sikap yang kini jauh dari yang dia duga. Saat kapan hari Sisil yang menunggu Dilan dari siang di rumahnya, sampai mendekati malam, dia hanya berfikir untuk membawanya ke rumah ini. Dia sendiri juga khawatir akan keadaan Dilan yang dari kemarin tak aktif handphone-nya, setelah terjadi pertengkaran dengannya kapan hari. Terlebih saat dia dibilangi Sisil, kalau Sisil sendiri tak bisa menghubungi Dilan.Dini yang mengurung dirinya di kamar atas, merasakan hatinya amat suntuk. Dia bahkan tidak keluara sampai terdengar bunyi mobil yang beranjak pergi dari halaman rumahnya.Dari balkom dia mencoba melihat, ternyata sedan mewah yang dikendarai gadis itu telah pergi. Dini menghela nafas panjang. Syukurlah mereka telah pergi, guman Dini sambil merebahkan dirinya ke tempat tidur. Dini baru menggulir handphone-nya saat terden
Giani, orang yang pertama turun dari sedan itu segera menghampiri Dini. Pandangan matanya menelisik tajam ke Dini. Dalam hati dia memang mengakui betapa cantik gadis tinggi semampai yang kini tubuhnya terlihat lebih berisi dan segar. Wajahnya pun nampak makin ayu dengan bedak ringan dan goresan tipis lipstik warna nude. Namun kebencian yang memuncak sampai ke ubun-ubun, mengalahlan kekagumannya."Kenapa kamu kembali? Siapa yang menyuruhmu? Bukankah aku telah menyuruhmu pergi dari kehidupan anakku?" tanyanya bertubi-tubi tanpa jeda.Dini menatap tajam wanita di depannya. Cukup sudah selama ini dia menginjak harga diriku, bahkan saat itu mengusirku dengan semena-mena, bathin Dini."Kenapa kamu kembali? Budeg ya, kamu?" Giani tidak sabar dengan kediaman Dini. Kembali dia mengeluarkan kata-kata kasarnya."Biasanya orang yang suka teriak-teriak yang budek, Tante." Dini berjalan mendekatinya, meninggalkan bunga anggreknya. "benar kan saya harus memanggil Tante, seperti keinginan Anda?"Gian
"Hentikan, Danu, apa yang akan kaulakulan dengan pisau buah itu. Kamu mau bunuh papamu?" Tantri ketakutan melihat putra tunggalnya mengacungkan pisau."Itu keenakan untuk Papa jika aku membunuhnya. Aku hanya ingin menghabisi diriku sendiri. Biar Papa sama Mama akan menekuri hari tua sendirian. Bukankah itu lebih menyakitkan?" Danu kemudian tertawa."Dasar anak tidak tau diuntung!" Barata memegangi dadanya setelah Danu meletakkan pisaunya."Sekali lagi Danu tegaskan,... jangan kembali mengusik hidup Dini." Danu pun pergi dengan menyambar kunci mobilnya yang sempat terjatuh.Tantri mendekati suaminya. "Papa tidak apa-apa?" Dia lalu mengambil air minum untuk suaminya.Barata meminum hingga tandas air di gelasnya.Tantri duduk di samping Barata, mencoba menenangkan dirinya meski tangannya masih gemetar. "Kita harus bicara lagi dengan Danu, Pa. Dia semakin sulit dikendalikan," katanya dengan suara rendah. "Setip kita membicarakan tentang Dini, dia akan cepat menanggapi, kita harus hati-hat
"Assalamualaikum, Kak!" Dini memulai telponnya dengan salam."Waalaikum salam, Mel. Gimana, jadi dijemput kapan? kamu sudah selesai liburannya?" tanya seorang pemuda di sebarang sana."E, begini, Kak. Ada persoalan baru yang membuat aku harus kembali ke rumah kami. " Dini menjeda ucapannya merasa tak enak ke Haidar setelah apa yang telah diungkapkan umminya kapan hari. "aku harus menyelesaikan persoalanku duluh, Kak. Aku tak boleh lari dari kenyataan.""Maksudnya apa, Mel?""saya harus memberi Aziel keadilan dengan menjadi saksi atas kematian Aziel.""Kamu ghak apa-apa? Kamu siap?""InsyAllah, Kak. Doaian ya," ucap Dini."Baiklah, Mel. Memang harus itu yang kamu hadapi.""Tapi aku tidak bisa sebebas dulu untuk kerja di tempat Kakak. Setelah aku bersedia menjadi saksi, otomatis hari-hariku harus selalu waspada. Dan sepertinya aku hanya bisa tinggal di rumah kami, utitu pun kayaknya kau harus pakai penjaga.""Rumah kami?" Tak sengaja Haidar mengulang kata Dini soal rumah."E, maksudku r
"Kamu suadh lama di situ, Din?" tanya wanita itu dengan sudah menatap Dini dengan senyumnya yang menyejukkan.Sapaan itu membuat Dini reflek menoleh. Sisa air matanya segera dia habus dengan menunduk. Alisnya bertaut, berusaha mengingat siapa wanita yang kini telah di depannya. Diingatnya wajah itu seperti pernah dia lihat." Aku Ajeng, umminya Aziel, Dini." Wanita yang paham dengan kebingungan Dini itu menjelaskan.Selintas kembali Dini teringat wanita itu pernah menyuruhnya memanggil 'ummi'. Dini berdiri dan menyalaminya. Lalu mengatupkan kedua tangannya ke dada untuk Ibra yang juga tengah memamerkan senyumnya untk Dini.Dini bergeser. Mereka lalu duduk di depan makam Aziel. Sejenak mereka kemudian membisu, khususnya kedua orang tua Aziel yang sibuk melantunkan do'a untuk Aziel."Jangan kautangisi Aziel, Din. Dia telah bahagia di sana,' ucap Ibra."Tapi Dini belum bias membantu Aziel mendapatkan keadilan."Ajeng menatap Dini setelah menyelesaikan do'anya. "Kamu berhak bahagia bersama
Dilan mendekat dengan menyingkirkan bantalnya. Dini memejamkan mata. Dilan sudah merasa tak sabar dengan mendekatkan wajahnya hendak mencium Dini. Namun,.."Aww,..Dini!" pekik Dilan kesakitan, sambil memegangi pantatnya karena terjatuh dari springbad yang mereka tiduri. Dilan memang tak menyangka dengan reaksi Dini yang tiba-tiba menyibakkan tangannya. "Jahat bener kamu, ya. Aku ajak kamu ke surga, kamu memberiku neraka.""Rasain!" Dini malah terkekeh melihat Dilan yang kesakitan'Jangan jahat sama suami sendiri. Kamu diajak sudah menolak itu dapat laknak dari malaikat. Tadi denger ghak kata Pak Kyai, kalau semalaman malaikat juga akan menjahuimu.""Biarin dijahui malaikat, daripada didekati malaikat Izrail.'" Kausamakan aku dengan Izrail? Kebangetan kamu ya,.! Sini,.." Dilan sudah tak sabar dengan makin menggoda Dini dengan mendekatiya dan memeluknya. Dini yang meronta seperti anak kecil membuat Dilan malah gemas dengan menciumnya. Lagi-lagi Dini menendangnya."Auww!" Dilan memegang
Dini membalikkan tubuhnya hinggah dia dapat menatap dengan jelas siapa yang kini berdiri dengan kedua tangan di dada sambil memandanginya."Sudah lama di situ?" tanya Dini sewot. Giginya gemertak ingin segera menerkam pria yang kini tersnyum itu."Lumayan." Senyum tipis Dilan mengembang. Namun bagi Dini itu seolah seringaian untuk menelan dirinya."Kenapa ghak di luar duluh nunggunya?""Kenapa? Aku ghak boleh mandangi kamu? Atau kamu,.."Dilan mendekat. Dini mundur selangkah.Dilan tersenyum. "Setidaknya pakailah ini agar orang tak tau kalau kita lagi berantem." Dilan meraih tangan Dini, menyematkan cincim kawinnya, juga gelangnya. Lalu dia hendak meraih bahu Dini dengan bermaksud mengenakan kalung di lehernya, namun dia kemudian menggeleng pelan, ragu dengan melihat tatapan Dini. "Yang lain, kamu pakai sendiri, ya. Jangan ditinggal lagi," ucap Dilan yang membiarkan Dini terpaku. Lalu keluar.Dini mengerjapkan matanya, menata hatinya yang seolah tersengat listrik saat Dilan menyemat