Share

Bab 6

Penulis: Putri putri
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-13 07:02:10

“Ibu menemukan di kamar Rafly.” Ibu tertunduk lesu.

Kontan saja aku dan Mas Damar terperangah mendengar pengakuan Ibu. Enggak menyangka kakakku setega itu. Apa saking bencinya sama suamiku sampai memfitnah kami. 

Mas Damar mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu, menyiratkan kemarahan yang nyata. 

“Tapi Ibu mohon jangan melabrak dia. Ibu  tak ingin kalian bertengkar,” harapnya cemas. 

“Kenapa Ibu tidak jujur dari awal?” protes Bapak yang juga kaget. 

“Ibu tak ingin anak-anak kita bertengkar, Pak,” jawab Ibu mulai terisak. 

“Tapi bukan begitu caranya. Itu sama saja membiarkan mereka menzalimi kami,” Mas Damar menatap kecewa pada Ibu. 

Hening. Tak ada kata terucap apalagi canda dan tawa. Kami diam dalam kekakuan. 

“Sekarang di mana Mas Rafly?” Mas Damar bangkit. Berjalan keluar lalu kembali masuk. 

“Mereka sudah Ibu suruh pulang,” jawab Ibu. 

“Kenapa malah di suruh pulang, Bu? Seharusnya Mas Rafly didudukkan bersama kita,” keluhku. 

“Ibu sudah menasihati dia. Kakakmu juga sudah minta maaf,” ucap Ibu. 

Aku mengembuskan nafas berat. Tak bisa dipungkiri bahwa aku telah kecewa dengan sikap Ibu. Hanya karena takut kami bertengkar, Ibu telah menyembunyikan semua dari kami. 

“Apa dia juga yang menggunakan uang itu?” tanya Bapak yang sedari tadi memegangi kepala. 

“Iya. Dia gunakan uang lima juta itu untuk bayar sarapan tadi pagi,” sahut Ibu.

Aku kembali terperangah. Enggak menyangka mereka tega memakai uang Bapak yang mau buat umrah. Bukannya kasih tambahan malah menyerobot saja. 

Aku mengerutkan dahi saat teringat kejadian tadi pagi. Seperti ada yang aneh. 

“Bukannya tadi yang mau traktir Mbak Arum? Kenapa malah Mas Rafly yang bayar?” cecarku saat menyadari keanehan itu. 

“Ibu juga enggak tahu,” jawab Ibu. 

Pikiranku mulai berkelana. Menerka-nerka tentang kemungkinan  yang masuk akal. 

“Apa jangan-jangan mereka semua terlibat?” tebak Mas Damar sama seperti yang kupikirkan. 

“Bisa jadi, Mas! Mereka sengaja ingin menjelekkan kita di depan Bapak dan Ibu. Kan kita tahu kedua kakakku tak suka denganmu,” sahutku. 

“Ini sudah kelewatan. Mereka harus diberi pelajaran!” Mas Damar menggeram sambil menggebrak meja. 

Sontak saja aku kaget. Sejak menikah, baru sekarang kulihat Mas Damar semarah ini. 

“Maafkan mereka, Nak. Ibu tak ingin ribut. Ibu ingin kalian semua rukun,” mohon Ibu disertai isak tangis. 

Sebagai anak aku bisa merasakan kesedihan Ibu. Setiap orang tua pasti ingin anaknya hidup rukun. Tidak terkecuali Ibu. 

Aku meraih jemari Mas Damar lalu menggenggam erat. Berusaha menenangkan agar dia tak sampai berbuat nekat. 

“Sudahlah, Mas. Yang terpenting sekarang semua sudah tahu kalau kita tidak bersalah,” bujukku. 

Perlahan, Nafas memburu suamiku berangsur-angsur normal. Kemarahannya mulai mereda. 

“Terima kasih Sekar, kamu memang penyabar,” puji Bapak. 

Aku memaksakan senyum. Sabar? Tidak juga. Hanya saja takut jika Mas Damar nekat dan berujung penganiayaan terhadap kakak-kakakku. Bukan tidak mungkin dia masuk penjara. Lalu bagaimana denganku?

“Baiklah! Kali ini aku maafkan. Tapi jika besok mereka mengganggu kami lagi,  Aku akan melawan,” ucap Mas Damar. 

Setelah semua selesai. Kami pamit pulang. Uang Bapak juga kami bawa. Sebenarnya aku enggan, tapi karena mereka memaksa, aku tak bisa menolak. 

**** 

3 bulan kemudian. 

Hari ini Bapak dan Ibu kembali mengumpulkan anak-anaknya. Merek akan menggelar doa bersama sebelum berangkat umrah. 

Ya. Bapak sudah mengambil uang yang mereka titipkan padaku. Katanya sudah buat bayar biaya umrah berdua dan sisanya untuk belanja keperluan acara yang akan di gelar nanti malam. 

Aku dan Mas Damar berangkat pagi-pagi buta agar bisa membantu menyiapkan segala sesuatunya. Sebenarnya suamiku malas kuajak ke rumah Bapak, tapi karena terus memaksa, akhirnya Mas Damar mengalah. 

Begitu sampai di rumah Bapak, aku langsung membaur dengan tetangga yang sedang rewang sementara Mas Damar dan Bapak membersihkan halaman agar terlihat rapi. 

Seperti kebanyakan perempuan, sambil memasak kami jaga mengobrol ke sana kemari. Sampai-sampai hal yang tak penting pun jadi bahan obrolan. 

“Si Arum sama Mela kok belum datang ya?” padahal kan sudah tengah hari,” tanya Bik Wati,  salah satu tetangga yang rewang. 

“Lagi ada kepentingan mungkin, Bu. Jadi telat datang,” sahutku sambil menata kue yang baru matang. 

“Kepentingan apaan sih? Ini kan hajat mereka juga,” protes Bu Ayu, tetangga sebelah rumah. 

“Mana tahu.” Aku mengendikan bahu lalu kembali sibuk dengan pekerjaanku. 

Baru saja dibicarakan, Mbak Mela tiba-tiba nongol dengan dandanannya yang sudah seperti artis. Aku hanya melirik sekilas saja. 

“Kebetulan kamu datang, Mel. Tolong cucikan kuai itu ya. Nanti mau di pakai buat goreng ikan,” perintah Bik Wati saat melihat Mbak Mela datang. 

“Baru saja nyampe sudah langsung disuruh-suruh. Capek, Bik,” sahut Mbak Mela. 

Kaka iparku menarik kursi lalu duduk di depan meja tempatku menata beberapa kue basah. 

“Kamu ke sini jam berapa, Sekar?” tanya Mbak Mela. 

“Tadi pagi, Mbak. Jam delapan sudah sampai,” jawabku. 

“Pagi banget, enggak masak dulu?” tanyanya lagi. Dia mengambil sepotong bolu kue bolu lalu langsung memakannya. 

“Enggaklah. Kan masak di sini,” sahutku. 

“Iya juga sih. Kan kamu sekalian numpang makan mumpung gratis,” cibirnya.

Aku tersenyum kecut tanpa menanggapi.  

“Dari tadi Sekar belum makan apa-apa. Kamu tu yang datang-datang langsung main caplok saja,” celetuk Bik Wati menatap pada Mbak Mela. 

Sontak wajah Mbak Mela memerah karena malu. Aku ingin tertawa tapi takut menyinggung perasaannya. Akhirnya hanya mengulum senyum. 

“Cuma icip doang, Bik. Biar tahu rasanya,” kilahnya. 

“Gimana , Mbak? Itu aku yang bikin,” tanyaku penasaran. 

Aku memang belum sempat mencicipi. Dari tadi sibuk dengan pekerjaan lain.

“Pantesan. Rasanya gimana gitu. Kayak agak pahit. Enggak enak,” ungkap Mbak Mela sembari mencomot sepotong lagi.

“Enggak enak kok ambil lagi,” cibir Bu Ayu. 

Kontan saja wajah Mbak Mela kembali memerah. Dia tak menyahut. Hanya merengut menatap tak suka pada Bu Ayu.

Tetanggaku itu memang ceplas-ceplos. Kalau ngomong enggak dipikir dulu. Jadinya begini kan. Mbak Mela sepertinya menahan kesal.

 

Selesai menata kue, aku ke depan mencari Mas Damar. Sejak pagi dia belum makan. Takutnya dia segan karena banyak orang. 

Sesampainya di teras, kulihat Mas Damar sedang mencabuti rumput, sedangkan Mas Rafly duduk di teras sambil bermain ponsel. 

“Makan dulu, Mas. Dari pagi kamu belum makan nasi,” teriakku tanpa memedulikan Mas Rafly. 

“Bentar lagi. Ini juga sudah mau selesai.” Mas Damar menghentikan aktivitasnya sejenak lalu memulai lagi. 

“Lanjutinnya nanti saja sehabis makan,” bujukku setengah memaksa. 

Mas Damar menurut. Dia bangkit lalu mendekat ke arahku. 

“Sudah sana makan dulu. Mumpung di sini banyak makanan. Kan kalian jarang makan enak.” Tiba-tiba Mas Rafly membuka suara. 

Sontak aku terkejut mendengar ucapan kakakku. Pun dengan Mas Damar. Dia juga kaget tapi tak menanggapi. 

“Ya enggak apa-apa jarang makan enak. Daripada makan mewah tapi pakai duit orang. Pura-pura traktir lagi!” sindirku. 

Skak matt! Kali ini ganti Mas Rafly yang terkejut. Mungkin dia tak menyangka aku sudah tahu semuanya. 

Aku langsung mengajak Mas Damar pergi sebelum kakakku menyangkal. Biar saja dia marah karena ditinggal begitu saja. Apa peduliku?  

Setelah mencuci tangan, Mas Damar duduk di depan meja makan, sementara aku ke dapur mengambil piring. 

Aku menghentikan langkah saat sampai di depan pintu dapur. Menguping sejenak apa uang sedang Mbak Mela obrolkan dengan para tetangga. 

“Suami Sekar kan cuma petani, jadi wajar kalau enggak menyumbang,” ucap Mbak Mela pada para tetangga. 

Aku memicingkan mata berusaha mencerna apa yang sedang mereka bicarakan, tapi masih belum paham juga. Untungnya Mbak Mela menghadap ke arah sama. Jadi tak tahu aku berdiri di dekat pintu. 

“Terus siapa yang menggenapi biaya umrah mertua kamu?” tanya salah satu tetangga.

 

“Tentu saja kami. Siapa lagi,” ujar Mbak Mela pongah. 

Aku mengelus dada saat mulai paham arah pembicaraan mereka. Rupanya Mbak Mela mengaku-aku telah menyumbang pada Bapak padahal nyatanya zonk. Ini tak bisa dibiarkan. 

Aku mendekat pada mereka yang sedang mengobrol. 

“Lagi pada ngomongin sumbangan apa sih?” tanyaku pura-pura tak dengar. 

Seketika Mbak Mela membalikkan badan menghadapku. Dia sangat gugup. 

“Lagi ngomongin sumbangan buat Bapak kamu. Mela baik banget ya..., dia sudah menggenapi kekurangan biaya umrah Bapak dan Ibu kamu. Benar-benar menantu idaman,” jelas salah satu tetangga. 

“Benar begitu, Mbak? Apa enggak salah dengar?” sindirku sambil melirik pada Mbak Mela. 

Kontan saja wajah Kakak iparku langsung pias. Dia gelagapan. Tak menyahut hanya menggumam tak jelas. 

“Jadi begini..., sebenarnya yang menggenapi uang Bapak itu suamiku. Walaupun hidup pas-pasan, dia tidak keberatan memberikan tabungannya untuk orang tuaku. Bukan Mbak Mela ataupun Mas Rafly,” tegasku. 

Sontak mereka semua menatap aku dan Mbak mela bergantian. 

“Jadi yang benar omongan siapa?” tanya Bu Ayu penuh selidik. 

“Tanya saja sama Mbak Mela,” Aku berjalan mendekati rak lalu mengambil piring. Membiarkan kakak iparku menanggung malu.

“Astaghfirulloh, ternyata kamu cuma ngaku-aku doang,” Bu Ayu mengelus dada menatap pada Mbak Mela yang tertunduk malu. 

Aku berlalu meninggalkan mereka. Dari kejauhan aku masih sempat mendengar para tetangga menasihati kakak iparku. Biarkan saja dia menuai buah perbuatannya. 

   

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Oliva Koneng
ceritanya lanjut
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
hhhmmmm jadi ikooottt masuk kejln ceritanya....lanjuuuttt thoorrr...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   WARISAN

    Menjelang magrib para tetangga berangsur-angsur pulang hingga menyisakan kami sekeluarga. Semua pekerjaan sudah selesai. Tinggal menunggu acara yang akan dimulai bada isya. Sembari menanti magrib tiba, aku duduk di teras bersama Mas Rafly, Bapak dan Ibu. “Sudah hampir magrib, tapi Rendy dan istrinya belum datang juga. Kenapa ya, Bu?” Bapak terlihat gelisah. “Enggak tahu, Pak. Mungkin dia ada kepentingan jadi terlambat datang,” sahut Ibu tak kalah gelisah. “Iya ... Mas Rendy kan sibuk.” Aku berusaha menenangkan mereka.Bapak diam. Namun, raut gelisah masih tersirat dari wajahnya. Dia bangkit, mondar-mandir sebentar lalu duduk kembali. Tak berselang lama, sebuah motor dengan tiga orang penumpang memasuki halaman. Mas Rendy, Mbak Arum dan Tiara, anak mereka segera turun. Mas Rendy mengambil ransel sementara Istrinya menggandeng anaknya yang baru kelas dua SD. “Mobil kamu mana, Ren?” tanya Mas Rafly. Mas Rendy tak langsung menjawab. Dia menyalami kami bergantian. Pun dengan Mbak Ar

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   MEMPRIHATINKAN

    Tadi, seusai subuh Bapak dan Ibu berangkat. Mereka dijemput oleh tim penyelenggara, jadi kami tak ada yang mengantar. Setelah mereka berangkat, Mas Damar membersihkan halaman belakang rumah. Mencabuti rerumputan yang mulai tumbuh. Tanpa di minta, aku membawakan secangkir kopi dan kue bolu sisa semalam. “Istirahat dulu, Mas.” Aku meletakkan minuman di atas tunggul kayu yang menyerupai meja. “Iya.” Mas Damar mendekat, duduk di atas batang kayu lalu mengambil cangkir dan menyeruput isinya. “Pahit banget kopinya, Dek!” ucap Mas Damar. “Masa sih, Mas?” tanyaku tak percaya. “Iya. Coba saja sendiri!” perintahnya. Aku mengambil cangkir itu lalu mencicipi sedikit. Memang benar agak pahit, tapi bukannya selera Mas Damar seperti ini?“Biasanya juga kayak gini rasanya,” protesku. “Iya, tapi biasanya aku minum sambil lihat senyummu, tapi sekarang kamu murung begitu,” jawab suamiku. “Terus apa hubungannya sama kopi?” tanyaku bingung.“Senyum kamu,” sahutnya memasang wajah serius. “Senyu

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   TAK TAHU MALU

    Aku tersentak kaget saat tiba-tiba pintu kamar diketuk tiga kali. Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat sedikit. Untung saja aku tak lupa mengunci pintu, jadi tak perlu khawatir. “Mengganggu saja!” gerutuku lirih. “Sekar... keluar sebentar. Kakakmu ingin bicara, kami tunggu di ruang tamu,” ucap Mbak Arum setengah berteriak. “Iya, Mbak, sebentar!” jawabku. Gegas aku bangkit, membenahi pakaian lalu mengikat rambut yang awut-awutan. Mas Damar hanya diam menatap kecewa. Sesampainya di ruang tamu, Mas Rendy telah duduk berjajar dengan istrinya. Aku menghempaskan tubuh di atas sofa menghadap mereka. “Ada apa, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi. Mas Rendy menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan-lahan seolah sedang menata pikiran. “Begini, kamu kan sudah tahu masalah yang sedang menimpa kami. Aku harap kamu mau membantu kami,” ucap Mas Rendy terdengar ragu. “Membantu bagaimana, Mas?” tanyaku penasaran. “Kami mau pinjam uang sama kamu. Siapa t

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-16
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   ARISAN KELUARGA

    Beberapa hari ini Mas Damar bolak-balik dari rumah ini ke rumah yang satu. Sebenarnya aku kasihan dengan suamiku. Aku sudah memintanya untuk libur tapi dia menolak. Pekerjaanlah yang jadi alasan utamanya. Hari ini aku memaksanya libur bekerja. Selain karena ingin berduaan, nanti siang ada acara arisan keluarga di rumah pakde Herman, kakak Ibu yang tertua. Sebuah acara yang diadakan untuk mempererat tali persaudaraan, tapi tak jarang dijadikan ajang pamer kekayaan. “Mas, kita sarapan singkong rebus saja ya, mau masak tapi takut enggak dimakan. Kan kita mau ke rumah Pakde Herman. Nanti malah Mubazir,” ucapku seusai salat subuh. “Iya, singkong juga bagus buat sarapan,” jawab suamiku. Sebenarnya Mas Damar tak pernah mempermasalahkan mau masak apa. Selama ini dia tak pernah memprotes masakanku. Namun, tak ada salahnya jika aku bilang dulu. Aku melipat mukena lalu segera ke dapur. Tak banyak yang kukerjakan pagi ini. Piring dan gelas kotor sudah kucuci semalam sebelum tidur. Sengaja

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-17
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   KEJUTAN DARI DAMAR

    Setelah dua jam berlangsung, Arisan keluarga sampai di penghujung acara. Doa bersama dan sedikit ceramah sudah selesai. Sekarang tinggal makan-makan bersama. Aku berkali-kali melirik ke arah jendela, menanti dengan cemas kedatangan Mas Damar. Namun, batang hidungnya tak kunjung terlihat. “Kamu enggak ambil makanan malah asyik melihat ke luar terus, Sekar. Ada apa?” tanya Bude Herman. “Anu, Bude. Mas Damar kok belum kembali ya,” jawabku. “Nanti juga datang. Mungkin urusannya belum selesai, jadi belum balik ke sini.” Bude tersenyum. “Tapi tadi bilangnya sebentar doang,” keluhku. “Sabar... mungkin sedang di jalan. Mending kamu makan dulu,” saran Bude Herman. Aku mengangguk lalu segera beranjak menuju meja prasmanan. Mbak mela mengikuti di belakang. Mungkin mau ambil juga. Aku Mengambil sedikit nasi dan sayur nangka kesukaanku. Lauknya aku memilih tempe bacem saja. Meski ada daging ayam dan semur telur, tapi aku tak terlalu suka itu. Setelah selesai mengambil makanan, aku berniat

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-18
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   KETERLALUAN

    Mobil yang kami kendarai melaju pelan membelah jalanan yang ramai oleh hilir mudik kendaraan. Aku melempar pandangan ke luar jendela, menikmati perjalanan. “Sebenarnya kita mau ke mana, Mas? Kok lewat sini?” tanyaku penuh curiga. Aku terus menatap ke sekeliling dan meyakini ini bukan jalan pulang. “Nanti juga tahu,” sahut Mas Damar singkat. Aku tak lagi menanyakan apa pun. Ke mana pun Mas Damar membawaku, hati ini merasa tenang saat di dekatnya. Beberapa saat kemudian, Mas Damar menghentikan mobilnya di depan sebuah toko emas. Aku menatap heran pada suamiku. “Yuk turun, Dek!” ajak Mas Damar lalu membuka pintu mobil. Aku tak menurut, tapi justru mencekal lengan, mencegahnya turun.“Ngapain kita ke sini, Mas?” tanyaku.“Ya beli emas lah.” Dia tersenyum menatapku. Tunggu dulu! Tadi tiba-tiba Mas Damar datang bawa mobil ini dan sekarang mengajak beli emas. Dapat duit dari mana dia? “Kamu enggak habis Merampok kan, Mas?” Aku menatapnya penuh selidik. “Astaghfirulloh... ya enggak

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-19
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   TEGAS

    Seminggu telah berlalu sejak kejadian itu. Sekalipun aku belum pernah datang lagi ke rumah Bapak. Rasa kecewa dengan kakak-kakakku membuatku merasa malas bertemu dengan mereka. Sebenarnya aku ingin menghubungi Bapak berniat mengabarkan kelakuan dua anak lelakinya. Namun Mas Damar mencegah. Katanya takut mengganggu ibadah bapak. Akhirnya aku menunggu sampai Bapak pulang. Siang ini Bapak mengabari kalau sudah ada di rumah. Aku langsung mengajak Mas Damar ke sana. Namun, karena Mas Damar ada kepentingan jadi sore ini kami baru bertandang ke rumah Bapak. “Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk pintu tiga kali. Tak berselang lama terdengar suara perempuan yang sangat kukenali menjawab salamku dari arah dalam. Derap langkah kakinya terburu mendekati pintu. “Sekar!” Ibu langsung memelukku erat seolah sudah lama enggak bertemu padahal dia hanya pergi kurang dari dua puluh hari. Mas Damar langsung mencium takdim punggung tangan Ibu setelah pelukan kami terurai. “Masuk yuk! Kakakmu j

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-20
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   RAFLY KAGET

    Setelah huru-hara selesai, kami segera pamit pulang. Sebenarnya aku ingin menginap barang semalam di rumah Ibu, tapi karena Mas Damar ada keperluan, aku menunda keinginan. “Enggak nyangka ya, Mas. Dibalik gemerlapnya hidup Mbak Arum, ternyata hutang mereka bertumpuk.” Aku membuka percakapan saat tengah di perjalanan. “Makanya kamu jangan tiru dia. Hiduplah sesuai kemampuan.” Mas Damar menasihati.“Iya. Aku juga sudah hemat kok, Mas,” sahutku. Mas Damar tersenyum, tapi tatapannya lurus ke depan. Aku melempar pandangan ke luar jendela. Sekedar melihat-lihat deretan pertokoan yang mulai berdesakan di pinggir jalan. Tiba-tiba rasa khawatir menyapa hati ini. Aku takut kalau Mas Damar juga punya hutang yang menggunung. “Mas, kamu enggak punya hutang sebanyak mereka kan?” Aku menatap dalam-dalam wajah suamiku. “Tentu saja tidak, Dek,” jawabnya cepat. “Terus kamu dapat duit dari mana? Tiba-tiba bisa beli mobil begini,” cecarku. Mas Damar menarik nafas panjang kemudian menghembuskan pe

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21

Bab terbaru

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   BUDE TAKUT

    ...“Kamu kok doain yang jelek-jelek buat aku sih, Yan! Aku ini kakakmu.” Bude suci memasang wajah kesal. Kentara sekali kalau dia khawatir ucapan Tante Yani di dengar Tuhan.“Lagian siapa suruh Mbak Suci makan uang sumbangan? Dosanya besar, Mbak. Bisa sengsara sampai tujuh turunan,” sahut Tante Yani santai. Astaga! Tante semakin menakuti Bude. Sepertinya ini sebuah kesengajaan agar Bude lekas menggenapi uang itu. Sejenak kuperhatikan wajah Bude dan Pakde yang seperti tak ada darah. Sesekali pakde menggaruk tengkuk seperti sedang kebingungan. Salah siapa berani ambil risiko itu. “Jadi bagaimana? Kalian tetap mau makan uang itu? Jangan gara-gara dua puluh juta hidup kalian sengsara. Belum lagi kalau azab datang cepat. Bisa makin menderita,” cecar Tante Yani saat mereka tak kunjung bicara. Bude dan suaminya saling tatap. Entah apa maksud mereka, tapi yang jelas setelah itu Bude beranjak meninggalkan kami lalu kembali dengan kotak perhiasan di tangannya. Diletakkan kotak itu di atas

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   Masih berulah

    Selepas perginya Bude dan Pakde, kami langsung ke dapur mempersiapkan menu untuk nanti malam. Ya, nanti malam tujuh hari meninggalnya kakek sekaligus doa bersama yang terakhir. Om Bram juga turut membantu. Rupanya laki-laki itu suka meringankan pekerjaan Tante Yani. Kata Tante, kadang malah Om Bram yang masak kalau pas dia sakit. Hebat. “Tan, kalau besok Bude enggak memberikan uang itu, apa Tante serius akan melaporkan ke polisi?” tanyaku di sela aktivitas dapur. “Tentu saja tidak, Sekar. Biar bagaimanapun Budemu tetap kakakku, jadi aku tak setega itu.” Perempuan itu menjeda aktivitasnya sejenak demi untuk melempar senyum padaku. “Tapi kenapa tadi Om dan Tante ngotot mau laporin mereka?” cecarku lagi. “Kami hanya menggertak saja. Mbak Suci kan paling takut kalau berurusan sama polisi. Lagian, ini juga demi kebaikan mereka juga kan?” sahut Om Bram yang sedang menata gelas di atas nampan. Aku mengangguk paham. Rupanya mereka berdua punya hati yang lembut dibalik ketegasan pada Bud

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   mereka panik

    Sampai di rumah kami langsung mengembalikan mobil milik tetangga. Setelah itu baru berjalan kaki pulang. Om Bram menatap heran ke arah kami berdua. Rupanya dia sudah pulang kantor. “Kalian dari mana? Kok jalan kaki?” tanya Om Bram sembari menyeruput kopi di depannya.“Dari rumah Mbak Suci,” jawab Tante. “Ngapain?” Om Bram mengernyitkan kening, menatap penuh selidik pada kami berdua. “Begini, Pah....” Tante Yani mengisahkan apa yang telah kami lakukan seharian ini. Juga perjuangan kami mengorek informasi. Pokoknya, Tante begitu semangat bercerita. Om Bram menggeleng perlahan. Mungkin dia tak menyangka kakak iparnya akan berbuat senekat itu. Atau, dia memang sudah menebak ini bakal terjadi?“Kakakmu itu sudah sangat keterlaluan. Harus di kasih pelajaran dia!” Om Bram mendengkus sambil sesekali mengatur nafasnya yang tak beraturan. “Iya! Kita laporkan polisi saja, Pah!” timpal Tante. Ah! Rupanya Tante serius dengan ucapannya. Satu keluarga akan saling memusuhi karena uang.“Tapi, T

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   ANCAMAN

    “Dasar Mbak Suci! Bikin malu saja!” Bude mendengkus kesal sembari memukul setir. Bukan hanya dia yang kesal, aku juga. Tapi, aku memilih diam ketimbang membuat emosinya semakin tak terkontrol. Wajar jika Tante Yani marah. Ia telah ditipu habis-habisan sama kakak kandungnya sendiri. Yang aku enggak habis pikir, kenapa mereka berbohong? Apa benar yang kutakutkan selama ini? “Kita ke mana, Tan?” tanyaku memecah keheningan. “Ke rumah Mbak Suci lagi. Biar kulabrak dia sekalian!” sahutnya. Tante membelokkan mobilnya ke arah jalan yang tadi kami lewati. Kakinya menginjak pedas gas hingga kendaraan melesat cepat. Aku sampai khawatir kalau Tante tak konsentrasi menyetir dan akhirnya membahayakan kami. “Pelan dong, Tan. Bahaya!” ujarku sembari menepuk-nepuk pundaknya. Tante menurut. Dia sedikit memelankan laju kendaraan meski masih terbilang ngebut. Untung saja jalanan tak terlalu ramai. Tak berselang lama, kami telah sampai di halaman rumah Bude. Tante Yani buru-buru turun kemudian sete

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   TERNYATA

    Perlahan, mobil bude mulai merangkak meninggalkan pelataran parkir. Selang beberapa saat Tante mulai menginjak pedal gas membuntuti Bude dari jarak yang tak terlalu jauh. Sedikit tenang karena kami memakai mobil orang, jadi tak perlu khawatir ketahuan. Sekitar setengah jam kemudian, mobil Bude berhenti di halaman rumah yang kami datangi tadi. Tante menghentikan laju kendaraan di bahu jalan demi mengajakku bicara. “Bagaimana sekarang? Apa kita langsung ke sana?” tanya Tante Yani. “Iya... enggak apa-apa. Yang penting Tante jangan kebawa emosi ya. Tenang!” jawabku. “Ok!” Tante Yani kembali melajukan mobil lalu berhenti tepat di sebelah mobil Bude. Bude dan suaminya yang sudah sampai teras menghentikan langkah lalu berbalik menatap kami. Tampak dia mengerutkan dahi. Mungkin asing dengan mobil yang kami kendarai. Kami turun lalu berjalan santai ke arah teras. Mereka terkejut saat menyadari kami yang datang. “Yani... Sekar.... ngapain kalian ke sini?” tanya Bude kaget. “Mau memastik

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   CURIGA

    Sepeninggal mereka, aku bangkit berniat masuk ke kamar, tapi Tante Yani memanggilku. “Duduk dulu sebentar, Sekar,” ujar Tante dengan nada suara lirih. Agaknya dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting.Menurut, kembali kuhempaskan bobot di atas sofa. Duduk menghadap Tante sembari menatap lekat padanya. “Ada apa, Tan?” tanyaku. “Sini aku bisikkin,” perintah Tante sembari melambaikan tangan. Penasaran, Aku berpindah duduk tepat si sebelahnya. Sampai-sampai lengan kami saling bersentuhan. “Kamu curiga enggak sama Bude, Sekar? Jangan-jangan dia mau menggunakan uang itu untuk kebutuhannya sendiri,” bisik Tante Yani. Kontan saja aku sedikit menjauh sembari menatap lekat padanya. Ternyata Tante juga punya pemikiran yang sama denganku. “Iya sih, Tan. Tapi mau bagaimana lagi,” keluhku. Sejenak, kami sama-sama diam larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Tante membuka suara yang membuat aku terkejut. “Aku ada ide.” Tante berteriak sembari mengangkat satu tangannya ke atas

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   Mereka tak sabar

    Jam di dinding menunjuk pukul tujuh lewat sedikit saat aku, Mas Damar, Tante Yani dan suaminya menikmati sarapan. Aku benar-benar salut dengan kepribadian Tante Yani. Meski kehidupannya terbilang mapan, dia tetap bangun pagi dan berkutat di dapur layaknya ibu rumah tangga.“Tant, nanti siang aku pulang ya. Mas Damar ada kepentingan,” ucapku di sela makan. Tante Yani yang sedang mengunyah makanan seketika menyambar gelas di depannya kemudian meneguknya hingga tandas. “Jangan dulu, Sekar. Nunggu 7 hari kamu baru boleh pulang. Bantu Tante dulu,” protes Tante Yani. Aku mengalihkan pandangan pada Mas Damar yang duduk di sebelahku. Setelah itu kembali menatap Tante. “Bagaimana ya, Tant. Inginnya sih gitu, tapi Mas Damar ada kepentingan jadi harus cepat balik,” sahutku ragu. Tadi, pagi-pagi sekali Parjo menelepon suamiku. Katanya ada sedikit masalah di rumah, makanya Mas Damar diminta cepat pulang. “Kamu di sini dulu biar Damar pulang sendiri. Nanti kalau semua sudah selesai kami antar

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   keputusan

    Bakda Isya doa bersama dimulai. Ustaz Amin memimpin rangkaian acara yang diawali dengan mengucap kalimat tauhid bersama. Setelah itu membaca ayat-ayat al-quran secara bergilir. Sekitar pukul 10 malam acara selesai. Beberapa tetangga yang hadir sudah berangsur-angsur pulang. Hanya menyisakan ustaz Amin dan beberapa kerabat. Mereka masih asyik mengobrol membicarakan kebaikan kakek semasa hidup. “Orang tua kalian semasa hidup terkenal dermawan. Beliau tak jarang menolong siapa saja yang kesusahan. Sekalipun tak mengenal orang itu,” puji Ustaz Amin di sela obrolan. Aku tersenyum bangga. Meski aku tak cukup dekat dengan Almarhum kakek, setidaknya aku bagian dari keluarga ini. “Oh iya, Taz. Kami ada sedikit dilema soal uang peninggalan Bapak. Sebelum meninggal Bapak berpesan kalau uangnya buat menyantuni anak yatim dan disumbangkan ke masjid, tapi Mbak Suci bersikukuh uang itu disumbangkan ke masjid semua. Menurut Ustaz bagaimana?” Om Bram mulai bercerita sementara Bude Suci berkali-kal

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   Mereka datang

    Tiga hari sudah aku tinggal di rumah Tante Yani. Siang hari kami diajak melihat toko yang diberikan kakek padaku, juga rumah yang jaraknya tak jauh dari toko. Kemarin siang Tante Yani juga sempat mengajak kami ke notaris untuk mengurus balik nama apa yang jadi hakku. Aku sih menurut saja. Seperti biasa, sore ini kami sibuk di dapur menyiapkan segala tetek bengek untuk nanti malam. Rencananya memang acara doa bersama akan terus berjalan sampai tujuh hari kematian kakek. Menjelang magrib, deru mesin mobil terdengar berhenti di halaman. Aku yang baru selesai berpakaian gegas ke depan melihat siapa yang datang. Rupanya Bude suci bersama seorang lelaki yang tak kukenal. Apa dia suaminya Bude? “Sore, Bude!” Aku melempar senyum pada keduanya. Mengulurkan tangan berniat menyalami, tapi tak disambut. Akhirnya tanganku hanya menggantung di awang-awang. “Enggak usah sok akrab. Kamu bukan siapa-siapa di sini. Bisa saja kamu hanya mengaku anaknya Diah demi mendapat warisan!” ketus Bude suci.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status