Teriakan Aisha di pagi itu membuat heboh seketika. Pak Yono berlari tergopoh-gopoh keluar dari rumah, begitu juga tetangga yang lain. Hal itu membuat Rega benar-benar syok sekaligus malu.
“Rega?” Pak Yono sendiri terkejut melihat Rega terkapar di jalan dan Phey duduk tak jauh dari pemuda itu.“Pak, saya bersumpah. Saya enggak ngapa-ngapain! Saya kejatuhan pelepah kelapa!” seru Rega berusaha membela diri.Phey yang tidak berbicara sepatah kata pun, langsung beranjak berdiri dan berlari ke dalam rumah. Sedangkan Pak Yono membantu Rega untuk berdiri. Tetangga yang lain hanya menonton, bingung dengan apa yang terjadi.“Kenapa, Ga? Kamu gak apa-apa?” tanya tetangga depan rumah Pak Yono penasaran.Rega menggeleng cepat. “Kejatuhan pelepah kelapa.”Sang tetangga hanya menatap prihatin. “Hati-hati makanya kalau naik motor, jangan meleng.”Rega mengeluh dalam hati. Belum juga naik motor, kok tiba-tiba urusannya sama mengendarai motor. Justru Rega berusaha menolong wanita yang tinggal di rumah Pak Yono, malah kelihatan seperti lelaki mesum. Rega benar-benar serbasalah.“Udah, ke rumah dulu, Rega,” putus Pak Yono. “Bisa jalan, kan?”“Bisa, Pak.”Dengan tertatih-tatih Rega dipapah Pak Yono, lalu masuk ke dalam rumah. Bu Puji kelihatan kaget, dia langsung mencari obat merah dan kapas, karena melihat kaki Rega yang tampak sedikit terluka. Tidak terlalu parah sebetulnya, hanya sedikit memar-memar. “Gimana ceritanya bisa begini?” tanya Pak Yono.Rega menceritakan dengan lancar, sembari diobati Pak Yono. Menekankan bahwa dia tidak bermaksud macam-macam pada Phey. Sedangkan Phey hanya mengintip takut-takut dari balik tirai pintu kamar. Seketika Phey merasa bersalah, sebetulnya dia hanya kaget. Akan tetapi, sikap dia mungkin agak terlalu, sehingga membuat suasana di pagi itu jadi ramai. Akhirnya Phey keluar dan berdiri di belakang punggung Bu Puji. Tampak malu.Sikap Phey itu benar-benar mengalihkan fokus Rega. Sesekali pemuda itu mencuri pandang pada gadis yang sekarang kelihatan lebih tenang dari sebelumnya.“Jadi ini salah paham aja, ya?” ucap Pak Yono sembari melayangkan pandangan ke arah Rega dan Phey bergantian.“Kalau kamu kaget, saya minta maaf,” sahut Rega pada Phey.Gadis itu menggeleng. “Saya yang harusnya minta maaf.”“Eh, hampir lupa. Belum dibuatkan minum,” seloroh Bu Puji. “Sebentar, ya?”“Enggak usah, Bu.” Rega menggeleng cepat.Namun, Bu Puji sudah bergegas ke dapur. Diikuti oleh Phey. Mata Rega masih mengikuti sosok Phey, dan dia tersentak kaget saat Pak Yono berdeham palsu. Sepertinya, rasa penasaran Rega ketahuan oleh Pak Yono.Suasana hening seketika di antara Pak Yono dan Rega. Lalu pemuda itu berdeham pelan.“Pak Yono kok tumben ada di sini? Enggak kerja?” Rega berbasa-basi.“Ya, lagi genting di ibukota. Saya disuruh pulang, sampai suasana mereda.” “Kacau banget, ya Pak?”Pak Yono mengangguk. “Ngeri, Ga. Saya aja takut, gimana nanti nasib keluarga saya, kalau misalkan saya tiba-tiba enggak diperkerjakan lagi.”“Mudah-mudahan, kondisi lebih kondusif, ya Pak?”“Aamiin … aamiin …”“Itu siapa, Pak? Saudara Bapak?” tanya Rega didorong oleh rasa penasaran.“Siapa?”“Yang bukan Bu Puji lah, Pak.” Rega terkekeh. “Itu, perempuan yang saya tolong.”“Itu saudara jauh,” kata Pak Yono. “Baru beberapa hari ada di sini.”“Pantesan saya enggak pernah lihat. Agak heran aja gitu.”“Iya, kamu tahu sendiri. Kan saya jarang kedatengan saudara. Ini juga kebetulan.” Pak Yono tampak kikuk. “Ya, saya senang aja sih, ada saudara dateng buat silaturahmi, Ga.”“Oh, dari mana?”Pak Yono tersentak. Dia tidak siap mendapat pertanyaan seperti itu, dia pikir cukup sampai pak RT saja yang tahu itu saudara. Tidak perlu ada pertanyaan lebih lanjut. Tiba-tiba Rega malah menanyakan hal yang sama. “Saya dari Aceh,” suara itu terdengar lembut dari bibir Phey. Gadis itu meletakkan nampan di meja, di mana ada dua cangkir teh hangat di sana. “Nama kamu siapa?” tanya Rega lugas.“Aisha.”Mata mereka saling beradu lagi. Rega kembali terbius oleh mata kecil dan sipit milik Phey. Begitu indah juga cantik. Belum pernah Rega menatap mata yang memberi kesan misterius juga unik seumur hidupnya.“Saya Rega.” Pemuda itu memperkenalkan diri. Phey hanya mengangguk diplomatis lalu kembali berdiri di samping Bu Puji. Gadis itu menyelidik ke arah Rega, merasa yakin bahwa pemuda yang duduk tak jauh darinya itu, seseorang yang berpendidikan. Rega memiliki mata yang cemerlang, rambut hitam pendek dengan potongan rapi, cukup tampan dan memiliki kharisma. Layaknya seorang pemimpin meski usia tampak masih muda.“Kamu mau ke mana? Pagi-pagi udah berangkat,” tanya Pak Yono, mengalihkan pembicaraan.“Ke kampus, Pak.”“Semua sekolah libur, tempat kerja aja libur. Mau apa ke kampus? Enggak takut sama kondisi di luar sekarang?” Pak Yono kelihatan heran.Terdengar kabar bahwa serentetan kejadian penjarahan di ibukota, justru meluas ke daerah-daerah lain. Semua orang takut untuk keluar rumah. Bahkan banyak daerah-daerah yang dibarikade, berusaha mencegah hal-hal yang tak diinginkan terjadi.Rega tiba-tiba saja teringat dengan tujuan awalnya pergi pagi-pagi ke kampus. Namun, malah terkena musibah. “Sebetulnya saya mau pergi demo ke ibukota, Pak. Sudah direncanakan dengan teman-teman lain, kami mau berangkat ke gedung DPR,” jawab Rega jujur.Mendengar kata demo, membuat Phey tekejut luar biasa. Lututnya mendadak gemetar, dan merasa lemas. Ingatan tentang pelariannya menuju ke rumah Pak Yono kembali terlintas. Bergegas gadis itu langsung berlari ke dalam kamar. Disusul oleh Bu Puji yang kelihatan serbasalah dari raut wajahnya.Sikap Phey itu terlihat ‘aneh’ di mata Rega. Membuat pemuda itu keheranan seketika. “Duh, Rega.” Pak Yono menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ini kan masalah cukup serius. Sudah jelas kemarin ada korban.”“Iya, Pak. Saya tahu.”Itu sudah ketiga kalinya Rega mendengar hal yang sama. Namun, niat dia adalah menyuarakan apa yang terjadi. Ketidakadilan bagi rakyat, Rega tidak mau semua orang menjadi menderita. Justru dia dan rekan-rekan pemuda, berusaha agar kondisi negara jauh lebih baik. Setidaknya pemerintah mendengar apa yang jadi keinginan rakyatnya.Bukan sibuk dengan kepentingan pribadi.“Baiknya saya sih kasih saran, enggak usah ikut-ikutan,” nasihat Pak Yono.“Saya gak mungkin diem gitu aja, Pak.”“Yah, kalau kamu memang pengin ke sana. Saya sih, enggak bisa larang. Asal kamu bisa jaga diri.”“In syaa Allah, Pak.”“Harus ingat sama ibu kamu, Ga. Beliau sendiri, kamu anak satu-satunya, jangan sampai nanti nyawa kamu pun jadi sia-sia.”“Ya, Pak Yono jangan doain begitu, dong, Pak.”“Eh, bukan doain. Tetapi, ya namanya kondisi lagi kacau, kalau enggak hati-hati ….” Pak Yono membuat jeda. Raut wajahnya keruh seketika. “… Nauzubillahimindzalik, Rega.”Rega hanya mengangguk. “Iya, Pak. Kalau begitu saya pamit,” tukas pemuda itu. Pak Yono mengiyakan, dan mengantar Rega hingga teras depan. Sedangkan Rega terus berjalan terpincang-pincang hingga ke motornya. Dia mendesah pelan, mana mungkin bisa berangkat ke ibukota, kakinya malah terasa semakin sakit. Sebaiknya dia kembali pulang ke rumah. Kalau kondisi kakinya sudah membaik, besok dia akan menyusul teman-temannya ke Jakarta.*Bau rempah-rempah terasa menyengat di hidung Rega, saat sang ibu mengompres luka memarnya dengan ramuan param. Dengan pasrah Rega menjulurkan kedua kaki di atas tempat tidur, semenjak pulang ke rumah, tak berhenti Bu Siti Marfu’ah mengomel. Meski begitu, tetap saja Rega diobati dan diberi makan. Meski marah, ibu mana yang tega anaknya sedang kesakitan.“Ini tuh namanya peringatan dari Allah, supaya kamu enggak bandel sama nasihat orangtua,” ucap Bu Siti Marfu’ah.Rega hanya mengangguk, dan berusaha untuk sabar. Entah berapa kali dia mendengar kalimat yang sama meski beda-beda versi, sejak dia kembali ke rumah.“Besok mau pergi lagi? Nekat ke Jakarta?” tanya sang ibu.“Ya, kalau membaik, sih. Rega pasti berangkat, Bu.”“Ini anak! Bener-bener keterlaluan, ya? Enggak ada kapok-kapoknya!”“Kapok bagaimana, Bu? Rega belum ke mana-mana, ini murni musibah karena nolongin saudaranya Pak Yono itu.” Rega mengembuskan napas berat. “Ini belum seberapa, dengan penderitaan rekan-rekan, atau rakyat!”Saking gemas, sang ibu memukul area dekat luka memar Rega. “Aduh, duh, duh! Ibuuu!!” erang Rega kesakitan.“Apa Ibu yang salah asuh kamu? Atau kamu salah pergaulan? Lagi-lagi ke situ.” Bu Siti Marfu’ah menggelengkan kepala. Lelah. “Rega, pikir kalau ini tuh petunjuk dari Allah. Kamu mungkin enggak boleh ikut demo, supaya kamu fokus sama diri sendiri.”“Enggak ada kaitannya, lah Bu.”“Ya jelas ada! Allah pengin kamu belajar yang bener, supaya jadi sarjana yang sukses!”“Bu—”“Kalau kamu jadi sarjana, dapet kerjaan yang enak. Rega, itu naikin harkat keluarga kita!” potong sang ibu menggebu. “Kenapa kamu enggak mau denger Ibu?”“Bukan Rega enggak mau dengerin, tapi Ibu juga gak paham maksud Rega apa.”“Kita ini bukan dari keluarga kaya, Rega. Kalau ada apa-apa sama kamu, nanti gimana?”Bu Sifi Marfu’ah takut jika Rega membuat masalah yang bersinggungan dengan pihak berwajib. Lantas bagaimana nasib keluarga? Sedangkan kondisi keluarga Rega, hanya dari keluarga yang sederhana. Ayah Rega sudah meninggal beberapa tahun lalu, mewariskan kontrakan sepuluh pintu yang digunakan Bu Siti Marfu’ah untuk kebutuhan sehari-hari.Ibunya Rega itu tidak memiliki pekerjaan, otomatis hidupnya bergantung dari kontrakan. Yang tidak seberapa hasilnya, karena kontrakan di pinggiran kota itu murah. Bahkan banyak kamar yang kosong. Bukan Bu Siti Marfu’ah tidak bersyukur. Hanya saja, jika terjadi sesuatu pada Rega, lalu harus dengan apa Bu Siti Marfu’ah menyelamatkan keluarganya? “Bu, dulu pun para cendekiawan banyak yang dipenjarakan. Tapi mereka itu tetap berjuang, demi apa? Demi kesejahteraan rakyat. Bahkan buat kemerdekaan negara kita,” kata Rega berapi-api. “Masa sekarang udah merdeka, kita dijajah bangsa sendiri?”“Aduh, jangan kasih Ibu omongan seperti begini. Pening asli kepala Ibu, Rega.”“Rega cuma minta dukungan Ibu, enggak lebih.”Bu Siti Marfu’ah diam. Memang jiwa juang Rega itu mungkin menurun dari almarhum sang ayah. Dulu sang ayah adalah anggota TNI, Rega dibangun oleh cerita-cerita perjuangan. Belajar disiplin, menjadi sosok yang benar dan idola pemuda itu jelas sang ayah. Sayangnya, ayah Rega gugur ketika ada peristiwa separatisme, di daerah terpencil. Bu Siti Marfu’ah kira, sang putra akan mengikuti jejak sang ayah. Ini malah kuliah dan mengambil jurusan hukum. “Ibu dukung kamu, selama kamu enggak macem-macem!” tegas Bu Siti Marfu’ah.Perempuan setengah baya itu beranjak berdiri, lalu membawa kotak obat-obatan dan masuk ke dalam kamar. Rega mengeluh pelan, merasakan kakinya yang berdenyut-denyut, ditambah bau tak mengenakkan. Rasanya ia tak berdaya.Pemuda itu menatap pada layar teve tabung yang tak dinyalakan. Mau menyalakan teve saja susah, jadi dia hanya melamun di ruang keluarga yang hening. Entah kenapa, pikiran Rega bukan membayangkan seperti apa situasi di ibukota, juga nasib teman-temannya. Malah yang terbayang, sosok gadis bernama Aisha itu. “Aisha, lagi apa ya?” gumamnya pelan.Rasanya Rega memiliki bodyguard baru karena sang ibu sudah berdiri di teras sembari berkacak pinggang, ditambah dengan mata melotot yang cukup intimidatif. Pemuda itu hanya memberi senyum tidak berdosa.“MAU KE MANA LAGI? DEMO?” Suara Bu Siti Marfu’ah sudah naik beberapa desibel.“Mau jalan-jalan aja. Biar kakinya enggak kerasa sakit.”“Ampuuun … punya anak kok begini amat, ya Allah!” Bu Siti Marfu’ah menepak dahinya sendiri. Kesal.“Masa jalan-jalan enggak boleh?” “Kan kamu lagi sakit kaki. Mau maksa jalan-jalan?” keluh sang ibu. “Rega, kamu itu kenapa, sih? Enggak punya pikiran sama sekali.”“Rega bosen di rumah, Bu.”Bu Siti Marfu’ah melihat penampilan Rega. Memakai kaus yang dipadu padankan dengan kemeja kotak-kotak, celana denim panjang, memang setelan ke kampus. Tetapi, dia tidak membawa tas atau alat tempur. Mungkin Rega berkata jujur, begitu pikir sang ibu.“Pakai sendal atau sepatu?” selidik Bu Siti Marfu’ah.“Penting, ya Bu?”“Oh, penting. Kalau pakai sendal, berarti bener.
Mungkin keputusan Phey mengiyakan permintaan Rega tempo hari lalu, membawa suasana baru bagi gadis itu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Yono, Rega pemuda baik dan tidak macam-macam. Lagipula, Rega kelihatan cerdas, dan mampu mengimbangi pola pikir Phey yang banyak ingin tahu tentang berbagai macam dalam sudut pandang ilmu.Selama beberapa hari, Rega rutin datang. Hari itu pun ia bertandang kembali ke rumah Pak Yono, membawa buku-buku yang sama sekali tak pernah Phey baca sebelumnya. Ada beberapa buku yang bagus, tetapi entah kenapa Phey menyukai buku-buku bacaan anak, tentang kisah nabi. Tadinya buku itu dibawa Rega untuk bacaan anak-anaknya Pak Yono, tetapi justru Phey yang begitu tertarik. Di sana ada gambar ilustrasi, hanya saja sosok nabi hanya dituliskan dengan huruf arab dan pendaran cahaya. Itu membuat Phey penasaran.“Kenapa ya, gambar nabinya enggak ada?” tanya Phey sembari melihat lekat-lekat pada buku bacaan anak di tangannya.Rega tercenung sesaat. Sebetulnya di
Hampir menjelang senja, tetapi seluruh lampu di rumah itu sengaja dipadamkan, kecuali di teras belakang. Di sana ada satu sosok sedang duduk dalam diam, sedangkan yang lain tampak tergesa keluar masuk dari pintu penghubung dua area—interior, ekterior. Semua memiliki mimik wajah yang serupa: cemas dan muram.Wanita paruh baya yang duduk termenung itu, bernama Ibu Niu. Dia menangkupkan kedua tangan lalu memejamkan mata. Ia menangis tertahan, untuk ke sekian kalinya. Dari ambang pintu gadis berambut lurus hitam dikuncir kuda, menyadari apa yang terjadi pada sang ibu. Bergegas ia duduk, dan memeluk erat.“Ma, jangan nangis lagi,” bisik sang gadis dengan suara parau. Annchi Phey, si gadis, wajahnya pun tampak bengkak dengan mata sembab. Ia berusaha untuk tetap kuat, tetapi melihat sang ibu menumpahkan lagi air mata, Phey akan kembali ikut jatuh terpuruk. Hari itu, semua berubah. Kehidupan mereka yang damai, baik-baik saja, tidak ada konflik berarti, tiba-tiba dalam satu jentikan jari, ru
Mobil dinyalakan, lalu tidak lama kemudian meluncur dari kediaman keluarga kecil tersebut. Phey hanya bisa merasakan getaran mobil, mendengar suara-suara ramai dari luar kendaraan. Gadis itu menangis dalam sunyi. Batinnya menjerit, Tuhan, kenapa jadi begini?*Telunjuk Pak Yono menekan tombol ‘off’ tape mobil. Berita di radio justru membuat suasana jauh lebih mencekam. Sehingga dia membiarkan atmosfer di dalam mobil, benar-benar senyap. Namun, di luar mobil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Jakarta yang biasanya masih cukup padat oleh kendaraan bermotor, apalagi pada jam-jam pulang kantor, sekarang nyaris sepi. Ada satu dua mobil berpapasan, itu pun memicu kecepatan tinggi. Orang-orang turun ke jalanan, berjalan beramai-ramai. Ada dalam kelompok kecil, kelompok besar, di mana Pak Yono berusaha untuk hindari.Di beberapa titik, bangunan-bangunan terbakar dan tidak ada yang memadamkan api. Mobil, motor tidak luput dari sasaran pembakaran. Pak Yono bisa mendengar gemeretak s
Mobil berhenti, dan Phey pun sontak terbangun dari tidur sesaat. Tubuhnya terasa sakit, karena dia berbaring di lantai mobil, bahkan tak berani bergerak sedikit pun. Pintu penumpang belakang mobil terbuka, lalu Pak Yono menyingkap terpal yang menutupi tubuh Phey.“Non, kita sudah sampai,” ucap Pak Yono dengan suara pelan.Phey tidak menjawab. Hanya mengeluh lirih, lalu setengah merangkak keluar dari dalam mobil. Ia dipapah oleh Pak Yono, melewati halaman yang gelap dan cukup luas. Suasana di sekitar nyaris senyap. Mata Phey mengitari sekeliling, menatap pada bangunan satu lantai yang sederhana dihadapannya.“Rumah siapa ini, Pak Yono?” tanya Phey.“Rumah saya, Non.”Tangerang. Nama itu terlintas begitu saja di benak Phey. Keluarga Pak Yono tinggal di sana, sedangkan Pak Yono sendiri pulang satu minggu sekali. Phey diasingkan ke Tangerang, bukan karena keinginan, melainkan paksaan. Perasaan sedih mendera Phey, bagaimana orangtuanya? Bagaimana mereka bisa bertahan di Jakarta? Kenapa me
Mendengar pertanyaan Phey, Pak Yono tersentak kaget, begitu juga dengan istrinya yang sedang menata hidangan di meja makan. Pak Yono tidak bisa menahan lagi, akhirnya derai tawa laki-laki itu terdengar di seantero ruangan.“Ya Allah, Non Phey,” ucap Pak Yono masih berusaha untuk mengendalikan tawa.“Siapa, Pak? Pasti Bu Hamidah, ya?” tanya sang istri.Pak Yono mengangguk. “Iya, Bu Hamidah.”Bu Puji menghampiri Phey, lalu mempersilakan gadis itu untuk makan. Belum ada jawaban maupun penjelasan dari Pak Yono maupun istrinya, sehingga Phey menurut, dan duduk di meja makan. Dia masih menatap bergantian pada Pak Yono juga istrinya.“Ini supaya Non Phey paham, ya? Ibu Hamidah itu enggak sakit, dia sehat walafiat,” kata Pak Yono.“Tapi kenapa bajunya seperti itu? Memang supaya apa bajunya tertutup semua?” tanya Phey. Dia menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut, lalu bergegas mengunyah dan menelan cepat-cepat. “Enggak kepanasan apa, ya? Kan gerah kalau pakai baju hitam mana tertutup semua.”“
Kedua lengan Phey bersandar pada kusen jendela, dan matanya menatap ke area sekitar rumah Pak Yono. Rasa bosan menerjang, selama seharian penuh Phey hanya tinggal di dalam rumah. Dia tidak boleh membantu di dapur oleh istri Pak Yono. Otomatis, tidak ada kegiatan apa pun yang dapat Phey lakukan. Tetap saja, pada akhirnya dia lagi-lagi hanya tinggal di kamar.Sebentar lagi hari akan berganti, tampak matahari sudah memerah di ufuk barat. Lalu Phey mendengar sayup suara celoteh, yang makin mendekat. Rupanya rombongan anak-anak yang baru pulang mengaji. Phey memperhatikan dengan saksama, mereka tampak senang. Bahagia, tanpa beban. Memang, anak-anak tidak tahu menahu dengan masalah apa yang terjadi. Namun, Phey melihat bahwa dia ingin berada di tempat yang nyaman, seaman anak-anak itu yang tak memiliki kekhawatiran lebih. Phey bergegas keluar dari kamar, ia melihat Pak Yono dan istrinya sedang duduk di ruang tengah sembari berbincang pelan. Melihat Phey, keduanya langsung berhenti mengobr
“Regaaa … astagfirullahaladzim!”Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.“Mau ke mana lagi?”“Kan Ibu udah tahu.”Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.“Eeeh!! Malah jawab!”Serbasalah, Rega memili