Beranda / Romansa / MEET AISHA IN 1998 / Sebuah Gelenyar Rasa

Share

Sebuah Gelenyar Rasa

Penulis: Brata Yudha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-10 16:24:21

“Regaaa … astagfirullahaladzim!”

Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.

“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.

“Mau ke mana lagi?”

“Kan Ibu udah tahu.”

Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”

“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.

Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.

“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.

“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”

“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”

Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.

“Eeeh!! Malah jawab!”

Serbasalah, Rega memilih diam. 

“Kamu kan tahu, kejadian apa yang terjadi di ibukota kemaren? Ada penembakan, demo jadi kerusuhan. Tolonglah, Nak … jangan kamu ikut-ikutan lagi. Buat apa? Kalau kamu celaka gimana?” cerocos Bu Siti Marfu’ah. “Pikirin Ibu, kalau ada apa-apa sama kamu, nanti Ibu gimana?”

“Rega bisa jaga diri, Bu.”

“Bukan masalah jaga diri. Untuk apa kamu turun ke jalan? Berguna memang buat kamu? Buat keluarga?”

“Bu, mereka yang gugur itu harus diteruskan perjuangannya. Enggak dibiarin begitu aja.” Rega mendesah pelan. “Rekan-rekan pemuda, yang bersuara demi rakyat, terus kita abai gitu?”

Sebetulnya Bu Siti Marfu’ah enggan berdebat dengan Rega, terlebih perihal semacam ini. Bukannya Rega anak pembangkang, tetapi dia selalu memiliki argumen. Sang ibu menyadari, bahwa argumen Rega tidak bisa terpatahkan, karena memang benar. Hanya saja Bu Siti Mar’fuah berharap Rega lebih memikirkan masa depan ‘diri sendiri’.

“Hidup jangan dibuat pusing, Rega. Cukup punya tempat tinggal, makan, kerja yang nyaman, jangan cari masalah. Urusan begitu, bukan urusan kita.”

Lalu urusan siapa lagi? Batin Rega.

“Kita cuma rakyat kecil. Enggak usah ikut-ikutan apa yang dilakuin orang-orang gede di sana,” keluh Bu Siti Marfu’ah. “Orang-orang kayak kita, asal hidup tenang udah syukur.”

“Cita-cita Ibu, enggak akan bisa terwujud, kalau negara kacau balau,” ucap Rega. “Terus tanggung jawab negara, kelak ada di bahu para generasi muda, Bu. Kalau enggak dicegah dari sekarang, gak bakal ada negara yang nyaman buat penerus nanti.”

“Pikiran kamu kejauhan,” komentar sang ibu.

Rega paham, ibunya memiliki pola pemikiran yang sederhana. Namun, sebagai seorang pemuda yang cukup prihatin dengan kondisi negara sekarang, wajar jika hati Rega tergugah untuk ikut mengaspirasikan suara. 

Selama ini, banyak suara dibungkam. 

Apa hal itu harus terus berlangsung? Selamanya? Tidak bisa. 

“Bu, kalau negara ini banyak yang korupsi, kolusi sama nepotisme, mau jadi negara apa?” 

“Orang-orang itu nanti ketulah perbuatannya sendiri.”

“Iya, tapi kan, kalau dibiarkan? Bisa bikin negara kita keropos, toh mental-mental orangnya bobrok.”

“Kamu pikir dengan demo itu bisa mengubah negara?”

“Kalau semua rakyat yang bersuara, Bu. Kenapa enggak?”

Rega lalu beranjak berdiri, dan menyodorkan tangan pada Bu Siti Marfu’ah. Namun, sang ibu malah melipat tangan. Membuang muka, dengan cemberut. Menunjukkan kekesalannya.

“Bu, Rega mau berangkat. Rega minta restu Ibu, tolong doain Rega, supaya bisa pulang selamat.”

Rega itu keras kepala, Bu Siti Marfu’ah sudah tahu watak putranya. Anak lelaki satu-satunya yang memiliki prinsip kuat. Juga jiwa patriotik yang tinggi. Dibandingkan dengan pemuda seusia, yang lebih suka berkumpul-kumpul atau bermain, Rega sangat aktif di kampus. Dia juga suka membaca buku berbagai bidang ilmu, sosok pemerhati dan kritis.

Bu Siti Marfu’ah bangga, sekaligus takut. Kekhawatiran Bu Siti Marfu’ah cukup berdasar, jika Rega terlalu vokal, itu bukan sesuatu yang baik bagi masa depannya. Tidak sedikit ada kabar berita, orang-orang yang bersuara lantang, lantas lenyap. Entah ke mana rimbanya.

Namun, Bu Siti Marfu’ah takkan mungkin bisa meluluhkan hati putranya untuk hal yang satu ini. Dengan berat hati, Bu Siti Marfu’ah meraih uluran tangan Rega. 

“Hati-hati,” ucap Bu Siti Marfu’ah pelan.

“Rega berangkat, ya Bu?”

Bu Siti Marfu’ah mengangguk. “Jangan ngebut-ngebut kamu, Ga.”

“Iya, Bu. Enggak.”

Rega segera melangkah ke halaman lalu naik ke atas motor. Tak butuh waktu lama, pemuda itu sudah mengendarai motornya keluar dari rumah. Bu Siti Marfu’ah masih berdiri di teras, menatap cemas ke arah sosok sang anak yang kini sudah menghilang di belokan jalan.

Dalam hatinya Bu Siti Marfu’ah berkata, “Ya Allah, ini mungkin permintaan seorang Ibu yang terlalu sayang pada anaknya. Tapi, kalau bisa … jangan sampai Rega ikut demo. Biar dia pulang aja. Mau ban motornya bocor, selama dia selamat, semoga dia batal ikut demo.”

*

Rega mengendarai motornya agak terburu-buru, dia melirik pada jam tangan waktu menunjukkan pukul enam. Pukul tujuh dengan sedikit ngebut ia bisa tiba di Jakarta. Namun, tidak jauh dari hadapan Rega ada seorang pria paruh baya yang melambai-lambaikan tangan. Pemuda itu pun menghentikan kendaraan, lalu turun.

“Assalamualaikum, Pak Ustaz,” sapa Rega dia langsung mencium tangan sosok yang dihormatinya itu.

“Waalaikumsalam.” Pak Ustaz menatap Rega keheranan. “Mau ke mana pagi-pagi begini? Ke kampus? Nyubuh amat.”

Rega tersenyum kikuk. “Iya, Pak.”

“Ada ujian?” 

Rega langsung menggaruk-garuk belakang lehernya. “Enggak ada sih, Pak.”

Pak Ustaz paham, lalu mengangguk diplomatis sembari bertanya, “Mau ke gedung DPR?”

Mana mungkin Rega mengelak. Lagipula untuk apa berbohong, jika niat Rega untuk menegakkan kebenaran? Akhirnya ia mengangguk dengan mantap. “Iya, Pak. Mau berangkat ke sana,” jawabnya.

Hening sesaat di antara keduanya.

“Bapak enggak akan melarang. Kalau menurut kamu itu baik, dan kamu berjuang untuk suara rakyat,” ucap Pak Ustaz.

“Terima kasih, Pak.”

Hati Rega lega seketika. Dia mengira sikap Pak Ustaz tidak akan berbeda dengan sang ibu, tetapi rupanya guru mengaji Rega sejak kecil itu lebih mengerti. Situasi yang tidak terkendali sekarang, mungkin saja bisa membaik setelah pemerintah benar-benar mendengarkan apa yang diinginkan oleh rakyat. Itu salah satu hal yang ingin diperjuangkan oleh Rega.

“Sangat disayangkan dengan insiden beberapa hari lalu. Bapak juga benar-benar kaget dengernya. Masya Allah, sekarang keadaan jadi enggak terkendali,” ujar Pak Ustaz.

“Itu sudah jelas siapa yang salah, Pak. Karena itu, saya ke sana pun mau memperjuangkan keadilan untuk rekan-rekan yang gugur,” tegas Rega.

“Tenang, kamu jangan bertindak gegabah. Semua masih dalam penyelidikan, terlepas siapa yang salah atau benar.” Pak Ustaz berusaha untuk bersikap netral. “Akibatnya yang juga harus kita pikirkan, orang-orang menjadi lupa, dan lalai. Kamu harus ingat tujuan kamu itu apa.”

“Iya, Pak. Saya paham.”

“Kamu harus jaga diri baik-baik. Usahakan jangan terbawa sama emosi, Rega. Tetapi pakai akal sehat, ya?” nasihat Pak Ustaz.

“Baik, Pak. Saya pasti inget sama pesan, Bapak.”

“Jangan berhenti berzikir.”

“Iya, Pak Ustaz.”

“Ya sudah, hati-hati di jalan. Assalamualaikum,” tukas Pak Ustaz.

“Waalaikumsalam.”

Rega masih berdiri mematung sembari menunggu sosok Pak Ustaz melangkah lebih jauh. Ketika ia hendak naik ke atas motor, perhatian pemuda itu teralih ke arah depan rumah Pak Yono. Ada sosok asing yang tak pernah ia temui sama sekali.

Seorang wanita berpakaian yang tertutup dari ujung kepala hingga kaki, hanya menunjukkan bagian mata saja. Tampak sibuk menyapu dedaunan dan mengumpulkan di satu tumpukan dekat ujung pagar. 

“Siapa tuh?” gumam Rega tak sadar dengan ucapannya sendiri.

Setahu Rega, anak-anak Pak Yono masih kecil. Keluarga mereka juga jarang ada tamu atau kerabat. Tiba-tiba ada wanita lain, dengan pakaian yang sebetulnya agak mencolok karena serba tertutup begitu, justru membuat Rega menjadi penasaran.

Tiba-tiba terdengar suara derakan yang cukup keras, Rega otomatis mendongakkan kepala ke atas dan melihat pelepah daun kelapa yang hampir jatuh. Entah wanita itu sadar atau tidak, tetapi pelepah daun itu berada di atas kepalanya. 

Suara derakan terdengar lagi. Tanpa banyak pikir, Rega langsung berlari ke arah wanita itu. Ia berteriak keras, “Awas!!!”

Tubuh sang wanita berada dalam rengkuhan Rega, dan keduanya langsung jatuh ke permukaan tanah. Daun pelepah kelapa jatuh bersamaan, pada sebelah kaki Rega. 

“Aduh,” erang Rega.

Pemuda itu tersentak kaget, karena tengah memeluk seorang wanita yang memejamkan mata. Entah kenapa, meski pakaiannya serba tertutup, wanita itu membuat gelenyar rasa yang berbeda di batin Rega.

Wanita itu adalah Phey, yang tengah menyapu dan tidak sadar ada bahaya jika Rega tak menolong. Mata Phey pun terbuka.

Mata yang cantik, begitu kesan yang Rega rasakan. Mata yang tiba-tiba saja membius dan membuat pemuda itu terpaku.

“Kamu enggak apa-apa?” tanya Rega, ketika tersadar.

Phey bertindak impulsif, langsung mendorong tubuh laki-laki yang tengah memeluknya dengan sekali sentak yang sangat kuat. 

“Aduh, duh, duh ….,” erang Rega lagi.

Tubuh Phey gemetar, dia benar-benar ketakutan. “TOLOOONG!!!” jeritnya.

“Eh, kenapa? Hei, hei!” Rega kebingungan sendiri.

Padahal Rega hanya menolong Phey, tidak berbuat yang macam-macam atau mengganggu. Namun, reaksi dari Phey justru seolah-olah Rega tengah menyakitinya.

“Saya enggak apa-apain kamu!” seru Rega panik.

“TOLOOONGG!!”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
jiwa prationalisme rega kuat sekali ya dia malah mau ke Jakarta mengeluarkan aspirasinya dan membantu sesama duh bu siti marfuah pasti ketar ketir banget anaknya kejakarta
goodnovel comment avatar
Siti Yusuf
hahahaha kasihan Rega niatnya nolongin Phey malah si Phey nya teriak pasti bakal ngundang warga berkerumun ............. Siti Marfu'ah sumpeh yeee itu bukan nama panjang ku itu nama ibu nya Rega ............️...️
goodnovel comment avatar
Qianas Shopp
Nah kan Rega ga mau dengar apa kata ibu jadinya gtu dapat peringaatan kecil. Phey jangan teriak2 entar pada salah paham ya Rega cuman berusaha nolongin kamu aja kok ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • MEET AISHA IN 1998   Namanya Aisha

    Teriakan Aisha di pagi itu membuat heboh seketika. Pak Yono berlari tergopoh-gopoh keluar dari rumah, begitu juga tetangga yang lain. Hal itu membuat Rega benar-benar syok sekaligus malu. “Rega?” Pak Yono sendiri terkejut melihat Rega terkapar di jalan dan Phey duduk tak jauh dari pemuda itu.“Pak, saya bersumpah. Saya enggak ngapa-ngapain! Saya kejatuhan pelepah kelapa!” seru Rega berusaha membela diri.Phey yang tidak berbicara sepatah kata pun, langsung beranjak berdiri dan berlari ke dalam rumah. Sedangkan Pak Yono membantu Rega untuk berdiri. Tetangga yang lain hanya menonton, bingung dengan apa yang terjadi.“Kenapa, Ga? Kamu gak apa-apa?” tanya tetangga depan rumah Pak Yono penasaran.Rega menggeleng cepat. “Kejatuhan pelepah kelapa.”Sang tetangga hanya menatap prihatin. “Hati-hati makanya kalau naik motor, jangan meleng.”Rega mengeluh dalam hati. Belum juga naik motor, kok tiba-tiba urusannya sama mengendarai motor. Justru Rega berusaha menolong wanita yang tinggal di rumah

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-13
  • MEET AISHA IN 1998   Gayung Bersambut atau Keberuntungan?

    Rasanya Rega memiliki bodyguard baru karena sang ibu sudah berdiri di teras sembari berkacak pinggang, ditambah dengan mata melotot yang cukup intimidatif. Pemuda itu hanya memberi senyum tidak berdosa.“MAU KE MANA LAGI? DEMO?” Suara Bu Siti Marfu’ah sudah naik beberapa desibel.“Mau jalan-jalan aja. Biar kakinya enggak kerasa sakit.”“Ampuuun … punya anak kok begini amat, ya Allah!” Bu Siti Marfu’ah menepak dahinya sendiri. Kesal.“Masa jalan-jalan enggak boleh?” “Kan kamu lagi sakit kaki. Mau maksa jalan-jalan?” keluh sang ibu. “Rega, kamu itu kenapa, sih? Enggak punya pikiran sama sekali.”“Rega bosen di rumah, Bu.”Bu Siti Marfu’ah melihat penampilan Rega. Memakai kaus yang dipadu padankan dengan kemeja kotak-kotak, celana denim panjang, memang setelan ke kampus. Tetapi, dia tidak membawa tas atau alat tempur. Mungkin Rega berkata jujur, begitu pikir sang ibu.“Pakai sendal atau sepatu?” selidik Bu Siti Marfu’ah.“Penting, ya Bu?”“Oh, penting. Kalau pakai sendal, berarti bener.

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-17
  • MEET AISHA IN 1998   Jangan Takut, Aisha

    Mungkin keputusan Phey mengiyakan permintaan Rega tempo hari lalu, membawa suasana baru bagi gadis itu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Yono, Rega pemuda baik dan tidak macam-macam. Lagipula, Rega kelihatan cerdas, dan mampu mengimbangi pola pikir Phey yang banyak ingin tahu tentang berbagai macam dalam sudut pandang ilmu.Selama beberapa hari, Rega rutin datang. Hari itu pun ia bertandang kembali ke rumah Pak Yono, membawa buku-buku yang sama sekali tak pernah Phey baca sebelumnya. Ada beberapa buku yang bagus, tetapi entah kenapa Phey menyukai buku-buku bacaan anak, tentang kisah nabi. Tadinya buku itu dibawa Rega untuk bacaan anak-anaknya Pak Yono, tetapi justru Phey yang begitu tertarik. Di sana ada gambar ilustrasi, hanya saja sosok nabi hanya dituliskan dengan huruf arab dan pendaran cahaya. Itu membuat Phey penasaran.“Kenapa ya, gambar nabinya enggak ada?” tanya Phey sembari melihat lekat-lekat pada buku bacaan anak di tangannya.Rega tercenung sesaat. Sebetulnya di

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-17
  • MEET AISHA IN 1998   Namaku Bukan Aisha

    Phey mendongakkan kepala, dan menatap pada Rega. Tampak mata gadis itu sudah berurai air mata. Membuat Rega lagi-lagi terkejut dibuatnya. “Mau pulang,” isak Phey. “Aku enggak mau di sini. Aku takut.”“Ya udah, aku antar kamu pulang.” Rega mencari-cari sosok ibunya.Bu Siti Marfu’ah menghampiri Rega dan Phey. “Aduh, kenapa ini? Enggak apa-apa?”“Bu, Rega mau anter dulu Aisha pulang. Nanti Rega ke sini lagi,” kata Rega cepat-cepat.Sang ibu hanya mengangguk, meski kelihatan bingung. Rega bergegas membantu Phey berdiri, dan memapah gadis itu menuju motor. Tidak lama, Rega dan Phey pun pergi dari gedung pernikahan. Bu Siti Marfu’ah masih berdiri di tempatnya, menatap kepergian sang anak dengan gadis tak dikenal.Bu Siti Marfu’ah bergumam tanpa sadar, “Siapa itu, ya?”*Motor masuk ke halaman rumah Pak Yono, dan Phey bergegas lari ke teras rumah. Ketika ia hendak membuka pintu, rupanya dikunci. Phey benar-benar panik, dia kelihatan gelisah.“Kok dikunci?” ucapnya panik.Rega menyusul Phey

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • MEET AISHA IN 1998   Dinding Perbedaan

    "Aku pakai baju begini, awalnya aku takut, karena aku keturunan Tionghoa. Tapi, lama-lama aku merasa nyaman." Phey lanjut menjelaskan. Pemuda di samping Phey itu, masih saja membisu."Maafin aku, Kak. Maaf, bikin Kakak jadi kaget.""Kaget, sih. Tapi–""Aku udah bohong sama Kakak. Aku pikir, aku gak pantes berbuat sejauh ini," potong Phey. Sekonyong-konyong ia membuka tali niqab yang terikat di belakang kepalanya. "Aku siap, kalau aku harus buka jati diri aku."Kain yang menutupi setengah wajah Phey terbuka, gadis itu memperlihatkan wajahnya di hadapan Rega."Ya Allah, Aisha …."Rega tertunduk, dia sudah melihat wajah Phey dan merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Karena itu, dia segera menundukkan pandangan. Tidak mau jiwanya sebagai seorang laki-laki, mulai berimajinasi yang tidak-tidak."Pakai lagi aja niqab-nya, Aisha," pinta Rega."Tapi, Kak–""Wajah kamu baiknya tetap gak terlihat."Phey memakai kembali niqab-nya. Meski dalam hatinya bertanya-tanya. Kenapa sikap Rega seperti i

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • MEET AISHA IN 1998   Senyuman Phey

    Alhamdulillah, renovasi lancar. Enggak ada masalah apa-apa.Kecuali sakit-sakit badan. Karena kerja keras.Aku besok udah bebas tugas. Besok aku mampir ke rumah, ya?RegaPhey menatap lekat-lekat pada surat yang ada di tangan, senyumnya tersungging.Komunikasi lewat surat-menyurat ternyata begitu menyenangkan, membuat batin Pheybahagia malah. Apalagi, Rega sering menyelipkan gurauan-gurauan yang membuat Phey gelisendiri saat membaca balasan surat dari pemuda itu. Rasanya tidak sabar menunggu esok,melihat sosok Rega lagi. Phey rindu.Tiba-tiba gadis itu tersentak. Rindu?Sejak kapan dia mulai merasakan hal itu. Perasaan yang tiba tanpa diminta, lalu menelusupbegitu saja, tanpa peringatan. Bergegas Phey melipat surat dari Rega, lalu dia kumpulkanbersama surat-surat lain ke dalam koper. Itu harga yang berharga bagi Phey, sarat akankenangan.Jika dia pergi dari kediaman Pak Yono, entah apa Phey bisa berjumpa lagi dengan Rega.Hatinya mulai bimbang.Sejak pagi Pak Yono pergi ke ibuko

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • MEET AISHA IN 1998   Akankah Dia Pergi

    Phey bergerak mundur saat melihat kerumunan orang-orang yang mengantri di toko grosir.Kabarnya toko tersebut baru saja buka lagi setelah kerusuhan kemarin-kemarin, tetapi tidakdisangka oleh Phey langsung diserbu oleh pembeli. Gadis itu memegang ujung niqab-nyadan gelisah seketika.“Kamu tunggu aja di tukang jus sebelah sana, biar nanti aku susul kamu,” usul Rega.Phey melirik pada Rega, ragu.“Daripada kamu tunggu di parkiran? Mana panas begini. Enggak akan apa-apa kok, yah?”“Ya udah deh, Kak.”Phey melangkah menuju tukang jus di seberang toko grosir, sedangkan Rega bergegas ketoko sembari mengantri. Pemuda itu memperhatikan sekeliling, ada sesuatu yang berbedadari sebelumnya. Pemilik toko grosir memasang pagar tinggi di depan, ditambah denganrolling door. Ditambah lagi, ada semacam ‘penjaga’ yang sepertinya disewa oleh pemiliktoko.Di situ Rega sadar, bahwa pemilik toko kemungkinan besar keturunan Tionghoa seperti Phey.Tidak menyangka, efek kerusuhan dampaknya begitu besar.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • MEET AISHA IN 1998   Kembali Ke Jakarta

    Kabar dari Pak Yono mengatakan bahwa kondisi sudah jauh lebih kondusif di ibukota, meskimasih belum banyak yang berani keluar rumah. Siang itu, Phey sedang menunggu telepondari orangtuanya di kantor kecamatan ditemani oleh Bu Puji. Semalam, orangtua Pheyberpesan pada Pak Yono, hendak menghubungi Phey pukul sepuluh pagi.Sudah pukul sepuluh lebih sepuluh, tetapi belum juga ada telepon terdengar. Pheymenunggu di teras kecamatan, dan duduk diam. Dalam hatinya, dia mengucapkan istigfar,yang entah mengapa hanya hal itu tebersit di batin Phey.Seorang petugas kantor kecamatan tergopoh-gopoh keluar, lalu menghampiri Bu Puji danPhey. Raut wajahnya tampak bingung.“Ini ada yang nelepon, tapi mau bicara pada Anchie, bukan Aisha,” ucapnya.Buru-buru Phey berdiri. “Oh, mungkin dari sana kurang jelas suaranya, Pak. MaksudnyaAisha,” kilah gadis itu.Petugas tersebut hanya mengangguk cepat. “Silakan masuk, ibunya sudah menunggu ditelepon, Nak.”“Makasih, Pak.”Bergegas Phey masuk ke dalam, m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19

Bab terbaru

  • MEET AISHA IN 1998   Akhirnya Bertemu Lagi

    “Kenapa ya, kamu ini malah pergi ke tempat-tempat yang bahaya?” keluh Bu Siti Marfu’ah.Perempuan itu tampak sudah pasrah melihat Rega sudah bersiap-siap untuk pergi ke ibukota, karena siangnya ia akan bertolak ke Aceh bersama rombongan relawan. Selang dua hari setelah menghubungi rekan-rekan almamater kampus, Rega dan Pak Mangara ikut dalam rombongan relawan.“Bahaya apanya, Bu? Di sana kan justru banyak orang butuh bantuan.”“Kita gak tahu kalau gempa susulan nanti datang, gimana?”“Doain Rega yang baik-baik, Bu. Dateng ke sana baik-baik aja, pulang pun selamat. Setuju?”“Terserah kamu aja lah.”Pergi ke Aceh bersama relawan, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bu Siti Marfu’ah pada awalnya. Namun, saat Rega mengatakan dia harus ke sana, karena mendampingi atasan, akhirnya mau tidak mau Bu Siti Marfu’ah melepaskan izin. Tetap saja Bu Siti Marfu’ah selalu memberikan mimik wajah khawatir berlebih, sebelum Rega benar-benar berangkat.“Berapa lama kamu di sana?” tanya sang ibu. “Engg

  • MEET AISHA IN 1998   Kabar Genting

    Aisyah.Nama itu terus terngiang-ngiang di batin Rega, saat semalam Bu Siti Marfu’ah menyebut lagi. Tidak ada pembicaraan panjang setelah itu, karena Rega langsung pergi ke masjid. Menghindar, iya. Akan tetapi, dia juga tak mau dituduh terus memupuk harapan tak pasti pada sosok bernama Aisyah selama bertahun-tahun.Rega tidak memungkiri, bahwa dia tidak melupakan Aisyah.Sosok Anchie Phey yang sudah mengikrarkan hatinya untuk menjadi muslimah. “Rega!” Pintu kamar setengah digedor dari luar. “Kamu tidur lagi abis Subuh, heh?”“Enggak, Bu.” Rega membuka pintu kamar, dan melihat sosok sang ibu sudah berdiri di depan sana. Salah satu tangannya menenteng rantang dari bahan stainless. “Ini Syafa bawain sarapan. Cepet, kita makan dulu.” Bu Siti Marfu’ah langsung meletakkan rantang ke atas meja. “Kamu ajakin Syafa masuk, biar kita makan sama-sama.”“Ibu aja lah. Rega mau keluar ini.”“Lho? Mau ke mana?”“Olah raga!”Karena tidak mau dipusingkan oleh masalah percintaan, Rega bergegas keluar

  • MEET AISHA IN 1998   Sosok pengganti Aisha

    Sebuah tepukan keras mendarat di bahu Rega, sehingga pemuda yang sedang mendengarkan musik dari pemutar MP3 itu tersentak kaget. Rega menoleh dan melihat sosok pemuda lain berambut plontos duduk di sampingnya.“Tapa terus,” komentar pemuda itu sembari terkekeh pelan.“Dengerin lagu,” balas Rega enteng.“Eh, dengerin tuh nasihat orangtua. Bukan lagu.”“Orangtua yang mana? Yang lo denger aja nasihat orangtua botolan.”“Anjir, setan!”Pemuda itu tergelak keras. Namanya Robby, satu almamater dengan Rega. Mereka sama-sama mengambil lanjutan advokasi, dan magang di kantor advokat yang sama. Robby dan Rega memiliki sifat yang bertolak belakang. Rega lebih cenderung diam, sedangkan Robby ke mana-mana antara membuat suasana heboh atau kacau. Akan tetapi, mereka selalu kompak. Bahkan orang-orang di kantor advokat, selalu menganggap keduanya “partner in crime”. Yang sebetulnya, Rega amit-amit dalam hati.“Makan dulu, lah. Biar otak lancar,” celetuk Robby.Dia memesan sepiring ketoprak di mana t

  • MEET AISHA IN 1998   Rasa sakit karena cinta

    Matahari sudah menggeliat bangun dari peraduan, dan sinarnya mulai memasuki celah jendela. Phey duduk dengan tenang di teras, menunggu Pak Yono memanaskan mobil, dan setelah itu mereka segera kembali ke ibukota.Kali ini Phey siap pergi tanpa rasa gundah, dia sudah benar-benar tenang.Bahkan merasakan bahagia.“Non Phey, itu kok gak diminum teh manisnya? Nanti keburu dingin,” tunjuk Bu Puji pada secangkir teh yang ia suguhkan di meja, dan belum disentuh sama sekali. Wajah perempuan itu tersembul dari balik pintu.“Mau kok, Bu. Ini tunggu nasinya turun, saya kekenyangan. Abis nasi goreng buatan Ibu enak banget, sampai nambah.”“Aduh, cuma nasi goreng, apa enaknya? Non Phey ini suka berlebihan aja, ah.”“Bu, sekarang nama saya jadi Aisyah. Jangan panggil Phey lagi.” Phey terkekeh pelan.Aisyah.Itu nama yang Phey pilih setelah mengikrarkan syahadat. Meski butuh waktu untuk membuat orangtuanya menerima pilihannya kelak, tetapi Phey sudah bertekad untuk mengubah identitas. “Oh iya, Non A

  • MEET AISHA IN 1998   Menjemput hidayah

    Phey masih berdiri mematung di depan rumah Bu Siti Marfu’ah, bingung karena rencana yang telah dibayangkan mendadak buyar. Kata tetangga Bu Siti Marfu’ah sedang pergi bersama ibu-ibu pengajian ke Banten, sejak pagi tadi. Lalu Rega ke kampus, dan entah pulang kapan. Bahkan menurut penuturan tetangga, Rega sering pulang larut malam.“Gimana, nih?” gumam Phey pelan sembari mengembuskan napas berat.Meski kecewa, akhirnya Phey putuskan kembali ke kediaman Pak Yono. Jika memang ia tidak bisa bertemu dengan Rega, maka memang itu yang harus ia terima dengan lapang dada. Namun, baru saja hendak melangkah, Phey melihat sebuah motor mendekat, dan suara derumannya ia kenali betul.Motor Rega!Laju motor melambat, dan berhenti di hadapan Phey. Wajah Rega tidak bisa berbohong, dia begitu terkejut melihat gadis pujaannya ada di sana. Bergegas Rega turun dari motor, membuka helm dan menghampiri Phey. Dia tidak berkata satu patah kata pun. Dalam hatinya, Rega ragu. Teringat akan permintaan Bu Siti M

  • MEET AISHA IN 1998   Berdiskusi dengan Ustaz

    Perbedaan keyakinan itu seperti dua sisi mata pedang. Jika tidak berhati-hati, maka salah satu akan tersakiti. Maka tidak sedikit yang memberi petuah bijak, baiknya tetap mencari sosok yang satu iman. Bahkan satu keyakinan pun, belum tentu memiliki visi dan misi yang beriringan. Apalagi jika berbeda?“Kita sendiri tahu, beda umur yang jauh bisa jadi gunjingan orang. Menikahi duda atau janda, bisa dicibir juga. Mau enggak mau, kita enggak bisa menutupi penilaian orang-orang, Rega,” ujar Pak Ustaz.“Ya, kan tinggal gak perlu digubris, Pak. Yang menjalani rumah tangga, justru yang mau menikah, kan?”“Terus kamu enggak hidup di dalam masyarakat memangnya?” Pak Ustaz terkekeh. “Harus siap mental, Rega. Karena kita ini hidup di budaya yang ragam, masyarakat plural juga.”Kembali Pak Ustaz menjelaskan pada Rega secara hati-hati. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa yang berbeda bisa menjadi satu. Tetap saja, ada yang dikorbankan. Karena masing-masing keyakinan percaya, bahwa agama yang seb

  • MEET AISHA IN 1998   Keputusan yang tidak adil

    Rasanya hidup enggan mati pun tak mau, itu yang dilihat oleh Pak Wang acap kali menatap sosok Phey keluar dari kamar. Gadis itu hanya menemui keluarganya di saat jam makan, selebihnya dia banyak mengurung diri. Berkali-kali Ibu Niu hendak menegur putrinya, tetapi Pak Wang dan Ibu Mey melarang. Yang ada, Phey takkan mungkin bisa menerima apa yang dikatakan oleh sang ibu, malah bisa berontak. Hanya saja, melihat sikap Phey yang berhari-hari seperti itu, hinggap rasa khawatir di batin Pak Wang. Mungkin sebaiknya ia bicara dari hati ke hati dengan Phey, apalagi sudah diberi waktu untuk menenangkan diri selama beberapa hari. Pak Wang pun melangkah ke kamar Phey, dan mengetuk pintu pelan-pelan.“Phey? Ini Papa.”Tidak ada jawaban.“Phey? Kamu lagi tidur?”Baru saja Pak Wang hendak mengetuk lalu kunci pintu terdengar berputar, gagangnya pun bergerak ke bawah. Tidak lama pintu terbuka, dan Pak Wang melihat sosok yang selama beberapa hari ini selalu murung. Yaitu wajah Phey dengan mata beng

  • MEET AISHA IN 1998   Perdebatan sengit

    Firasat Bu Siti Marfu’ah benar-benar tidak enak, terlebih melihat wajah masam Ibu Niu yang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Begitu mendengar penuturannya, orangtua Phey kelihatan syok. Namun, Ibu Mey buru-buru mengajak semua berembuk di dalam.Di ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang kecil itu, duduk Rega berdampingan dengan sang ibu. Phey diapit ibu juga adik ayah, sedangkan Pak Wang berada di antara kedua kubu.Rega menceritakan semua, mengenai kedekatannya dengan Phey tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dari kaca mata Ibu Mey, dia tahu bahwa Rega anak yang baik, dan kemungkinan Phey tertarik tentu saja itu bisa terjadi.“Jadi, Nak Rega bermaksud untuk melamar putri kami,” ucap Pak Wang. “Tapi, apa Nak Rega tahu bahwa Phey itu berbeda keyakinan? Karena kami sebagai keluarga, mohon maaf … tentu akan sulit untuk menyetujuinya.”“Tapi Papa kan tahu, kalau Phey pengin jadi muslimah. Phey udah bicara sama Papa tentang ini,” tegas Phey, dan tampak matanya memerah juga berkaca-kaca. “Ini hidu

  • MEET AISHA IN 1998   Tiba-tiba ngajak nikah

    “Pernikahan itu sesuatu yang sakral.”Ucapan Rega bukan bermaksud meredupkan harapan Phey, bukan pula menyepelekan apayang disampaikan gadis itu. Jika mengikuti kata hati, Rega akan meminang Phey hari itu juga.Hanya saja, mereka harus melihat realita.Kehidupan pernikahan itu begitu berliku, meski bisa saling bahu membahu. Namun, jikamereka memulai dengan langkah yang salah, Rega pun tidak mau. Tetap merekamembutuhkan yang namanya restu.Tidak ada jawaban dari Phey. Sudah jelas, ada kekecewaan mendera di hatinya.“Ada yang harus kita siapkan, sebelum memutuskan menikah, Aisyah. Mental palingpenting,” ujar Rega.“Kakak enggak mau kita nikah?”“Menikah sama kamu, itu seperti mimpi menjadi kenyataan.”“Terus kenapa sikap Kakak justru kayak yang nolak?”“Aisyah, dengar dulu ….”Rega menjelaskan bahwa jika mereka menikah, karena Phey ingin keluar dari lingkarankeluarganya bukan suatu solusi. Ketika dua insan saling menautkan janji, itu untukmenyatukan dua keluarga. Bukan untuk memis

DMCA.com Protection Status