Hampir menjelang senja, tetapi seluruh lampu di rumah itu sengaja dipadamkan, kecuali di teras belakang. Di sana ada satu sosok sedang duduk dalam diam, sedangkan yang lain tampak tergesa keluar masuk dari pintu penghubung dua area—interior, ekterior. Semua memiliki mimik wajah yang serupa: cemas dan muram.
Wanita paruh baya yang duduk termenung itu, bernama Ibu Niu. Dia menangkupkan kedua tangan lalu memejamkan mata. Ia menangis tertahan, untuk ke sekian kalinya. Dari ambang pintu gadis berambut lurus hitam dikuncir kuda, menyadari apa yang terjadi pada sang ibu. Bergegas ia duduk, dan memeluk erat.“Ma, jangan nangis lagi,” bisik sang gadis dengan suara parau. Annchi Phey, si gadis, wajahnya pun tampak bengkak dengan mata sembab. Ia berusaha untuk tetap kuat, tetapi melihat sang ibu menumpahkan lagi air mata, Phey akan kembali ikut jatuh terpuruk. Hari itu, semua berubah. Kehidupan mereka yang damai, baik-baik saja, tidak ada konflik berarti, tiba-tiba dalam satu jentikan jari, runtuh. Sejak kemarin, mereka sudah mendengar rumor tak mengenakkan hati, meletus kerusuhan yang melibatkan anak-anak mahasiswa. Terjadi benturan antara kedua pihak, sehingga peristiwa itu tidak bisa terelakkan lagi.Tidak ada yang tahu pasti, apa penyebabnya. Hingga siang tadi satu kejadian yang tak disangka oleh keluarga Pak Wang, terjadi. Usaha keluarga yang dirintis puluhan tahun, musnah sudah. Dijarah oleh para perusuh, dan serentetan kejadian mengerikan terjadi. Tak hanya keluarga Phey, tetapi banyak yang mengalami.Lagi-lagi, tak ada yang tahu pasti, apa sebabnya.“Gak kuat, Mama. Gak kuat …,” isak sang ibu pilu.Phey tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pikirannya penuh dengan pertanyaan tak terjawab, batinnya bergejolak. Apa salah mereka selama ini? Kenapa orang-orang berbuat seperti itu? Jika memang keluarga Phey berdosa, apa pantas diperlakukan sedemikian keji? “Pak Yono, tolong,” suara bas itu terdengar lirih.Phey menoleh ke arah sang ayah yang menyerahkan koper pada orang kepercayaannya, Pak Yono—sang supir. Dengan tergesa Pak Yono membawa koper tersebut, melangkah melewati jalan belakang menuju ke depan. Lalu Papa Phey, yang berusaha tampak tegar, menghampiri istri dan putrinya. Dia meraih tangan Mama Phey, ia rengkuh dalam genggamannya.“Ayo, Ma, kita harus berusaha tegar untuk Phey. Yang penting kita baik-baik aja, dan enggak kekurangan apa pun,” kata Pak Wang bijak. “Semua hancur, Pa. Semuanya, enggak bersisa sama sekali.” Ibu Niu menatap sang suami, syok dan kilatan emosi tampak pada sorot matanya. “Salah kita apa?” “Kita belum tahu, mana yang benar atau yang salah. Ini sesuatu yang enggak bisa dihindari.” “Yang jarah toko kita itu manusia, Pa! Di mana nurani mereka?!” Genggaman jari Pak Wang tampak semakin erat. “Sabar, Ma,” ia berucap. Lalu laki-laki paruh itu menoleh pada Phey. “Ambilkan Mama air minum hangat, Phey.”“Enggak usah. Minum juga enggak bikin Mama baikan!” balas sang istri ketus.“Ini serius, Pa? Kondisinya semakin genting?” tanya Phey.Pak Wang mengangguk. Sejak pagi, Pak Yono sudah datang ke kediaman mereka. Mengatakan tak hanya mahasiswa, tetapi banyak kelompok orang bersiap-siap untuk turun ke jalan. Lebih baik tetap tinggal di rumah, dan jangan keluar, begitu kata Pak Yono. Lalu kabar-kabar lain datang, dari pesawat telepon. Peringatan dari kerabat, kolega keluarga Phey yang mengatakan banyak tempat usaha dibakar dan dijarah. Yang ditakutkan pun terjadi, begitu juga tempat usaha keluarga Phey selama ini. Tidak ada yang tersisa. Sebagian sisa hasil usaha, bisa diselamatkan saat kemarin situasi memanas. Itu pun Pak Wang bersama Pak Yono menggadaikan keselamatan mereka, membawa apa yang bisa mereka amankan. Tak disangka, situasinya semakin tidak terkendali.Hanya saja Pak Wang berpikir, bahwa harta satu-satunya, istri dan anak, masih dalam kondisi baik-baik saja. Itu yang ia akan pertahankan sebisa mungkin.“Terus, kita gimana? Masa mau diem terus seperti ini?” Mata Phey menatap pada sang ayah seperti menuntut kepastian. “Pak Yono sudah bilang, kita sebaiknya enggak keluar rumah. Papa juga sempat kontak kerabat, ada tempat aman, dijaga warga di sana.”“Tempat aman? Maksudnya?” tanya Phey.“Kalau situasi enggak reda, Phey,” jawab sang ayah.Phey dan sang ibu belum tahu semua. Selain tempat usaha, banyak rumah-rumah keturunan Tionghoa yang juga dirusak, dan dijarah. Hubungan pesawat telepon sudah tidak berfungsi sejak beberapa jam lalu. Sehingga Pak Wang tidak tahu, seburuk apa kondisi di luar sana. Mereka terjebak, dan entah sampai kapan. Ini yang pria paruh baya itu khawatirkan. Terdengar langkah kaki berlari dari jalan belakang, sosok Pak Yono muncul. Meski kondisi sudah setengah gelap, tetapi bisa dipastikan wajah lelaki itu memucat. Dia menunjuk ke arah luar rumah.“Pak! Bu! Ada kumpulan orang-orang datang ke arah kompleks!” peringat Pak Yono.Serempak anggota keluarga kecil itu berdiri, saling menatap satu sama lain. Phey di ambang rasa heran, bukankah kerusuhan hanya terjadi sekitar pusat perbelanjaan? Tempat usaha? Begitu pikirnya.“Udah dekat, Pak Yono?” tanya Pak Wang cemas.“Entah, Pak. Tetapi orang-orang di luar sudah mulai pergi dari kompleks,” jawab Pak Yono.Tiba-tiba Pak Wang langsung menarik lengan putrinya. “Yono, bawa Phey dari sini sekarang!” Ia menitahkan.“Maksud Papa apa?” Phey berusaha melepaskan diri. “Ini rumah kita! Phey enggak mau pergi dari sini! Mereka punya hak apa? Usir kita dari rumah yang udah kita tinggali puluhan tahun!” “Phey, kamu harus paham. Kita enggak mungkin bisa melawan!” kata Pak Wang.“Kalau memang orang-orang itu dateng, Phey mau bilang kalau Phey dari lahir di rumah ini. Semua hanya salah paham,” sanggah Phey tegas. Pak Wang memegang kedua bahu putrinya, menatap dengan mata merah karena menahan tangis. Lelaki itu menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. “Mereka salah paham, itu betul. Tetapi, saat ini mereka menganggap kita berbeda. Apa pun yang kita lakukan, enggak akan mengubah keadaan,” ucap Pak Wang. Mata Phey menatap nanar. Dalam hatinya terus bergema pertanyaan yang sama, Kenapa?“Papa enggak mau kehilangan Phey, kehilangan Mama, karena itu … Papa mohon, tolong turuti pinta Papa kali ini, Phey.” Bahu sang ayah mulai terguncang, tangisnya pecah. “Pak, Bu, ayo!” Suara Pak Yono seperti bel peringatan bagi ketiganya.Setengah diseret, Phey mengikuti langkah sang ayah menuju ke garasi. Pak Yono membukakan pintu belakang, lalu bergegas membuka pintu pengemudi dan masuk. Phey menatap kedua orangtuanya masih dalam kondisi bingung.“Ma, Pa, ayo kita masuk,” pinta Phey.Kedua orang tua Phey memeluk sang putri sembari menangis terisak-isak. “Nanti kami menyusul, jaga diri kamu baik-baik, ya Phey?” ucap sang ayah.“Enggak mau, Phey pengin tetap bareng Mama dan Papa!” Phey menolak tegas.“Phey! Cepat masuk, Mama-Papa enggak akan apa-apa. Cepat,” titah Ibu Niu.“Tetapi—”Perkataan Phey dipotong, karena dia setengah paksa didorong ke bangku belakang. Namun, Phey tak tak lagi mampu menolak. Dengan pasrah gadis itu harus berbaring di bagian kaki penumpang belakang. Bergegas ayah Phey menutupi tubuh putrinya dengan terpal hitam. Gelap gulita juga sesak, itu yang dirasakan oleh Phey.Mobil dinyalakan, lalu tidak lama kemudian meluncur dari kediaman keluarga kecil tersebut. Phey hanya bisa merasakan getaran mobil, mendengar suara-suara ramai dari luar kendaraan. Gadis itu menangis dalam sunyi. Batinnya menjerit, Tuhan, kenapa jadi begini?*Telunjuk Pak Yono menekan tombol ‘off’ tape mobil. Berita di radio justru membuat suasana jauh lebih mencekam. Sehingga dia membiarkan atmosfer di dalam mobil, benar-benar senyap. Namun, di luar mobil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Jakarta yang biasanya masih cukup padat oleh kendaraan bermotor, apalagi pada jam-jam pulang kantor, sekarang nyaris sepi. Ada satu dua mobil berpapasan, itu pun memicu kecepatan tinggi. Orang-orang turun ke jalanan, berjalan beramai-ramai. Ada dalam kelompok kecil, kelompok besar, di mana Pak Yono berusaha untuk hindari.Di beberapa titik, bangunan-bangunan terbakar dan tidak ada yang memadamkan api. Mobil, motor tidak luput dari sasaran pembakaran. Pak Yono bisa mendengar gemeretak s
Mobil berhenti, dan Phey pun sontak terbangun dari tidur sesaat. Tubuhnya terasa sakit, karena dia berbaring di lantai mobil, bahkan tak berani bergerak sedikit pun. Pintu penumpang belakang mobil terbuka, lalu Pak Yono menyingkap terpal yang menutupi tubuh Phey.“Non, kita sudah sampai,” ucap Pak Yono dengan suara pelan.Phey tidak menjawab. Hanya mengeluh lirih, lalu setengah merangkak keluar dari dalam mobil. Ia dipapah oleh Pak Yono, melewati halaman yang gelap dan cukup luas. Suasana di sekitar nyaris senyap. Mata Phey mengitari sekeliling, menatap pada bangunan satu lantai yang sederhana dihadapannya.“Rumah siapa ini, Pak Yono?” tanya Phey.“Rumah saya, Non.”Tangerang. Nama itu terlintas begitu saja di benak Phey. Keluarga Pak Yono tinggal di sana, sedangkan Pak Yono sendiri pulang satu minggu sekali. Phey diasingkan ke Tangerang, bukan karena keinginan, melainkan paksaan. Perasaan sedih mendera Phey, bagaimana orangtuanya? Bagaimana mereka bisa bertahan di Jakarta? Kenapa me
Mendengar pertanyaan Phey, Pak Yono tersentak kaget, begitu juga dengan istrinya yang sedang menata hidangan di meja makan. Pak Yono tidak bisa menahan lagi, akhirnya derai tawa laki-laki itu terdengar di seantero ruangan.“Ya Allah, Non Phey,” ucap Pak Yono masih berusaha untuk mengendalikan tawa.“Siapa, Pak? Pasti Bu Hamidah, ya?” tanya sang istri.Pak Yono mengangguk. “Iya, Bu Hamidah.”Bu Puji menghampiri Phey, lalu mempersilakan gadis itu untuk makan. Belum ada jawaban maupun penjelasan dari Pak Yono maupun istrinya, sehingga Phey menurut, dan duduk di meja makan. Dia masih menatap bergantian pada Pak Yono juga istrinya.“Ini supaya Non Phey paham, ya? Ibu Hamidah itu enggak sakit, dia sehat walafiat,” kata Pak Yono.“Tapi kenapa bajunya seperti itu? Memang supaya apa bajunya tertutup semua?” tanya Phey. Dia menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut, lalu bergegas mengunyah dan menelan cepat-cepat. “Enggak kepanasan apa, ya? Kan gerah kalau pakai baju hitam mana tertutup semua.”“
Kedua lengan Phey bersandar pada kusen jendela, dan matanya menatap ke area sekitar rumah Pak Yono. Rasa bosan menerjang, selama seharian penuh Phey hanya tinggal di dalam rumah. Dia tidak boleh membantu di dapur oleh istri Pak Yono. Otomatis, tidak ada kegiatan apa pun yang dapat Phey lakukan. Tetap saja, pada akhirnya dia lagi-lagi hanya tinggal di kamar.Sebentar lagi hari akan berganti, tampak matahari sudah memerah di ufuk barat. Lalu Phey mendengar sayup suara celoteh, yang makin mendekat. Rupanya rombongan anak-anak yang baru pulang mengaji. Phey memperhatikan dengan saksama, mereka tampak senang. Bahagia, tanpa beban. Memang, anak-anak tidak tahu menahu dengan masalah apa yang terjadi. Namun, Phey melihat bahwa dia ingin berada di tempat yang nyaman, seaman anak-anak itu yang tak memiliki kekhawatiran lebih. Phey bergegas keluar dari kamar, ia melihat Pak Yono dan istrinya sedang duduk di ruang tengah sembari berbincang pelan. Melihat Phey, keduanya langsung berhenti mengobr
“Regaaa … astagfirullahaladzim!”Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.“Mau ke mana lagi?”“Kan Ibu udah tahu.”Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.“Eeeh!! Malah jawab!”Serbasalah, Rega memili
Teriakan Aisha di pagi itu membuat heboh seketika. Pak Yono berlari tergopoh-gopoh keluar dari rumah, begitu juga tetangga yang lain. Hal itu membuat Rega benar-benar syok sekaligus malu. “Rega?” Pak Yono sendiri terkejut melihat Rega terkapar di jalan dan Phey duduk tak jauh dari pemuda itu.“Pak, saya bersumpah. Saya enggak ngapa-ngapain! Saya kejatuhan pelepah kelapa!” seru Rega berusaha membela diri.Phey yang tidak berbicara sepatah kata pun, langsung beranjak berdiri dan berlari ke dalam rumah. Sedangkan Pak Yono membantu Rega untuk berdiri. Tetangga yang lain hanya menonton, bingung dengan apa yang terjadi.“Kenapa, Ga? Kamu gak apa-apa?” tanya tetangga depan rumah Pak Yono penasaran.Rega menggeleng cepat. “Kejatuhan pelepah kelapa.”Sang tetangga hanya menatap prihatin. “Hati-hati makanya kalau naik motor, jangan meleng.”Rega mengeluh dalam hati. Belum juga naik motor, kok tiba-tiba urusannya sama mengendarai motor. Justru Rega berusaha menolong wanita yang tinggal di rumah
Rasanya Rega memiliki bodyguard baru karena sang ibu sudah berdiri di teras sembari berkacak pinggang, ditambah dengan mata melotot yang cukup intimidatif. Pemuda itu hanya memberi senyum tidak berdosa.“MAU KE MANA LAGI? DEMO?” Suara Bu Siti Marfu’ah sudah naik beberapa desibel.“Mau jalan-jalan aja. Biar kakinya enggak kerasa sakit.”“Ampuuun … punya anak kok begini amat, ya Allah!” Bu Siti Marfu’ah menepak dahinya sendiri. Kesal.“Masa jalan-jalan enggak boleh?” “Kan kamu lagi sakit kaki. Mau maksa jalan-jalan?” keluh sang ibu. “Rega, kamu itu kenapa, sih? Enggak punya pikiran sama sekali.”“Rega bosen di rumah, Bu.”Bu Siti Marfu’ah melihat penampilan Rega. Memakai kaus yang dipadu padankan dengan kemeja kotak-kotak, celana denim panjang, memang setelan ke kampus. Tetapi, dia tidak membawa tas atau alat tempur. Mungkin Rega berkata jujur, begitu pikir sang ibu.“Pakai sendal atau sepatu?” selidik Bu Siti Marfu’ah.“Penting, ya Bu?”“Oh, penting. Kalau pakai sendal, berarti bener.
Mungkin keputusan Phey mengiyakan permintaan Rega tempo hari lalu, membawa suasana baru bagi gadis itu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Yono, Rega pemuda baik dan tidak macam-macam. Lagipula, Rega kelihatan cerdas, dan mampu mengimbangi pola pikir Phey yang banyak ingin tahu tentang berbagai macam dalam sudut pandang ilmu.Selama beberapa hari, Rega rutin datang. Hari itu pun ia bertandang kembali ke rumah Pak Yono, membawa buku-buku yang sama sekali tak pernah Phey baca sebelumnya. Ada beberapa buku yang bagus, tetapi entah kenapa Phey menyukai buku-buku bacaan anak, tentang kisah nabi. Tadinya buku itu dibawa Rega untuk bacaan anak-anaknya Pak Yono, tetapi justru Phey yang begitu tertarik. Di sana ada gambar ilustrasi, hanya saja sosok nabi hanya dituliskan dengan huruf arab dan pendaran cahaya. Itu membuat Phey penasaran.“Kenapa ya, gambar nabinya enggak ada?” tanya Phey sembari melihat lekat-lekat pada buku bacaan anak di tangannya.Rega tercenung sesaat. Sebetulnya di