Selepas perginya Bude dan Pakde, kami langsung ke dapur mempersiapkan menu untuk nanti malam. Ya, nanti malam tujuh hari meninggalnya kakek sekaligus doa bersama yang terakhir. Om Bram juga turut membantu. Rupanya laki-laki itu suka meringankan pekerjaan Tante Yani. Kata Tante, kadang malah Om Bram yang masak kalau pas dia sakit. Hebat. “Tan, kalau besok Bude enggak memberikan uang itu, apa Tante serius akan melaporkan ke polisi?” tanyaku di sela aktivitas dapur. “Tentu saja tidak, Sekar. Biar bagaimanapun Budemu tetap kakakku, jadi aku tak setega itu.” Perempuan itu menjeda aktivitasnya sejenak demi untuk melempar senyum padaku. “Tapi kenapa tadi Om dan Tante ngotot mau laporin mereka?” cecarku lagi. “Kami hanya menggertak saja. Mbak Suci kan paling takut kalau berurusan sama polisi. Lagian, ini juga demi kebaikan mereka juga kan?” sahut Om Bram yang sedang menata gelas di atas nampan. Aku mengangguk paham. Rupanya mereka berdua punya hati yang lembut dibalik ketegasan pada Bud
...“Kamu kok doain yang jelek-jelek buat aku sih, Yan! Aku ini kakakmu.” Bude suci memasang wajah kesal. Kentara sekali kalau dia khawatir ucapan Tante Yani di dengar Tuhan.“Lagian siapa suruh Mbak Suci makan uang sumbangan? Dosanya besar, Mbak. Bisa sengsara sampai tujuh turunan,” sahut Tante Yani santai. Astaga! Tante semakin menakuti Bude. Sepertinya ini sebuah kesengajaan agar Bude lekas menggenapi uang itu. Sejenak kuperhatikan wajah Bude dan Pakde yang seperti tak ada darah. Sesekali pakde menggaruk tengkuk seperti sedang kebingungan. Salah siapa berani ambil risiko itu. “Jadi bagaimana? Kalian tetap mau makan uang itu? Jangan gara-gara dua puluh juta hidup kalian sengsara. Belum lagi kalau azab datang cepat. Bisa makin menderita,” cecar Tante Yani saat mereka tak kunjung bicara. Bude dan suaminya saling tatap. Entah apa maksud mereka, tapi yang jelas setelah itu Bude beranjak meninggalkan kami lalu kembali dengan kotak perhiasan di tangannya. Diletakkan kotak itu di atas
MENOLAK DIHINA“Kok baru datang sih! Dari tadi kami sudah nungguin sampai pegal.” Baru saja membuka pintu, kami langsung disambut dengan kemarahan oleh Mas Rafly, kakak tertuaku. “Maaf, Mas! Tadi di jalan hujan. Jadi kami berteduh dulu,” jawabku lalu masuk ke dalam rumah. Suamiku mengikuti di belakang membawa ransel kami. “Makanya beli mobil kayak kita, jadi kalau hujan enggak kehujanan,” cibir Mbak Mela, istri Mas Rafly. “Kami juga punya mobil, Mbak. Hanya saja sedang dipakai buat mengangkut barang,” sahutku setelah mencium takdim punggung tangan bapak dan ibu kemudian duduk di antara mereka. Suamiku meletakkan barang bawaan kami di pinggir tembok lalu duduk di sebelahku. Tentu saja setelah bersalaman dengan orang tuaku. “Punya kamu itu bukan mobil, tapi gerobak!” ejek Mas Rendy, kakakku yang nomor dua. “Iya, palingan juga mogok! Harusnya mobil kamu dijual rongsok saja!” timpal Mas Rafly.Sontak seisi ruangan dipenuhi oleh tawa kedua kakakku dan istrinya. Aku merasa tersinggung
“Ini gara-gara kamu! Jika bukan karena kamu yang sok kaya, pasti Bapak akan membagi uang itu!” Baru saja Bapak dan Ibu beranjak, Mas Rafly langsung memaki suamiku. “Loh, ini kan keputusan Bapak. Kenapa malah kami yang disalahkan!” sanggahku. “Seharusnya kamu setuju uang itu dibagi saja. Bukan malah menyumbang. Kami yang hidupnya enak saja enggak sok kaya seperti suamimu,” tambah Mas Rendy. Astaga! Baru tadi Mbak Arum bilang enggak pegang uang, eh sekarang suaminya bilang hidupnya enak.Aku melirik pada Mas Damar yang sedari tadi hanya tersenyum saja. Aneh! Dihujat kok bisa setenang itu. “Pokoknya kalian tak boleh menyumbang Bapak! Kalian harus membujuk Bapak agar membatalkan niatnya. Uang itu harus dibagi!” tekan Mas Rafly dengan mata menatap nyalang pada kami. Aku mengelus dada mendengar pernyataan kakakku. Sebagai anak seharusnya mendukung orang tua yang punya hajat baik. Bukan malah seperti itu. “Enggak bisa dong, Mas! Itu uang mereka. Jadi terserah Bapak mau dipakai buat a
3.“Jangan berlagak bodoh. Cepat kembalikan uang Bapak!” seru Mas Rendy. “Aku tidak mengambil uang itu!” Mas Damar menggeram. Tangannya terkepal. Tubuhnya bergetar seolah sedang menahan kemarahan. “Jangan bohong! Mengaku saja. Daripada nanti kami laporkan ke polisi,” tekan Mas Rafly. Mas Damar mendekat pada kakak pertamaku. Diraihnya kerah baju Mas Rafly lalu mencengkeram erat. Dia mengangkat tangan bersiap melayangkan tinju. “Jangan, Mas!” Aku menjerit, merangkul suamiku berusaha meredam amarahnya. “Hentikan!” bentak Bapak yang sedari tadi terdiam. Perlahan Mas Damar menurunkan tangan lalu melepas cengkeraman. Nafasnya masih memburu, tapi suara gemeletuk giginya tak lagi terdengar. “Kita sedang tertimpa musibah, tapi malah kalian bertengkar kayak anak kecil!” marah Bapak. Suasana hening seketika. Hanya ketegangan yang tersisa di antara kami. “Aku yakin Damar yang ambil uang itu, Pak!” Mas Rafly kembali menuduh suamiku. “Apa kamu punya bukti?” Bapak menatap penuh selidik pad
Aku berbalik arah, berniat kembali ke dalam, tapi ternyata mereka semua ikut keluar kecuali ibu. “Puas kalian telah memfitnah kami!” bentakku menatap nyalang pada mereka. “Memfitnah bagaimana? Semua bukti mengarah pada kalian. Jadi jangan terus mengelak.” Mas Rendy balas membentak. “Bukti? Bukti yang mana? Apa hanya karena kami miskin jadi bisa dianggap maling? Dasar kalian picik!” Aku mengumpat, melampiaskan kemarahan. “Sekar!” Hardik bapak. Aku tersentak kaget, tapi dengan cepat amarah kembali menguasai pikiran. Berjalan mendekat pada lelaki yang sangat kuhormati.“Sekar pikir Bapak akan bijak menyikapi hal ini. Tapi ternyata salah. Bapak juga ikut-ikutan menuduh. Sekar kecewa sama Bapak!” tegasku berurai air mata. Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat sempurna di pipi sebelah kiri. Refleks, aku memekik memegangi pipiku yang terasa memanas. “Ini yang suamimu ajarkan? Dulu kamu tak pernah berkata kasar pada Bapak. Tapi setelah menikah justru kebalikannya. Bapak menyesal telah men
Sepanjang hari aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar ketimbang berbaur dengan saudara-saudaraku. Rasa sakit karena tuduhan mereka masih membekas di hati. Jam di dinding sudah menunjuk angka tujuh, tapi sampai malam begini Mas Damar belum juga kembali. Apa jangan-jangan dia sengaja meninggalkanku di sini? Aku melangkah malas keluar kamar, beranjak ke halaman berharap Mas Damar segera datang. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mobil kedua kakakku tak lagi terlihat. Suara mereka juga tak terdengar. Mungkin sedang pergi atau memang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ah! Apa peduliku!Saat aku memyendiri di bangku teras, Ibu mendekat lalu meletakkan bobotnya di sebelahku. “Sekar... maafkan Bapak dan kakak-kakakmu ya.” Ibu membuka suara. Aku bergeming menatap lurus ke depan. Mengingat perlakuan, hati ini seperti tersayat kembali. “Kamu mau kan memaafkan mereka?” harap Ibu. Aku mengalihkan pandangan pada wajah sendu di sebelahku. Sorot mata teduhnya berhasil melul
“Ibu menemukan di kamar Rafly.” Ibu tertunduk lesu.Kontan saja aku dan Mas Damar terperangah mendengar pengakuan Ibu. Enggak menyangka kakakku setega itu. Apa saking bencinya sama suamiku sampai memfitnah kami. Mas Damar mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu, menyiratkan kemarahan yang nyata. “Tapi Ibu mohon jangan melabrak dia. Ibu tak ingin kalian bertengkar,” harapnya cemas. “Kenapa Ibu tidak jujur dari awal?” protes Bapak yang juga kaget. “Ibu tak ingin anak-anak kita bertengkar, Pak,” jawab Ibu mulai terisak. “Tapi bukan begitu caranya. Itu sama saja membiarkan mereka menzalimi kami,” Mas Damar menatap kecewa pada Ibu. Hening. Tak ada kata terucap apalagi canda dan tawa. Kami diam dalam kekakuan. “Sekarang di mana Mas Rafly?” Mas Damar bangkit. Berjalan keluar lalu kembali masuk. “Mereka sudah Ibu suruh pulang,” jawab Ibu. “Kenapa malah di suruh pulang, Bu? Seharusnya Mas Rafly didudukkan bersama kita,” keluhku. “Ibu sudah menasihati dia. Kakakmu juga sudah minta ma
...“Kamu kok doain yang jelek-jelek buat aku sih, Yan! Aku ini kakakmu.” Bude suci memasang wajah kesal. Kentara sekali kalau dia khawatir ucapan Tante Yani di dengar Tuhan.“Lagian siapa suruh Mbak Suci makan uang sumbangan? Dosanya besar, Mbak. Bisa sengsara sampai tujuh turunan,” sahut Tante Yani santai. Astaga! Tante semakin menakuti Bude. Sepertinya ini sebuah kesengajaan agar Bude lekas menggenapi uang itu. Sejenak kuperhatikan wajah Bude dan Pakde yang seperti tak ada darah. Sesekali pakde menggaruk tengkuk seperti sedang kebingungan. Salah siapa berani ambil risiko itu. “Jadi bagaimana? Kalian tetap mau makan uang itu? Jangan gara-gara dua puluh juta hidup kalian sengsara. Belum lagi kalau azab datang cepat. Bisa makin menderita,” cecar Tante Yani saat mereka tak kunjung bicara. Bude dan suaminya saling tatap. Entah apa maksud mereka, tapi yang jelas setelah itu Bude beranjak meninggalkan kami lalu kembali dengan kotak perhiasan di tangannya. Diletakkan kotak itu di atas
Selepas perginya Bude dan Pakde, kami langsung ke dapur mempersiapkan menu untuk nanti malam. Ya, nanti malam tujuh hari meninggalnya kakek sekaligus doa bersama yang terakhir. Om Bram juga turut membantu. Rupanya laki-laki itu suka meringankan pekerjaan Tante Yani. Kata Tante, kadang malah Om Bram yang masak kalau pas dia sakit. Hebat. “Tan, kalau besok Bude enggak memberikan uang itu, apa Tante serius akan melaporkan ke polisi?” tanyaku di sela aktivitas dapur. “Tentu saja tidak, Sekar. Biar bagaimanapun Budemu tetap kakakku, jadi aku tak setega itu.” Perempuan itu menjeda aktivitasnya sejenak demi untuk melempar senyum padaku. “Tapi kenapa tadi Om dan Tante ngotot mau laporin mereka?” cecarku lagi. “Kami hanya menggertak saja. Mbak Suci kan paling takut kalau berurusan sama polisi. Lagian, ini juga demi kebaikan mereka juga kan?” sahut Om Bram yang sedang menata gelas di atas nampan. Aku mengangguk paham. Rupanya mereka berdua punya hati yang lembut dibalik ketegasan pada Bud
Sampai di rumah kami langsung mengembalikan mobil milik tetangga. Setelah itu baru berjalan kaki pulang. Om Bram menatap heran ke arah kami berdua. Rupanya dia sudah pulang kantor. “Kalian dari mana? Kok jalan kaki?” tanya Om Bram sembari menyeruput kopi di depannya.“Dari rumah Mbak Suci,” jawab Tante. “Ngapain?” Om Bram mengernyitkan kening, menatap penuh selidik pada kami berdua. “Begini, Pah....” Tante Yani mengisahkan apa yang telah kami lakukan seharian ini. Juga perjuangan kami mengorek informasi. Pokoknya, Tante begitu semangat bercerita. Om Bram menggeleng perlahan. Mungkin dia tak menyangka kakak iparnya akan berbuat senekat itu. Atau, dia memang sudah menebak ini bakal terjadi?“Kakakmu itu sudah sangat keterlaluan. Harus di kasih pelajaran dia!” Om Bram mendengkus sambil sesekali mengatur nafasnya yang tak beraturan. “Iya! Kita laporkan polisi saja, Pah!” timpal Tante. Ah! Rupanya Tante serius dengan ucapannya. Satu keluarga akan saling memusuhi karena uang.“Tapi, T
“Dasar Mbak Suci! Bikin malu saja!” Bude mendengkus kesal sembari memukul setir. Bukan hanya dia yang kesal, aku juga. Tapi, aku memilih diam ketimbang membuat emosinya semakin tak terkontrol. Wajar jika Tante Yani marah. Ia telah ditipu habis-habisan sama kakak kandungnya sendiri. Yang aku enggak habis pikir, kenapa mereka berbohong? Apa benar yang kutakutkan selama ini? “Kita ke mana, Tan?” tanyaku memecah keheningan. “Ke rumah Mbak Suci lagi. Biar kulabrak dia sekalian!” sahutnya. Tante membelokkan mobilnya ke arah jalan yang tadi kami lewati. Kakinya menginjak pedas gas hingga kendaraan melesat cepat. Aku sampai khawatir kalau Tante tak konsentrasi menyetir dan akhirnya membahayakan kami. “Pelan dong, Tan. Bahaya!” ujarku sembari menepuk-nepuk pundaknya. Tante menurut. Dia sedikit memelankan laju kendaraan meski masih terbilang ngebut. Untung saja jalanan tak terlalu ramai. Tak berselang lama, kami telah sampai di halaman rumah Bude. Tante Yani buru-buru turun kemudian sete
Perlahan, mobil bude mulai merangkak meninggalkan pelataran parkir. Selang beberapa saat Tante mulai menginjak pedal gas membuntuti Bude dari jarak yang tak terlalu jauh. Sedikit tenang karena kami memakai mobil orang, jadi tak perlu khawatir ketahuan. Sekitar setengah jam kemudian, mobil Bude berhenti di halaman rumah yang kami datangi tadi. Tante menghentikan laju kendaraan di bahu jalan demi mengajakku bicara. “Bagaimana sekarang? Apa kita langsung ke sana?” tanya Tante Yani. “Iya... enggak apa-apa. Yang penting Tante jangan kebawa emosi ya. Tenang!” jawabku. “Ok!” Tante Yani kembali melajukan mobil lalu berhenti tepat di sebelah mobil Bude. Bude dan suaminya yang sudah sampai teras menghentikan langkah lalu berbalik menatap kami. Tampak dia mengerutkan dahi. Mungkin asing dengan mobil yang kami kendarai. Kami turun lalu berjalan santai ke arah teras. Mereka terkejut saat menyadari kami yang datang. “Yani... Sekar.... ngapain kalian ke sini?” tanya Bude kaget. “Mau memastik
Sepeninggal mereka, aku bangkit berniat masuk ke kamar, tapi Tante Yani memanggilku. “Duduk dulu sebentar, Sekar,” ujar Tante dengan nada suara lirih. Agaknya dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting.Menurut, kembali kuhempaskan bobot di atas sofa. Duduk menghadap Tante sembari menatap lekat padanya. “Ada apa, Tan?” tanyaku. “Sini aku bisikkin,” perintah Tante sembari melambaikan tangan. Penasaran, Aku berpindah duduk tepat si sebelahnya. Sampai-sampai lengan kami saling bersentuhan. “Kamu curiga enggak sama Bude, Sekar? Jangan-jangan dia mau menggunakan uang itu untuk kebutuhannya sendiri,” bisik Tante Yani. Kontan saja aku sedikit menjauh sembari menatap lekat padanya. Ternyata Tante juga punya pemikiran yang sama denganku. “Iya sih, Tan. Tapi mau bagaimana lagi,” keluhku. Sejenak, kami sama-sama diam larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Tante membuka suara yang membuat aku terkejut. “Aku ada ide.” Tante berteriak sembari mengangkat satu tangannya ke atas
Jam di dinding menunjuk pukul tujuh lewat sedikit saat aku, Mas Damar, Tante Yani dan suaminya menikmati sarapan. Aku benar-benar salut dengan kepribadian Tante Yani. Meski kehidupannya terbilang mapan, dia tetap bangun pagi dan berkutat di dapur layaknya ibu rumah tangga.“Tant, nanti siang aku pulang ya. Mas Damar ada kepentingan,” ucapku di sela makan. Tante Yani yang sedang mengunyah makanan seketika menyambar gelas di depannya kemudian meneguknya hingga tandas. “Jangan dulu, Sekar. Nunggu 7 hari kamu baru boleh pulang. Bantu Tante dulu,” protes Tante Yani. Aku mengalihkan pandangan pada Mas Damar yang duduk di sebelahku. Setelah itu kembali menatap Tante. “Bagaimana ya, Tant. Inginnya sih gitu, tapi Mas Damar ada kepentingan jadi harus cepat balik,” sahutku ragu. Tadi, pagi-pagi sekali Parjo menelepon suamiku. Katanya ada sedikit masalah di rumah, makanya Mas Damar diminta cepat pulang. “Kamu di sini dulu biar Damar pulang sendiri. Nanti kalau semua sudah selesai kami antar
Bakda Isya doa bersama dimulai. Ustaz Amin memimpin rangkaian acara yang diawali dengan mengucap kalimat tauhid bersama. Setelah itu membaca ayat-ayat al-quran secara bergilir. Sekitar pukul 10 malam acara selesai. Beberapa tetangga yang hadir sudah berangsur-angsur pulang. Hanya menyisakan ustaz Amin dan beberapa kerabat. Mereka masih asyik mengobrol membicarakan kebaikan kakek semasa hidup. “Orang tua kalian semasa hidup terkenal dermawan. Beliau tak jarang menolong siapa saja yang kesusahan. Sekalipun tak mengenal orang itu,” puji Ustaz Amin di sela obrolan. Aku tersenyum bangga. Meski aku tak cukup dekat dengan Almarhum kakek, setidaknya aku bagian dari keluarga ini. “Oh iya, Taz. Kami ada sedikit dilema soal uang peninggalan Bapak. Sebelum meninggal Bapak berpesan kalau uangnya buat menyantuni anak yatim dan disumbangkan ke masjid, tapi Mbak Suci bersikukuh uang itu disumbangkan ke masjid semua. Menurut Ustaz bagaimana?” Om Bram mulai bercerita sementara Bude Suci berkali-kal
Tiga hari sudah aku tinggal di rumah Tante Yani. Siang hari kami diajak melihat toko yang diberikan kakek padaku, juga rumah yang jaraknya tak jauh dari toko. Kemarin siang Tante Yani juga sempat mengajak kami ke notaris untuk mengurus balik nama apa yang jadi hakku. Aku sih menurut saja. Seperti biasa, sore ini kami sibuk di dapur menyiapkan segala tetek bengek untuk nanti malam. Rencananya memang acara doa bersama akan terus berjalan sampai tujuh hari kematian kakek. Menjelang magrib, deru mesin mobil terdengar berhenti di halaman. Aku yang baru selesai berpakaian gegas ke depan melihat siapa yang datang. Rupanya Bude suci bersama seorang lelaki yang tak kukenal. Apa dia suaminya Bude? “Sore, Bude!” Aku melempar senyum pada keduanya. Mengulurkan tangan berniat menyalami, tapi tak disambut. Akhirnya tanganku hanya menggantung di awang-awang. “Enggak usah sok akrab. Kamu bukan siapa-siapa di sini. Bisa saja kamu hanya mengaku anaknya Diah demi mendapat warisan!” ketus Bude suci.