Kedua lengan Phey bersandar pada kusen jendela, dan matanya menatap ke area sekitar rumah Pak Yono. Rasa bosan menerjang, selama seharian penuh Phey hanya tinggal di dalam rumah. Dia tidak boleh membantu di dapur oleh istri Pak Yono. Otomatis, tidak ada kegiatan apa pun yang dapat Phey lakukan. Tetap saja, pada akhirnya dia lagi-lagi hanya tinggal di kamar.
Sebentar lagi hari akan berganti, tampak matahari sudah memerah di ufuk barat. Lalu Phey mendengar sayup suara celoteh, yang makin mendekat. Rupanya rombongan anak-anak yang baru pulang mengaji. Phey memperhatikan dengan saksama, mereka tampak senang. Bahagia, tanpa beban. Memang, anak-anak tidak tahu menahu dengan masalah apa yang terjadi. Namun, Phey melihat bahwa dia ingin berada di tempat yang nyaman, seaman anak-anak itu yang tak memiliki kekhawatiran lebih. Phey bergegas keluar dari kamar, ia melihat Pak Yono dan istrinya sedang duduk di ruang tengah sembari berbincang pelan. Melihat Phey, keduanya langsung berhenti mengobrol. “Pak, Bu,” sapa Phey sebelum membuka pembicaraan. Gadis itu segera duduk di samping Bu Puji. “Saya boleh minta tolong, enggak?”“Ada masalah apa, Non Phey?” tanya Pak Yono.“Saya mau pakai pakaian yang dipakai oleh Ibu,” Phey terdiam sebentar, “Ibu siapa itu yang pakai cadar?” “Bu Halimah?” seloroh Bu Puji.Phey mengangguk. “Kalau bisa, tolong carikan saya pakaian yang persis sama.”Tentu saja Pak Yono beserta istri tersentak kaget mendengarnya. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba Phey mengungkapkan keinginan yang cukup absurd.“Kenapa Non Phey tiba-tiba pengin baju muslimah?” tanya Pak Yono.Lalu Phey menjawab dengan lugas, “Saya cuma mikir, sepertinya dengan pakaian itu saya lebih nyaman, dan leluasa.”“Non Phey, pakaian itu biasanya untuk wanita muslim,” timpal Bu Puji.“Lantas kenapa? Enggak boleh saya pakai?” tanya Phey penasaran.“Bukan enggak boleh, hanya saja ….” Suara Pak Yono menggantung di udara. Sebetulnya sang supir pun bingung mengenai hal ini, masalah boleh atau tidak, karena dia tidak memiliki pengetahuan lebih akan hal tersebut. Itu merupakan sesuatu yang identik dengan muslimah, sedangkan Pak Yono jika menjelaskan pada Phey, apa tidak akan jadi isu yang sensitif nanti.“Saya enggak niat mau macam-macam, Pak Yono. Cuma pengin melindungi diri,” jelas Phey. “Ya, mungkin dengan berpakaian tertutup saya merasa jauh lebih aman.”Pak Yono dan istrinya saling bertatapan, tetapi tidak mengatakan sepatah kata pun.“Enggak ada niatan saya mau mempermainkan mengenai arti pakaian itu sendiri. Anggap saja, saya merasa itu yang bisa membantu saya merasa nyaman.” Phey menatap sungguh-sungguh pada Pak Yono dan juga sang istri. “Tolong bantu saya, Pak, Bu.”“Mungkin besok, saya coba tanyakan ke Bu Halimah, ya Non?” kata Bu Puji.“Iya, Bu. Saya ada simpanan uang, jadi semisal ada, nanti saya langsung berikan ke Ibu uangnya.” Ada binar bahagia terpancar dari mata Phey. “Terima kasih sebelumnya, Pak, Bu.”*Bu Puji duduk di kursi ruang tamu, dan menunggu. Matanya mengitari interior ruang tamu, yang disulap menjadi tempat menjahit. Ada lemari pakaian kayu besar, dengan barisan pakaian yang penuh di dalamnya. Tumpukan kain, di atas nakas sudut. Tirai yang menutupi pintu penghubung ke ruang tengah tersingkap, seorang wanita keluar dari sana membawa beberapa potong pakaian tersampir di lengan.“Ini kira-kira cukup enggak, ya?” tanya Bu Halimah, sembari menyerahkan beberapa potong pakaian tersebut pada Bu Puji. “Habis, kenapa enggak dibawa ke sini aja saudaranya, biar saya ukur sekalian. Supaya saya bisa tahu ukurannya.”Sebetulnya Bu Puji datang ke sana hanya ingin bertanya, di mana Bu Halimah membeli pakaian dan niqab-nya. Akan tetapi, Bu Halimah justru menjahit semua pakaiannya sendiri, malah menawarkan ada pakaian-pakaian yang sudah selesai ia jahit.“Sepertinya cukup, sih, Bu,” jawab Bu Puji melihat salah satu pakaian berwarna coklat polos. “Ini untuk saudara Pak Yono yang dari luar kota?” Bu Puji mengangguk.“Dicoba aja dulu, Bu. Kalau terlalu kebesaran, nanti saya betulkan lagi jahitannya.”“Jadi kira-kira, ini semua berapa, Bu Halimah?” Bu Puji bertanya agak malu-malu.Bu Halimah tersenyum. “Enggak usah, Bu. Lagipula, itu contoh seragam untuk ponpes, pesanan.”“Yang betul, Bu? Ini enggak apa-apa untuk saudara saya?”Ada anggukan singkat ditunjukkan Bu Halimah. “Ini ada beberapa model, ada yang memakai niqab, cador, dan burqa. Masih ada beberapa potong pakaian lain, nanti bawa saja mau yang mana.”“Oh, memang beda?”Tawa renyah Bu Halimah terdengar. “Makanya nanti saya jelaskan.”…Selepas dari rumah Bu Halimah, Bu Puji bergegas kembali ke rumah. Dengan perasaan gembira membawa pakaian untuk Phey-Phey. Melihat Bu Puji sudah pulang, Phey langsung menyambut antusias. “Ini semua dikasih gratis sama Bu Halimah,” ucap Bu Puji.“Yang bener, Bu?” Phey hampir-hampiran tak percaya.Lalu Bu Puji mengembalikan uang milik Phey. “Iya, katanya dipakai aja. Bu Halimah senang, ada yang mau pakai baju muslim,” kata Bu Puji. “Ya, saya bilang kalau Non Phey itu, saudara jauh. Mungkin beliau pikir, ya begitulah.”Phey paham, mungkin maksudnya untuk seseorang yang memiliki kepercayaan yang sama. “Saya janji, akan jaga amanat Bu Halimah baik-baik, kok, Bu,” sahut Phey.“Iya, Non. Saya aja sempat bingung, ternyata ada beda-beda cadar itu sebetulnya.”“Oh, begitu, Bu?”“Ada cador, niqab, ada juga burqa.”Dahi Phey mengerut. “Terus ini disebutnya apa?”Bu Puji memaparkan perbedaan antara cador, niqab, dan burqa. Kebetulan yang dibawa yang menggunakan niqab. “Jadi niqab itu sebetulnya kain penutup kepala dengan cadar,” kata Bu Puji.“Oh, kalau cador itu sampai ke bawah-bawah, ya?”“Iya tutup kepala sampai kaki. Ada yang pakai cadar, ada yang enggak, tetapi saya ambil yang pakai niqab aja buat Non Phey,” kata Bu Puji. “Takutnya malah jadi agak apa, yah? Repot aja begitu kalau bergerak.”Phey terkekeh pelan. “Dicoba dulu deh, Non. Kata Bu Halimah kalau enggak pas, nanti dibetulin lagi.”“Iya, Bu.”Tanpa membuang waktu Phey segera masuk ke kamar. Ia segera memakai pakaian yang diberikan Bu Halimah, dan tidak sulit. Malah terbilang mudah, dan tidak merepotkan sama sekali. Gadis itu berdiri di depan cermin buram, menatap postur tubuhnya yang tertutup. Phey merasakan sesuatu di dalam hatinya, gelenyar yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Entah apa itu, Phey juga tidak tahu.“Non? Pakaiannya cukup, enggak?” tanya Bu Puji dari luar kamar.“Ini pas banget, Bu,” balas Phey.Lagi-lagi Phey menatap pantulan dirinya dari cermin. Hati Phey mulai merasakan rasa nyaman, bahkan ada rasa merasa lebih cantik. Entah kenapa bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Dia keluar dari kamar, dan menunjukkan penampilannya pada Bu Puji yang menunggu di luar dengan penasaran.“Ya ampun, cantik sekali.” Bu Puji terkesima.“Beneran, Bu? Saya cantik?”“Cantik, Non. Kelihatan apa, ya? Tenang gitu lihatnya, adem,” kekeh Bu Puji.“Ya sudah, kalau begitu saya mau sapu-sapu di depan.”Bu Puji tersentak kaget. “Eh, mau apa? Jangan ih, Non.”“Ih, Ibu … saya bosen. Enggak apa-apa, ya? Kan udah pakai baju tertutup.”“Nanti saya dimarahi Bapak, lho.”“Kalau Bapak marah, bilang sama saya, Bu.”Terdengar suara motor yang dikemudikan begitu kencang melewati depan rumah, hingga membuat Phey dan Bu Puji tersentak kaget.“Astagfirullahaladzim,” ucap Bu Puji sembari membuka tirai jendela sedikit.“Siapa, Bu?”“Enggak tahu. Biasanya pemuda daerah sini, namanya juga anak muda, Non.”“Regaaa … astagfirullahaladzim!”Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.“Mau ke mana lagi?”“Kan Ibu udah tahu.”Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.“Eeeh!! Malah jawab!”Serbasalah, Rega memili
Teriakan Aisha di pagi itu membuat heboh seketika. Pak Yono berlari tergopoh-gopoh keluar dari rumah, begitu juga tetangga yang lain. Hal itu membuat Rega benar-benar syok sekaligus malu. “Rega?” Pak Yono sendiri terkejut melihat Rega terkapar di jalan dan Phey duduk tak jauh dari pemuda itu.“Pak, saya bersumpah. Saya enggak ngapa-ngapain! Saya kejatuhan pelepah kelapa!” seru Rega berusaha membela diri.Phey yang tidak berbicara sepatah kata pun, langsung beranjak berdiri dan berlari ke dalam rumah. Sedangkan Pak Yono membantu Rega untuk berdiri. Tetangga yang lain hanya menonton, bingung dengan apa yang terjadi.“Kenapa, Ga? Kamu gak apa-apa?” tanya tetangga depan rumah Pak Yono penasaran.Rega menggeleng cepat. “Kejatuhan pelepah kelapa.”Sang tetangga hanya menatap prihatin. “Hati-hati makanya kalau naik motor, jangan meleng.”Rega mengeluh dalam hati. Belum juga naik motor, kok tiba-tiba urusannya sama mengendarai motor. Justru Rega berusaha menolong wanita yang tinggal di rumah
Rasanya Rega memiliki bodyguard baru karena sang ibu sudah berdiri di teras sembari berkacak pinggang, ditambah dengan mata melotot yang cukup intimidatif. Pemuda itu hanya memberi senyum tidak berdosa.“MAU KE MANA LAGI? DEMO?” Suara Bu Siti Marfu’ah sudah naik beberapa desibel.“Mau jalan-jalan aja. Biar kakinya enggak kerasa sakit.”“Ampuuun … punya anak kok begini amat, ya Allah!” Bu Siti Marfu’ah menepak dahinya sendiri. Kesal.“Masa jalan-jalan enggak boleh?” “Kan kamu lagi sakit kaki. Mau maksa jalan-jalan?” keluh sang ibu. “Rega, kamu itu kenapa, sih? Enggak punya pikiran sama sekali.”“Rega bosen di rumah, Bu.”Bu Siti Marfu’ah melihat penampilan Rega. Memakai kaus yang dipadu padankan dengan kemeja kotak-kotak, celana denim panjang, memang setelan ke kampus. Tetapi, dia tidak membawa tas atau alat tempur. Mungkin Rega berkata jujur, begitu pikir sang ibu.“Pakai sendal atau sepatu?” selidik Bu Siti Marfu’ah.“Penting, ya Bu?”“Oh, penting. Kalau pakai sendal, berarti bener.
Mungkin keputusan Phey mengiyakan permintaan Rega tempo hari lalu, membawa suasana baru bagi gadis itu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Yono, Rega pemuda baik dan tidak macam-macam. Lagipula, Rega kelihatan cerdas, dan mampu mengimbangi pola pikir Phey yang banyak ingin tahu tentang berbagai macam dalam sudut pandang ilmu.Selama beberapa hari, Rega rutin datang. Hari itu pun ia bertandang kembali ke rumah Pak Yono, membawa buku-buku yang sama sekali tak pernah Phey baca sebelumnya. Ada beberapa buku yang bagus, tetapi entah kenapa Phey menyukai buku-buku bacaan anak, tentang kisah nabi. Tadinya buku itu dibawa Rega untuk bacaan anak-anaknya Pak Yono, tetapi justru Phey yang begitu tertarik. Di sana ada gambar ilustrasi, hanya saja sosok nabi hanya dituliskan dengan huruf arab dan pendaran cahaya. Itu membuat Phey penasaran.“Kenapa ya, gambar nabinya enggak ada?” tanya Phey sembari melihat lekat-lekat pada buku bacaan anak di tangannya.Rega tercenung sesaat. Sebetulnya di
Hampir menjelang senja, tetapi seluruh lampu di rumah itu sengaja dipadamkan, kecuali di teras belakang. Di sana ada satu sosok sedang duduk dalam diam, sedangkan yang lain tampak tergesa keluar masuk dari pintu penghubung dua area—interior, ekterior. Semua memiliki mimik wajah yang serupa: cemas dan muram.Wanita paruh baya yang duduk termenung itu, bernama Ibu Niu. Dia menangkupkan kedua tangan lalu memejamkan mata. Ia menangis tertahan, untuk ke sekian kalinya. Dari ambang pintu gadis berambut lurus hitam dikuncir kuda, menyadari apa yang terjadi pada sang ibu. Bergegas ia duduk, dan memeluk erat.“Ma, jangan nangis lagi,” bisik sang gadis dengan suara parau. Annchi Phey, si gadis, wajahnya pun tampak bengkak dengan mata sembab. Ia berusaha untuk tetap kuat, tetapi melihat sang ibu menumpahkan lagi air mata, Phey akan kembali ikut jatuh terpuruk. Hari itu, semua berubah. Kehidupan mereka yang damai, baik-baik saja, tidak ada konflik berarti, tiba-tiba dalam satu jentikan jari, ru
Mobil dinyalakan, lalu tidak lama kemudian meluncur dari kediaman keluarga kecil tersebut. Phey hanya bisa merasakan getaran mobil, mendengar suara-suara ramai dari luar kendaraan. Gadis itu menangis dalam sunyi. Batinnya menjerit, Tuhan, kenapa jadi begini?*Telunjuk Pak Yono menekan tombol ‘off’ tape mobil. Berita di radio justru membuat suasana jauh lebih mencekam. Sehingga dia membiarkan atmosfer di dalam mobil, benar-benar senyap. Namun, di luar mobil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Jakarta yang biasanya masih cukup padat oleh kendaraan bermotor, apalagi pada jam-jam pulang kantor, sekarang nyaris sepi. Ada satu dua mobil berpapasan, itu pun memicu kecepatan tinggi. Orang-orang turun ke jalanan, berjalan beramai-ramai. Ada dalam kelompok kecil, kelompok besar, di mana Pak Yono berusaha untuk hindari.Di beberapa titik, bangunan-bangunan terbakar dan tidak ada yang memadamkan api. Mobil, motor tidak luput dari sasaran pembakaran. Pak Yono bisa mendengar gemeretak s
Mobil berhenti, dan Phey pun sontak terbangun dari tidur sesaat. Tubuhnya terasa sakit, karena dia berbaring di lantai mobil, bahkan tak berani bergerak sedikit pun. Pintu penumpang belakang mobil terbuka, lalu Pak Yono menyingkap terpal yang menutupi tubuh Phey.“Non, kita sudah sampai,” ucap Pak Yono dengan suara pelan.Phey tidak menjawab. Hanya mengeluh lirih, lalu setengah merangkak keluar dari dalam mobil. Ia dipapah oleh Pak Yono, melewati halaman yang gelap dan cukup luas. Suasana di sekitar nyaris senyap. Mata Phey mengitari sekeliling, menatap pada bangunan satu lantai yang sederhana dihadapannya.“Rumah siapa ini, Pak Yono?” tanya Phey.“Rumah saya, Non.”Tangerang. Nama itu terlintas begitu saja di benak Phey. Keluarga Pak Yono tinggal di sana, sedangkan Pak Yono sendiri pulang satu minggu sekali. Phey diasingkan ke Tangerang, bukan karena keinginan, melainkan paksaan. Perasaan sedih mendera Phey, bagaimana orangtuanya? Bagaimana mereka bisa bertahan di Jakarta? Kenapa me
Mendengar pertanyaan Phey, Pak Yono tersentak kaget, begitu juga dengan istrinya yang sedang menata hidangan di meja makan. Pak Yono tidak bisa menahan lagi, akhirnya derai tawa laki-laki itu terdengar di seantero ruangan.“Ya Allah, Non Phey,” ucap Pak Yono masih berusaha untuk mengendalikan tawa.“Siapa, Pak? Pasti Bu Hamidah, ya?” tanya sang istri.Pak Yono mengangguk. “Iya, Bu Hamidah.”Bu Puji menghampiri Phey, lalu mempersilakan gadis itu untuk makan. Belum ada jawaban maupun penjelasan dari Pak Yono maupun istrinya, sehingga Phey menurut, dan duduk di meja makan. Dia masih menatap bergantian pada Pak Yono juga istrinya.“Ini supaya Non Phey paham, ya? Ibu Hamidah itu enggak sakit, dia sehat walafiat,” kata Pak Yono.“Tapi kenapa bajunya seperti itu? Memang supaya apa bajunya tertutup semua?” tanya Phey. Dia menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut, lalu bergegas mengunyah dan menelan cepat-cepat. “Enggak kepanasan apa, ya? Kan gerah kalau pakai baju hitam mana tertutup semua.”“