Kedua lengan Phey bersandar pada kusen jendela, dan matanya menatap ke area sekitar rumah Pak Yono. Rasa bosan menerjang, selama seharian penuh Phey hanya tinggal di dalam rumah. Dia tidak boleh membantu di dapur oleh istri Pak Yono. Otomatis, tidak ada kegiatan apa pun yang dapat Phey lakukan. Tetap saja, pada akhirnya dia lagi-lagi hanya tinggal di kamar.
Sebentar lagi hari akan berganti, tampak matahari sudah memerah di ufuk barat. Lalu Phey mendengar sayup suara celoteh, yang makin mendekat. Rupanya rombongan anak-anak yang baru pulang mengaji. Phey memperhatikan dengan saksama, mereka tampak senang. Bahagia, tanpa beban. Memang, anak-anak tidak tahu menahu dengan masalah apa yang terjadi. Namun, Phey melihat bahwa dia ingin berada di tempat yang nyaman, seaman anak-anak itu yang tak memiliki kekhawatiran lebih. Phey bergegas keluar dari kamar, ia melihat Pak Yono dan istrinya sedang duduk di ruang tengah sembari berbincang pelan. Melihat Phey, keduanya langsung berhenti mengobrol. “Pak, Bu,” sapa Phey sebelum membuka pembicaraan. Gadis itu segera duduk di samping Bu Puji. “Saya boleh minta tolong, enggak?”“Ada masalah apa, Non Phey?” tanya Pak Yono.“Saya mau pakai pakaian yang dipakai oleh Ibu,” Phey terdiam sebentar, “Ibu siapa itu yang pakai cadar?” “Bu Halimah?” seloroh Bu Puji.Phey mengangguk. “Kalau bisa, tolong carikan saya pakaian yang persis sama.”Tentu saja Pak Yono beserta istri tersentak kaget mendengarnya. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba Phey mengungkapkan keinginan yang cukup absurd.“Kenapa Non Phey tiba-tiba pengin baju muslimah?” tanya Pak Yono.Lalu Phey menjawab dengan lugas, “Saya cuma mikir, sepertinya dengan pakaian itu saya lebih nyaman, dan leluasa.”“Non Phey, pakaian itu biasanya untuk wanita muslim,” timpal Bu Puji.“Lantas kenapa? Enggak boleh saya pakai?” tanya Phey penasaran.“Bukan enggak boleh, hanya saja ….” Suara Pak Yono menggantung di udara. Sebetulnya sang supir pun bingung mengenai hal ini, masalah boleh atau tidak, karena dia tidak memiliki pengetahuan lebih akan hal tersebut. Itu merupakan sesuatu yang identik dengan muslimah, sedangkan Pak Yono jika menjelaskan pada Phey, apa tidak akan jadi isu yang sensitif nanti.“Saya enggak niat mau macam-macam, Pak Yono. Cuma pengin melindungi diri,” jelas Phey. “Ya, mungkin dengan berpakaian tertutup saya merasa jauh lebih aman.”Pak Yono dan istrinya saling bertatapan, tetapi tidak mengatakan sepatah kata pun.“Enggak ada niatan saya mau mempermainkan mengenai arti pakaian itu sendiri. Anggap saja, saya merasa itu yang bisa membantu saya merasa nyaman.” Phey menatap sungguh-sungguh pada Pak Yono dan juga sang istri. “Tolong bantu saya, Pak, Bu.”“Mungkin besok, saya coba tanyakan ke Bu Halimah, ya Non?” kata Bu Puji.“Iya, Bu. Saya ada simpanan uang, jadi semisal ada, nanti saya langsung berikan ke Ibu uangnya.” Ada binar bahagia terpancar dari mata Phey. “Terima kasih sebelumnya, Pak, Bu.”*Bu Puji duduk di kursi ruang tamu, dan menunggu. Matanya mengitari interior ruang tamu, yang disulap menjadi tempat menjahit. Ada lemari pakaian kayu besar, dengan barisan pakaian yang penuh di dalamnya. Tumpukan kain, di atas nakas sudut. Tirai yang menutupi pintu penghubung ke ruang tengah tersingkap, seorang wanita keluar dari sana membawa beberapa potong pakaian tersampir di lengan.“Ini kira-kira cukup enggak, ya?” tanya Bu Halimah, sembari menyerahkan beberapa potong pakaian tersebut pada Bu Puji. “Habis, kenapa enggak dibawa ke sini aja saudaranya, biar saya ukur sekalian. Supaya saya bisa tahu ukurannya.”Sebetulnya Bu Puji datang ke sana hanya ingin bertanya, di mana Bu Halimah membeli pakaian dan niqab-nya. Akan tetapi, Bu Halimah justru menjahit semua pakaiannya sendiri, malah menawarkan ada pakaian-pakaian yang sudah selesai ia jahit.“Sepertinya cukup, sih, Bu,” jawab Bu Puji melihat salah satu pakaian berwarna coklat polos. “Ini untuk saudara Pak Yono yang dari luar kota?” Bu Puji mengangguk.“Dicoba aja dulu, Bu. Kalau terlalu kebesaran, nanti saya betulkan lagi jahitannya.”“Jadi kira-kira, ini semua berapa, Bu Halimah?” Bu Puji bertanya agak malu-malu.Bu Halimah tersenyum. “Enggak usah, Bu. Lagipula, itu contoh seragam untuk ponpes, pesanan.”“Yang betul, Bu? Ini enggak apa-apa untuk saudara saya?”Ada anggukan singkat ditunjukkan Bu Halimah. “Ini ada beberapa model, ada yang memakai niqab, cador, dan burqa. Masih ada beberapa potong pakaian lain, nanti bawa saja mau yang mana.”“Oh, memang beda?”Tawa renyah Bu Halimah terdengar. “Makanya nanti saya jelaskan.”…Selepas dari rumah Bu Halimah, Bu Puji bergegas kembali ke rumah. Dengan perasaan gembira membawa pakaian untuk Phey-Phey. Melihat Bu Puji sudah pulang, Phey langsung menyambut antusias. “Ini semua dikasih gratis sama Bu Halimah,” ucap Bu Puji.“Yang bener, Bu?” Phey hampir-hampiran tak percaya.Lalu Bu Puji mengembalikan uang milik Phey. “Iya, katanya dipakai aja. Bu Halimah senang, ada yang mau pakai baju muslim,” kata Bu Puji. “Ya, saya bilang kalau Non Phey itu, saudara jauh. Mungkin beliau pikir, ya begitulah.”Phey paham, mungkin maksudnya untuk seseorang yang memiliki kepercayaan yang sama. “Saya janji, akan jaga amanat Bu Halimah baik-baik, kok, Bu,” sahut Phey.“Iya, Non. Saya aja sempat bingung, ternyata ada beda-beda cadar itu sebetulnya.”“Oh, begitu, Bu?”“Ada cador, niqab, ada juga burqa.”Dahi Phey mengerut. “Terus ini disebutnya apa?”Bu Puji memaparkan perbedaan antara cador, niqab, dan burqa. Kebetulan yang dibawa yang menggunakan niqab. “Jadi niqab itu sebetulnya kain penutup kepala dengan cadar,” kata Bu Puji.“Oh, kalau cador itu sampai ke bawah-bawah, ya?”“Iya tutup kepala sampai kaki. Ada yang pakai cadar, ada yang enggak, tetapi saya ambil yang pakai niqab aja buat Non Phey,” kata Bu Puji. “Takutnya malah jadi agak apa, yah? Repot aja begitu kalau bergerak.”Phey terkekeh pelan. “Dicoba dulu deh, Non. Kata Bu Halimah kalau enggak pas, nanti dibetulin lagi.”“Iya, Bu.”Tanpa membuang waktu Phey segera masuk ke kamar. Ia segera memakai pakaian yang diberikan Bu Halimah, dan tidak sulit. Malah terbilang mudah, dan tidak merepotkan sama sekali. Gadis itu berdiri di depan cermin buram, menatap postur tubuhnya yang tertutup. Phey merasakan sesuatu di dalam hatinya, gelenyar yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Entah apa itu, Phey juga tidak tahu.“Non? Pakaiannya cukup, enggak?” tanya Bu Puji dari luar kamar.“Ini pas banget, Bu,” balas Phey.Lagi-lagi Phey menatap pantulan dirinya dari cermin. Hati Phey mulai merasakan rasa nyaman, bahkan ada rasa merasa lebih cantik. Entah kenapa bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Dia keluar dari kamar, dan menunjukkan penampilannya pada Bu Puji yang menunggu di luar dengan penasaran.“Ya ampun, cantik sekali.” Bu Puji terkesima.“Beneran, Bu? Saya cantik?”“Cantik, Non. Kelihatan apa, ya? Tenang gitu lihatnya, adem,” kekeh Bu Puji.“Ya sudah, kalau begitu saya mau sapu-sapu di depan.”Bu Puji tersentak kaget. “Eh, mau apa? Jangan ih, Non.”“Ih, Ibu … saya bosen. Enggak apa-apa, ya? Kan udah pakai baju tertutup.”“Nanti saya dimarahi Bapak, lho.”“Kalau Bapak marah, bilang sama saya, Bu.”Terdengar suara motor yang dikemudikan begitu kencang melewati depan rumah, hingga membuat Phey dan Bu Puji tersentak kaget.“Astagfirullahaladzim,” ucap Bu Puji sembari membuka tirai jendela sedikit.“Siapa, Bu?”“Enggak tahu. Biasanya pemuda daerah sini, namanya juga anak muda, Non.”“Regaaa … astagfirullahaladzim!”Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.“Mau ke mana lagi?”“Kan Ibu udah tahu.”Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.“Eeeh!! Malah jawab!”Serbasalah, Rega memili
Teriakan Aisha di pagi itu membuat heboh seketika. Pak Yono berlari tergopoh-gopoh keluar dari rumah, begitu juga tetangga yang lain. Hal itu membuat Rega benar-benar syok sekaligus malu. “Rega?” Pak Yono sendiri terkejut melihat Rega terkapar di jalan dan Phey duduk tak jauh dari pemuda itu.“Pak, saya bersumpah. Saya enggak ngapa-ngapain! Saya kejatuhan pelepah kelapa!” seru Rega berusaha membela diri.Phey yang tidak berbicara sepatah kata pun, langsung beranjak berdiri dan berlari ke dalam rumah. Sedangkan Pak Yono membantu Rega untuk berdiri. Tetangga yang lain hanya menonton, bingung dengan apa yang terjadi.“Kenapa, Ga? Kamu gak apa-apa?” tanya tetangga depan rumah Pak Yono penasaran.Rega menggeleng cepat. “Kejatuhan pelepah kelapa.”Sang tetangga hanya menatap prihatin. “Hati-hati makanya kalau naik motor, jangan meleng.”Rega mengeluh dalam hati. Belum juga naik motor, kok tiba-tiba urusannya sama mengendarai motor. Justru Rega berusaha menolong wanita yang tinggal di rumah
Rasanya Rega memiliki bodyguard baru karena sang ibu sudah berdiri di teras sembari berkacak pinggang, ditambah dengan mata melotot yang cukup intimidatif. Pemuda itu hanya memberi senyum tidak berdosa.“MAU KE MANA LAGI? DEMO?” Suara Bu Siti Marfu’ah sudah naik beberapa desibel.“Mau jalan-jalan aja. Biar kakinya enggak kerasa sakit.”“Ampuuun … punya anak kok begini amat, ya Allah!” Bu Siti Marfu’ah menepak dahinya sendiri. Kesal.“Masa jalan-jalan enggak boleh?” “Kan kamu lagi sakit kaki. Mau maksa jalan-jalan?” keluh sang ibu. “Rega, kamu itu kenapa, sih? Enggak punya pikiran sama sekali.”“Rega bosen di rumah, Bu.”Bu Siti Marfu’ah melihat penampilan Rega. Memakai kaus yang dipadu padankan dengan kemeja kotak-kotak, celana denim panjang, memang setelan ke kampus. Tetapi, dia tidak membawa tas atau alat tempur. Mungkin Rega berkata jujur, begitu pikir sang ibu.“Pakai sendal atau sepatu?” selidik Bu Siti Marfu’ah.“Penting, ya Bu?”“Oh, penting. Kalau pakai sendal, berarti bener.
Mungkin keputusan Phey mengiyakan permintaan Rega tempo hari lalu, membawa suasana baru bagi gadis itu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Yono, Rega pemuda baik dan tidak macam-macam. Lagipula, Rega kelihatan cerdas, dan mampu mengimbangi pola pikir Phey yang banyak ingin tahu tentang berbagai macam dalam sudut pandang ilmu.Selama beberapa hari, Rega rutin datang. Hari itu pun ia bertandang kembali ke rumah Pak Yono, membawa buku-buku yang sama sekali tak pernah Phey baca sebelumnya. Ada beberapa buku yang bagus, tetapi entah kenapa Phey menyukai buku-buku bacaan anak, tentang kisah nabi. Tadinya buku itu dibawa Rega untuk bacaan anak-anaknya Pak Yono, tetapi justru Phey yang begitu tertarik. Di sana ada gambar ilustrasi, hanya saja sosok nabi hanya dituliskan dengan huruf arab dan pendaran cahaya. Itu membuat Phey penasaran.“Kenapa ya, gambar nabinya enggak ada?” tanya Phey sembari melihat lekat-lekat pada buku bacaan anak di tangannya.Rega tercenung sesaat. Sebetulnya di
Phey mendongakkan kepala, dan menatap pada Rega. Tampak mata gadis itu sudah berurai air mata. Membuat Rega lagi-lagi terkejut dibuatnya. “Mau pulang,” isak Phey. “Aku enggak mau di sini. Aku takut.”“Ya udah, aku antar kamu pulang.” Rega mencari-cari sosok ibunya.Bu Siti Marfu’ah menghampiri Rega dan Phey. “Aduh, kenapa ini? Enggak apa-apa?”“Bu, Rega mau anter dulu Aisha pulang. Nanti Rega ke sini lagi,” kata Rega cepat-cepat.Sang ibu hanya mengangguk, meski kelihatan bingung. Rega bergegas membantu Phey berdiri, dan memapah gadis itu menuju motor. Tidak lama, Rega dan Phey pun pergi dari gedung pernikahan. Bu Siti Marfu’ah masih berdiri di tempatnya, menatap kepergian sang anak dengan gadis tak dikenal.Bu Siti Marfu’ah bergumam tanpa sadar, “Siapa itu, ya?”*Motor masuk ke halaman rumah Pak Yono, dan Phey bergegas lari ke teras rumah. Ketika ia hendak membuka pintu, rupanya dikunci. Phey benar-benar panik, dia kelihatan gelisah.“Kok dikunci?” ucapnya panik.Rega menyusul Phey
"Aku pakai baju begini, awalnya aku takut, karena aku keturunan Tionghoa. Tapi, lama-lama aku merasa nyaman." Phey lanjut menjelaskan. Pemuda di samping Phey itu, masih saja membisu."Maafin aku, Kak. Maaf, bikin Kakak jadi kaget.""Kaget, sih. Tapi–""Aku udah bohong sama Kakak. Aku pikir, aku gak pantes berbuat sejauh ini," potong Phey. Sekonyong-konyong ia membuka tali niqab yang terikat di belakang kepalanya. "Aku siap, kalau aku harus buka jati diri aku."Kain yang menutupi setengah wajah Phey terbuka, gadis itu memperlihatkan wajahnya di hadapan Rega."Ya Allah, Aisha …."Rega tertunduk, dia sudah melihat wajah Phey dan merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Karena itu, dia segera menundukkan pandangan. Tidak mau jiwanya sebagai seorang laki-laki, mulai berimajinasi yang tidak-tidak."Pakai lagi aja niqab-nya, Aisha," pinta Rega."Tapi, Kak–""Wajah kamu baiknya tetap gak terlihat."Phey memakai kembali niqab-nya. Meski dalam hatinya bertanya-tanya. Kenapa sikap Rega seperti i
Alhamdulillah, renovasi lancar. Enggak ada masalah apa-apa.Kecuali sakit-sakit badan. Karena kerja keras.Aku besok udah bebas tugas. Besok aku mampir ke rumah, ya?RegaPhey menatap lekat-lekat pada surat yang ada di tangan, senyumnya tersungging.Komunikasi lewat surat-menyurat ternyata begitu menyenangkan, membuat batin Pheybahagia malah. Apalagi, Rega sering menyelipkan gurauan-gurauan yang membuat Phey gelisendiri saat membaca balasan surat dari pemuda itu. Rasanya tidak sabar menunggu esok,melihat sosok Rega lagi. Phey rindu.Tiba-tiba gadis itu tersentak. Rindu?Sejak kapan dia mulai merasakan hal itu. Perasaan yang tiba tanpa diminta, lalu menelusupbegitu saja, tanpa peringatan. Bergegas Phey melipat surat dari Rega, lalu dia kumpulkanbersama surat-surat lain ke dalam koper. Itu harga yang berharga bagi Phey, sarat akankenangan.Jika dia pergi dari kediaman Pak Yono, entah apa Phey bisa berjumpa lagi dengan Rega.Hatinya mulai bimbang.Sejak pagi Pak Yono pergi ke ibuko
Phey bergerak mundur saat melihat kerumunan orang-orang yang mengantri di toko grosir.Kabarnya toko tersebut baru saja buka lagi setelah kerusuhan kemarin-kemarin, tetapi tidakdisangka oleh Phey langsung diserbu oleh pembeli. Gadis itu memegang ujung niqab-nyadan gelisah seketika.“Kamu tunggu aja di tukang jus sebelah sana, biar nanti aku susul kamu,” usul Rega.Phey melirik pada Rega, ragu.“Daripada kamu tunggu di parkiran? Mana panas begini. Enggak akan apa-apa kok, yah?”“Ya udah deh, Kak.”Phey melangkah menuju tukang jus di seberang toko grosir, sedangkan Rega bergegas ketoko sembari mengantri. Pemuda itu memperhatikan sekeliling, ada sesuatu yang berbedadari sebelumnya. Pemilik toko grosir memasang pagar tinggi di depan, ditambah denganrolling door. Ditambah lagi, ada semacam ‘penjaga’ yang sepertinya disewa oleh pemiliktoko.Di situ Rega sadar, bahwa pemilik toko kemungkinan besar keturunan Tionghoa seperti Phey.Tidak menyangka, efek kerusuhan dampaknya begitu besar.
“Kenapa ya, kamu ini malah pergi ke tempat-tempat yang bahaya?” keluh Bu Siti Marfu’ah.Perempuan itu tampak sudah pasrah melihat Rega sudah bersiap-siap untuk pergi ke ibukota, karena siangnya ia akan bertolak ke Aceh bersama rombongan relawan. Selang dua hari setelah menghubungi rekan-rekan almamater kampus, Rega dan Pak Mangara ikut dalam rombongan relawan.“Bahaya apanya, Bu? Di sana kan justru banyak orang butuh bantuan.”“Kita gak tahu kalau gempa susulan nanti datang, gimana?”“Doain Rega yang baik-baik, Bu. Dateng ke sana baik-baik aja, pulang pun selamat. Setuju?”“Terserah kamu aja lah.”Pergi ke Aceh bersama relawan, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bu Siti Marfu’ah pada awalnya. Namun, saat Rega mengatakan dia harus ke sana, karena mendampingi atasan, akhirnya mau tidak mau Bu Siti Marfu’ah melepaskan izin. Tetap saja Bu Siti Marfu’ah selalu memberikan mimik wajah khawatir berlebih, sebelum Rega benar-benar berangkat.“Berapa lama kamu di sana?” tanya sang ibu. “Engg
Aisyah.Nama itu terus terngiang-ngiang di batin Rega, saat semalam Bu Siti Marfu’ah menyebut lagi. Tidak ada pembicaraan panjang setelah itu, karena Rega langsung pergi ke masjid. Menghindar, iya. Akan tetapi, dia juga tak mau dituduh terus memupuk harapan tak pasti pada sosok bernama Aisyah selama bertahun-tahun.Rega tidak memungkiri, bahwa dia tidak melupakan Aisyah.Sosok Anchie Phey yang sudah mengikrarkan hatinya untuk menjadi muslimah. “Rega!” Pintu kamar setengah digedor dari luar. “Kamu tidur lagi abis Subuh, heh?”“Enggak, Bu.” Rega membuka pintu kamar, dan melihat sosok sang ibu sudah berdiri di depan sana. Salah satu tangannya menenteng rantang dari bahan stainless. “Ini Syafa bawain sarapan. Cepet, kita makan dulu.” Bu Siti Marfu’ah langsung meletakkan rantang ke atas meja. “Kamu ajakin Syafa masuk, biar kita makan sama-sama.”“Ibu aja lah. Rega mau keluar ini.”“Lho? Mau ke mana?”“Olah raga!”Karena tidak mau dipusingkan oleh masalah percintaan, Rega bergegas keluar
Sebuah tepukan keras mendarat di bahu Rega, sehingga pemuda yang sedang mendengarkan musik dari pemutar MP3 itu tersentak kaget. Rega menoleh dan melihat sosok pemuda lain berambut plontos duduk di sampingnya.“Tapa terus,” komentar pemuda itu sembari terkekeh pelan.“Dengerin lagu,” balas Rega enteng.“Eh, dengerin tuh nasihat orangtua. Bukan lagu.”“Orangtua yang mana? Yang lo denger aja nasihat orangtua botolan.”“Anjir, setan!”Pemuda itu tergelak keras. Namanya Robby, satu almamater dengan Rega. Mereka sama-sama mengambil lanjutan advokasi, dan magang di kantor advokat yang sama. Robby dan Rega memiliki sifat yang bertolak belakang. Rega lebih cenderung diam, sedangkan Robby ke mana-mana antara membuat suasana heboh atau kacau. Akan tetapi, mereka selalu kompak. Bahkan orang-orang di kantor advokat, selalu menganggap keduanya “partner in crime”. Yang sebetulnya, Rega amit-amit dalam hati.“Makan dulu, lah. Biar otak lancar,” celetuk Robby.Dia memesan sepiring ketoprak di mana t
Matahari sudah menggeliat bangun dari peraduan, dan sinarnya mulai memasuki celah jendela. Phey duduk dengan tenang di teras, menunggu Pak Yono memanaskan mobil, dan setelah itu mereka segera kembali ke ibukota.Kali ini Phey siap pergi tanpa rasa gundah, dia sudah benar-benar tenang.Bahkan merasakan bahagia.“Non Phey, itu kok gak diminum teh manisnya? Nanti keburu dingin,” tunjuk Bu Puji pada secangkir teh yang ia suguhkan di meja, dan belum disentuh sama sekali. Wajah perempuan itu tersembul dari balik pintu.“Mau kok, Bu. Ini tunggu nasinya turun, saya kekenyangan. Abis nasi goreng buatan Ibu enak banget, sampai nambah.”“Aduh, cuma nasi goreng, apa enaknya? Non Phey ini suka berlebihan aja, ah.”“Bu, sekarang nama saya jadi Aisyah. Jangan panggil Phey lagi.” Phey terkekeh pelan.Aisyah.Itu nama yang Phey pilih setelah mengikrarkan syahadat. Meski butuh waktu untuk membuat orangtuanya menerima pilihannya kelak, tetapi Phey sudah bertekad untuk mengubah identitas. “Oh iya, Non A
Phey masih berdiri mematung di depan rumah Bu Siti Marfu’ah, bingung karena rencana yang telah dibayangkan mendadak buyar. Kata tetangga Bu Siti Marfu’ah sedang pergi bersama ibu-ibu pengajian ke Banten, sejak pagi tadi. Lalu Rega ke kampus, dan entah pulang kapan. Bahkan menurut penuturan tetangga, Rega sering pulang larut malam.“Gimana, nih?” gumam Phey pelan sembari mengembuskan napas berat.Meski kecewa, akhirnya Phey putuskan kembali ke kediaman Pak Yono. Jika memang ia tidak bisa bertemu dengan Rega, maka memang itu yang harus ia terima dengan lapang dada. Namun, baru saja hendak melangkah, Phey melihat sebuah motor mendekat, dan suara derumannya ia kenali betul.Motor Rega!Laju motor melambat, dan berhenti di hadapan Phey. Wajah Rega tidak bisa berbohong, dia begitu terkejut melihat gadis pujaannya ada di sana. Bergegas Rega turun dari motor, membuka helm dan menghampiri Phey. Dia tidak berkata satu patah kata pun. Dalam hatinya, Rega ragu. Teringat akan permintaan Bu Siti M
Perbedaan keyakinan itu seperti dua sisi mata pedang. Jika tidak berhati-hati, maka salah satu akan tersakiti. Maka tidak sedikit yang memberi petuah bijak, baiknya tetap mencari sosok yang satu iman. Bahkan satu keyakinan pun, belum tentu memiliki visi dan misi yang beriringan. Apalagi jika berbeda?“Kita sendiri tahu, beda umur yang jauh bisa jadi gunjingan orang. Menikahi duda atau janda, bisa dicibir juga. Mau enggak mau, kita enggak bisa menutupi penilaian orang-orang, Rega,” ujar Pak Ustaz.“Ya, kan tinggal gak perlu digubris, Pak. Yang menjalani rumah tangga, justru yang mau menikah, kan?”“Terus kamu enggak hidup di dalam masyarakat memangnya?” Pak Ustaz terkekeh. “Harus siap mental, Rega. Karena kita ini hidup di budaya yang ragam, masyarakat plural juga.”Kembali Pak Ustaz menjelaskan pada Rega secara hati-hati. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa yang berbeda bisa menjadi satu. Tetap saja, ada yang dikorbankan. Karena masing-masing keyakinan percaya, bahwa agama yang seb
Rasanya hidup enggan mati pun tak mau, itu yang dilihat oleh Pak Wang acap kali menatap sosok Phey keluar dari kamar. Gadis itu hanya menemui keluarganya di saat jam makan, selebihnya dia banyak mengurung diri. Berkali-kali Ibu Niu hendak menegur putrinya, tetapi Pak Wang dan Ibu Mey melarang. Yang ada, Phey takkan mungkin bisa menerima apa yang dikatakan oleh sang ibu, malah bisa berontak. Hanya saja, melihat sikap Phey yang berhari-hari seperti itu, hinggap rasa khawatir di batin Pak Wang. Mungkin sebaiknya ia bicara dari hati ke hati dengan Phey, apalagi sudah diberi waktu untuk menenangkan diri selama beberapa hari. Pak Wang pun melangkah ke kamar Phey, dan mengetuk pintu pelan-pelan.“Phey? Ini Papa.”Tidak ada jawaban.“Phey? Kamu lagi tidur?”Baru saja Pak Wang hendak mengetuk lalu kunci pintu terdengar berputar, gagangnya pun bergerak ke bawah. Tidak lama pintu terbuka, dan Pak Wang melihat sosok yang selama beberapa hari ini selalu murung. Yaitu wajah Phey dengan mata beng
Firasat Bu Siti Marfu’ah benar-benar tidak enak, terlebih melihat wajah masam Ibu Niu yang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Begitu mendengar penuturannya, orangtua Phey kelihatan syok. Namun, Ibu Mey buru-buru mengajak semua berembuk di dalam.Di ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang kecil itu, duduk Rega berdampingan dengan sang ibu. Phey diapit ibu juga adik ayah, sedangkan Pak Wang berada di antara kedua kubu.Rega menceritakan semua, mengenai kedekatannya dengan Phey tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dari kaca mata Ibu Mey, dia tahu bahwa Rega anak yang baik, dan kemungkinan Phey tertarik tentu saja itu bisa terjadi.“Jadi, Nak Rega bermaksud untuk melamar putri kami,” ucap Pak Wang. “Tapi, apa Nak Rega tahu bahwa Phey itu berbeda keyakinan? Karena kami sebagai keluarga, mohon maaf … tentu akan sulit untuk menyetujuinya.”“Tapi Papa kan tahu, kalau Phey pengin jadi muslimah. Phey udah bicara sama Papa tentang ini,” tegas Phey, dan tampak matanya memerah juga berkaca-kaca. “Ini hidu
“Pernikahan itu sesuatu yang sakral.”Ucapan Rega bukan bermaksud meredupkan harapan Phey, bukan pula menyepelekan apayang disampaikan gadis itu. Jika mengikuti kata hati, Rega akan meminang Phey hari itu juga.Hanya saja, mereka harus melihat realita.Kehidupan pernikahan itu begitu berliku, meski bisa saling bahu membahu. Namun, jikamereka memulai dengan langkah yang salah, Rega pun tidak mau. Tetap merekamembutuhkan yang namanya restu.Tidak ada jawaban dari Phey. Sudah jelas, ada kekecewaan mendera di hatinya.“Ada yang harus kita siapkan, sebelum memutuskan menikah, Aisyah. Mental palingpenting,” ujar Rega.“Kakak enggak mau kita nikah?”“Menikah sama kamu, itu seperti mimpi menjadi kenyataan.”“Terus kenapa sikap Kakak justru kayak yang nolak?”“Aisyah, dengar dulu ….”Rega menjelaskan bahwa jika mereka menikah, karena Phey ingin keluar dari lingkarankeluarganya bukan suatu solusi. Ketika dua insan saling menautkan janji, itu untukmenyatukan dua keluarga. Bukan untuk memis