“Regaaa … astagfirullahaladzim!”
Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.“Mau ke mana lagi?”“Kan Ibu udah tahu.”Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.“Eeeh!! Malah jawab!”Serbasalah, Rega memilih diam. “Kamu kan tahu, kejadian apa yang terjadi di ibukota kemaren? Ada penembakan, demo jadi kerusuhan. Tolonglah, Nak … jangan kamu ikut-ikutan lagi. Buat apa? Kalau kamu celaka gimana?” cerocos Bu Siti Marfu’ah. “Pikirin Ibu, kalau ada apa-apa sama kamu, nanti Ibu gimana?”“Rega bisa jaga diri, Bu.”“Bukan masalah jaga diri. Untuk apa kamu turun ke jalan? Berguna memang buat kamu? Buat keluarga?”“Bu, mereka yang gugur itu harus diteruskan perjuangannya. Enggak dibiarin begitu aja.” Rega mendesah pelan. “Rekan-rekan pemuda, yang bersuara demi rakyat, terus kita abai gitu?”Sebetulnya Bu Siti Marfu’ah enggan berdebat dengan Rega, terlebih perihal semacam ini. Bukannya Rega anak pembangkang, tetapi dia selalu memiliki argumen. Sang ibu menyadari, bahwa argumen Rega tidak bisa terpatahkan, karena memang benar. Hanya saja Bu Siti Mar’fuah berharap Rega lebih memikirkan masa depan ‘diri sendiri’.“Hidup jangan dibuat pusing, Rega. Cukup punya tempat tinggal, makan, kerja yang nyaman, jangan cari masalah. Urusan begitu, bukan urusan kita.”Lalu urusan siapa lagi? Batin Rega.“Kita cuma rakyat kecil. Enggak usah ikut-ikutan apa yang dilakuin orang-orang gede di sana,” keluh Bu Siti Marfu’ah. “Orang-orang kayak kita, asal hidup tenang udah syukur.”“Cita-cita Ibu, enggak akan bisa terwujud, kalau negara kacau balau,” ucap Rega. “Terus tanggung jawab negara, kelak ada di bahu para generasi muda, Bu. Kalau enggak dicegah dari sekarang, gak bakal ada negara yang nyaman buat penerus nanti.”“Pikiran kamu kejauhan,” komentar sang ibu.Rega paham, ibunya memiliki pola pemikiran yang sederhana. Namun, sebagai seorang pemuda yang cukup prihatin dengan kondisi negara sekarang, wajar jika hati Rega tergugah untuk ikut mengaspirasikan suara. Selama ini, banyak suara dibungkam. Apa hal itu harus terus berlangsung? Selamanya? Tidak bisa. “Bu, kalau negara ini banyak yang korupsi, kolusi sama nepotisme, mau jadi negara apa?” “Orang-orang itu nanti ketulah perbuatannya sendiri.”“Iya, tapi kan, kalau dibiarkan? Bisa bikin negara kita keropos, toh mental-mental orangnya bobrok.”“Kamu pikir dengan demo itu bisa mengubah negara?”“Kalau semua rakyat yang bersuara, Bu. Kenapa enggak?”Rega lalu beranjak berdiri, dan menyodorkan tangan pada Bu Siti Marfu’ah. Namun, sang ibu malah melipat tangan. Membuang muka, dengan cemberut. Menunjukkan kekesalannya.“Bu, Rega mau berangkat. Rega minta restu Ibu, tolong doain Rega, supaya bisa pulang selamat.”Rega itu keras kepala, Bu Siti Marfu’ah sudah tahu watak putranya. Anak lelaki satu-satunya yang memiliki prinsip kuat. Juga jiwa patriotik yang tinggi. Dibandingkan dengan pemuda seusia, yang lebih suka berkumpul-kumpul atau bermain, Rega sangat aktif di kampus. Dia juga suka membaca buku berbagai bidang ilmu, sosok pemerhati dan kritis.Bu Siti Marfu’ah bangga, sekaligus takut. Kekhawatiran Bu Siti Marfu’ah cukup berdasar, jika Rega terlalu vokal, itu bukan sesuatu yang baik bagi masa depannya. Tidak sedikit ada kabar berita, orang-orang yang bersuara lantang, lantas lenyap. Entah ke mana rimbanya.Namun, Bu Siti Marfu’ah takkan mungkin bisa meluluhkan hati putranya untuk hal yang satu ini. Dengan berat hati, Bu Siti Marfu’ah meraih uluran tangan Rega. “Hati-hati,” ucap Bu Siti Marfu’ah pelan.“Rega berangkat, ya Bu?”Bu Siti Marfu’ah mengangguk. “Jangan ngebut-ngebut kamu, Ga.”“Iya, Bu. Enggak.”Rega segera melangkah ke halaman lalu naik ke atas motor. Tak butuh waktu lama, pemuda itu sudah mengendarai motornya keluar dari rumah. Bu Siti Marfu’ah masih berdiri di teras, menatap cemas ke arah sosok sang anak yang kini sudah menghilang di belokan jalan.Dalam hatinya Bu Siti Marfu’ah berkata, “Ya Allah, ini mungkin permintaan seorang Ibu yang terlalu sayang pada anaknya. Tapi, kalau bisa … jangan sampai Rega ikut demo. Biar dia pulang aja. Mau ban motornya bocor, selama dia selamat, semoga dia batal ikut demo.”*Rega mengendarai motornya agak terburu-buru, dia melirik pada jam tangan waktu menunjukkan pukul enam. Pukul tujuh dengan sedikit ngebut ia bisa tiba di Jakarta. Namun, tidak jauh dari hadapan Rega ada seorang pria paruh baya yang melambai-lambaikan tangan. Pemuda itu pun menghentikan kendaraan, lalu turun.“Assalamualaikum, Pak Ustaz,” sapa Rega dia langsung mencium tangan sosok yang dihormatinya itu.“Waalaikumsalam.” Pak Ustaz menatap Rega keheranan. “Mau ke mana pagi-pagi begini? Ke kampus? Nyubuh amat.”Rega tersenyum kikuk. “Iya, Pak.”“Ada ujian?” Rega langsung menggaruk-garuk belakang lehernya. “Enggak ada sih, Pak.”Pak Ustaz paham, lalu mengangguk diplomatis sembari bertanya, “Mau ke gedung DPR?”Mana mungkin Rega mengelak. Lagipula untuk apa berbohong, jika niat Rega untuk menegakkan kebenaran? Akhirnya ia mengangguk dengan mantap. “Iya, Pak. Mau berangkat ke sana,” jawabnya.Hening sesaat di antara keduanya.“Bapak enggak akan melarang. Kalau menurut kamu itu baik, dan kamu berjuang untuk suara rakyat,” ucap Pak Ustaz.“Terima kasih, Pak.”Hati Rega lega seketika. Dia mengira sikap Pak Ustaz tidak akan berbeda dengan sang ibu, tetapi rupanya guru mengaji Rega sejak kecil itu lebih mengerti. Situasi yang tidak terkendali sekarang, mungkin saja bisa membaik setelah pemerintah benar-benar mendengarkan apa yang diinginkan oleh rakyat. Itu salah satu hal yang ingin diperjuangkan oleh Rega.“Sangat disayangkan dengan insiden beberapa hari lalu. Bapak juga benar-benar kaget dengernya. Masya Allah, sekarang keadaan jadi enggak terkendali,” ujar Pak Ustaz.“Itu sudah jelas siapa yang salah, Pak. Karena itu, saya ke sana pun mau memperjuangkan keadilan untuk rekan-rekan yang gugur,” tegas Rega.“Tenang, kamu jangan bertindak gegabah. Semua masih dalam penyelidikan, terlepas siapa yang salah atau benar.” Pak Ustaz berusaha untuk bersikap netral. “Akibatnya yang juga harus kita pikirkan, orang-orang menjadi lupa, dan lalai. Kamu harus ingat tujuan kamu itu apa.”“Iya, Pak. Saya paham.”“Kamu harus jaga diri baik-baik. Usahakan jangan terbawa sama emosi, Rega. Tetapi pakai akal sehat, ya?” nasihat Pak Ustaz.“Baik, Pak. Saya pasti inget sama pesan, Bapak.”“Jangan berhenti berzikir.”“Iya, Pak Ustaz.”“Ya sudah, hati-hati di jalan. Assalamualaikum,” tukas Pak Ustaz.“Waalaikumsalam.”Rega masih berdiri mematung sembari menunggu sosok Pak Ustaz melangkah lebih jauh. Ketika ia hendak naik ke atas motor, perhatian pemuda itu teralih ke arah depan rumah Pak Yono. Ada sosok asing yang tak pernah ia temui sama sekali.Seorang wanita berpakaian yang tertutup dari ujung kepala hingga kaki, hanya menunjukkan bagian mata saja. Tampak sibuk menyapu dedaunan dan mengumpulkan di satu tumpukan dekat ujung pagar. “Siapa tuh?” gumam Rega tak sadar dengan ucapannya sendiri.Setahu Rega, anak-anak Pak Yono masih kecil. Keluarga mereka juga jarang ada tamu atau kerabat. Tiba-tiba ada wanita lain, dengan pakaian yang sebetulnya agak mencolok karena serba tertutup begitu, justru membuat Rega menjadi penasaran.Tiba-tiba terdengar suara derakan yang cukup keras, Rega otomatis mendongakkan kepala ke atas dan melihat pelepah daun kelapa yang hampir jatuh. Entah wanita itu sadar atau tidak, tetapi pelepah daun itu berada di atas kepalanya. Suara derakan terdengar lagi. Tanpa banyak pikir, Rega langsung berlari ke arah wanita itu. Ia berteriak keras, “Awas!!!”Tubuh sang wanita berada dalam rengkuhan Rega, dan keduanya langsung jatuh ke permukaan tanah. Daun pelepah kelapa jatuh bersamaan, pada sebelah kaki Rega. “Aduh,” erang Rega.Pemuda itu tersentak kaget, karena tengah memeluk seorang wanita yang memejamkan mata. Entah kenapa, meski pakaiannya serba tertutup, wanita itu membuat gelenyar rasa yang berbeda di batin Rega.Wanita itu adalah Phey, yang tengah menyapu dan tidak sadar ada bahaya jika Rega tak menolong. Mata Phey pun terbuka.Mata yang cantik, begitu kesan yang Rega rasakan. Mata yang tiba-tiba saja membius dan membuat pemuda itu terpaku.“Kamu enggak apa-apa?” tanya Rega, ketika tersadar.Phey bertindak impulsif, langsung mendorong tubuh laki-laki yang tengah memeluknya dengan sekali sentak yang sangat kuat. “Aduh, duh, duh ….,” erang Rega lagi.Tubuh Phey gemetar, dia benar-benar ketakutan. “TOLOOONG!!!” jeritnya.“Eh, kenapa? Hei, hei!” Rega kebingungan sendiri.Padahal Rega hanya menolong Phey, tidak berbuat yang macam-macam atau mengganggu. Namun, reaksi dari Phey justru seolah-olah Rega tengah menyakitinya.“Saya enggak apa-apain kamu!” seru Rega panik.“TOLOOONGG!!”Teriakan Aisha di pagi itu membuat heboh seketika. Pak Yono berlari tergopoh-gopoh keluar dari rumah, begitu juga tetangga yang lain. Hal itu membuat Rega benar-benar syok sekaligus malu. “Rega?” Pak Yono sendiri terkejut melihat Rega terkapar di jalan dan Phey duduk tak jauh dari pemuda itu.“Pak, saya bersumpah. Saya enggak ngapa-ngapain! Saya kejatuhan pelepah kelapa!” seru Rega berusaha membela diri.Phey yang tidak berbicara sepatah kata pun, langsung beranjak berdiri dan berlari ke dalam rumah. Sedangkan Pak Yono membantu Rega untuk berdiri. Tetangga yang lain hanya menonton, bingung dengan apa yang terjadi.“Kenapa, Ga? Kamu gak apa-apa?” tanya tetangga depan rumah Pak Yono penasaran.Rega menggeleng cepat. “Kejatuhan pelepah kelapa.”Sang tetangga hanya menatap prihatin. “Hati-hati makanya kalau naik motor, jangan meleng.”Rega mengeluh dalam hati. Belum juga naik motor, kok tiba-tiba urusannya sama mengendarai motor. Justru Rega berusaha menolong wanita yang tinggal di rumah
Rasanya Rega memiliki bodyguard baru karena sang ibu sudah berdiri di teras sembari berkacak pinggang, ditambah dengan mata melotot yang cukup intimidatif. Pemuda itu hanya memberi senyum tidak berdosa.“MAU KE MANA LAGI? DEMO?” Suara Bu Siti Marfu’ah sudah naik beberapa desibel.“Mau jalan-jalan aja. Biar kakinya enggak kerasa sakit.”“Ampuuun … punya anak kok begini amat, ya Allah!” Bu Siti Marfu’ah menepak dahinya sendiri. Kesal.“Masa jalan-jalan enggak boleh?” “Kan kamu lagi sakit kaki. Mau maksa jalan-jalan?” keluh sang ibu. “Rega, kamu itu kenapa, sih? Enggak punya pikiran sama sekali.”“Rega bosen di rumah, Bu.”Bu Siti Marfu’ah melihat penampilan Rega. Memakai kaus yang dipadu padankan dengan kemeja kotak-kotak, celana denim panjang, memang setelan ke kampus. Tetapi, dia tidak membawa tas atau alat tempur. Mungkin Rega berkata jujur, begitu pikir sang ibu.“Pakai sendal atau sepatu?” selidik Bu Siti Marfu’ah.“Penting, ya Bu?”“Oh, penting. Kalau pakai sendal, berarti bener.
Mungkin keputusan Phey mengiyakan permintaan Rega tempo hari lalu, membawa suasana baru bagi gadis itu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Yono, Rega pemuda baik dan tidak macam-macam. Lagipula, Rega kelihatan cerdas, dan mampu mengimbangi pola pikir Phey yang banyak ingin tahu tentang berbagai macam dalam sudut pandang ilmu.Selama beberapa hari, Rega rutin datang. Hari itu pun ia bertandang kembali ke rumah Pak Yono, membawa buku-buku yang sama sekali tak pernah Phey baca sebelumnya. Ada beberapa buku yang bagus, tetapi entah kenapa Phey menyukai buku-buku bacaan anak, tentang kisah nabi. Tadinya buku itu dibawa Rega untuk bacaan anak-anaknya Pak Yono, tetapi justru Phey yang begitu tertarik. Di sana ada gambar ilustrasi, hanya saja sosok nabi hanya dituliskan dengan huruf arab dan pendaran cahaya. Itu membuat Phey penasaran.“Kenapa ya, gambar nabinya enggak ada?” tanya Phey sembari melihat lekat-lekat pada buku bacaan anak di tangannya.Rega tercenung sesaat. Sebetulnya di
Hampir menjelang senja, tetapi seluruh lampu di rumah itu sengaja dipadamkan, kecuali di teras belakang. Di sana ada satu sosok sedang duduk dalam diam, sedangkan yang lain tampak tergesa keluar masuk dari pintu penghubung dua area—interior, ekterior. Semua memiliki mimik wajah yang serupa: cemas dan muram.Wanita paruh baya yang duduk termenung itu, bernama Ibu Niu. Dia menangkupkan kedua tangan lalu memejamkan mata. Ia menangis tertahan, untuk ke sekian kalinya. Dari ambang pintu gadis berambut lurus hitam dikuncir kuda, menyadari apa yang terjadi pada sang ibu. Bergegas ia duduk, dan memeluk erat.“Ma, jangan nangis lagi,” bisik sang gadis dengan suara parau. Annchi Phey, si gadis, wajahnya pun tampak bengkak dengan mata sembab. Ia berusaha untuk tetap kuat, tetapi melihat sang ibu menumpahkan lagi air mata, Phey akan kembali ikut jatuh terpuruk. Hari itu, semua berubah. Kehidupan mereka yang damai, baik-baik saja, tidak ada konflik berarti, tiba-tiba dalam satu jentikan jari, ru
Mobil dinyalakan, lalu tidak lama kemudian meluncur dari kediaman keluarga kecil tersebut. Phey hanya bisa merasakan getaran mobil, mendengar suara-suara ramai dari luar kendaraan. Gadis itu menangis dalam sunyi. Batinnya menjerit, Tuhan, kenapa jadi begini?*Telunjuk Pak Yono menekan tombol ‘off’ tape mobil. Berita di radio justru membuat suasana jauh lebih mencekam. Sehingga dia membiarkan atmosfer di dalam mobil, benar-benar senyap. Namun, di luar mobil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Jakarta yang biasanya masih cukup padat oleh kendaraan bermotor, apalagi pada jam-jam pulang kantor, sekarang nyaris sepi. Ada satu dua mobil berpapasan, itu pun memicu kecepatan tinggi. Orang-orang turun ke jalanan, berjalan beramai-ramai. Ada dalam kelompok kecil, kelompok besar, di mana Pak Yono berusaha untuk hindari.Di beberapa titik, bangunan-bangunan terbakar dan tidak ada yang memadamkan api. Mobil, motor tidak luput dari sasaran pembakaran. Pak Yono bisa mendengar gemeretak s
Mobil berhenti, dan Phey pun sontak terbangun dari tidur sesaat. Tubuhnya terasa sakit, karena dia berbaring di lantai mobil, bahkan tak berani bergerak sedikit pun. Pintu penumpang belakang mobil terbuka, lalu Pak Yono menyingkap terpal yang menutupi tubuh Phey.“Non, kita sudah sampai,” ucap Pak Yono dengan suara pelan.Phey tidak menjawab. Hanya mengeluh lirih, lalu setengah merangkak keluar dari dalam mobil. Ia dipapah oleh Pak Yono, melewati halaman yang gelap dan cukup luas. Suasana di sekitar nyaris senyap. Mata Phey mengitari sekeliling, menatap pada bangunan satu lantai yang sederhana dihadapannya.“Rumah siapa ini, Pak Yono?” tanya Phey.“Rumah saya, Non.”Tangerang. Nama itu terlintas begitu saja di benak Phey. Keluarga Pak Yono tinggal di sana, sedangkan Pak Yono sendiri pulang satu minggu sekali. Phey diasingkan ke Tangerang, bukan karena keinginan, melainkan paksaan. Perasaan sedih mendera Phey, bagaimana orangtuanya? Bagaimana mereka bisa bertahan di Jakarta? Kenapa me
Mendengar pertanyaan Phey, Pak Yono tersentak kaget, begitu juga dengan istrinya yang sedang menata hidangan di meja makan. Pak Yono tidak bisa menahan lagi, akhirnya derai tawa laki-laki itu terdengar di seantero ruangan.“Ya Allah, Non Phey,” ucap Pak Yono masih berusaha untuk mengendalikan tawa.“Siapa, Pak? Pasti Bu Hamidah, ya?” tanya sang istri.Pak Yono mengangguk. “Iya, Bu Hamidah.”Bu Puji menghampiri Phey, lalu mempersilakan gadis itu untuk makan. Belum ada jawaban maupun penjelasan dari Pak Yono maupun istrinya, sehingga Phey menurut, dan duduk di meja makan. Dia masih menatap bergantian pada Pak Yono juga istrinya.“Ini supaya Non Phey paham, ya? Ibu Hamidah itu enggak sakit, dia sehat walafiat,” kata Pak Yono.“Tapi kenapa bajunya seperti itu? Memang supaya apa bajunya tertutup semua?” tanya Phey. Dia menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut, lalu bergegas mengunyah dan menelan cepat-cepat. “Enggak kepanasan apa, ya? Kan gerah kalau pakai baju hitam mana tertutup semua.”“
Kedua lengan Phey bersandar pada kusen jendela, dan matanya menatap ke area sekitar rumah Pak Yono. Rasa bosan menerjang, selama seharian penuh Phey hanya tinggal di dalam rumah. Dia tidak boleh membantu di dapur oleh istri Pak Yono. Otomatis, tidak ada kegiatan apa pun yang dapat Phey lakukan. Tetap saja, pada akhirnya dia lagi-lagi hanya tinggal di kamar.Sebentar lagi hari akan berganti, tampak matahari sudah memerah di ufuk barat. Lalu Phey mendengar sayup suara celoteh, yang makin mendekat. Rupanya rombongan anak-anak yang baru pulang mengaji. Phey memperhatikan dengan saksama, mereka tampak senang. Bahagia, tanpa beban. Memang, anak-anak tidak tahu menahu dengan masalah apa yang terjadi. Namun, Phey melihat bahwa dia ingin berada di tempat yang nyaman, seaman anak-anak itu yang tak memiliki kekhawatiran lebih. Phey bergegas keluar dari kamar, ia melihat Pak Yono dan istrinya sedang duduk di ruang tengah sembari berbincang pelan. Melihat Phey, keduanya langsung berhenti mengobr