Mobil dinyalakan, lalu tidak lama kemudian meluncur dari kediaman keluarga kecil tersebut. Phey hanya bisa merasakan getaran mobil, mendengar suara-suara ramai dari luar kendaraan. Gadis itu menangis dalam sunyi.
Batinnya menjerit, Tuhan, kenapa jadi begini?*Telunjuk Pak Yono menekan tombol ‘off’ tape mobil. Berita di radio justru membuat suasana jauh lebih mencekam. Sehingga dia membiarkan atmosfer di dalam mobil, benar-benar senyap. Namun, di luar mobil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Jakarta yang biasanya masih cukup padat oleh kendaraan bermotor, apalagi pada jam-jam pulang kantor, sekarang nyaris sepi. Ada satu dua mobil berpapasan, itu pun memicu kecepatan tinggi. Orang-orang turun ke jalanan, berjalan beramai-ramai. Ada dalam kelompok kecil, kelompok besar, di mana Pak Yono berusaha untuk hindari.Di beberapa titik, bangunan-bangunan terbakar dan tidak ada yang memadamkan api. Mobil, motor tidak luput dari sasaran pembakaran. Pak Yono bisa mendengar gemeretak suara api, ketika melewati kawasan-kawasan tersebut.Mobil pun berputar-putar mencari jalan alternatif, karena banyak jalan yang diblokade. Beberapa kompleks bahkan dijaga oleh penghuni atau warga sekitar. Drum-drum, dipakai sebagai barikade. Tidak sedikit yang Pak Yono lihat membawa senjata tajam.Ibukota bak kota peperangan.Mobil melewati kawasan pertokoan milik orangtua Phey, yang sekarang sudah tidak berbentuk rupa lagi. Api masih terlihat menjilat-jilat di bagian atas bangunan. Pak Yono mengembuskan napas berat, dia sangat terpukul.Matanya melirik pada jas milik Pak Wang yang tersampir pada bangku samping, juga tas kertas yang isinya merupakan hadiah. Seharusnya hari itu, Phey dan keluarga menghadiri pemberkatan bayi sepupu yang baru saja lahir. Namun, semua menjadi sangat kacau semenjak kemarin. Pak Yono membelokkan mobil, dan hampir memasuki batas ibukota. Yang tadinya sudah merasa lebih lega, tiba-tiba di depan sudah ada blokade. Bukan petugas, melainkan massa yang sepertinya tahu akan banyak orang berusaha melarikan diri.Tidak mungkin Pak Yono tiba-tiba mundur, karena hanya itu jalan satu-satunya yang harus ia lewati. Dengan cepat Pak Yono menarik jas milik Pak Wang, sembari memajukan mobil perlahan, dia kenakan jas tersebut.Mobil berhenti, karena sudah dikepung dari segala arah oleh orang-orang. Kaca, kap mobil, bahkan pintu pun dipukul-pukul oleh tangan mereka dengan kasar. Phey yang mendengar itu, merasakan tubuhnya lemas seketika. Dia hanya bisa meringkuk, sembari memejamkan mata. Berharap pada Tuhan agar diselamatkan dari mara bahaya.“Stop! Stop! Mau nabrak kite lu?!” teriak salah satu dari mereka.“Keluar, Bang! Keluar! Heh, tunjukin muka lo, jangan ngumpet Lo di dalem!”Pak Yono menelan ludah, matanya melirik sekilas pada Phey yang tersembunyi di balik terpal hitam. Dari luar tentu takkan terlihat begitu jelas. Namun, akan sangat berbahaya jika mereka berusaha menggeledah mobil. Bergegas Pak Yono memberanikan diri keluar dari mobil.Wajah Pak Yono tetap tertunduk, tidak berani menatap sosok-sosok yang mengepung mobil. Salah satu dari mereka mendorong bahu Pak Yono dengan seenaknya.“Orang kaya lu, ya?! Mau ke mana lu?! Kabur?!” Suara itu terdengar setengah mengejek dan mengancam.“Enggak, Bang. Saya enggak ada niatan mau kabur. Saya cuma mau pulang ke rumah,” balas Pak Yono berusaha tenang.“Mobil siapa tuh? Mobil elu? Sendirian lu?” Selidik yang lain. “Jawab jujur lu!”“Iya, ini mobil saya. Dan saya cuma sendiri, enggak ada siapa-siapa lagi di dalam Bang.”Dengan kasar, mereka menarik tubuh Pak Yono dan menyuruhnya untuk menghadap ke arah mobil. Dompet Pak Yono diambil, mereka periksa. Entah apa maksud dan tujuannya. Namun, Pak Yono tidak mungkin melawan, dia terpaksa harus mengikuti dulu prosedur agar bisa melewati jalan dengan aman.Perasaan Pak Yono mulai panik, jangan sampai mereka memeriksa STNK yang tergantung bersama kunci mobil. Sudah jelas-jelas, nama ayah Phey terpampang di sana. Pak Yono berpikir keras, agar orang-orang ini segera melepaskan dirinya.Lalu tiba-tiba saja, sosok-sosok itu menempelkan wajah mereka ke jendela mobil. Menyelidik dari luar.“Bawa apa lu? Di belakang kosong? Apa ada yang Lo sembunyiin?” Pertanyaan itu membuat hati Pak Yono semakin ketakutan. Tak hanya Pak Yono, Phey yang juga sedang bersembunyi merasakan kekalutan yang amat sangat. “Udah, geledah mobilnya. Periksa semua, ada apaan aja!”Pak Yono syok.Tubuh Phey gemetar, mendengar teriakan dan seruan dari luar mobil. Dadanya terasa sesak, karena Phey mulai kesulitan napas. Dia mengalami serangan panik. Tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang itu jika persembunyiannya sampai terungkap. Pak Yono terus berdzikir, dan memikirkan cara apa agar orang-orang itu tidak memeriksa isi mobil. Tiba-tiba, dia tercetus ide yang diharapkan bisa berhasil untuk meloloskan diri.“Astagfirullahaladzim,” suara Pak Yono terdengar melolong. “Alah, bawa-bawa nama Tuhan aja lo, lagi kayak gini!” Ada nada cemoohan terdengar.“Saya enggak akan ke mana-mana, kalau istri saya enggak dalam kondisi mau melahirkan,” cetus Pak Yono. Ide itu keluar begitu saja entah dari mana. Mungkin itu adalah bentuk pertolongan Tuhan.Dia langsung merangkak masuk ke dalam mobil, dan mengambil tas kertas yang berada di bangku penumpang. Orang-orang hanya memperhatikan tingkah laku Pak Yono.“Ini hadiah saya buat anak saya. Kalau Bapak-Bapak mau ambil mobilnya, silakan. Tetapi saya mohon, saya hanya ingin ketemu anak dan istri.” Pak Yono mulai terisak. Sebetulnya Pak Yono dalam kondisi bertaruh. Dia hanya berharap bahwa Allah memberinya jalan keluar yang mulus, agar bisa terlepas dari mara bahaya yang ada di depan mata. Dia sudah benar-benar pasrah.Orang-orang itu saling melirik satu sama lain. Menunggu salah satu untuk mencetuskan keputusan yang akan diambil, untuk nasib Pak Yono. Tiba-tiba dari belakang muncul satu lelaki, yang langsung merebut dompet milik Pak Yono dari satu rekannya. Dia ambil dua lembar uang ratusan ribu yang ada di dalam dompet. Lalu ia berikan pada Pak Yono.“Jalan aja, Pak. Tetapi, uangnya saya ambil. Di sini masih banyak yang belum makan sama minum,” kata laki-laki itu dengan suara dingin.Pak Yono mengangguk-angguk. “Terima kasih, Bang.”Bergegas Pak Yono masuk ke dalam mobil, dan melaju begitu orang-orang menyingkir memberi jalan. Pak Yono berusaha keras untuk menahan tangis, sedangkan air mata sudah membanjiri pipinya. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur kepada Tuhan atas keselamatan jiwa raganya. Mobil pun kembali meluncur di kegelapan malam, melewati jalan yang panjang menuju rumahnya.Mobil berhenti, dan Phey pun sontak terbangun dari tidur sesaat. Tubuhnya terasa sakit, karena dia berbaring di lantai mobil, bahkan tak berani bergerak sedikit pun. Pintu penumpang belakang mobil terbuka, lalu Pak Yono menyingkap terpal yang menutupi tubuh Phey.“Non, kita sudah sampai,” ucap Pak Yono dengan suara pelan.Phey tidak menjawab. Hanya mengeluh lirih, lalu setengah merangkak keluar dari dalam mobil. Ia dipapah oleh Pak Yono, melewati halaman yang gelap dan cukup luas. Suasana di sekitar nyaris senyap. Mata Phey mengitari sekeliling, menatap pada bangunan satu lantai yang sederhana dihadapannya.“Rumah siapa ini, Pak Yono?” tanya Phey.“Rumah saya, Non.”Tangerang. Nama itu terlintas begitu saja di benak Phey. Keluarga Pak Yono tinggal di sana, sedangkan Pak Yono sendiri pulang satu minggu sekali. Phey diasingkan ke Tangerang, bukan karena keinginan, melainkan paksaan. Perasaan sedih mendera Phey, bagaimana orangtuanya? Bagaimana mereka bisa bertahan di Jakarta? Kenapa me
Mendengar pertanyaan Phey, Pak Yono tersentak kaget, begitu juga dengan istrinya yang sedang menata hidangan di meja makan. Pak Yono tidak bisa menahan lagi, akhirnya derai tawa laki-laki itu terdengar di seantero ruangan.“Ya Allah, Non Phey,” ucap Pak Yono masih berusaha untuk mengendalikan tawa.“Siapa, Pak? Pasti Bu Hamidah, ya?” tanya sang istri.Pak Yono mengangguk. “Iya, Bu Hamidah.”Bu Puji menghampiri Phey, lalu mempersilakan gadis itu untuk makan. Belum ada jawaban maupun penjelasan dari Pak Yono maupun istrinya, sehingga Phey menurut, dan duduk di meja makan. Dia masih menatap bergantian pada Pak Yono juga istrinya.“Ini supaya Non Phey paham, ya? Ibu Hamidah itu enggak sakit, dia sehat walafiat,” kata Pak Yono.“Tapi kenapa bajunya seperti itu? Memang supaya apa bajunya tertutup semua?” tanya Phey. Dia menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut, lalu bergegas mengunyah dan menelan cepat-cepat. “Enggak kepanasan apa, ya? Kan gerah kalau pakai baju hitam mana tertutup semua.”“
Kedua lengan Phey bersandar pada kusen jendela, dan matanya menatap ke area sekitar rumah Pak Yono. Rasa bosan menerjang, selama seharian penuh Phey hanya tinggal di dalam rumah. Dia tidak boleh membantu di dapur oleh istri Pak Yono. Otomatis, tidak ada kegiatan apa pun yang dapat Phey lakukan. Tetap saja, pada akhirnya dia lagi-lagi hanya tinggal di kamar.Sebentar lagi hari akan berganti, tampak matahari sudah memerah di ufuk barat. Lalu Phey mendengar sayup suara celoteh, yang makin mendekat. Rupanya rombongan anak-anak yang baru pulang mengaji. Phey memperhatikan dengan saksama, mereka tampak senang. Bahagia, tanpa beban. Memang, anak-anak tidak tahu menahu dengan masalah apa yang terjadi. Namun, Phey melihat bahwa dia ingin berada di tempat yang nyaman, seaman anak-anak itu yang tak memiliki kekhawatiran lebih. Phey bergegas keluar dari kamar, ia melihat Pak Yono dan istrinya sedang duduk di ruang tengah sembari berbincang pelan. Melihat Phey, keduanya langsung berhenti mengobr
“Regaaa … astagfirullahaladzim!”Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.“Mau ke mana lagi?”“Kan Ibu udah tahu.”Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.“Eeeh!! Malah jawab!”Serbasalah, Rega memili
Teriakan Aisha di pagi itu membuat heboh seketika. Pak Yono berlari tergopoh-gopoh keluar dari rumah, begitu juga tetangga yang lain. Hal itu membuat Rega benar-benar syok sekaligus malu. “Rega?” Pak Yono sendiri terkejut melihat Rega terkapar di jalan dan Phey duduk tak jauh dari pemuda itu.“Pak, saya bersumpah. Saya enggak ngapa-ngapain! Saya kejatuhan pelepah kelapa!” seru Rega berusaha membela diri.Phey yang tidak berbicara sepatah kata pun, langsung beranjak berdiri dan berlari ke dalam rumah. Sedangkan Pak Yono membantu Rega untuk berdiri. Tetangga yang lain hanya menonton, bingung dengan apa yang terjadi.“Kenapa, Ga? Kamu gak apa-apa?” tanya tetangga depan rumah Pak Yono penasaran.Rega menggeleng cepat. “Kejatuhan pelepah kelapa.”Sang tetangga hanya menatap prihatin. “Hati-hati makanya kalau naik motor, jangan meleng.”Rega mengeluh dalam hati. Belum juga naik motor, kok tiba-tiba urusannya sama mengendarai motor. Justru Rega berusaha menolong wanita yang tinggal di rumah
Rasanya Rega memiliki bodyguard baru karena sang ibu sudah berdiri di teras sembari berkacak pinggang, ditambah dengan mata melotot yang cukup intimidatif. Pemuda itu hanya memberi senyum tidak berdosa.“MAU KE MANA LAGI? DEMO?” Suara Bu Siti Marfu’ah sudah naik beberapa desibel.“Mau jalan-jalan aja. Biar kakinya enggak kerasa sakit.”“Ampuuun … punya anak kok begini amat, ya Allah!” Bu Siti Marfu’ah menepak dahinya sendiri. Kesal.“Masa jalan-jalan enggak boleh?” “Kan kamu lagi sakit kaki. Mau maksa jalan-jalan?” keluh sang ibu. “Rega, kamu itu kenapa, sih? Enggak punya pikiran sama sekali.”“Rega bosen di rumah, Bu.”Bu Siti Marfu’ah melihat penampilan Rega. Memakai kaus yang dipadu padankan dengan kemeja kotak-kotak, celana denim panjang, memang setelan ke kampus. Tetapi, dia tidak membawa tas atau alat tempur. Mungkin Rega berkata jujur, begitu pikir sang ibu.“Pakai sendal atau sepatu?” selidik Bu Siti Marfu’ah.“Penting, ya Bu?”“Oh, penting. Kalau pakai sendal, berarti bener.
Mungkin keputusan Phey mengiyakan permintaan Rega tempo hari lalu, membawa suasana baru bagi gadis itu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Yono, Rega pemuda baik dan tidak macam-macam. Lagipula, Rega kelihatan cerdas, dan mampu mengimbangi pola pikir Phey yang banyak ingin tahu tentang berbagai macam dalam sudut pandang ilmu.Selama beberapa hari, Rega rutin datang. Hari itu pun ia bertandang kembali ke rumah Pak Yono, membawa buku-buku yang sama sekali tak pernah Phey baca sebelumnya. Ada beberapa buku yang bagus, tetapi entah kenapa Phey menyukai buku-buku bacaan anak, tentang kisah nabi. Tadinya buku itu dibawa Rega untuk bacaan anak-anaknya Pak Yono, tetapi justru Phey yang begitu tertarik. Di sana ada gambar ilustrasi, hanya saja sosok nabi hanya dituliskan dengan huruf arab dan pendaran cahaya. Itu membuat Phey penasaran.“Kenapa ya, gambar nabinya enggak ada?” tanya Phey sembari melihat lekat-lekat pada buku bacaan anak di tangannya.Rega tercenung sesaat. Sebetulnya di
Hampir menjelang senja, tetapi seluruh lampu di rumah itu sengaja dipadamkan, kecuali di teras belakang. Di sana ada satu sosok sedang duduk dalam diam, sedangkan yang lain tampak tergesa keluar masuk dari pintu penghubung dua area—interior, ekterior. Semua memiliki mimik wajah yang serupa: cemas dan muram.Wanita paruh baya yang duduk termenung itu, bernama Ibu Niu. Dia menangkupkan kedua tangan lalu memejamkan mata. Ia menangis tertahan, untuk ke sekian kalinya. Dari ambang pintu gadis berambut lurus hitam dikuncir kuda, menyadari apa yang terjadi pada sang ibu. Bergegas ia duduk, dan memeluk erat.“Ma, jangan nangis lagi,” bisik sang gadis dengan suara parau. Annchi Phey, si gadis, wajahnya pun tampak bengkak dengan mata sembab. Ia berusaha untuk tetap kuat, tetapi melihat sang ibu menumpahkan lagi air mata, Phey akan kembali ikut jatuh terpuruk. Hari itu, semua berubah. Kehidupan mereka yang damai, baik-baik saja, tidak ada konflik berarti, tiba-tiba dalam satu jentikan jari, ru