Mobil berhenti, dan Phey pun sontak terbangun dari tidur sesaat. Tubuhnya terasa sakit, karena dia berbaring di lantai mobil, bahkan tak berani bergerak sedikit pun. Pintu penumpang belakang mobil terbuka, lalu Pak Yono menyingkap terpal yang menutupi tubuh Phey.
“Non, kita sudah sampai,” ucap Pak Yono dengan suara pelan.Phey tidak menjawab. Hanya mengeluh lirih, lalu setengah merangkak keluar dari dalam mobil. Ia dipapah oleh Pak Yono, melewati halaman yang gelap dan cukup luas. Suasana di sekitar nyaris senyap. Mata Phey mengitari sekeliling, menatap pada bangunan satu lantai yang sederhana dihadapannya.“Rumah siapa ini, Pak Yono?” tanya Phey.“Rumah saya, Non.”Tangerang. Nama itu terlintas begitu saja di benak Phey. Keluarga Pak Yono tinggal di sana, sedangkan Pak Yono sendiri pulang satu minggu sekali. Phey diasingkan ke Tangerang, bukan karena keinginan, melainkan paksaan. Perasaan sedih mendera Phey, bagaimana orangtuanya? Bagaimana mereka bisa bertahan di Jakarta? Kenapa mereka tidak membiarkan Phey tetap tinggal, setidaknya susah senang mereka bisa hadapi bersama-sama.“Assalamualaikum,” salam Pak Yono sembari mengetuk pintu.Selang beberapa menit, terdengar slot dan anak kunci diputar. Pintu terbuka, lalu wajah seorang wanita memakai mukena muncul di ambang pintu. Wanita itu langsung memeluk Pak Yono, dan menangis terisak-isak.“Bapak! Ya Allah! Ibu khawatir sekali! Bapak enggak apa-apa?” cerocos wanita itu.“Bapak ucapkan salam kok enggak dijawab?” Ada senyum ditunjukkan Pak Yono.“Waalaikumsalam.” Wanita itu menyeka air matanya.“Ada tamu, Bu,” kata Pak Yono dengan suara lirih.Phey yang berada di balik punggung Pak Yono bergeser, lalu mengangguk sopan tampak malu-malu. Istri Pak Yono—Bu Puji—terkesiap, dia langsung menghampiri Phey dan menangis tertunduk. Tidak berani menyentuh putri majikannya, tetapi dia merasakan betul rasa pahit yang terjadi pada keluarga Phey.“Alhamdulillah, Non Phey baik-baik saja. Saya minta maaf, enggak bisa bantu apa-apa,” ucap Bu Puji sembari menangis sesenggukan.“Jangan bilang begitu, ini bukan salahnya Ibu,” kata Phey merasa terharu. Namun, sekaligus merasa geram, karena justru orang-orang yang tak bertanggung jawab, begitu saja menghancurkan hidup manusia lain.“Masuk, Non. Nanti disiapkan kamar, tetapi ya seperti ini kondisi rumah saya,” ajak Pak Yono.Phey melihat interior rumah Pak Yono untuk kali pertama. Sebuah rumah kecil nan sederhana. Ruang tamu dan ruang tengah menjadi satu, ada dua kamar di sisi kiri tanpa daun pintu hanya ditutupi oleh tirai. Sedangkan di kanan, menuju dapur.Tiga puluh menit ke depan, Phey mengobrol serius dengan Pak Yono, mengenai situasi apa yang tengah terjadi. Kerusuhan itu kini terjadi di mana-mana, dan Jakarta terkena imbas terparah. Banyak yang disakiti, entah korban meninggal akibat kerusuhan, Pak Yono tidak tahu. Yang jelas, ayah Phey sudah memberikan mandat pada Pak Yono, agar gadis itu tetap tinggal di kediaman sang supir hingga waktu yang belum ditentukan. Jika situasi masih belum terkendali, orangtua Phey mengusahakan agar mereka bisa aman tinggal di luar negeri. Karena itu, kedua orangtua Phey tetap tinggal di Jakarta mengurus surat-surat, dan paspor agar mereka bisa segera pergi dari ibukota.“Jadi, saya harap Non Phey enggak keberatan tinggal di sini sementara,” pungkas Pak Yono setelah memberikan penjelasan secara detail dan pelan-pelan pada putri majikannya. Phey menyesap teh hangat dari cangkir, dan hanya mengangguk lemah. “Ya, mau bagaimana lagi, Pak Yono? Mana mungkin saya minta kembali ke Jakarta, kan?”Sepanjang perjalanan sebelum terlelap, Phey bisa mendengar banyak suara teriakan di beberapa wilayah. Mobil sempat dicegat, tetapi diperbolehkan melewat, karena yang tampak di dalam mobil hanya sosok Pak Yono. Awalnya, Phey masih dalam penyangkalan. Bahwa semua yang terjadi hanya mimpi. Namun, ketika disodorkan kenyataan seperti apa suasana di luar, Phey benar-benar kalut dan takut.“Saya jamin keselamatan Non Phey. Non akan baik-baik saja di sini,” ucap Pak Yono.“Terima kasih, saya jadi merepotkan Bapak dan keluarga.”Istri Pak Yono membuka tirai dari dalam kamar, lalu mengangguk sekali pada Phey. “Istirahat dulu, Non. Sekarang sudah larut malam, kamarnya sudah saya siapkan,” kata perempuan berumur tiga puluhan itu.Phey hanya mengiyakan, lalu beranjak dari duduk. Dia masuk ke dalam kamar, dan dari belakang tirai kamar ditutup. Gadis itu termangu sesaat. Kamarnya sangat kecil, dengan ranjang terbuat dari kayu, ada lemari pakaian yang bersebelahan dengan jendela dua bingkai. Kasur kapuk yang keras, terasa ketika Phey menduduki tepi tempat tidur. Baru kali itu dia bisa benar-benar meluapkan emosinya. Phey-phey menangis tersedu-sedu. Meski begitu, baik Pak Yono ataupun istrinya sama sekali tidak berani masuk ke dalam kamar.Membiarkan Phey melepaskan rasa sakit dan pedih di dalam hatinya.*Bau asap itu mulai terbiasa di penciuman Phey. Selama dua hari tinggal di rumah Pak Yono, bau asap dari kompor minyak tanah dimulai setelah azan Subuh, lalu menjelang Dzuhur, dan terakhir di waktu antara Ashar – Magrib. Bak penunjuk waktu bagi Phey, karena di kamar tidak ada jam dinding sama sekali. Dalam kurun waktu dua hari itu juga, Phey enggan keluar dari kamar. Dia hanya menerima hidangan yang disiapkan di dalam nampan. Pagi dia bisa mendengar celoteh anak-anak Pak Yono dari luar kamar. Siang biasanya agak senyap. Sore terdengar lagi cengkrama keluarga kecil Pak Yono. Semua Phey dengarkan dengan baik. Namun, tidak ada kabar berita apa pun dari Jakarta. Sepertinya Pak Yono sengaja mematikan teve tabung di tengah rumah, bahkan suara radio pun tak ada sama sekali. Yang Phey lakukan selama di kamar lebih banyak menangis, lalu tertidur karena batinnya masih lelah.Namun pagi itu, Phey memutuskan untuk menyingkap tirai kamar. Mengaitkan pada paku di dinding samping ambang pintu. Dia pergi ke dapur, merasakan bau asap semakin menyengat. Di sana sosok istri Pak Yono sedang sibuk memasak untuk sarapan.“Selamat pagi, Bu,” sapa Phey.“Astagfirullahaladzim!” pekik Bu Puji dan tubuhnya tersentak kaget. Bergegas wanita itu melirik ke belakang. “Non Phey, kirain siapa.”“Maaf, bikin Ibu kaget, ya?”“Enggak apa-apa. Bentar ya, Non. Ini sarapannya sebentar lagi selesai, nanti saya antar ke kamar.”“Jangan, Bu. Saya mau makan bareng-bareng aja.” Phey pun menunjukkan handuk yang tersampir di bahu. “Tetapi, saya mau mandi dulu. Udah dua hari lho, saya belum mandi.”Suara tawa renyah Bu Puji terdengar, dan itu membuat Phey merasa lebih tenang. Entah kenapa, tinggal di rumah sang supir, justru membuat Phey merasa jauh lebih baik. “Enggak apa-apa, Non. Ibu setiap hari bau asap dari kompor. Jadi harus mandi, pagi dan sore,” celetuk wanita itu.“Kenapa enggak pakai kompor gas, Bu?” tanya Phey.Bu Puji menoleh sekilas. “Enggak ngerti, Non. Dari dulu juga pakai ini. Makanya, agak was-was katanya dollar naik, bensin juga naik. Terus gimana minyak tanah? Haduh, bikin bingung.”“Mudah-mudahan, enggak ya, Bu?” kata Phey.“Ya, Non. Mudah-mudahan.”Itulah penyebab rentetan kejadian mengerikan terjadi. Akibat krisis finansial di Asia, disebut-sebut moneter. Menyebabkan nilai mata uang jatuh drastis, bahkan harga bahan bakar melambung tinggi. Phey tidak paham, itu sebagian kecil yang sempat dijelaskan sang ayah saat mereka di rumah beberapa waktu hari yang lalu. Namun, yang jelas itu memicu kemarahan banyak orang.Amarah ini yang akhirnya menjadi efek domino. Ketika satu dijatuhkan, maka ambruk semua. Hancur dan tak bersisa.Lalu rumah? Apakah masih kokoh berdiri? Atau sudah menjadi abu bercampur debu? Phey berusaha menepis kemungkinan-kemungkinan buruk, karena sudah pasti memang kenyataannya begitu.“Saya permisi ikut ke kamar mandi, Bu,” pungkas Phey.Akhirnya Phey bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah beres mandi, Phey masih duduk termenung di tepi tempat tidur. Matanya menoleh ke arah jendela yang tidak ia buka selama di kamar itu. Pikirnya, ia butuh udara segar. Suara keriut terdengar ketika Phey membuka jendela. Matanya melihat ke arah halaman rumah Pak Yono, yang cukup luas. Ada tanaman dua pohon kelapa di samping kanan rumah, batas rumah yang hanya merupakan pagar bambu. Lalu beberapa tanaman singkong yang baru ditanam di bagian depan halaman. Sisanya, hanya tanah sedikit gersang.Tampak sosok Pak Yono yang baru datang entah dari mana, lalu dari lawan arah sebuah motor datang dan mulai melambat. Motor itu ketika berhadapan dengan Pak Yono. Dikemudikan oleh seorang laki-laki yang berboncengan dengan seorang wanita.Sosok sang hawa yang duduk dibonceng mengalihkan perhatian Phey. Pakaiannya tampak begitu ganjil sekaligus menarik di mata gadis itu Memakai pakaian serbahitam yang menutupi ujung kepala hingga kaki. Bahkan, menutupi wajahnya, hingga yang tampak hanya kedua mata saja.Kenapa berpakaian seperti itu? Apa alasannya? Batin Phey.Selang beberapa saat, Phey terus memperhatikan dengan saksama selama Pak Yono sedang bercengkrama dengan laki-laki yang mengendarai motor tersebut. Lalu sang laki-laki pamit, dan kembali mengemudikan motornya. Bergegas Phey keluar dari kamar, dia langsung menemui Pak Yono yang baru saja masuk ke dalam rumah. “Pak Yono,” panggil Phey tampak wajahnya memunjukkan mimik penasaran.“Eh, Non Phey. Kenapa, Non?” “Perempuan itu tadi, kenapa pakaiannya seperti itu?”Pak Yono tampak bingung dengan apa yang dimaksud Phey-Phey.“Kenapa dia pakai pakaian serba tertutup begitu. Apa dia kena penyakit menular?”Mendengar pertanyaan Phey, Pak Yono tersentak kaget, begitu juga dengan istrinya yang sedang menata hidangan di meja makan. Pak Yono tidak bisa menahan lagi, akhirnya derai tawa laki-laki itu terdengar di seantero ruangan.“Ya Allah, Non Phey,” ucap Pak Yono masih berusaha untuk mengendalikan tawa.“Siapa, Pak? Pasti Bu Hamidah, ya?” tanya sang istri.Pak Yono mengangguk. “Iya, Bu Hamidah.”Bu Puji menghampiri Phey, lalu mempersilakan gadis itu untuk makan. Belum ada jawaban maupun penjelasan dari Pak Yono maupun istrinya, sehingga Phey menurut, dan duduk di meja makan. Dia masih menatap bergantian pada Pak Yono juga istrinya.“Ini supaya Non Phey paham, ya? Ibu Hamidah itu enggak sakit, dia sehat walafiat,” kata Pak Yono.“Tapi kenapa bajunya seperti itu? Memang supaya apa bajunya tertutup semua?” tanya Phey. Dia menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut, lalu bergegas mengunyah dan menelan cepat-cepat. “Enggak kepanasan apa, ya? Kan gerah kalau pakai baju hitam mana tertutup semua.”“
Kedua lengan Phey bersandar pada kusen jendela, dan matanya menatap ke area sekitar rumah Pak Yono. Rasa bosan menerjang, selama seharian penuh Phey hanya tinggal di dalam rumah. Dia tidak boleh membantu di dapur oleh istri Pak Yono. Otomatis, tidak ada kegiatan apa pun yang dapat Phey lakukan. Tetap saja, pada akhirnya dia lagi-lagi hanya tinggal di kamar.Sebentar lagi hari akan berganti, tampak matahari sudah memerah di ufuk barat. Lalu Phey mendengar sayup suara celoteh, yang makin mendekat. Rupanya rombongan anak-anak yang baru pulang mengaji. Phey memperhatikan dengan saksama, mereka tampak senang. Bahagia, tanpa beban. Memang, anak-anak tidak tahu menahu dengan masalah apa yang terjadi. Namun, Phey melihat bahwa dia ingin berada di tempat yang nyaman, seaman anak-anak itu yang tak memiliki kekhawatiran lebih. Phey bergegas keluar dari kamar, ia melihat Pak Yono dan istrinya sedang duduk di ruang tengah sembari berbincang pelan. Melihat Phey, keduanya langsung berhenti mengobr
“Regaaa … astagfirullahaladzim!”Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.“Mau ke mana lagi?”“Kan Ibu udah tahu.”Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.“Eeeh!! Malah jawab!”Serbasalah, Rega memili
Teriakan Aisha di pagi itu membuat heboh seketika. Pak Yono berlari tergopoh-gopoh keluar dari rumah, begitu juga tetangga yang lain. Hal itu membuat Rega benar-benar syok sekaligus malu. “Rega?” Pak Yono sendiri terkejut melihat Rega terkapar di jalan dan Phey duduk tak jauh dari pemuda itu.“Pak, saya bersumpah. Saya enggak ngapa-ngapain! Saya kejatuhan pelepah kelapa!” seru Rega berusaha membela diri.Phey yang tidak berbicara sepatah kata pun, langsung beranjak berdiri dan berlari ke dalam rumah. Sedangkan Pak Yono membantu Rega untuk berdiri. Tetangga yang lain hanya menonton, bingung dengan apa yang terjadi.“Kenapa, Ga? Kamu gak apa-apa?” tanya tetangga depan rumah Pak Yono penasaran.Rega menggeleng cepat. “Kejatuhan pelepah kelapa.”Sang tetangga hanya menatap prihatin. “Hati-hati makanya kalau naik motor, jangan meleng.”Rega mengeluh dalam hati. Belum juga naik motor, kok tiba-tiba urusannya sama mengendarai motor. Justru Rega berusaha menolong wanita yang tinggal di rumah
Rasanya Rega memiliki bodyguard baru karena sang ibu sudah berdiri di teras sembari berkacak pinggang, ditambah dengan mata melotot yang cukup intimidatif. Pemuda itu hanya memberi senyum tidak berdosa.“MAU KE MANA LAGI? DEMO?” Suara Bu Siti Marfu’ah sudah naik beberapa desibel.“Mau jalan-jalan aja. Biar kakinya enggak kerasa sakit.”“Ampuuun … punya anak kok begini amat, ya Allah!” Bu Siti Marfu’ah menepak dahinya sendiri. Kesal.“Masa jalan-jalan enggak boleh?” “Kan kamu lagi sakit kaki. Mau maksa jalan-jalan?” keluh sang ibu. “Rega, kamu itu kenapa, sih? Enggak punya pikiran sama sekali.”“Rega bosen di rumah, Bu.”Bu Siti Marfu’ah melihat penampilan Rega. Memakai kaus yang dipadu padankan dengan kemeja kotak-kotak, celana denim panjang, memang setelan ke kampus. Tetapi, dia tidak membawa tas atau alat tempur. Mungkin Rega berkata jujur, begitu pikir sang ibu.“Pakai sendal atau sepatu?” selidik Bu Siti Marfu’ah.“Penting, ya Bu?”“Oh, penting. Kalau pakai sendal, berarti bener.
Mungkin keputusan Phey mengiyakan permintaan Rega tempo hari lalu, membawa suasana baru bagi gadis itu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Yono, Rega pemuda baik dan tidak macam-macam. Lagipula, Rega kelihatan cerdas, dan mampu mengimbangi pola pikir Phey yang banyak ingin tahu tentang berbagai macam dalam sudut pandang ilmu.Selama beberapa hari, Rega rutin datang. Hari itu pun ia bertandang kembali ke rumah Pak Yono, membawa buku-buku yang sama sekali tak pernah Phey baca sebelumnya. Ada beberapa buku yang bagus, tetapi entah kenapa Phey menyukai buku-buku bacaan anak, tentang kisah nabi. Tadinya buku itu dibawa Rega untuk bacaan anak-anaknya Pak Yono, tetapi justru Phey yang begitu tertarik. Di sana ada gambar ilustrasi, hanya saja sosok nabi hanya dituliskan dengan huruf arab dan pendaran cahaya. Itu membuat Phey penasaran.“Kenapa ya, gambar nabinya enggak ada?” tanya Phey sembari melihat lekat-lekat pada buku bacaan anak di tangannya.Rega tercenung sesaat. Sebetulnya di
Hampir menjelang senja, tetapi seluruh lampu di rumah itu sengaja dipadamkan, kecuali di teras belakang. Di sana ada satu sosok sedang duduk dalam diam, sedangkan yang lain tampak tergesa keluar masuk dari pintu penghubung dua area—interior, ekterior. Semua memiliki mimik wajah yang serupa: cemas dan muram.Wanita paruh baya yang duduk termenung itu, bernama Ibu Niu. Dia menangkupkan kedua tangan lalu memejamkan mata. Ia menangis tertahan, untuk ke sekian kalinya. Dari ambang pintu gadis berambut lurus hitam dikuncir kuda, menyadari apa yang terjadi pada sang ibu. Bergegas ia duduk, dan memeluk erat.“Ma, jangan nangis lagi,” bisik sang gadis dengan suara parau. Annchi Phey, si gadis, wajahnya pun tampak bengkak dengan mata sembab. Ia berusaha untuk tetap kuat, tetapi melihat sang ibu menumpahkan lagi air mata, Phey akan kembali ikut jatuh terpuruk. Hari itu, semua berubah. Kehidupan mereka yang damai, baik-baik saja, tidak ada konflik berarti, tiba-tiba dalam satu jentikan jari, ru
Mobil dinyalakan, lalu tidak lama kemudian meluncur dari kediaman keluarga kecil tersebut. Phey hanya bisa merasakan getaran mobil, mendengar suara-suara ramai dari luar kendaraan. Gadis itu menangis dalam sunyi. Batinnya menjerit, Tuhan, kenapa jadi begini?*Telunjuk Pak Yono menekan tombol ‘off’ tape mobil. Berita di radio justru membuat suasana jauh lebih mencekam. Sehingga dia membiarkan atmosfer di dalam mobil, benar-benar senyap. Namun, di luar mobil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Jakarta yang biasanya masih cukup padat oleh kendaraan bermotor, apalagi pada jam-jam pulang kantor, sekarang nyaris sepi. Ada satu dua mobil berpapasan, itu pun memicu kecepatan tinggi. Orang-orang turun ke jalanan, berjalan beramai-ramai. Ada dalam kelompok kecil, kelompok besar, di mana Pak Yono berusaha untuk hindari.Di beberapa titik, bangunan-bangunan terbakar dan tidak ada yang memadamkan api. Mobil, motor tidak luput dari sasaran pembakaran. Pak Yono bisa mendengar gemeretak s