Sepanjang hari aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar ketimbang berbaur dengan saudara-saudaraku. Rasa sakit karena tuduhan mereka masih membekas di hati.
Jam di dinding sudah menunjuk angka tujuh, tapi sampai malam begini Mas Damar belum juga kembali. Apa jangan-jangan dia sengaja meninggalkanku di sini? Aku melangkah malas keluar kamar, beranjak ke halaman berharap Mas Damar segera datang. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mobil kedua kakakku tak lagi terlihat. Suara mereka juga tak terdengar. Mungkin sedang pergi atau memang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ah! Apa peduliku!Saat aku memyendiri di bangku teras, Ibu mendekat lalu meletakkan bobotnya di sebelahku. “Sekar... maafkan Bapak dan kakak-kakakmu ya.” Ibu membuka suara. Aku bergeming menatap lurus ke depan. Mengingat perlakuan, hati ini seperti tersayat kembali. “Kamu mau kan memaafkan mereka?” harap Ibu. Aku mengalihkan pandangan pada wajah sendu di sebelahku. Sorot mata teduhnya berhasil meluluhkan hati. Memaksaku mengangguk meski hati menolak. Tak tega rasanya melihat Ibu sedih. “Sudahlah, Bu. Lupakan saja. Aku sudah memaafkan mereka.” Aku memaksa tersenyum meski terasa sukar. “Terima kasih, Sekar. Di antara anak Ibu, hanya kamulah yang penyabar.” Ibu merengkuh tubuhku lalu memeluk cukup lama. Aku mengurai pelukan saat terdengar deru mesin motor yang sangat khas. Benar dugaanku. Mas Damar yang datang. Dia turun lalu segera mendekat pada kami. “Bapak mana?” tanya Mas Damar. “Palingan di dalam,” jawabku, “itu apa, Mas?” Aku mengamati kantung plastik yang ada di tangan suamiku. “Nanti aku ceritakan,” sahut Mas Damar dingin. “Biar Ibu panggil Bapak dulu. Kalian masuk saja. Jangan di luar. Sudah malam.” Ibu segera beranjak. “Kemasi pakaian kita, Dek! Kita pulang setelah pamit pada Bapak,” perintah suamiku. Aku mengangguk. Kami segera masuk beriringan. Mas Damar duduk di tepian ranjang sementara aku berkemas. Sesekali aku melirik pada benda yang sedari tadi dipegang Mas Damar. Mencoba menerka tanpa berani bertanya. Setelah semua beres, kami segera keluar membawa ransel kami. Bapak dan ibu telah ada di ruang tamu saat kami tiba. Mas Damar segera duduk lalu meletakkan kantong plastik di atas meja. Aku ikut duduk di sebelah suamiku. “Ini untuk mengganti uang Bapak yang hilang. Tapi baru tiga puluh juta. Minggu depan aku akan menggenapinya. Aku mengganti uang Bapak bukan berarti aku mengaku mencuri.” Tanpa basa-basi Mas Damar membuka suara ketus. Membuka plastik itu lalu menyodorkan ke depan Bapak.Aku terperanjat melihat isi bungkusan yang Mas Damar bawa. Bukan masalah uangnya. Hanya saja aku bingung dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu. “Itu uang siapa, Mas?” tanyaku. Mas Damar diam tak menanggapi, terus menatap ke arah Bapak dan Ibu. “Damar, Bapak minta maaf sama kamu dan Sekar. Uang Bapak sudah ketemu,” ucap Bapak seperti merasa bersalah. Mas Damar mengernyit bingung. Dia menatapku sejenak lalu kembali menatap mereka. “Maksud Bapak....” “Iya. Bapak yang lupa taruh. Bapak menyesal sudah menuduh kalian,” sahut Bapak. Mas Damar tersenyum getir tanpa menanggapi permintaan maaf Bapak. “Kamu mau kan Memaafkan Bapak?” tanya Ibu penuh harap. “Tak ada yang perlu dimaafkan, Bu. Bapak enggak salah kok. Kami memang hidup miskin, jadi luwes jika dianggap mencuri,” sindir Mas Damar. “Jangan bicara begitu, Damar. Bapak mengaku salah. Tadi pagi Bapak panik. Jadi enggak bisa berpikir jernih,” sesal Bapak. Aku hanya diam tak berani berkomentar. Mas Damar pasti sakit hati dengan ucapan bapak tadi pagi. “Ini uang kamu. Kamu simpan saja. Biar nanti kami yang menggenapi kekurangan untuk biaya umrah.” Bapak menyodorkan kantong plastik berisi uang itu kembali ke depan Mas Damar. “Sekar... Bapak juga minta maaf sama kamu. Bapak terbawa emosi. Jadi enggak sadar sampai menampar kamu,” lanjut Bapak. Mas Damar terperangah mendengar ucapan Bapak. Dia menggeleng berkali-kali. “Jadi gara-gara uang, Bapak sampai main tangan sama anak sendiri?” “Bapak mengaku salah... tolong maafkan Bapak....” Laki-laki yang rambutnya mulai memutih itu tertunduk lesu. Pun dengan aku dan Ibu. Tak berani berkata apa-apa. “Sekar memang anak Bapak. Tapi sekarang dia istriku. Aku lebih berhak atas dirinya. Dan aku enggak suka Bapak kasar sama dia.” Mas Damar menatapku sebentar lalu kembali menatap Bapak. “Sebagai orang tua seharusnya Bapak bijak dalam bertindak. Bukannya malah ikut-ikutan menuduh Mas Rendy dan Mas Rafly. Apalagi tuduhan itu tak terbukti!” Dengan nafas memburu Mas Damar menasihati Bapak. Hening. Kami semua diam. Hanya tangis penyesalan Bapak yang terdengar memilukan. “Sudahlah, Mas. Bapak juga sudah mengaku salah,” ucapku berusaha menenangkan suamiku. Meskipun aku kecewa dengan Bapak, hati ini tetap tak tega melihatnya berurai air mata. Biar bagaimanapun dia orang tuaku sendiri. Mas Damar sedikit tenang. Nafasnya perlahan beraturan. “Aku juga minta maaf sama Bapak dan Ibu karena sudah berbicara keras.” Akhirnya Mas Damar bersikap ksatria. Bapak mengangguk. Tangisnya tak lagi terdengar. Hanya isaknya yang tersisa.“Sekarang sudah malam. Kami pamit mau pulang,” lanjutnya. Mas Damar menarikku untuk berdiri lalu menyambar ransel yang sedari tadi tergeletak.“Tunggu!” Ibu bangkit lalu beranjak ke dalam. Aku dan Mas Damar saling tatap lalu sama-sama mengangkat bahu. Akhirnya kami kembali duduk.Beberapa saat kemudian Ibu kembali dengan kantong plastik berwarna hitam di tangannya. Dia memberikan benda itu padaku. Penasaran, aku membukanya. Aku terkejut saat melihat isi dari kantong plastik di tanganku. Uang? Apa maksudnya Ibu memberikan ini? “Itu uang Bapak yang mau buat biaya umrah. Tolong kalian yang simpan. Ibu takut kalau nanti berkurang lagi,” ucap Ibu. “Berkurang Bagaimana, Bu?” tanya Mas Damar penasaran. Ibu terlihat gugup. “Ya takut kepakai sama Ibu,” jawabnya kemudian. Mas Damar mengambil uang dari tanganku lalu menghitungnya. “Ini tinggal empat puluh lima juta?” tanya Mas Damar setelah selesai menghitung.Ibu mengangguk. “Bu, Sebenarnya uang ini ketemu di mana?” Aku menatap Ibu penuh selidik. “Kan Ibu sudah bilang, ketemunya di kolong ranjang,” jawab Ibu tanpa berani menatapku. “Aku enggak percaya!” tegasku, “ tadi pagi aku juga sempat mencari di bawah kolong ranjang Bapak, tapi tak melihat bungkusan ini,” Ibu terlihat panik. Mas Damar dan Bapak hanya kebingungan. “Ayolah, Bu! Katakan yang sebenarnya,” desakku. Ya. Sejak Ibu menemukan uang ini aku melihat ada yang berbeda dari sikapnya. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Hanya saja tadi pagi aku sedang kecewa karena habis ditampar Bapak. Jadi enggak terlalu peduli. Ibu menundukkan pandangan ke bawah. Dia diam tak menjawab. “Baiklah... kalau Ibu tak mau bicara, berarti Ibu yang sengaja memfitnah kami. Ibu menyembunyikan uang itu agar semua orang menuduh kami,” pancingku. Seketika Ibu mengangkat wajah menatapku. “Tidak! Ibu tak mungkin seperti itu,” kilahnya. “Lalu, di mana Ibu menemukan uang ini?” Aku terus menyudutkan Ibu. Keyakinanku semakin kuat kalau Ibu sedang berbohong. Ibu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Baiklah... Ibu akan bercerita, tapi kalian harus janji untuk tidak marah,” kata ibu kemudian. Aku dan Mas Damar mengangguk serempak lalu bersiap mendengarkan cerita Ibu.“Ibu menemukan di kamar Rafly.” Ibu tertunduk lesu.Kontan saja aku dan Mas Damar terperangah mendengar pengakuan Ibu. Enggak menyangka kakakku setega itu. Apa saking bencinya sama suamiku sampai memfitnah kami. Mas Damar mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu, menyiratkan kemarahan yang nyata. “Tapi Ibu mohon jangan melabrak dia. Ibu tak ingin kalian bertengkar,” harapnya cemas. “Kenapa Ibu tidak jujur dari awal?” protes Bapak yang juga kaget. “Ibu tak ingin anak-anak kita bertengkar, Pak,” jawab Ibu mulai terisak. “Tapi bukan begitu caranya. Itu sama saja membiarkan mereka menzalimi kami,” Mas Damar menatap kecewa pada Ibu. Hening. Tak ada kata terucap apalagi canda dan tawa. Kami diam dalam kekakuan. “Sekarang di mana Mas Rafly?” Mas Damar bangkit. Berjalan keluar lalu kembali masuk. “Mereka sudah Ibu suruh pulang,” jawab Ibu. “Kenapa malah di suruh pulang, Bu? Seharusnya Mas Rafly didudukkan bersama kita,” keluhku. “Ibu sudah menasihati dia. Kakakmu juga sudah minta ma
Menjelang magrib para tetangga berangsur-angsur pulang hingga menyisakan kami sekeluarga. Semua pekerjaan sudah selesai. Tinggal menunggu acara yang akan dimulai bada isya. Sembari menanti magrib tiba, aku duduk di teras bersama Mas Rafly, Bapak dan Ibu. “Sudah hampir magrib, tapi Rendy dan istrinya belum datang juga. Kenapa ya, Bu?” Bapak terlihat gelisah. “Enggak tahu, Pak. Mungkin dia ada kepentingan jadi terlambat datang,” sahut Ibu tak kalah gelisah. “Iya ... Mas Rendy kan sibuk.” Aku berusaha menenangkan mereka.Bapak diam. Namun, raut gelisah masih tersirat dari wajahnya. Dia bangkit, mondar-mandir sebentar lalu duduk kembali. Tak berselang lama, sebuah motor dengan tiga orang penumpang memasuki halaman. Mas Rendy, Mbak Arum dan Tiara, anak mereka segera turun. Mas Rendy mengambil ransel sementara Istrinya menggandeng anaknya yang baru kelas dua SD. “Mobil kamu mana, Ren?” tanya Mas Rafly. Mas Rendy tak langsung menjawab. Dia menyalami kami bergantian. Pun dengan Mbak Ar
Tadi, seusai subuh Bapak dan Ibu berangkat. Mereka dijemput oleh tim penyelenggara, jadi kami tak ada yang mengantar. Setelah mereka berangkat, Mas Damar membersihkan halaman belakang rumah. Mencabuti rerumputan yang mulai tumbuh. Tanpa di minta, aku membawakan secangkir kopi dan kue bolu sisa semalam. “Istirahat dulu, Mas.” Aku meletakkan minuman di atas tunggul kayu yang menyerupai meja. “Iya.” Mas Damar mendekat, duduk di atas batang kayu lalu mengambil cangkir dan menyeruput isinya. “Pahit banget kopinya, Dek!” ucap Mas Damar. “Masa sih, Mas?” tanyaku tak percaya. “Iya. Coba saja sendiri!” perintahnya. Aku mengambil cangkir itu lalu mencicipi sedikit. Memang benar agak pahit, tapi bukannya selera Mas Damar seperti ini?“Biasanya juga kayak gini rasanya,” protesku. “Iya, tapi biasanya aku minum sambil lihat senyummu, tapi sekarang kamu murung begitu,” jawab suamiku. “Terus apa hubungannya sama kopi?” tanyaku bingung.“Senyum kamu,” sahutnya memasang wajah serius. “Senyu
Aku tersentak kaget saat tiba-tiba pintu kamar diketuk tiga kali. Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat sedikit. Untung saja aku tak lupa mengunci pintu, jadi tak perlu khawatir. “Mengganggu saja!” gerutuku lirih. “Sekar... keluar sebentar. Kakakmu ingin bicara, kami tunggu di ruang tamu,” ucap Mbak Arum setengah berteriak. “Iya, Mbak, sebentar!” jawabku. Gegas aku bangkit, membenahi pakaian lalu mengikat rambut yang awut-awutan. Mas Damar hanya diam menatap kecewa. Sesampainya di ruang tamu, Mas Rendy telah duduk berjajar dengan istrinya. Aku menghempaskan tubuh di atas sofa menghadap mereka. “Ada apa, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi. Mas Rendy menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan-lahan seolah sedang menata pikiran. “Begini, kamu kan sudah tahu masalah yang sedang menimpa kami. Aku harap kamu mau membantu kami,” ucap Mas Rendy terdengar ragu. “Membantu bagaimana, Mas?” tanyaku penasaran. “Kami mau pinjam uang sama kamu. Siapa t
Beberapa hari ini Mas Damar bolak-balik dari rumah ini ke rumah yang satu. Sebenarnya aku kasihan dengan suamiku. Aku sudah memintanya untuk libur tapi dia menolak. Pekerjaanlah yang jadi alasan utamanya. Hari ini aku memaksanya libur bekerja. Selain karena ingin berduaan, nanti siang ada acara arisan keluarga di rumah pakde Herman, kakak Ibu yang tertua. Sebuah acara yang diadakan untuk mempererat tali persaudaraan, tapi tak jarang dijadikan ajang pamer kekayaan. “Mas, kita sarapan singkong rebus saja ya, mau masak tapi takut enggak dimakan. Kan kita mau ke rumah Pakde Herman. Nanti malah Mubazir,” ucapku seusai salat subuh. “Iya, singkong juga bagus buat sarapan,” jawab suamiku. Sebenarnya Mas Damar tak pernah mempermasalahkan mau masak apa. Selama ini dia tak pernah memprotes masakanku. Namun, tak ada salahnya jika aku bilang dulu. Aku melipat mukena lalu segera ke dapur. Tak banyak yang kukerjakan pagi ini. Piring dan gelas kotor sudah kucuci semalam sebelum tidur. Sengaja
Setelah dua jam berlangsung, Arisan keluarga sampai di penghujung acara. Doa bersama dan sedikit ceramah sudah selesai. Sekarang tinggal makan-makan bersama. Aku berkali-kali melirik ke arah jendela, menanti dengan cemas kedatangan Mas Damar. Namun, batang hidungnya tak kunjung terlihat. “Kamu enggak ambil makanan malah asyik melihat ke luar terus, Sekar. Ada apa?” tanya Bude Herman. “Anu, Bude. Mas Damar kok belum kembali ya,” jawabku. “Nanti juga datang. Mungkin urusannya belum selesai, jadi belum balik ke sini.” Bude tersenyum. “Tapi tadi bilangnya sebentar doang,” keluhku. “Sabar... mungkin sedang di jalan. Mending kamu makan dulu,” saran Bude Herman. Aku mengangguk lalu segera beranjak menuju meja prasmanan. Mbak mela mengikuti di belakang. Mungkin mau ambil juga. Aku Mengambil sedikit nasi dan sayur nangka kesukaanku. Lauknya aku memilih tempe bacem saja. Meski ada daging ayam dan semur telur, tapi aku tak terlalu suka itu. Setelah selesai mengambil makanan, aku berniat
Mobil yang kami kendarai melaju pelan membelah jalanan yang ramai oleh hilir mudik kendaraan. Aku melempar pandangan ke luar jendela, menikmati perjalanan. “Sebenarnya kita mau ke mana, Mas? Kok lewat sini?” tanyaku penuh curiga. Aku terus menatap ke sekeliling dan meyakini ini bukan jalan pulang. “Nanti juga tahu,” sahut Mas Damar singkat. Aku tak lagi menanyakan apa pun. Ke mana pun Mas Damar membawaku, hati ini merasa tenang saat di dekatnya. Beberapa saat kemudian, Mas Damar menghentikan mobilnya di depan sebuah toko emas. Aku menatap heran pada suamiku. “Yuk turun, Dek!” ajak Mas Damar lalu membuka pintu mobil. Aku tak menurut, tapi justru mencekal lengan, mencegahnya turun.“Ngapain kita ke sini, Mas?” tanyaku.“Ya beli emas lah.” Dia tersenyum menatapku. Tunggu dulu! Tadi tiba-tiba Mas Damar datang bawa mobil ini dan sekarang mengajak beli emas. Dapat duit dari mana dia? “Kamu enggak habis Merampok kan, Mas?” Aku menatapnya penuh selidik. “Astaghfirulloh... ya enggak
Seminggu telah berlalu sejak kejadian itu. Sekalipun aku belum pernah datang lagi ke rumah Bapak. Rasa kecewa dengan kakak-kakakku membuatku merasa malas bertemu dengan mereka. Sebenarnya aku ingin menghubungi Bapak berniat mengabarkan kelakuan dua anak lelakinya. Namun Mas Damar mencegah. Katanya takut mengganggu ibadah bapak. Akhirnya aku menunggu sampai Bapak pulang. Siang ini Bapak mengabari kalau sudah ada di rumah. Aku langsung mengajak Mas Damar ke sana. Namun, karena Mas Damar ada kepentingan jadi sore ini kami baru bertandang ke rumah Bapak. “Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk pintu tiga kali. Tak berselang lama terdengar suara perempuan yang sangat kukenali menjawab salamku dari arah dalam. Derap langkah kakinya terburu mendekati pintu. “Sekar!” Ibu langsung memelukku erat seolah sudah lama enggak bertemu padahal dia hanya pergi kurang dari dua puluh hari. Mas Damar langsung mencium takdim punggung tangan Ibu setelah pelukan kami terurai. “Masuk yuk! Kakakmu j
...“Kamu kok doain yang jelek-jelek buat aku sih, Yan! Aku ini kakakmu.” Bude suci memasang wajah kesal. Kentara sekali kalau dia khawatir ucapan Tante Yani di dengar Tuhan.“Lagian siapa suruh Mbak Suci makan uang sumbangan? Dosanya besar, Mbak. Bisa sengsara sampai tujuh turunan,” sahut Tante Yani santai. Astaga! Tante semakin menakuti Bude. Sepertinya ini sebuah kesengajaan agar Bude lekas menggenapi uang itu. Sejenak kuperhatikan wajah Bude dan Pakde yang seperti tak ada darah. Sesekali pakde menggaruk tengkuk seperti sedang kebingungan. Salah siapa berani ambil risiko itu. “Jadi bagaimana? Kalian tetap mau makan uang itu? Jangan gara-gara dua puluh juta hidup kalian sengsara. Belum lagi kalau azab datang cepat. Bisa makin menderita,” cecar Tante Yani saat mereka tak kunjung bicara. Bude dan suaminya saling tatap. Entah apa maksud mereka, tapi yang jelas setelah itu Bude beranjak meninggalkan kami lalu kembali dengan kotak perhiasan di tangannya. Diletakkan kotak itu di atas
Selepas perginya Bude dan Pakde, kami langsung ke dapur mempersiapkan menu untuk nanti malam. Ya, nanti malam tujuh hari meninggalnya kakek sekaligus doa bersama yang terakhir. Om Bram juga turut membantu. Rupanya laki-laki itu suka meringankan pekerjaan Tante Yani. Kata Tante, kadang malah Om Bram yang masak kalau pas dia sakit. Hebat. “Tan, kalau besok Bude enggak memberikan uang itu, apa Tante serius akan melaporkan ke polisi?” tanyaku di sela aktivitas dapur. “Tentu saja tidak, Sekar. Biar bagaimanapun Budemu tetap kakakku, jadi aku tak setega itu.” Perempuan itu menjeda aktivitasnya sejenak demi untuk melempar senyum padaku. “Tapi kenapa tadi Om dan Tante ngotot mau laporin mereka?” cecarku lagi. “Kami hanya menggertak saja. Mbak Suci kan paling takut kalau berurusan sama polisi. Lagian, ini juga demi kebaikan mereka juga kan?” sahut Om Bram yang sedang menata gelas di atas nampan. Aku mengangguk paham. Rupanya mereka berdua punya hati yang lembut dibalik ketegasan pada Bud
Sampai di rumah kami langsung mengembalikan mobil milik tetangga. Setelah itu baru berjalan kaki pulang. Om Bram menatap heran ke arah kami berdua. Rupanya dia sudah pulang kantor. “Kalian dari mana? Kok jalan kaki?” tanya Om Bram sembari menyeruput kopi di depannya.“Dari rumah Mbak Suci,” jawab Tante. “Ngapain?” Om Bram mengernyitkan kening, menatap penuh selidik pada kami berdua. “Begini, Pah....” Tante Yani mengisahkan apa yang telah kami lakukan seharian ini. Juga perjuangan kami mengorek informasi. Pokoknya, Tante begitu semangat bercerita. Om Bram menggeleng perlahan. Mungkin dia tak menyangka kakak iparnya akan berbuat senekat itu. Atau, dia memang sudah menebak ini bakal terjadi?“Kakakmu itu sudah sangat keterlaluan. Harus di kasih pelajaran dia!” Om Bram mendengkus sambil sesekali mengatur nafasnya yang tak beraturan. “Iya! Kita laporkan polisi saja, Pah!” timpal Tante. Ah! Rupanya Tante serius dengan ucapannya. Satu keluarga akan saling memusuhi karena uang.“Tapi, T
“Dasar Mbak Suci! Bikin malu saja!” Bude mendengkus kesal sembari memukul setir. Bukan hanya dia yang kesal, aku juga. Tapi, aku memilih diam ketimbang membuat emosinya semakin tak terkontrol. Wajar jika Tante Yani marah. Ia telah ditipu habis-habisan sama kakak kandungnya sendiri. Yang aku enggak habis pikir, kenapa mereka berbohong? Apa benar yang kutakutkan selama ini? “Kita ke mana, Tan?” tanyaku memecah keheningan. “Ke rumah Mbak Suci lagi. Biar kulabrak dia sekalian!” sahutnya. Tante membelokkan mobilnya ke arah jalan yang tadi kami lewati. Kakinya menginjak pedas gas hingga kendaraan melesat cepat. Aku sampai khawatir kalau Tante tak konsentrasi menyetir dan akhirnya membahayakan kami. “Pelan dong, Tan. Bahaya!” ujarku sembari menepuk-nepuk pundaknya. Tante menurut. Dia sedikit memelankan laju kendaraan meski masih terbilang ngebut. Untung saja jalanan tak terlalu ramai. Tak berselang lama, kami telah sampai di halaman rumah Bude. Tante Yani buru-buru turun kemudian sete
Perlahan, mobil bude mulai merangkak meninggalkan pelataran parkir. Selang beberapa saat Tante mulai menginjak pedal gas membuntuti Bude dari jarak yang tak terlalu jauh. Sedikit tenang karena kami memakai mobil orang, jadi tak perlu khawatir ketahuan. Sekitar setengah jam kemudian, mobil Bude berhenti di halaman rumah yang kami datangi tadi. Tante menghentikan laju kendaraan di bahu jalan demi mengajakku bicara. “Bagaimana sekarang? Apa kita langsung ke sana?” tanya Tante Yani. “Iya... enggak apa-apa. Yang penting Tante jangan kebawa emosi ya. Tenang!” jawabku. “Ok!” Tante Yani kembali melajukan mobil lalu berhenti tepat di sebelah mobil Bude. Bude dan suaminya yang sudah sampai teras menghentikan langkah lalu berbalik menatap kami. Tampak dia mengerutkan dahi. Mungkin asing dengan mobil yang kami kendarai. Kami turun lalu berjalan santai ke arah teras. Mereka terkejut saat menyadari kami yang datang. “Yani... Sekar.... ngapain kalian ke sini?” tanya Bude kaget. “Mau memastik
Sepeninggal mereka, aku bangkit berniat masuk ke kamar, tapi Tante Yani memanggilku. “Duduk dulu sebentar, Sekar,” ujar Tante dengan nada suara lirih. Agaknya dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting.Menurut, kembali kuhempaskan bobot di atas sofa. Duduk menghadap Tante sembari menatap lekat padanya. “Ada apa, Tan?” tanyaku. “Sini aku bisikkin,” perintah Tante sembari melambaikan tangan. Penasaran, Aku berpindah duduk tepat si sebelahnya. Sampai-sampai lengan kami saling bersentuhan. “Kamu curiga enggak sama Bude, Sekar? Jangan-jangan dia mau menggunakan uang itu untuk kebutuhannya sendiri,” bisik Tante Yani. Kontan saja aku sedikit menjauh sembari menatap lekat padanya. Ternyata Tante juga punya pemikiran yang sama denganku. “Iya sih, Tan. Tapi mau bagaimana lagi,” keluhku. Sejenak, kami sama-sama diam larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Tante membuka suara yang membuat aku terkejut. “Aku ada ide.” Tante berteriak sembari mengangkat satu tangannya ke atas
Jam di dinding menunjuk pukul tujuh lewat sedikit saat aku, Mas Damar, Tante Yani dan suaminya menikmati sarapan. Aku benar-benar salut dengan kepribadian Tante Yani. Meski kehidupannya terbilang mapan, dia tetap bangun pagi dan berkutat di dapur layaknya ibu rumah tangga.“Tant, nanti siang aku pulang ya. Mas Damar ada kepentingan,” ucapku di sela makan. Tante Yani yang sedang mengunyah makanan seketika menyambar gelas di depannya kemudian meneguknya hingga tandas. “Jangan dulu, Sekar. Nunggu 7 hari kamu baru boleh pulang. Bantu Tante dulu,” protes Tante Yani. Aku mengalihkan pandangan pada Mas Damar yang duduk di sebelahku. Setelah itu kembali menatap Tante. “Bagaimana ya, Tant. Inginnya sih gitu, tapi Mas Damar ada kepentingan jadi harus cepat balik,” sahutku ragu. Tadi, pagi-pagi sekali Parjo menelepon suamiku. Katanya ada sedikit masalah di rumah, makanya Mas Damar diminta cepat pulang. “Kamu di sini dulu biar Damar pulang sendiri. Nanti kalau semua sudah selesai kami antar
Bakda Isya doa bersama dimulai. Ustaz Amin memimpin rangkaian acara yang diawali dengan mengucap kalimat tauhid bersama. Setelah itu membaca ayat-ayat al-quran secara bergilir. Sekitar pukul 10 malam acara selesai. Beberapa tetangga yang hadir sudah berangsur-angsur pulang. Hanya menyisakan ustaz Amin dan beberapa kerabat. Mereka masih asyik mengobrol membicarakan kebaikan kakek semasa hidup. “Orang tua kalian semasa hidup terkenal dermawan. Beliau tak jarang menolong siapa saja yang kesusahan. Sekalipun tak mengenal orang itu,” puji Ustaz Amin di sela obrolan. Aku tersenyum bangga. Meski aku tak cukup dekat dengan Almarhum kakek, setidaknya aku bagian dari keluarga ini. “Oh iya, Taz. Kami ada sedikit dilema soal uang peninggalan Bapak. Sebelum meninggal Bapak berpesan kalau uangnya buat menyantuni anak yatim dan disumbangkan ke masjid, tapi Mbak Suci bersikukuh uang itu disumbangkan ke masjid semua. Menurut Ustaz bagaimana?” Om Bram mulai bercerita sementara Bude Suci berkali-kal
Tiga hari sudah aku tinggal di rumah Tante Yani. Siang hari kami diajak melihat toko yang diberikan kakek padaku, juga rumah yang jaraknya tak jauh dari toko. Kemarin siang Tante Yani juga sempat mengajak kami ke notaris untuk mengurus balik nama apa yang jadi hakku. Aku sih menurut saja. Seperti biasa, sore ini kami sibuk di dapur menyiapkan segala tetek bengek untuk nanti malam. Rencananya memang acara doa bersama akan terus berjalan sampai tujuh hari kematian kakek. Menjelang magrib, deru mesin mobil terdengar berhenti di halaman. Aku yang baru selesai berpakaian gegas ke depan melihat siapa yang datang. Rupanya Bude suci bersama seorang lelaki yang tak kukenal. Apa dia suaminya Bude? “Sore, Bude!” Aku melempar senyum pada keduanya. Mengulurkan tangan berniat menyalami, tapi tak disambut. Akhirnya tanganku hanya menggantung di awang-awang. “Enggak usah sok akrab. Kamu bukan siapa-siapa di sini. Bisa saja kamu hanya mengaku anaknya Diah demi mendapat warisan!” ketus Bude suci.