Home / Romansa / MEET AISHA IN 1998 / Wanita Berpakaian Aneh

Share

Wanita Berpakaian Aneh

Author: Brata Yudha
last update Last Updated: 2023-07-10 16:13:13

Mobil berhenti, dan Phey pun sontak terbangun dari tidur sesaat. Tubuhnya terasa sakit, karena dia berbaring di lantai mobil, bahkan tak berani bergerak sedikit pun. Pintu penumpang belakang mobil terbuka, lalu Pak Yono menyingkap terpal yang menutupi tubuh Phey.

“Non, kita sudah sampai,” ucap Pak Yono dengan suara pelan.

Phey tidak menjawab. Hanya mengeluh lirih, lalu setengah merangkak keluar dari dalam mobil. Ia dipapah oleh Pak Yono, melewati halaman yang gelap dan cukup luas. Suasana di sekitar nyaris senyap. Mata Phey mengitari sekeliling, menatap pada bangunan satu lantai yang sederhana dihadapannya.

“Rumah siapa ini, Pak Yono?” tanya Phey.

“Rumah saya, Non.”

Tangerang. Nama itu terlintas begitu saja di benak Phey. Keluarga Pak Yono tinggal di sana, sedangkan Pak Yono sendiri pulang satu minggu sekali. Phey diasingkan ke Tangerang, bukan karena keinginan, melainkan paksaan. 

Perasaan sedih mendera Phey, bagaimana orangtuanya? Bagaimana mereka bisa bertahan di Jakarta? Kenapa mereka tidak membiarkan Phey tetap tinggal, setidaknya susah senang mereka bisa hadapi bersama-sama.

“Assalamualaikum,” salam Pak Yono sembari mengetuk pintu.

Selang beberapa menit, terdengar slot dan anak kunci diputar. Pintu terbuka, lalu wajah seorang wanita memakai mukena muncul di ambang pintu. Wanita itu langsung memeluk Pak Yono, dan menangis terisak-isak.

“Bapak! Ya Allah! Ibu khawatir sekali! Bapak enggak apa-apa?” cerocos wanita itu.

“Bapak ucapkan salam kok enggak dijawab?” Ada senyum ditunjukkan Pak Yono.

“Waalaikumsalam.” Wanita itu menyeka air matanya.

“Ada tamu, Bu,” kata Pak Yono dengan suara lirih.

Phey yang berada di balik punggung Pak Yono bergeser, lalu mengangguk sopan tampak malu-malu. Istri Pak Yono—Bu Puji—terkesiap, dia langsung menghampiri Phey dan menangis tertunduk. Tidak berani menyentuh putri majikannya, tetapi dia merasakan betul rasa pahit yang terjadi pada keluarga Phey.

“Alhamdulillah, Non Phey baik-baik saja. Saya minta maaf, enggak bisa bantu apa-apa,” ucap Bu Puji sembari menangis sesenggukan.

“Jangan bilang begitu, ini bukan salahnya Ibu,” kata Phey merasa terharu. Namun, sekaligus merasa geram, karena justru orang-orang yang tak bertanggung jawab, begitu saja menghancurkan hidup manusia lain.

“Masuk, Non. Nanti disiapkan kamar, tetapi ya seperti ini kondisi rumah saya,” ajak Pak Yono.

Phey melihat interior rumah Pak Yono untuk kali pertama. Sebuah rumah kecil nan sederhana. Ruang tamu dan ruang tengah menjadi satu, ada dua kamar di sisi kiri tanpa daun pintu hanya ditutupi oleh tirai. Sedangkan di kanan, menuju dapur.

Tiga puluh menit ke depan, Phey mengobrol serius dengan Pak Yono, mengenai situasi apa yang tengah terjadi. Kerusuhan itu kini terjadi di mana-mana, dan Jakarta terkena imbas terparah. Banyak yang disakiti, entah korban meninggal akibat kerusuhan, Pak Yono tidak tahu. 

Yang jelas, ayah Phey sudah memberikan mandat pada Pak Yono, agar gadis itu tetap tinggal di kediaman sang supir hingga waktu yang belum ditentukan. 

Jika situasi masih belum terkendali, orangtua Phey mengusahakan agar mereka bisa aman tinggal di luar negeri. Karena itu, kedua orangtua Phey tetap tinggal di Jakarta mengurus surat-surat, dan paspor agar mereka bisa segera pergi dari ibukota.

“Jadi, saya harap Non Phey enggak keberatan tinggal di sini sementara,” pungkas Pak Yono setelah memberikan penjelasan secara detail dan pelan-pelan pada putri majikannya. 

Phey menyesap teh hangat dari cangkir, dan hanya mengangguk lemah. “Ya, mau bagaimana lagi, Pak Yono? Mana mungkin saya minta kembali ke Jakarta, kan?”

Sepanjang perjalanan sebelum terlelap, Phey bisa mendengar banyak suara teriakan di beberapa wilayah. Mobil sempat dicegat, tetapi diperbolehkan melewat, karena yang tampak di dalam mobil hanya sosok Pak Yono. 

Awalnya, Phey masih dalam penyangkalan. Bahwa semua yang terjadi hanya mimpi. Namun, ketika disodorkan kenyataan seperti apa suasana di luar, Phey benar-benar kalut dan takut.

“Saya jamin keselamatan Non Phey. Non akan baik-baik saja di sini,” ucap Pak Yono.

“Terima kasih, saya jadi merepotkan Bapak dan keluarga.”

Istri Pak Yono membuka tirai dari dalam kamar, lalu mengangguk sekali pada Phey. 

“Istirahat dulu, Non. Sekarang sudah larut malam, kamarnya sudah saya siapkan,” kata perempuan berumur tiga puluhan itu.

Phey hanya mengiyakan, lalu beranjak dari duduk. Dia masuk ke dalam kamar, dan dari belakang tirai kamar ditutup. Gadis itu termangu sesaat. Kamarnya sangat kecil, dengan ranjang terbuat dari kayu, ada lemari pakaian yang bersebelahan dengan jendela dua bingkai. 

Kasur kapuk yang keras, terasa ketika Phey menduduki tepi tempat tidur. Baru kali itu dia bisa benar-benar meluapkan emosinya. Phey-phey menangis tersedu-sedu. Meski begitu, baik Pak Yono ataupun istrinya sama sekali tidak berani masuk ke dalam kamar.

Membiarkan Phey melepaskan rasa sakit dan pedih di dalam hatinya.

*

Bau asap itu mulai terbiasa di penciuman Phey. Selama dua hari tinggal di rumah Pak Yono, bau asap dari kompor minyak tanah dimulai setelah azan Subuh, lalu menjelang Dzuhur, dan terakhir di waktu antara Ashar – Magrib. Bak penunjuk waktu bagi Phey, karena di kamar tidak ada jam dinding sama sekali. 

Dalam kurun waktu dua hari itu juga, Phey enggan keluar dari kamar. Dia hanya menerima hidangan yang disiapkan di dalam nampan. Pagi dia bisa mendengar celoteh anak-anak Pak Yono dari luar kamar. Siang biasanya agak senyap. Sore terdengar lagi cengkrama keluarga kecil Pak Yono. 

Semua Phey dengarkan dengan baik. Namun, tidak ada kabar berita apa pun dari Jakarta. Sepertinya Pak Yono sengaja mematikan teve tabung di tengah rumah, bahkan suara radio pun tak ada sama sekali. Yang Phey lakukan selama di kamar lebih banyak menangis, lalu tertidur karena batinnya masih lelah.

Namun pagi itu, Phey memutuskan untuk menyingkap tirai kamar. Mengaitkan pada paku di dinding samping ambang pintu. Dia pergi ke dapur, merasakan bau asap semakin menyengat. Di sana sosok istri Pak Yono sedang sibuk memasak untuk sarapan.

“Selamat pagi, Bu,” sapa Phey.

“Astagfirullahaladzim!” pekik Bu Puji dan tubuhnya tersentak kaget. Bergegas wanita itu melirik ke belakang. “Non Phey, kirain siapa.”

“Maaf, bikin Ibu kaget, ya?”

“Enggak apa-apa. Bentar ya, Non. Ini sarapannya sebentar lagi selesai, nanti saya antar ke kamar.”

“Jangan, Bu. Saya mau makan bareng-bareng aja.” Phey pun menunjukkan handuk yang tersampir di bahu. “Tetapi, saya mau mandi dulu. Udah dua hari lho, saya belum mandi.”

Suara tawa renyah Bu Puji terdengar, dan itu membuat Phey merasa lebih tenang. Entah kenapa, tinggal di rumah sang supir, justru membuat Phey merasa jauh lebih baik. 

“Enggak apa-apa, Non. Ibu setiap hari bau asap dari kompor. Jadi harus mandi, pagi dan sore,” celetuk wanita itu.

“Kenapa enggak pakai kompor gas, Bu?” tanya Phey.

Bu Puji menoleh sekilas. “Enggak ngerti, Non. Dari dulu juga pakai ini. Makanya, agak was-was katanya dollar naik, bensin juga naik. Terus gimana minyak tanah? Haduh, bikin bingung.”

“Mudah-mudahan, enggak ya, Bu?” kata Phey.

“Ya, Non. Mudah-mudahan.”

Itulah penyebab rentetan kejadian mengerikan terjadi. Akibat krisis finansial di Asia, disebut-sebut moneter. Menyebabkan nilai mata uang jatuh drastis, bahkan harga bahan bakar melambung tinggi. Phey tidak paham, itu sebagian kecil yang sempat dijelaskan sang ayah saat mereka di rumah beberapa waktu hari yang lalu. Namun, yang jelas itu memicu kemarahan banyak orang.

Amarah ini yang akhirnya menjadi efek domino. Ketika satu dijatuhkan, maka ambruk semua. Hancur dan tak bersisa.

Lalu rumah? Apakah masih kokoh berdiri? Atau sudah menjadi abu bercampur debu? Phey berusaha menepis kemungkinan-kemungkinan buruk, karena sudah pasti memang kenyataannya begitu.

“Saya permisi ikut ke kamar mandi, Bu,” pungkas Phey.

Akhirnya Phey bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah beres mandi, Phey masih duduk termenung di tepi tempat tidur. Matanya menoleh ke arah jendela yang tidak ia buka selama di kamar itu. Pikirnya, ia butuh udara segar. 

Suara keriut terdengar ketika Phey membuka jendela. Matanya melihat ke arah halaman rumah Pak Yono, yang cukup luas. Ada tanaman dua pohon kelapa di samping kanan rumah, batas rumah yang hanya merupakan pagar bambu. Lalu beberapa tanaman singkong yang baru ditanam di bagian depan halaman. Sisanya, hanya tanah sedikit gersang.

Tampak sosok Pak Yono yang baru datang entah dari mana, lalu dari lawan arah sebuah motor datang dan mulai melambat. Motor itu ketika berhadapan dengan Pak Yono. Dikemudikan oleh seorang laki-laki yang berboncengan dengan seorang wanita.

Sosok sang hawa yang duduk dibonceng mengalihkan perhatian Phey. Pakaiannya tampak begitu ganjil sekaligus menarik di mata gadis itu Memakai pakaian serbahitam yang menutupi ujung kepala hingga kaki. Bahkan, menutupi wajahnya, hingga yang tampak hanya kedua mata saja.

Kenapa berpakaian seperti itu? Apa alasannya? Batin Phey.

Selang beberapa saat, Phey terus memperhatikan dengan saksama selama Pak Yono sedang bercengkrama dengan laki-laki yang mengendarai motor tersebut. Lalu sang laki-laki pamit, dan kembali mengemudikan motornya. 

Bergegas Phey keluar dari kamar, dia langsung menemui Pak Yono yang baru saja masuk ke dalam rumah. 

“Pak Yono,” panggil Phey tampak wajahnya memunjukkan mimik penasaran.

“Eh, Non Phey. Kenapa, Non?” 

“Perempuan itu tadi, kenapa pakaiannya seperti itu?”

Pak Yono tampak bingung dengan apa yang dimaksud Phey-Phey.

“Kenapa dia pakai pakaian serba tertutup begitu. Apa dia kena penyakit menular?”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
welcome banget ya ini keluarga pak yono bu puji sampai nangis terharu saat tau keluarga majikannya tertimpa musibah. wah phey mulai kepo dah ini sama perempuan itu gak udah kaget phey dia mungkin pake baju muslimah dan cadar bukan karena ketularan penyakiat
goodnovel comment avatar
Qianas Shopp
tenang ya phey di rumah Pak Yono kamu pasti Aman jauh dari kerusuhan itu. moga orangtua kamu juga baik2 disna
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • MEET AISHA IN 1998   Sebuah Ide

    Mendengar pertanyaan Phey, Pak Yono tersentak kaget, begitu juga dengan istrinya yang sedang menata hidangan di meja makan. Pak Yono tidak bisa menahan lagi, akhirnya derai tawa laki-laki itu terdengar di seantero ruangan.“Ya Allah, Non Phey,” ucap Pak Yono masih berusaha untuk mengendalikan tawa.“Siapa, Pak? Pasti Bu Hamidah, ya?” tanya sang istri.Pak Yono mengangguk. “Iya, Bu Hamidah.”Bu Puji menghampiri Phey, lalu mempersilakan gadis itu untuk makan. Belum ada jawaban maupun penjelasan dari Pak Yono maupun istrinya, sehingga Phey menurut, dan duduk di meja makan. Dia masih menatap bergantian pada Pak Yono juga istrinya.“Ini supaya Non Phey paham, ya? Ibu Hamidah itu enggak sakit, dia sehat walafiat,” kata Pak Yono.“Tapi kenapa bajunya seperti itu? Memang supaya apa bajunya tertutup semua?” tanya Phey. Dia menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut, lalu bergegas mengunyah dan menelan cepat-cepat. “Enggak kepanasan apa, ya? Kan gerah kalau pakai baju hitam mana tertutup semua.”“

    Last Updated : 2023-07-10
  • MEET AISHA IN 1998   Merasa Lebih Cantik

    Kedua lengan Phey bersandar pada kusen jendela, dan matanya menatap ke area sekitar rumah Pak Yono. Rasa bosan menerjang, selama seharian penuh Phey hanya tinggal di dalam rumah. Dia tidak boleh membantu di dapur oleh istri Pak Yono. Otomatis, tidak ada kegiatan apa pun yang dapat Phey lakukan. Tetap saja, pada akhirnya dia lagi-lagi hanya tinggal di kamar.Sebentar lagi hari akan berganti, tampak matahari sudah memerah di ufuk barat. Lalu Phey mendengar sayup suara celoteh, yang makin mendekat. Rupanya rombongan anak-anak yang baru pulang mengaji. Phey memperhatikan dengan saksama, mereka tampak senang. Bahagia, tanpa beban. Memang, anak-anak tidak tahu menahu dengan masalah apa yang terjadi. Namun, Phey melihat bahwa dia ingin berada di tempat yang nyaman, seaman anak-anak itu yang tak memiliki kekhawatiran lebih. Phey bergegas keluar dari kamar, ia melihat Pak Yono dan istrinya sedang duduk di ruang tengah sembari berbincang pelan. Melihat Phey, keduanya langsung berhenti mengobr

    Last Updated : 2023-07-10
  • MEET AISHA IN 1998   Sebuah Gelenyar Rasa

    “Regaaa … astagfirullahaladzim!”Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.“Mau ke mana lagi?”“Kan Ibu udah tahu.”Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.“Eeeh!! Malah jawab!”Serbasalah, Rega memili

    Last Updated : 2023-07-10
  • MEET AISHA IN 1998   Namanya Aisha

    Teriakan Aisha di pagi itu membuat heboh seketika. Pak Yono berlari tergopoh-gopoh keluar dari rumah, begitu juga tetangga yang lain. Hal itu membuat Rega benar-benar syok sekaligus malu. “Rega?” Pak Yono sendiri terkejut melihat Rega terkapar di jalan dan Phey duduk tak jauh dari pemuda itu.“Pak, saya bersumpah. Saya enggak ngapa-ngapain! Saya kejatuhan pelepah kelapa!” seru Rega berusaha membela diri.Phey yang tidak berbicara sepatah kata pun, langsung beranjak berdiri dan berlari ke dalam rumah. Sedangkan Pak Yono membantu Rega untuk berdiri. Tetangga yang lain hanya menonton, bingung dengan apa yang terjadi.“Kenapa, Ga? Kamu gak apa-apa?” tanya tetangga depan rumah Pak Yono penasaran.Rega menggeleng cepat. “Kejatuhan pelepah kelapa.”Sang tetangga hanya menatap prihatin. “Hati-hati makanya kalau naik motor, jangan meleng.”Rega mengeluh dalam hati. Belum juga naik motor, kok tiba-tiba urusannya sama mengendarai motor. Justru Rega berusaha menolong wanita yang tinggal di rumah

    Last Updated : 2023-07-13
  • MEET AISHA IN 1998   Gayung Bersambut atau Keberuntungan?

    Rasanya Rega memiliki bodyguard baru karena sang ibu sudah berdiri di teras sembari berkacak pinggang, ditambah dengan mata melotot yang cukup intimidatif. Pemuda itu hanya memberi senyum tidak berdosa.“MAU KE MANA LAGI? DEMO?” Suara Bu Siti Marfu’ah sudah naik beberapa desibel.“Mau jalan-jalan aja. Biar kakinya enggak kerasa sakit.”“Ampuuun … punya anak kok begini amat, ya Allah!” Bu Siti Marfu’ah menepak dahinya sendiri. Kesal.“Masa jalan-jalan enggak boleh?” “Kan kamu lagi sakit kaki. Mau maksa jalan-jalan?” keluh sang ibu. “Rega, kamu itu kenapa, sih? Enggak punya pikiran sama sekali.”“Rega bosen di rumah, Bu.”Bu Siti Marfu’ah melihat penampilan Rega. Memakai kaus yang dipadu padankan dengan kemeja kotak-kotak, celana denim panjang, memang setelan ke kampus. Tetapi, dia tidak membawa tas atau alat tempur. Mungkin Rega berkata jujur, begitu pikir sang ibu.“Pakai sendal atau sepatu?” selidik Bu Siti Marfu’ah.“Penting, ya Bu?”“Oh, penting. Kalau pakai sendal, berarti bener.

    Last Updated : 2023-07-17
  • MEET AISHA IN 1998   Jangan Takut, Aisha

    Mungkin keputusan Phey mengiyakan permintaan Rega tempo hari lalu, membawa suasana baru bagi gadis itu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Yono, Rega pemuda baik dan tidak macam-macam. Lagipula, Rega kelihatan cerdas, dan mampu mengimbangi pola pikir Phey yang banyak ingin tahu tentang berbagai macam dalam sudut pandang ilmu.Selama beberapa hari, Rega rutin datang. Hari itu pun ia bertandang kembali ke rumah Pak Yono, membawa buku-buku yang sama sekali tak pernah Phey baca sebelumnya. Ada beberapa buku yang bagus, tetapi entah kenapa Phey menyukai buku-buku bacaan anak, tentang kisah nabi. Tadinya buku itu dibawa Rega untuk bacaan anak-anaknya Pak Yono, tetapi justru Phey yang begitu tertarik. Di sana ada gambar ilustrasi, hanya saja sosok nabi hanya dituliskan dengan huruf arab dan pendaran cahaya. Itu membuat Phey penasaran.“Kenapa ya, gambar nabinya enggak ada?” tanya Phey sembari melihat lekat-lekat pada buku bacaan anak di tangannya.Rega tercenung sesaat. Sebetulnya di

    Last Updated : 2023-07-17
  • MEET AISHA IN 1998   Namaku Bukan Aisha

    Phey mendongakkan kepala, dan menatap pada Rega. Tampak mata gadis itu sudah berurai air mata. Membuat Rega lagi-lagi terkejut dibuatnya. “Mau pulang,” isak Phey. “Aku enggak mau di sini. Aku takut.”“Ya udah, aku antar kamu pulang.” Rega mencari-cari sosok ibunya.Bu Siti Marfu’ah menghampiri Rega dan Phey. “Aduh, kenapa ini? Enggak apa-apa?”“Bu, Rega mau anter dulu Aisha pulang. Nanti Rega ke sini lagi,” kata Rega cepat-cepat.Sang ibu hanya mengangguk, meski kelihatan bingung. Rega bergegas membantu Phey berdiri, dan memapah gadis itu menuju motor. Tidak lama, Rega dan Phey pun pergi dari gedung pernikahan. Bu Siti Marfu’ah masih berdiri di tempatnya, menatap kepergian sang anak dengan gadis tak dikenal.Bu Siti Marfu’ah bergumam tanpa sadar, “Siapa itu, ya?”*Motor masuk ke halaman rumah Pak Yono, dan Phey bergegas lari ke teras rumah. Ketika ia hendak membuka pintu, rupanya dikunci. Phey benar-benar panik, dia kelihatan gelisah.“Kok dikunci?” ucapnya panik.Rega menyusul Phey

    Last Updated : 2024-12-19
  • MEET AISHA IN 1998   Dinding Perbedaan

    "Aku pakai baju begini, awalnya aku takut, karena aku keturunan Tionghoa. Tapi, lama-lama aku merasa nyaman." Phey lanjut menjelaskan. Pemuda di samping Phey itu, masih saja membisu."Maafin aku, Kak. Maaf, bikin Kakak jadi kaget.""Kaget, sih. Tapi–""Aku udah bohong sama Kakak. Aku pikir, aku gak pantes berbuat sejauh ini," potong Phey. Sekonyong-konyong ia membuka tali niqab yang terikat di belakang kepalanya. "Aku siap, kalau aku harus buka jati diri aku."Kain yang menutupi setengah wajah Phey terbuka, gadis itu memperlihatkan wajahnya di hadapan Rega."Ya Allah, Aisha …."Rega tertunduk, dia sudah melihat wajah Phey dan merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Karena itu, dia segera menundukkan pandangan. Tidak mau jiwanya sebagai seorang laki-laki, mulai berimajinasi yang tidak-tidak."Pakai lagi aja niqab-nya, Aisha," pinta Rega."Tapi, Kak–""Wajah kamu baiknya tetap gak terlihat."Phey memakai kembali niqab-nya. Meski dalam hatinya bertanya-tanya. Kenapa sikap Rega seperti i

    Last Updated : 2024-12-19

Latest chapter

  • MEET AISHA IN 1998   Akhirnya Bertemu Lagi

    “Kenapa ya, kamu ini malah pergi ke tempat-tempat yang bahaya?” keluh Bu Siti Marfu’ah.Perempuan itu tampak sudah pasrah melihat Rega sudah bersiap-siap untuk pergi ke ibukota, karena siangnya ia akan bertolak ke Aceh bersama rombongan relawan. Selang dua hari setelah menghubungi rekan-rekan almamater kampus, Rega dan Pak Mangara ikut dalam rombongan relawan.“Bahaya apanya, Bu? Di sana kan justru banyak orang butuh bantuan.”“Kita gak tahu kalau gempa susulan nanti datang, gimana?”“Doain Rega yang baik-baik, Bu. Dateng ke sana baik-baik aja, pulang pun selamat. Setuju?”“Terserah kamu aja lah.”Pergi ke Aceh bersama relawan, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bu Siti Marfu’ah pada awalnya. Namun, saat Rega mengatakan dia harus ke sana, karena mendampingi atasan, akhirnya mau tidak mau Bu Siti Marfu’ah melepaskan izin. Tetap saja Bu Siti Marfu’ah selalu memberikan mimik wajah khawatir berlebih, sebelum Rega benar-benar berangkat.“Berapa lama kamu di sana?” tanya sang ibu. “Engg

  • MEET AISHA IN 1998   Kabar Genting

    Aisyah.Nama itu terus terngiang-ngiang di batin Rega, saat semalam Bu Siti Marfu’ah menyebut lagi. Tidak ada pembicaraan panjang setelah itu, karena Rega langsung pergi ke masjid. Menghindar, iya. Akan tetapi, dia juga tak mau dituduh terus memupuk harapan tak pasti pada sosok bernama Aisyah selama bertahun-tahun.Rega tidak memungkiri, bahwa dia tidak melupakan Aisyah.Sosok Anchie Phey yang sudah mengikrarkan hatinya untuk menjadi muslimah. “Rega!” Pintu kamar setengah digedor dari luar. “Kamu tidur lagi abis Subuh, heh?”“Enggak, Bu.” Rega membuka pintu kamar, dan melihat sosok sang ibu sudah berdiri di depan sana. Salah satu tangannya menenteng rantang dari bahan stainless. “Ini Syafa bawain sarapan. Cepet, kita makan dulu.” Bu Siti Marfu’ah langsung meletakkan rantang ke atas meja. “Kamu ajakin Syafa masuk, biar kita makan sama-sama.”“Ibu aja lah. Rega mau keluar ini.”“Lho? Mau ke mana?”“Olah raga!”Karena tidak mau dipusingkan oleh masalah percintaan, Rega bergegas keluar

  • MEET AISHA IN 1998   Sosok pengganti Aisha

    Sebuah tepukan keras mendarat di bahu Rega, sehingga pemuda yang sedang mendengarkan musik dari pemutar MP3 itu tersentak kaget. Rega menoleh dan melihat sosok pemuda lain berambut plontos duduk di sampingnya.“Tapa terus,” komentar pemuda itu sembari terkekeh pelan.“Dengerin lagu,” balas Rega enteng.“Eh, dengerin tuh nasihat orangtua. Bukan lagu.”“Orangtua yang mana? Yang lo denger aja nasihat orangtua botolan.”“Anjir, setan!”Pemuda itu tergelak keras. Namanya Robby, satu almamater dengan Rega. Mereka sama-sama mengambil lanjutan advokasi, dan magang di kantor advokat yang sama. Robby dan Rega memiliki sifat yang bertolak belakang. Rega lebih cenderung diam, sedangkan Robby ke mana-mana antara membuat suasana heboh atau kacau. Akan tetapi, mereka selalu kompak. Bahkan orang-orang di kantor advokat, selalu menganggap keduanya “partner in crime”. Yang sebetulnya, Rega amit-amit dalam hati.“Makan dulu, lah. Biar otak lancar,” celetuk Robby.Dia memesan sepiring ketoprak di mana t

  • MEET AISHA IN 1998   Rasa sakit karena cinta

    Matahari sudah menggeliat bangun dari peraduan, dan sinarnya mulai memasuki celah jendela. Phey duduk dengan tenang di teras, menunggu Pak Yono memanaskan mobil, dan setelah itu mereka segera kembali ke ibukota.Kali ini Phey siap pergi tanpa rasa gundah, dia sudah benar-benar tenang.Bahkan merasakan bahagia.“Non Phey, itu kok gak diminum teh manisnya? Nanti keburu dingin,” tunjuk Bu Puji pada secangkir teh yang ia suguhkan di meja, dan belum disentuh sama sekali. Wajah perempuan itu tersembul dari balik pintu.“Mau kok, Bu. Ini tunggu nasinya turun, saya kekenyangan. Abis nasi goreng buatan Ibu enak banget, sampai nambah.”“Aduh, cuma nasi goreng, apa enaknya? Non Phey ini suka berlebihan aja, ah.”“Bu, sekarang nama saya jadi Aisyah. Jangan panggil Phey lagi.” Phey terkekeh pelan.Aisyah.Itu nama yang Phey pilih setelah mengikrarkan syahadat. Meski butuh waktu untuk membuat orangtuanya menerima pilihannya kelak, tetapi Phey sudah bertekad untuk mengubah identitas. “Oh iya, Non A

  • MEET AISHA IN 1998   Menjemput hidayah

    Phey masih berdiri mematung di depan rumah Bu Siti Marfu’ah, bingung karena rencana yang telah dibayangkan mendadak buyar. Kata tetangga Bu Siti Marfu’ah sedang pergi bersama ibu-ibu pengajian ke Banten, sejak pagi tadi. Lalu Rega ke kampus, dan entah pulang kapan. Bahkan menurut penuturan tetangga, Rega sering pulang larut malam.“Gimana, nih?” gumam Phey pelan sembari mengembuskan napas berat.Meski kecewa, akhirnya Phey putuskan kembali ke kediaman Pak Yono. Jika memang ia tidak bisa bertemu dengan Rega, maka memang itu yang harus ia terima dengan lapang dada. Namun, baru saja hendak melangkah, Phey melihat sebuah motor mendekat, dan suara derumannya ia kenali betul.Motor Rega!Laju motor melambat, dan berhenti di hadapan Phey. Wajah Rega tidak bisa berbohong, dia begitu terkejut melihat gadis pujaannya ada di sana. Bergegas Rega turun dari motor, membuka helm dan menghampiri Phey. Dia tidak berkata satu patah kata pun. Dalam hatinya, Rega ragu. Teringat akan permintaan Bu Siti M

  • MEET AISHA IN 1998   Berdiskusi dengan Ustaz

    Perbedaan keyakinan itu seperti dua sisi mata pedang. Jika tidak berhati-hati, maka salah satu akan tersakiti. Maka tidak sedikit yang memberi petuah bijak, baiknya tetap mencari sosok yang satu iman. Bahkan satu keyakinan pun, belum tentu memiliki visi dan misi yang beriringan. Apalagi jika berbeda?“Kita sendiri tahu, beda umur yang jauh bisa jadi gunjingan orang. Menikahi duda atau janda, bisa dicibir juga. Mau enggak mau, kita enggak bisa menutupi penilaian orang-orang, Rega,” ujar Pak Ustaz.“Ya, kan tinggal gak perlu digubris, Pak. Yang menjalani rumah tangga, justru yang mau menikah, kan?”“Terus kamu enggak hidup di dalam masyarakat memangnya?” Pak Ustaz terkekeh. “Harus siap mental, Rega. Karena kita ini hidup di budaya yang ragam, masyarakat plural juga.”Kembali Pak Ustaz menjelaskan pada Rega secara hati-hati. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa yang berbeda bisa menjadi satu. Tetap saja, ada yang dikorbankan. Karena masing-masing keyakinan percaya, bahwa agama yang seb

  • MEET AISHA IN 1998   Keputusan yang tidak adil

    Rasanya hidup enggan mati pun tak mau, itu yang dilihat oleh Pak Wang acap kali menatap sosok Phey keluar dari kamar. Gadis itu hanya menemui keluarganya di saat jam makan, selebihnya dia banyak mengurung diri. Berkali-kali Ibu Niu hendak menegur putrinya, tetapi Pak Wang dan Ibu Mey melarang. Yang ada, Phey takkan mungkin bisa menerima apa yang dikatakan oleh sang ibu, malah bisa berontak. Hanya saja, melihat sikap Phey yang berhari-hari seperti itu, hinggap rasa khawatir di batin Pak Wang. Mungkin sebaiknya ia bicara dari hati ke hati dengan Phey, apalagi sudah diberi waktu untuk menenangkan diri selama beberapa hari. Pak Wang pun melangkah ke kamar Phey, dan mengetuk pintu pelan-pelan.“Phey? Ini Papa.”Tidak ada jawaban.“Phey? Kamu lagi tidur?”Baru saja Pak Wang hendak mengetuk lalu kunci pintu terdengar berputar, gagangnya pun bergerak ke bawah. Tidak lama pintu terbuka, dan Pak Wang melihat sosok yang selama beberapa hari ini selalu murung. Yaitu wajah Phey dengan mata beng

  • MEET AISHA IN 1998   Perdebatan sengit

    Firasat Bu Siti Marfu’ah benar-benar tidak enak, terlebih melihat wajah masam Ibu Niu yang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Begitu mendengar penuturannya, orangtua Phey kelihatan syok. Namun, Ibu Mey buru-buru mengajak semua berembuk di dalam.Di ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang kecil itu, duduk Rega berdampingan dengan sang ibu. Phey diapit ibu juga adik ayah, sedangkan Pak Wang berada di antara kedua kubu.Rega menceritakan semua, mengenai kedekatannya dengan Phey tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dari kaca mata Ibu Mey, dia tahu bahwa Rega anak yang baik, dan kemungkinan Phey tertarik tentu saja itu bisa terjadi.“Jadi, Nak Rega bermaksud untuk melamar putri kami,” ucap Pak Wang. “Tapi, apa Nak Rega tahu bahwa Phey itu berbeda keyakinan? Karena kami sebagai keluarga, mohon maaf … tentu akan sulit untuk menyetujuinya.”“Tapi Papa kan tahu, kalau Phey pengin jadi muslimah. Phey udah bicara sama Papa tentang ini,” tegas Phey, dan tampak matanya memerah juga berkaca-kaca. “Ini hidu

  • MEET AISHA IN 1998   Tiba-tiba ngajak nikah

    “Pernikahan itu sesuatu yang sakral.”Ucapan Rega bukan bermaksud meredupkan harapan Phey, bukan pula menyepelekan apayang disampaikan gadis itu. Jika mengikuti kata hati, Rega akan meminang Phey hari itu juga.Hanya saja, mereka harus melihat realita.Kehidupan pernikahan itu begitu berliku, meski bisa saling bahu membahu. Namun, jikamereka memulai dengan langkah yang salah, Rega pun tidak mau. Tetap merekamembutuhkan yang namanya restu.Tidak ada jawaban dari Phey. Sudah jelas, ada kekecewaan mendera di hatinya.“Ada yang harus kita siapkan, sebelum memutuskan menikah, Aisyah. Mental palingpenting,” ujar Rega.“Kakak enggak mau kita nikah?”“Menikah sama kamu, itu seperti mimpi menjadi kenyataan.”“Terus kenapa sikap Kakak justru kayak yang nolak?”“Aisyah, dengar dulu ….”Rega menjelaskan bahwa jika mereka menikah, karena Phey ingin keluar dari lingkarankeluarganya bukan suatu solusi. Ketika dua insan saling menautkan janji, itu untukmenyatukan dua keluarga. Bukan untuk memis

DMCA.com Protection Status