Share

MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU
MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU
Penulis: Putri putri

AWAL KEJADIAN

Penulis: Putri putri
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-12 19:55:15

MENOLAK DIHINA

“Kok baru datang sih! Dari tadi kami sudah nungguin sampai pegal.” Baru saja membuka pintu, kami langsung disambut dengan kemarahan oleh Mas Rafly, kakak tertuaku. 

“Maaf, Mas! Tadi di jalan hujan. Jadi kami berteduh dulu,” jawabku lalu masuk ke dalam rumah. Suamiku mengikuti di belakang membawa ransel kami. 

“Makanya beli mobil kayak kita, jadi kalau hujan enggak kehujanan,” cibir Mbak Mela, istri Mas Rafly. 

“Kami juga punya mobil, Mbak. Hanya saja sedang dipakai buat mengangkut barang,” sahutku setelah mencium takdim punggung tangan bapak dan ibu kemudian duduk di antara mereka. Suamiku meletakkan barang bawaan kami di pinggir tembok lalu duduk di sebelahku. Tentu saja setelah bersalaman dengan orang tuaku. 

“Punya kamu itu bukan mobil, tapi gerobak!” ejek Mas Rendy, kakakku yang nomor dua. 

“Iya, palingan juga mogok! Harusnya mobil kamu dijual rongsok saja!”  timpal Mas Rafly.

Sontak seisi ruangan dipenuhi oleh tawa kedua kakakku dan istrinya. Aku merasa tersinggung mendengar mereka mengejekku. Memang benar kami hanya memiliki mobil lawas, itu pun mobil bak terbuka untuk mengangkut barang, tapi tak sepatutnya mereka mengatai kami. Aku berniat membalas ucapan mereka. Namun, suamiku memegang tanganku. 

“Sabar...," bisiknya lirih. 

Aku hanya mampu diam. Selalu saja seperti ini. Setiap kami kumpul di rumah bapak, mereka terus mengolokku yang hidup sederhana dan bersuami seorang petani. 

“Sudah... sudah...," lerai Bapak, "bapak mengumpulkan kalian bertiga bukan untuk saling mengolok, tapi mau mengajak musyawarah,” 

Aku sedikit lega mendengar pembelaan Bapak. Kedua kakakku memang tak pernah setuju aku menikah dengan Mas Damar. 

“Ini kenyataan, Pak. Bukan mengolok,” kilah Mbak Mela. 

“Iya. Lagian salah Sekar sendiri. Milih suami kok petani. Jelas saja hidupnya pas-pasan.” Tanpa tedeng aling-aling Mas Rafly merendahkan pekerjaan suamiku. 

“Coba saja dulu dia nikah sama laki-laki pilihan kami, pasti hidupnya enggak sengsara,” ejek Mbak Arum, istrinya Mas Rendy. 

Dulu, mereka menjodohkanku dengan laki-laki kaya kenalan Mas Rendy. Namun, aku menolak. Hatiku sudah kadung dimiliki Mas Damar. Lelaki yang setengah tahun lalu menikahiku. 

“Rafly... Rendy... berhenti menghina adikmu. Seharusnya kalian membantunya. Bukan malah dijadikan lelucon.” Ibu yang sedari tadi diam langsung menasihati kedua anak dan menantunya. 

Seketika tawa renyah mereka hilang setelah ibu membuka suara. Ibu memang penyabar, tapi tegas jika anaknya berbuat salah. 

“Enggak apa-apa, Bu. Kenyataannya kami memang hanya petani, tapi kami juga bahagia. Yang penting kami makan dari keringat sendiri. Tidur juga di rumah sendiri.” Dengan santai Mas Damar menanggapi cemooh Kakak-kakakku. Entahlah! Dia benar-benar tak marah atau hanya menyembunyikan perasaannya saja. 

“Kamu menghinaku!” bentak Mas Rafly dengan mata memerah. 

“Menghina bagaimana, Mas?” tanya suamiku dengan wajah kebingungan. 

“Jangan pura-pura bodoh. Kamu mengataiku kan karena masih tinggal di kontrakkan! Asal kamu tahu. Kami sedang membangun rumah megah. Hanya saja belum selesai,” teriak Mas Rafly sambil mengacungkan telunjuknya pada suamiku. 

“Maaf, Mas! Aku tidak tahu itu,” ucap suamiku sambil tersenyum.

“Sudah...  sudah...  kok malah berantem sih! Kalian bapak panggil ke sini untuk musyawarah, bukan untuk saling mengejek!” lerai Bapak. 

Kami semua diam. Kalau Bapak marah memang terlihat garang, tapi sebenarnya dia baik kok.

“Sebenarnya ada apa sih, Pak? Apa Bapak mau bagi-bagi warisan lagi?” celetuk Mas Rendy.

“Ingat, Pak! Bagian anak laki-laki dua kali lipat,” timpal Mas Rafly. 

Aku mengelus dada melihat kedua kakakku yang mata duitan. Dari dulu enggak pernah berubah. Selalu khawatir kalau aku dikasih lebih banyak padahal Bapak dan Ibu memperlakukan kami dengan adil. 

“Sabar... biarkan Bapak bicara. Kalian dengarkan dulu.” Ibu menasihati anak-anaknya. 

Bapak menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan. Aku menatapnya erat, tak sabar menanti apa yang akan dia sampaikan. 

“Jadi begini, sawah Bapak tertabrak proyek pelebaran jalan. Bapak mendapat ganti rugi 50 juta. Rencananya uang itu akan kami gunakan untuk biaya umrah. Karena uangnya masih kurang, bapak minta kalian membantu. Apa kalian sanggup?” jelas bapak panjang lebar. 

Aku mengangguk paham. Sudah lama Bapak dan Ibu ingin pergi umrah. Hanya saja uang belum ada. Makanya sampai saat ini mereka belum berangkat. 

“Waduh. Kami sedang membangun rumah, Pak. Kayaknya enggak bisa membantu,” ujar Mbak Mela.  

“Iya, kami juga punya cicilan di koperasi. Jadi sekarang enggak pegang uang,” timpal Mbak Arum. 

Aku menggelengkan kepala mendengar ucapan kedua kakak iparku. Baru tadi mereka mengolokku seolah hidupnya sudah mapan. Giliran bapak minta bantuan langsung mengaku enggak ada uang.  

“Lagian Bapak kenapa sih ingin umrah segala. Mending uangnya dibagi saja. Kan gampang,” usul Mas Rafly. 

“Kalau itu aku setuju,” tambah Mas Rendy. 

“Kalian berdua kan sudah dikasih tanah sama Bapak masing-masing seperempat hektar. Kenapa masih meminta lagi. Aku saja yang belum dikasih setuju dengan keinginan bapak. Aku menyela ucapan kakak-kakakku. 

Bapak diam menyimak kata-kata anak dan menantunya. Dari raut wajahnya aku tahu bapak kecewa. Namun, aku tak berani bilang apa-apa. Selama ini hanya Mas Damar yang bekerja sedangkan aku hanya mengurus rumah. Jadi, aku tak berani menggunakan uang tanpa izin suamiku. 

“Kalau begitu, biar nanti kami yang menggenapi kekurangan uangnya. Insya alloh kami ada,” celetuk Mas Damar. 

Sontak mereka semua menatap pada kami. Ibu dan bapak tersenyum bahagia, sedangkan kakak-kakakku tersenyum mengejek. 

“Jangan sok kaya! Makan saja susah, malah mau nyumbang segala,” cibir Mas Rafly. 

“Iya, mending dibagi saja uangnya. Biar Sekar pegang uang. Kasihan dia enggak pernah dikasih uang sama suaminya.  Pasti enggak pernah perawatan. Kulitnya saja sampai gosong di jemur seharian.” Timpal Mbak Mela. 

Sontak telinga ini memanas mendengar kakak iparku menghina Mas Damar. Walaupun hanya petani, suamiku selalu memberi nafkah untukku, bahkan lebih dari cukup. 

Mas Damar memang tak memberiku uang banyak. Namun, kami hidup di desa. Beras enggak beli, sayuran tinggal petik, ayam tinggal potong. Tanpa berhemat pun uang dari Mas Damar selalu lebih di akhir bulan jika sekedar untuk kebutuhan sehari-hari. 

“Justru ini yang aku suka dari Sekar. Cantiknya natural. Antara wajah kaki dan tangan warnanya senada. Aku enggak suka perempuan yang wajahnya terlihat kinclong tapi kakinya burik,” Jawab Mas Damar melirik pada kedua kakak iparku bergantian. 

“Kamu mengataiku!” bentak Mbak Arum. 

“Enggak kok, Mbak. Kan aku ngomongin istriku,” sahut suamiku tanpa merasa bersalah. 

“Sudah... Tolong jangan ribut terus!” perintah ibu. 

Kami semua terdiam. Namun, sesekali masih saling melirik tak suka. Layaknya dua kubu yang berseteru. Aku dan Suamiku vs kedua kakakku dan istrinya. 

“Baiklah! Bapak memutuskan menerima sumbangan dari Damar.” Dengan tegas akhirnya bapak memberi keputusan. 

Aku menarik nafas lega. Pada akhirnya cita-cita bapak dan ibu akan segera terwujud.

“Sekarang sudah malam, kalian istirahat dulu, besok kita bicara lagi," ujar Ibu lalu mengajak bapak beristirahat.

“Ini gara-gara kamu! Jika bukan karena kamu yang sok kaya, pasti Bapak akan membagi uang itu!” Baru saja Bapak dan Ibu beranjak, Mas Rafly langsung memaki suamiku. 

“Loh, ini kan keputusan Bapak. Kenapa malah kami yang disalahkan!” sanggahku. 

“Seharusnya kamu setuju uang itu dibagi saja. Bukan malah menyumbang. Kami yang hidupnya enak saja enggak sok kaya seperti suamimu,” tambah Mas Rendy. 

Astaga! Baru tadi Mbak Arum bilang enggak pegang uang, eh sekarang suaminya bilang hidupnya enak.

Aku melirik pada Mas Damar yang sedari tadi  hanya tersenyum saja. Aneh! Dihujat kok bisa setenang itu. 

“Pokoknya kalian tak boleh menyumbang Bapak! Kalian harus membujuk Bapak agar membatalkan niatnya. Uang itu harus dibagi!” tekan Mas Rafly dengan mata menatap nyalang pada kami. 

Aku mengelus dada mendengar pernyataan kakakku. Sebagai anak seharusnya mendukung orang tua yang punya hajat baik.  Bukan malah seperti itu. 

“Enggak bisa dong, Mas! Itu uang mereka. Jadi terserah Bapak mau dipakai buat apa!” tegasku.  

“Kamu berani membantah perintahku?” Mas Raffly mengangkat tangan ke atas seolah ingin menamparku, tapi Mbak Mela langsung memegangi suaminya sambil membisikkan sesuatu. 

Entah apa yang kakak iparku katakan. Yang jelas, perlahan Mas Rafly menurunkan tangan. 

Mas Damar bangkit, berdiri memasang badan melindungiku. 

“Uang segitu saja jadi rebutan. Bagaimana kalau Bapak punya milyaran? Bisa-bisa kalian saling bunuh,” serunya. 

“Yuk, Dek! Kita tidur saja!” Mas Damar menepuk pundakku. 

Aku mengangguk lalu segera berdiri. Kami berjalan beriringan meninggalkan mereka. 

Kuhempaskan tubuh di atas ranjang yang dulu setia menemani malamku. Memejam sejenak berusaha menenangkan pikiran. 

“Sudah... jangan terlalu dipikirkan. Mungkin mereka lagi butuh uang.” Mas Damar mengelus pucuk kepalaku. 

Perlahan aku membuka mata. Menatap pada suamiku yang berbaring miring di sebelahku dengan satu tangan menyangga kepala. 

“Kenapa ya Mas mereka seperti ini pada kita?” keluhku. 

Mas Damar tersenyum tanpa menghentikan tangannya yang terus membelai rambutku.

“Mungkin mereka iri pada kita.  Selama ini kan kita selalu hidup damai meski hanya sebagai petani,” jawab suamiku. 

“Iri dari mananya, Mas. Mereka yang kaya kok mereka yang iri,” sanggahku. 

“Ya enggak tahu,” sahut Mas Damar sambil menggerakkan bahu.

“Dari pada mikirin yang enggak jelas, mending kita tidur saja,” ajaknya.

Mas Damar mengubah posisinya menjadi terlentang sedangkan aku memiringkan tubuh menghadap suamiku lalu memeluknya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Mampu baca cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   BAB 2

    “Ini gara-gara kamu! Jika bukan karena kamu yang sok kaya, pasti Bapak akan membagi uang itu!” Baru saja Bapak dan Ibu beranjak, Mas Rafly langsung memaki suamiku. “Loh, ini kan keputusan Bapak. Kenapa malah kami yang disalahkan!” sanggahku. “Seharusnya kamu setuju uang itu dibagi saja. Bukan malah menyumbang. Kami yang hidupnya enak saja enggak sok kaya seperti suamimu,” tambah Mas Rendy. Astaga! Baru tadi Mbak Arum bilang enggak pegang uang, eh sekarang suaminya bilang hidupnya enak.Aku melirik pada Mas Damar yang sedari tadi hanya tersenyum saja. Aneh! Dihujat kok bisa setenang itu. “Pokoknya kalian tak boleh menyumbang Bapak! Kalian harus membujuk Bapak agar membatalkan niatnya. Uang itu harus dibagi!” tekan Mas Rafly dengan mata menatap nyalang pada kami. Aku mengelus dada mendengar pernyataan kakakku. Sebagai anak seharusnya mendukung orang tua yang punya hajat baik. Bukan malah seperti itu. “Enggak bisa dong, Mas! Itu uang mereka. Jadi terserah Bapak mau dipakai buat a

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-12
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   BAB 3

    3.“Jangan berlagak bodoh. Cepat kembalikan uang Bapak!” seru Mas Rendy. “Aku tidak mengambil uang itu!” Mas Damar menggeram. Tangannya terkepal. Tubuhnya bergetar seolah sedang menahan kemarahan. “Jangan bohong! Mengaku saja. Daripada nanti kami laporkan ke polisi,” tekan Mas Rafly. Mas Damar mendekat pada kakak pertamaku. Diraihnya kerah baju Mas Rafly lalu mencengkeram erat. Dia mengangkat tangan bersiap melayangkan tinju. “Jangan, Mas!” Aku menjerit, merangkul suamiku berusaha meredam amarahnya. “Hentikan!” bentak Bapak yang sedari tadi terdiam. Perlahan Mas Damar menurunkan tangan lalu melepas cengkeraman. Nafasnya masih memburu, tapi suara gemeletuk giginya tak lagi terdengar. “Kita sedang tertimpa musibah, tapi malah kalian bertengkar kayak anak kecil!” marah Bapak. Suasana hening seketika. Hanya ketegangan yang tersisa di antara kami. “Aku yakin Damar yang ambil uang itu, Pak!” Mas Rafly kembali menuduh suamiku. “Apa kamu punya bukti?” Bapak menatap penuh selidik pad

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-12
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   BAB 4

    Aku berbalik arah, berniat kembali ke dalam, tapi ternyata mereka semua ikut keluar kecuali ibu. “Puas kalian telah memfitnah kami!” bentakku menatap nyalang pada mereka. “Memfitnah bagaimana? Semua bukti mengarah pada kalian. Jadi jangan terus mengelak.” Mas Rendy balas membentak. “Bukti? Bukti yang mana? Apa hanya karena kami miskin jadi bisa dianggap maling? Dasar kalian picik!” Aku mengumpat, melampiaskan kemarahan. “Sekar!” Hardik bapak. Aku tersentak kaget, tapi dengan cepat amarah kembali menguasai pikiran. Berjalan mendekat pada lelaki yang sangat kuhormati.“Sekar pikir Bapak akan bijak menyikapi hal ini. Tapi ternyata salah. Bapak juga ikut-ikutan menuduh. Sekar kecewa sama Bapak!” tegasku berurai air mata. Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat sempurna di pipi sebelah kiri. Refleks, aku memekik memegangi pipiku yang terasa memanas. “Ini yang suamimu ajarkan? Dulu kamu tak pernah berkata kasar pada Bapak. Tapi setelah menikah justru kebalikannya. Bapak menyesal telah men

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-12
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   BAB 5

    Sepanjang hari aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar ketimbang berbaur dengan saudara-saudaraku. Rasa sakit karena tuduhan mereka masih membekas di hati. Jam di dinding sudah menunjuk angka tujuh, tapi sampai malam begini Mas Damar belum juga kembali. Apa jangan-jangan dia sengaja meninggalkanku di sini? Aku melangkah malas keluar kamar, beranjak ke halaman berharap Mas Damar segera datang. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mobil kedua kakakku tak lagi terlihat. Suara mereka juga tak terdengar. Mungkin sedang pergi atau memang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ah! Apa peduliku!Saat aku memyendiri di bangku teras, Ibu mendekat lalu meletakkan bobotnya di sebelahku. “Sekar... maafkan Bapak dan kakak-kakakmu ya.” Ibu membuka suara. Aku bergeming menatap lurus ke depan. Mengingat perlakuan, hati ini seperti tersayat kembali. “Kamu mau kan memaafkan mereka?” harap Ibu. Aku mengalihkan pandangan pada wajah sendu di sebelahku. Sorot mata teduhnya berhasil melul

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-12
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   Bab 6

    “Ibu menemukan di kamar Rafly.” Ibu tertunduk lesu.Kontan saja aku dan Mas Damar terperangah mendengar pengakuan Ibu. Enggak menyangka kakakku setega itu. Apa saking bencinya sama suamiku sampai memfitnah kami. Mas Damar mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu, menyiratkan kemarahan yang nyata. “Tapi Ibu mohon jangan melabrak dia. Ibu tak ingin kalian bertengkar,” harapnya cemas. “Kenapa Ibu tidak jujur dari awal?” protes Bapak yang juga kaget. “Ibu tak ingin anak-anak kita bertengkar, Pak,” jawab Ibu mulai terisak. “Tapi bukan begitu caranya. Itu sama saja membiarkan mereka menzalimi kami,” Mas Damar menatap kecewa pada Ibu. Hening. Tak ada kata terucap apalagi canda dan tawa. Kami diam dalam kekakuan. “Sekarang di mana Mas Rafly?” Mas Damar bangkit. Berjalan keluar lalu kembali masuk. “Mereka sudah Ibu suruh pulang,” jawab Ibu. “Kenapa malah di suruh pulang, Bu? Seharusnya Mas Rafly didudukkan bersama kita,” keluhku. “Ibu sudah menasihati dia. Kakakmu juga sudah minta ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-13
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   WARISAN

    Menjelang magrib para tetangga berangsur-angsur pulang hingga menyisakan kami sekeluarga. Semua pekerjaan sudah selesai. Tinggal menunggu acara yang akan dimulai bada isya. Sembari menanti magrib tiba, aku duduk di teras bersama Mas Rafly, Bapak dan Ibu. “Sudah hampir magrib, tapi Rendy dan istrinya belum datang juga. Kenapa ya, Bu?” Bapak terlihat gelisah. “Enggak tahu, Pak. Mungkin dia ada kepentingan jadi terlambat datang,” sahut Ibu tak kalah gelisah. “Iya ... Mas Rendy kan sibuk.” Aku berusaha menenangkan mereka.Bapak diam. Namun, raut gelisah masih tersirat dari wajahnya. Dia bangkit, mondar-mandir sebentar lalu duduk kembali. Tak berselang lama, sebuah motor dengan tiga orang penumpang memasuki halaman. Mas Rendy, Mbak Arum dan Tiara, anak mereka segera turun. Mas Rendy mengambil ransel sementara Istrinya menggandeng anaknya yang baru kelas dua SD. “Mobil kamu mana, Ren?” tanya Mas Rafly. Mas Rendy tak langsung menjawab. Dia menyalami kami bergantian. Pun dengan Mbak Ar

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   MEMPRIHATINKAN

    Tadi, seusai subuh Bapak dan Ibu berangkat. Mereka dijemput oleh tim penyelenggara, jadi kami tak ada yang mengantar. Setelah mereka berangkat, Mas Damar membersihkan halaman belakang rumah. Mencabuti rerumputan yang mulai tumbuh. Tanpa di minta, aku membawakan secangkir kopi dan kue bolu sisa semalam. “Istirahat dulu, Mas.” Aku meletakkan minuman di atas tunggul kayu yang menyerupai meja. “Iya.” Mas Damar mendekat, duduk di atas batang kayu lalu mengambil cangkir dan menyeruput isinya. “Pahit banget kopinya, Dek!” ucap Mas Damar. “Masa sih, Mas?” tanyaku tak percaya. “Iya. Coba saja sendiri!” perintahnya. Aku mengambil cangkir itu lalu mencicipi sedikit. Memang benar agak pahit, tapi bukannya selera Mas Damar seperti ini?“Biasanya juga kayak gini rasanya,” protesku. “Iya, tapi biasanya aku minum sambil lihat senyummu, tapi sekarang kamu murung begitu,” jawab suamiku. “Terus apa hubungannya sama kopi?” tanyaku bingung.“Senyum kamu,” sahutnya memasang wajah serius. “Senyu

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15
  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   TAK TAHU MALU

    Aku tersentak kaget saat tiba-tiba pintu kamar diketuk tiga kali. Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat sedikit. Untung saja aku tak lupa mengunci pintu, jadi tak perlu khawatir. “Mengganggu saja!” gerutuku lirih. “Sekar... keluar sebentar. Kakakmu ingin bicara, kami tunggu di ruang tamu,” ucap Mbak Arum setengah berteriak. “Iya, Mbak, sebentar!” jawabku. Gegas aku bangkit, membenahi pakaian lalu mengikat rambut yang awut-awutan. Mas Damar hanya diam menatap kecewa. Sesampainya di ruang tamu, Mas Rendy telah duduk berjajar dengan istrinya. Aku menghempaskan tubuh di atas sofa menghadap mereka. “Ada apa, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi. Mas Rendy menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan-lahan seolah sedang menata pikiran. “Begini, kamu kan sudah tahu masalah yang sedang menimpa kami. Aku harap kamu mau membantu kami,” ucap Mas Rendy terdengar ragu. “Membantu bagaimana, Mas?” tanyaku penasaran. “Kami mau pinjam uang sama kamu. Siapa t

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-16

Bab terbaru

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   BUDE TAKUT

    ...“Kamu kok doain yang jelek-jelek buat aku sih, Yan! Aku ini kakakmu.” Bude suci memasang wajah kesal. Kentara sekali kalau dia khawatir ucapan Tante Yani di dengar Tuhan.“Lagian siapa suruh Mbak Suci makan uang sumbangan? Dosanya besar, Mbak. Bisa sengsara sampai tujuh turunan,” sahut Tante Yani santai. Astaga! Tante semakin menakuti Bude. Sepertinya ini sebuah kesengajaan agar Bude lekas menggenapi uang itu. Sejenak kuperhatikan wajah Bude dan Pakde yang seperti tak ada darah. Sesekali pakde menggaruk tengkuk seperti sedang kebingungan. Salah siapa berani ambil risiko itu. “Jadi bagaimana? Kalian tetap mau makan uang itu? Jangan gara-gara dua puluh juta hidup kalian sengsara. Belum lagi kalau azab datang cepat. Bisa makin menderita,” cecar Tante Yani saat mereka tak kunjung bicara. Bude dan suaminya saling tatap. Entah apa maksud mereka, tapi yang jelas setelah itu Bude beranjak meninggalkan kami lalu kembali dengan kotak perhiasan di tangannya. Diletakkan kotak itu di atas

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   Masih berulah

    Selepas perginya Bude dan Pakde, kami langsung ke dapur mempersiapkan menu untuk nanti malam. Ya, nanti malam tujuh hari meninggalnya kakek sekaligus doa bersama yang terakhir. Om Bram juga turut membantu. Rupanya laki-laki itu suka meringankan pekerjaan Tante Yani. Kata Tante, kadang malah Om Bram yang masak kalau pas dia sakit. Hebat. “Tan, kalau besok Bude enggak memberikan uang itu, apa Tante serius akan melaporkan ke polisi?” tanyaku di sela aktivitas dapur. “Tentu saja tidak, Sekar. Biar bagaimanapun Budemu tetap kakakku, jadi aku tak setega itu.” Perempuan itu menjeda aktivitasnya sejenak demi untuk melempar senyum padaku. “Tapi kenapa tadi Om dan Tante ngotot mau laporin mereka?” cecarku lagi. “Kami hanya menggertak saja. Mbak Suci kan paling takut kalau berurusan sama polisi. Lagian, ini juga demi kebaikan mereka juga kan?” sahut Om Bram yang sedang menata gelas di atas nampan. Aku mengangguk paham. Rupanya mereka berdua punya hati yang lembut dibalik ketegasan pada Bud

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   mereka panik

    Sampai di rumah kami langsung mengembalikan mobil milik tetangga. Setelah itu baru berjalan kaki pulang. Om Bram menatap heran ke arah kami berdua. Rupanya dia sudah pulang kantor. “Kalian dari mana? Kok jalan kaki?” tanya Om Bram sembari menyeruput kopi di depannya.“Dari rumah Mbak Suci,” jawab Tante. “Ngapain?” Om Bram mengernyitkan kening, menatap penuh selidik pada kami berdua. “Begini, Pah....” Tante Yani mengisahkan apa yang telah kami lakukan seharian ini. Juga perjuangan kami mengorek informasi. Pokoknya, Tante begitu semangat bercerita. Om Bram menggeleng perlahan. Mungkin dia tak menyangka kakak iparnya akan berbuat senekat itu. Atau, dia memang sudah menebak ini bakal terjadi?“Kakakmu itu sudah sangat keterlaluan. Harus di kasih pelajaran dia!” Om Bram mendengkus sambil sesekali mengatur nafasnya yang tak beraturan. “Iya! Kita laporkan polisi saja, Pah!” timpal Tante. Ah! Rupanya Tante serius dengan ucapannya. Satu keluarga akan saling memusuhi karena uang.“Tapi, T

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   ANCAMAN

    “Dasar Mbak Suci! Bikin malu saja!” Bude mendengkus kesal sembari memukul setir. Bukan hanya dia yang kesal, aku juga. Tapi, aku memilih diam ketimbang membuat emosinya semakin tak terkontrol. Wajar jika Tante Yani marah. Ia telah ditipu habis-habisan sama kakak kandungnya sendiri. Yang aku enggak habis pikir, kenapa mereka berbohong? Apa benar yang kutakutkan selama ini? “Kita ke mana, Tan?” tanyaku memecah keheningan. “Ke rumah Mbak Suci lagi. Biar kulabrak dia sekalian!” sahutnya. Tante membelokkan mobilnya ke arah jalan yang tadi kami lewati. Kakinya menginjak pedas gas hingga kendaraan melesat cepat. Aku sampai khawatir kalau Tante tak konsentrasi menyetir dan akhirnya membahayakan kami. “Pelan dong, Tan. Bahaya!” ujarku sembari menepuk-nepuk pundaknya. Tante menurut. Dia sedikit memelankan laju kendaraan meski masih terbilang ngebut. Untung saja jalanan tak terlalu ramai. Tak berselang lama, kami telah sampai di halaman rumah Bude. Tante Yani buru-buru turun kemudian sete

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   TERNYATA

    Perlahan, mobil bude mulai merangkak meninggalkan pelataran parkir. Selang beberapa saat Tante mulai menginjak pedal gas membuntuti Bude dari jarak yang tak terlalu jauh. Sedikit tenang karena kami memakai mobil orang, jadi tak perlu khawatir ketahuan. Sekitar setengah jam kemudian, mobil Bude berhenti di halaman rumah yang kami datangi tadi. Tante menghentikan laju kendaraan di bahu jalan demi mengajakku bicara. “Bagaimana sekarang? Apa kita langsung ke sana?” tanya Tante Yani. “Iya... enggak apa-apa. Yang penting Tante jangan kebawa emosi ya. Tenang!” jawabku. “Ok!” Tante Yani kembali melajukan mobil lalu berhenti tepat di sebelah mobil Bude. Bude dan suaminya yang sudah sampai teras menghentikan langkah lalu berbalik menatap kami. Tampak dia mengerutkan dahi. Mungkin asing dengan mobil yang kami kendarai. Kami turun lalu berjalan santai ke arah teras. Mereka terkejut saat menyadari kami yang datang. “Yani... Sekar.... ngapain kalian ke sini?” tanya Bude kaget. “Mau memastik

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   CURIGA

    Sepeninggal mereka, aku bangkit berniat masuk ke kamar, tapi Tante Yani memanggilku. “Duduk dulu sebentar, Sekar,” ujar Tante dengan nada suara lirih. Agaknya dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting.Menurut, kembali kuhempaskan bobot di atas sofa. Duduk menghadap Tante sembari menatap lekat padanya. “Ada apa, Tan?” tanyaku. “Sini aku bisikkin,” perintah Tante sembari melambaikan tangan. Penasaran, Aku berpindah duduk tepat si sebelahnya. Sampai-sampai lengan kami saling bersentuhan. “Kamu curiga enggak sama Bude, Sekar? Jangan-jangan dia mau menggunakan uang itu untuk kebutuhannya sendiri,” bisik Tante Yani. Kontan saja aku sedikit menjauh sembari menatap lekat padanya. Ternyata Tante juga punya pemikiran yang sama denganku. “Iya sih, Tan. Tapi mau bagaimana lagi,” keluhku. Sejenak, kami sama-sama diam larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Tante membuka suara yang membuat aku terkejut. “Aku ada ide.” Tante berteriak sembari mengangkat satu tangannya ke atas

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   Mereka tak sabar

    Jam di dinding menunjuk pukul tujuh lewat sedikit saat aku, Mas Damar, Tante Yani dan suaminya menikmati sarapan. Aku benar-benar salut dengan kepribadian Tante Yani. Meski kehidupannya terbilang mapan, dia tetap bangun pagi dan berkutat di dapur layaknya ibu rumah tangga.“Tant, nanti siang aku pulang ya. Mas Damar ada kepentingan,” ucapku di sela makan. Tante Yani yang sedang mengunyah makanan seketika menyambar gelas di depannya kemudian meneguknya hingga tandas. “Jangan dulu, Sekar. Nunggu 7 hari kamu baru boleh pulang. Bantu Tante dulu,” protes Tante Yani. Aku mengalihkan pandangan pada Mas Damar yang duduk di sebelahku. Setelah itu kembali menatap Tante. “Bagaimana ya, Tant. Inginnya sih gitu, tapi Mas Damar ada kepentingan jadi harus cepat balik,” sahutku ragu. Tadi, pagi-pagi sekali Parjo menelepon suamiku. Katanya ada sedikit masalah di rumah, makanya Mas Damar diminta cepat pulang. “Kamu di sini dulu biar Damar pulang sendiri. Nanti kalau semua sudah selesai kami antar

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   keputusan

    Bakda Isya doa bersama dimulai. Ustaz Amin memimpin rangkaian acara yang diawali dengan mengucap kalimat tauhid bersama. Setelah itu membaca ayat-ayat al-quran secara bergilir. Sekitar pukul 10 malam acara selesai. Beberapa tetangga yang hadir sudah berangsur-angsur pulang. Hanya menyisakan ustaz Amin dan beberapa kerabat. Mereka masih asyik mengobrol membicarakan kebaikan kakek semasa hidup. “Orang tua kalian semasa hidup terkenal dermawan. Beliau tak jarang menolong siapa saja yang kesusahan. Sekalipun tak mengenal orang itu,” puji Ustaz Amin di sela obrolan. Aku tersenyum bangga. Meski aku tak cukup dekat dengan Almarhum kakek, setidaknya aku bagian dari keluarga ini. “Oh iya, Taz. Kami ada sedikit dilema soal uang peninggalan Bapak. Sebelum meninggal Bapak berpesan kalau uangnya buat menyantuni anak yatim dan disumbangkan ke masjid, tapi Mbak Suci bersikukuh uang itu disumbangkan ke masjid semua. Menurut Ustaz bagaimana?” Om Bram mulai bercerita sementara Bude Suci berkali-kal

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   Mereka datang

    Tiga hari sudah aku tinggal di rumah Tante Yani. Siang hari kami diajak melihat toko yang diberikan kakek padaku, juga rumah yang jaraknya tak jauh dari toko. Kemarin siang Tante Yani juga sempat mengajak kami ke notaris untuk mengurus balik nama apa yang jadi hakku. Aku sih menurut saja. Seperti biasa, sore ini kami sibuk di dapur menyiapkan segala tetek bengek untuk nanti malam. Rencananya memang acara doa bersama akan terus berjalan sampai tujuh hari kematian kakek. Menjelang magrib, deru mesin mobil terdengar berhenti di halaman. Aku yang baru selesai berpakaian gegas ke depan melihat siapa yang datang. Rupanya Bude suci bersama seorang lelaki yang tak kukenal. Apa dia suaminya Bude? “Sore, Bude!” Aku melempar senyum pada keduanya. Mengulurkan tangan berniat menyalami, tapi tak disambut. Akhirnya tanganku hanya menggantung di awang-awang. “Enggak usah sok akrab. Kamu bukan siapa-siapa di sini. Bisa saja kamu hanya mengaku anaknya Diah demi mendapat warisan!” ketus Bude suci.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status