Home / Romansa / MEET AISHA IN 1998 / Ibukota Bak Kota Peperangan

Share

Ibukota Bak Kota Peperangan

Author: Brata Yudha
last update Last Updated: 2023-07-10 16:11:15

Mobil dinyalakan, lalu tidak lama kemudian meluncur dari kediaman keluarga kecil tersebut. Phey hanya bisa merasakan getaran mobil, mendengar suara-suara ramai dari luar kendaraan. Gadis itu menangis dalam sunyi. 

Batinnya menjerit, Tuhan, kenapa jadi begini?

*

Telunjuk Pak Yono menekan tombol ‘off’ tape mobil. Berita di radio justru membuat suasana jauh lebih mencekam. Sehingga dia membiarkan atmosfer di dalam mobil, benar-benar senyap. Namun, di luar mobil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. 

Jakarta yang biasanya masih cukup padat oleh kendaraan bermotor, apalagi pada jam-jam pulang kantor, sekarang nyaris sepi. Ada satu dua mobil berpapasan, itu pun memicu kecepatan tinggi. Orang-orang turun ke jalanan, berjalan beramai-ramai. Ada dalam kelompok kecil, kelompok besar, di mana Pak Yono berusaha untuk hindari.

Di beberapa titik, bangunan-bangunan terbakar dan tidak ada yang memadamkan api. Mobil, motor tidak luput dari sasaran pembakaran. Pak Yono bisa mendengar gemeretak suara api, ketika melewati kawasan-kawasan tersebut.

Mobil pun berputar-putar mencari jalan alternatif, karena banyak jalan yang diblokade. Beberapa kompleks bahkan dijaga oleh penghuni atau warga sekitar. Drum-drum, dipakai sebagai barikade. Tidak sedikit yang Pak Yono lihat membawa senjata tajam.

Ibukota bak kota peperangan.

Mobil melewati kawasan pertokoan milik orangtua Phey, yang sekarang sudah tidak berbentuk rupa lagi. Api masih terlihat menjilat-jilat di bagian atas bangunan. Pak Yono mengembuskan napas berat, dia sangat terpukul.

Matanya melirik pada jas milik Pak Wang yang tersampir pada bangku samping, juga tas kertas yang isinya merupakan hadiah. Seharusnya hari itu, Phey dan keluarga menghadiri pemberkatan bayi sepupu yang baru saja lahir. Namun, semua menjadi sangat kacau semenjak kemarin. 

Pak Yono membelokkan mobil, dan hampir memasuki batas ibukota. Yang tadinya sudah merasa lebih lega, tiba-tiba di depan sudah ada blokade. Bukan petugas, melainkan massa yang sepertinya tahu akan banyak orang berusaha melarikan diri.

Tidak mungkin Pak Yono tiba-tiba mundur, karena hanya itu jalan satu-satunya yang harus ia lewati. Dengan cepat Pak Yono menarik jas milik Pak Wang, sembari memajukan mobil perlahan, dia kenakan jas tersebut.

Mobil berhenti, karena sudah dikepung dari segala arah oleh orang-orang. Kaca, kap mobil, bahkan pintu pun dipukul-pukul oleh tangan mereka dengan kasar. 

Phey yang mendengar itu, merasakan tubuhnya lemas seketika. Dia hanya bisa meringkuk, sembari memejamkan mata. Berharap pada Tuhan agar diselamatkan dari mara bahaya.

“Stop! Stop! Mau nabrak kite lu?!” teriak salah satu dari mereka.

“Keluar, Bang! Keluar! Heh, tunjukin muka lo, jangan ngumpet Lo di dalem!”

Pak Yono menelan ludah, matanya melirik sekilas pada Phey yang tersembunyi di balik terpal hitam. Dari luar tentu takkan terlihat begitu jelas. Namun, akan sangat berbahaya jika mereka berusaha menggeledah mobil. Bergegas Pak Yono memberanikan diri keluar dari mobil.

Wajah Pak Yono tetap tertunduk, tidak berani menatap sosok-sosok yang mengepung mobil. Salah satu dari mereka mendorong bahu Pak Yono dengan seenaknya.

“Orang kaya lu, ya?! Mau ke mana lu?! Kabur?!” Suara itu terdengar setengah mengejek dan mengancam.

“Enggak, Bang. Saya enggak ada niatan mau kabur. Saya cuma mau pulang ke rumah,” balas Pak Yono berusaha tenang.

“Mobil siapa tuh? Mobil elu? Sendirian lu?” Selidik yang lain. “Jawab jujur lu!”

“Iya, ini mobil saya. Dan saya cuma sendiri, enggak ada siapa-siapa lagi di dalam Bang.”

Dengan kasar, mereka menarik tubuh Pak Yono dan menyuruhnya untuk menghadap ke arah mobil. Dompet Pak Yono diambil, mereka periksa. Entah apa maksud dan tujuannya. Namun, Pak Yono tidak mungkin melawan, dia terpaksa harus mengikuti dulu prosedur agar bisa melewati jalan dengan aman.

Perasaan Pak Yono mulai panik, jangan sampai mereka memeriksa STNK yang tergantung bersama kunci mobil. Sudah jelas-jelas, nama ayah Phey terpampang di sana. Pak Yono berpikir keras, agar orang-orang ini segera melepaskan dirinya.

Lalu tiba-tiba saja, sosok-sosok itu menempelkan wajah mereka ke jendela mobil. Menyelidik dari luar.

“Bawa apa lu? Di belakang kosong? Apa ada yang Lo sembunyiin?” 

Pertanyaan itu membuat hati Pak Yono semakin ketakutan. Tak hanya Pak Yono, Phey yang juga sedang bersembunyi merasakan kekalutan yang amat sangat. 

“Udah, geledah mobilnya. Periksa semua, ada apaan aja!”

Pak Yono syok.

Tubuh Phey gemetar, mendengar teriakan dan seruan dari luar mobil. Dadanya terasa sesak, karena Phey mulai kesulitan napas. Dia mengalami serangan panik. Tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang itu jika persembunyiannya sampai terungkap. 

Pak Yono terus berdzikir, dan memikirkan cara apa agar orang-orang itu tidak memeriksa isi mobil. Tiba-tiba, dia tercetus ide yang diharapkan bisa berhasil untuk meloloskan diri.

“Astagfirullahaladzim,” suara Pak Yono terdengar melolong. 

“Alah, bawa-bawa nama Tuhan aja lo, lagi kayak gini!” Ada nada cemoohan terdengar.

“Saya enggak akan ke mana-mana, kalau istri saya enggak dalam kondisi mau melahirkan,” cetus Pak Yono. Ide itu keluar begitu saja entah dari mana. Mungkin itu adalah bentuk pertolongan Tuhan.

Dia langsung merangkak masuk ke dalam mobil, dan mengambil tas kertas yang berada di bangku penumpang. Orang-orang hanya memperhatikan tingkah laku Pak Yono.

“Ini hadiah saya buat anak saya. Kalau Bapak-Bapak mau ambil mobilnya, silakan. Tetapi saya mohon, saya hanya ingin ketemu anak dan istri.” Pak Yono mulai terisak. 

Sebetulnya Pak Yono dalam kondisi bertaruh. Dia hanya berharap bahwa Allah memberinya jalan keluar yang mulus, agar bisa terlepas dari mara bahaya yang ada di depan mata. Dia sudah benar-benar pasrah.

Orang-orang itu saling melirik satu sama lain. Menunggu salah satu untuk mencetuskan keputusan yang akan diambil, untuk nasib Pak Yono. Tiba-tiba dari belakang muncul satu lelaki, yang langsung merebut dompet milik Pak Yono dari satu rekannya. Dia ambil dua lembar uang ratusan ribu yang ada di dalam dompet. Lalu ia berikan pada Pak Yono.

“Jalan aja, Pak. Tetapi, uangnya saya ambil. Di sini masih banyak yang belum makan sama minum,” kata laki-laki itu dengan suara dingin.

Pak Yono mengangguk-angguk. “Terima kasih, Bang.”

Bergegas Pak Yono masuk ke dalam mobil, dan melaju begitu orang-orang menyingkir memberi jalan. Pak Yono berusaha keras untuk menahan tangis, sedangkan air mata sudah membanjiri pipinya. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur kepada Tuhan atas keselamatan jiwa raganya. Mobil pun kembali meluncur di kegelapan malam, melewati jalan yang panjang menuju rumahnya.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Siti Yusuf
suasana nya pasti mencekam
goodnovel comment avatar
Qianas Shopp
Semoga Phey aman ya..
goodnovel comment avatar
De'nok S Nurhalizah
kasian pak yono
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • MEET AISHA IN 1998   Wanita Berpakaian Aneh

    Mobil berhenti, dan Phey pun sontak terbangun dari tidur sesaat. Tubuhnya terasa sakit, karena dia berbaring di lantai mobil, bahkan tak berani bergerak sedikit pun. Pintu penumpang belakang mobil terbuka, lalu Pak Yono menyingkap terpal yang menutupi tubuh Phey.“Non, kita sudah sampai,” ucap Pak Yono dengan suara pelan.Phey tidak menjawab. Hanya mengeluh lirih, lalu setengah merangkak keluar dari dalam mobil. Ia dipapah oleh Pak Yono, melewati halaman yang gelap dan cukup luas. Suasana di sekitar nyaris senyap. Mata Phey mengitari sekeliling, menatap pada bangunan satu lantai yang sederhana dihadapannya.“Rumah siapa ini, Pak Yono?” tanya Phey.“Rumah saya, Non.”Tangerang. Nama itu terlintas begitu saja di benak Phey. Keluarga Pak Yono tinggal di sana, sedangkan Pak Yono sendiri pulang satu minggu sekali. Phey diasingkan ke Tangerang, bukan karena keinginan, melainkan paksaan. Perasaan sedih mendera Phey, bagaimana orangtuanya? Bagaimana mereka bisa bertahan di Jakarta? Kenapa me

    Last Updated : 2023-07-10
  • MEET AISHA IN 1998   Sebuah Ide

    Mendengar pertanyaan Phey, Pak Yono tersentak kaget, begitu juga dengan istrinya yang sedang menata hidangan di meja makan. Pak Yono tidak bisa menahan lagi, akhirnya derai tawa laki-laki itu terdengar di seantero ruangan.“Ya Allah, Non Phey,” ucap Pak Yono masih berusaha untuk mengendalikan tawa.“Siapa, Pak? Pasti Bu Hamidah, ya?” tanya sang istri.Pak Yono mengangguk. “Iya, Bu Hamidah.”Bu Puji menghampiri Phey, lalu mempersilakan gadis itu untuk makan. Belum ada jawaban maupun penjelasan dari Pak Yono maupun istrinya, sehingga Phey menurut, dan duduk di meja makan. Dia masih menatap bergantian pada Pak Yono juga istrinya.“Ini supaya Non Phey paham, ya? Ibu Hamidah itu enggak sakit, dia sehat walafiat,” kata Pak Yono.“Tapi kenapa bajunya seperti itu? Memang supaya apa bajunya tertutup semua?” tanya Phey. Dia menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut, lalu bergegas mengunyah dan menelan cepat-cepat. “Enggak kepanasan apa, ya? Kan gerah kalau pakai baju hitam mana tertutup semua.”“

    Last Updated : 2023-07-10
  • MEET AISHA IN 1998   Merasa Lebih Cantik

    Kedua lengan Phey bersandar pada kusen jendela, dan matanya menatap ke area sekitar rumah Pak Yono. Rasa bosan menerjang, selama seharian penuh Phey hanya tinggal di dalam rumah. Dia tidak boleh membantu di dapur oleh istri Pak Yono. Otomatis, tidak ada kegiatan apa pun yang dapat Phey lakukan. Tetap saja, pada akhirnya dia lagi-lagi hanya tinggal di kamar.Sebentar lagi hari akan berganti, tampak matahari sudah memerah di ufuk barat. Lalu Phey mendengar sayup suara celoteh, yang makin mendekat. Rupanya rombongan anak-anak yang baru pulang mengaji. Phey memperhatikan dengan saksama, mereka tampak senang. Bahagia, tanpa beban. Memang, anak-anak tidak tahu menahu dengan masalah apa yang terjadi. Namun, Phey melihat bahwa dia ingin berada di tempat yang nyaman, seaman anak-anak itu yang tak memiliki kekhawatiran lebih. Phey bergegas keluar dari kamar, ia melihat Pak Yono dan istrinya sedang duduk di ruang tengah sembari berbincang pelan. Melihat Phey, keduanya langsung berhenti mengobr

    Last Updated : 2023-07-10
  • MEET AISHA IN 1998   Sebuah Gelenyar Rasa

    “Regaaa … astagfirullahaladzim!”Intonasi suara wanita setengah baya itu terdengar gemas, kesal, bercampur lelah. Ada senyum simpul ditunjukkan pemuda yang sedang memasang tali sepatunya di teras. Dia langsung menolehkan kepala ke samping, masih dengan senyumnya.“Kenapa, Bu?” tanya pemuda itu santai.“Mau ke mana lagi?”“Kan Ibu udah tahu.”Mata sang ibu melotot. “JAKARTA, MAKSUDNYA?”“Kalau udah tahu, kenapa harus nanya lagi?” kata Rega dengan suara tenang. Lagi-lagi tersenyum.Tiba-tiba Bu Siti Marfu’ah menjewer telinga putranya yang bernama Rega itu. Lengkapnya Rega Pranata Simbala—berumur dua puluh tahun. Sontak sang anak langsung mengaduh-aduh kesakitan. Bu Siti Marfu’ah melepaskan telinga Rega dengan jengkel.“Kuping kamu rusak?” hardik Bu Siti Marfu’ah.“Aduh, Bu. Sakit banget, ya Allah.”“Kalau masih kerasa sakit, berarti enggak rusak, kan?”Rega meringis kesakitan. “Ya, enggak.” Jawabannya berkebalikan dengan apa yang ia rasakan.“Eeeh!! Malah jawab!”Serbasalah, Rega memili

    Last Updated : 2023-07-10
  • MEET AISHA IN 1998   Namanya Aisha

    Teriakan Aisha di pagi itu membuat heboh seketika. Pak Yono berlari tergopoh-gopoh keluar dari rumah, begitu juga tetangga yang lain. Hal itu membuat Rega benar-benar syok sekaligus malu. “Rega?” Pak Yono sendiri terkejut melihat Rega terkapar di jalan dan Phey duduk tak jauh dari pemuda itu.“Pak, saya bersumpah. Saya enggak ngapa-ngapain! Saya kejatuhan pelepah kelapa!” seru Rega berusaha membela diri.Phey yang tidak berbicara sepatah kata pun, langsung beranjak berdiri dan berlari ke dalam rumah. Sedangkan Pak Yono membantu Rega untuk berdiri. Tetangga yang lain hanya menonton, bingung dengan apa yang terjadi.“Kenapa, Ga? Kamu gak apa-apa?” tanya tetangga depan rumah Pak Yono penasaran.Rega menggeleng cepat. “Kejatuhan pelepah kelapa.”Sang tetangga hanya menatap prihatin. “Hati-hati makanya kalau naik motor, jangan meleng.”Rega mengeluh dalam hati. Belum juga naik motor, kok tiba-tiba urusannya sama mengendarai motor. Justru Rega berusaha menolong wanita yang tinggal di rumah

    Last Updated : 2023-07-13
  • MEET AISHA IN 1998   Gayung Bersambut atau Keberuntungan?

    Rasanya Rega memiliki bodyguard baru karena sang ibu sudah berdiri di teras sembari berkacak pinggang, ditambah dengan mata melotot yang cukup intimidatif. Pemuda itu hanya memberi senyum tidak berdosa.“MAU KE MANA LAGI? DEMO?” Suara Bu Siti Marfu’ah sudah naik beberapa desibel.“Mau jalan-jalan aja. Biar kakinya enggak kerasa sakit.”“Ampuuun … punya anak kok begini amat, ya Allah!” Bu Siti Marfu’ah menepak dahinya sendiri. Kesal.“Masa jalan-jalan enggak boleh?” “Kan kamu lagi sakit kaki. Mau maksa jalan-jalan?” keluh sang ibu. “Rega, kamu itu kenapa, sih? Enggak punya pikiran sama sekali.”“Rega bosen di rumah, Bu.”Bu Siti Marfu’ah melihat penampilan Rega. Memakai kaus yang dipadu padankan dengan kemeja kotak-kotak, celana denim panjang, memang setelan ke kampus. Tetapi, dia tidak membawa tas atau alat tempur. Mungkin Rega berkata jujur, begitu pikir sang ibu.“Pakai sendal atau sepatu?” selidik Bu Siti Marfu’ah.“Penting, ya Bu?”“Oh, penting. Kalau pakai sendal, berarti bener.

    Last Updated : 2023-07-17
  • MEET AISHA IN 1998   Jangan Takut, Aisha

    Mungkin keputusan Phey mengiyakan permintaan Rega tempo hari lalu, membawa suasana baru bagi gadis itu. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Yono, Rega pemuda baik dan tidak macam-macam. Lagipula, Rega kelihatan cerdas, dan mampu mengimbangi pola pikir Phey yang banyak ingin tahu tentang berbagai macam dalam sudut pandang ilmu.Selama beberapa hari, Rega rutin datang. Hari itu pun ia bertandang kembali ke rumah Pak Yono, membawa buku-buku yang sama sekali tak pernah Phey baca sebelumnya. Ada beberapa buku yang bagus, tetapi entah kenapa Phey menyukai buku-buku bacaan anak, tentang kisah nabi. Tadinya buku itu dibawa Rega untuk bacaan anak-anaknya Pak Yono, tetapi justru Phey yang begitu tertarik. Di sana ada gambar ilustrasi, hanya saja sosok nabi hanya dituliskan dengan huruf arab dan pendaran cahaya. Itu membuat Phey penasaran.“Kenapa ya, gambar nabinya enggak ada?” tanya Phey sembari melihat lekat-lekat pada buku bacaan anak di tangannya.Rega tercenung sesaat. Sebetulnya di

    Last Updated : 2023-07-17
  • MEET AISHA IN 1998   Namaku Bukan Aisha

    Phey mendongakkan kepala, dan menatap pada Rega. Tampak mata gadis itu sudah berurai air mata. Membuat Rega lagi-lagi terkejut dibuatnya. “Mau pulang,” isak Phey. “Aku enggak mau di sini. Aku takut.”“Ya udah, aku antar kamu pulang.” Rega mencari-cari sosok ibunya.Bu Siti Marfu’ah menghampiri Rega dan Phey. “Aduh, kenapa ini? Enggak apa-apa?”“Bu, Rega mau anter dulu Aisha pulang. Nanti Rega ke sini lagi,” kata Rega cepat-cepat.Sang ibu hanya mengangguk, meski kelihatan bingung. Rega bergegas membantu Phey berdiri, dan memapah gadis itu menuju motor. Tidak lama, Rega dan Phey pun pergi dari gedung pernikahan. Bu Siti Marfu’ah masih berdiri di tempatnya, menatap kepergian sang anak dengan gadis tak dikenal.Bu Siti Marfu’ah bergumam tanpa sadar, “Siapa itu, ya?”*Motor masuk ke halaman rumah Pak Yono, dan Phey bergegas lari ke teras rumah. Ketika ia hendak membuka pintu, rupanya dikunci. Phey benar-benar panik, dia kelihatan gelisah.“Kok dikunci?” ucapnya panik.Rega menyusul Phey

    Last Updated : 2024-12-19

Latest chapter

  • MEET AISHA IN 1998   Akhirnya Bertemu Lagi

    “Kenapa ya, kamu ini malah pergi ke tempat-tempat yang bahaya?” keluh Bu Siti Marfu’ah.Perempuan itu tampak sudah pasrah melihat Rega sudah bersiap-siap untuk pergi ke ibukota, karena siangnya ia akan bertolak ke Aceh bersama rombongan relawan. Selang dua hari setelah menghubungi rekan-rekan almamater kampus, Rega dan Pak Mangara ikut dalam rombongan relawan.“Bahaya apanya, Bu? Di sana kan justru banyak orang butuh bantuan.”“Kita gak tahu kalau gempa susulan nanti datang, gimana?”“Doain Rega yang baik-baik, Bu. Dateng ke sana baik-baik aja, pulang pun selamat. Setuju?”“Terserah kamu aja lah.”Pergi ke Aceh bersama relawan, tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bu Siti Marfu’ah pada awalnya. Namun, saat Rega mengatakan dia harus ke sana, karena mendampingi atasan, akhirnya mau tidak mau Bu Siti Marfu’ah melepaskan izin. Tetap saja Bu Siti Marfu’ah selalu memberikan mimik wajah khawatir berlebih, sebelum Rega benar-benar berangkat.“Berapa lama kamu di sana?” tanya sang ibu. “Engg

  • MEET AISHA IN 1998   Kabar Genting

    Aisyah.Nama itu terus terngiang-ngiang di batin Rega, saat semalam Bu Siti Marfu’ah menyebut lagi. Tidak ada pembicaraan panjang setelah itu, karena Rega langsung pergi ke masjid. Menghindar, iya. Akan tetapi, dia juga tak mau dituduh terus memupuk harapan tak pasti pada sosok bernama Aisyah selama bertahun-tahun.Rega tidak memungkiri, bahwa dia tidak melupakan Aisyah.Sosok Anchie Phey yang sudah mengikrarkan hatinya untuk menjadi muslimah. “Rega!” Pintu kamar setengah digedor dari luar. “Kamu tidur lagi abis Subuh, heh?”“Enggak, Bu.” Rega membuka pintu kamar, dan melihat sosok sang ibu sudah berdiri di depan sana. Salah satu tangannya menenteng rantang dari bahan stainless. “Ini Syafa bawain sarapan. Cepet, kita makan dulu.” Bu Siti Marfu’ah langsung meletakkan rantang ke atas meja. “Kamu ajakin Syafa masuk, biar kita makan sama-sama.”“Ibu aja lah. Rega mau keluar ini.”“Lho? Mau ke mana?”“Olah raga!”Karena tidak mau dipusingkan oleh masalah percintaan, Rega bergegas keluar

  • MEET AISHA IN 1998   Sosok pengganti Aisha

    Sebuah tepukan keras mendarat di bahu Rega, sehingga pemuda yang sedang mendengarkan musik dari pemutar MP3 itu tersentak kaget. Rega menoleh dan melihat sosok pemuda lain berambut plontos duduk di sampingnya.“Tapa terus,” komentar pemuda itu sembari terkekeh pelan.“Dengerin lagu,” balas Rega enteng.“Eh, dengerin tuh nasihat orangtua. Bukan lagu.”“Orangtua yang mana? Yang lo denger aja nasihat orangtua botolan.”“Anjir, setan!”Pemuda itu tergelak keras. Namanya Robby, satu almamater dengan Rega. Mereka sama-sama mengambil lanjutan advokasi, dan magang di kantor advokat yang sama. Robby dan Rega memiliki sifat yang bertolak belakang. Rega lebih cenderung diam, sedangkan Robby ke mana-mana antara membuat suasana heboh atau kacau. Akan tetapi, mereka selalu kompak. Bahkan orang-orang di kantor advokat, selalu menganggap keduanya “partner in crime”. Yang sebetulnya, Rega amit-amit dalam hati.“Makan dulu, lah. Biar otak lancar,” celetuk Robby.Dia memesan sepiring ketoprak di mana t

  • MEET AISHA IN 1998   Rasa sakit karena cinta

    Matahari sudah menggeliat bangun dari peraduan, dan sinarnya mulai memasuki celah jendela. Phey duduk dengan tenang di teras, menunggu Pak Yono memanaskan mobil, dan setelah itu mereka segera kembali ke ibukota.Kali ini Phey siap pergi tanpa rasa gundah, dia sudah benar-benar tenang.Bahkan merasakan bahagia.“Non Phey, itu kok gak diminum teh manisnya? Nanti keburu dingin,” tunjuk Bu Puji pada secangkir teh yang ia suguhkan di meja, dan belum disentuh sama sekali. Wajah perempuan itu tersembul dari balik pintu.“Mau kok, Bu. Ini tunggu nasinya turun, saya kekenyangan. Abis nasi goreng buatan Ibu enak banget, sampai nambah.”“Aduh, cuma nasi goreng, apa enaknya? Non Phey ini suka berlebihan aja, ah.”“Bu, sekarang nama saya jadi Aisyah. Jangan panggil Phey lagi.” Phey terkekeh pelan.Aisyah.Itu nama yang Phey pilih setelah mengikrarkan syahadat. Meski butuh waktu untuk membuat orangtuanya menerima pilihannya kelak, tetapi Phey sudah bertekad untuk mengubah identitas. “Oh iya, Non A

  • MEET AISHA IN 1998   Menjemput hidayah

    Phey masih berdiri mematung di depan rumah Bu Siti Marfu’ah, bingung karena rencana yang telah dibayangkan mendadak buyar. Kata tetangga Bu Siti Marfu’ah sedang pergi bersama ibu-ibu pengajian ke Banten, sejak pagi tadi. Lalu Rega ke kampus, dan entah pulang kapan. Bahkan menurut penuturan tetangga, Rega sering pulang larut malam.“Gimana, nih?” gumam Phey pelan sembari mengembuskan napas berat.Meski kecewa, akhirnya Phey putuskan kembali ke kediaman Pak Yono. Jika memang ia tidak bisa bertemu dengan Rega, maka memang itu yang harus ia terima dengan lapang dada. Namun, baru saja hendak melangkah, Phey melihat sebuah motor mendekat, dan suara derumannya ia kenali betul.Motor Rega!Laju motor melambat, dan berhenti di hadapan Phey. Wajah Rega tidak bisa berbohong, dia begitu terkejut melihat gadis pujaannya ada di sana. Bergegas Rega turun dari motor, membuka helm dan menghampiri Phey. Dia tidak berkata satu patah kata pun. Dalam hatinya, Rega ragu. Teringat akan permintaan Bu Siti M

  • MEET AISHA IN 1998   Berdiskusi dengan Ustaz

    Perbedaan keyakinan itu seperti dua sisi mata pedang. Jika tidak berhati-hati, maka salah satu akan tersakiti. Maka tidak sedikit yang memberi petuah bijak, baiknya tetap mencari sosok yang satu iman. Bahkan satu keyakinan pun, belum tentu memiliki visi dan misi yang beriringan. Apalagi jika berbeda?“Kita sendiri tahu, beda umur yang jauh bisa jadi gunjingan orang. Menikahi duda atau janda, bisa dicibir juga. Mau enggak mau, kita enggak bisa menutupi penilaian orang-orang, Rega,” ujar Pak Ustaz.“Ya, kan tinggal gak perlu digubris, Pak. Yang menjalani rumah tangga, justru yang mau menikah, kan?”“Terus kamu enggak hidup di dalam masyarakat memangnya?” Pak Ustaz terkekeh. “Harus siap mental, Rega. Karena kita ini hidup di budaya yang ragam, masyarakat plural juga.”Kembali Pak Ustaz menjelaskan pada Rega secara hati-hati. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa yang berbeda bisa menjadi satu. Tetap saja, ada yang dikorbankan. Karena masing-masing keyakinan percaya, bahwa agama yang seb

  • MEET AISHA IN 1998   Keputusan yang tidak adil

    Rasanya hidup enggan mati pun tak mau, itu yang dilihat oleh Pak Wang acap kali menatap sosok Phey keluar dari kamar. Gadis itu hanya menemui keluarganya di saat jam makan, selebihnya dia banyak mengurung diri. Berkali-kali Ibu Niu hendak menegur putrinya, tetapi Pak Wang dan Ibu Mey melarang. Yang ada, Phey takkan mungkin bisa menerima apa yang dikatakan oleh sang ibu, malah bisa berontak. Hanya saja, melihat sikap Phey yang berhari-hari seperti itu, hinggap rasa khawatir di batin Pak Wang. Mungkin sebaiknya ia bicara dari hati ke hati dengan Phey, apalagi sudah diberi waktu untuk menenangkan diri selama beberapa hari. Pak Wang pun melangkah ke kamar Phey, dan mengetuk pintu pelan-pelan.“Phey? Ini Papa.”Tidak ada jawaban.“Phey? Kamu lagi tidur?”Baru saja Pak Wang hendak mengetuk lalu kunci pintu terdengar berputar, gagangnya pun bergerak ke bawah. Tidak lama pintu terbuka, dan Pak Wang melihat sosok yang selama beberapa hari ini selalu murung. Yaitu wajah Phey dengan mata beng

  • MEET AISHA IN 1998   Perdebatan sengit

    Firasat Bu Siti Marfu’ah benar-benar tidak enak, terlebih melihat wajah masam Ibu Niu yang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Begitu mendengar penuturannya, orangtua Phey kelihatan syok. Namun, Ibu Mey buru-buru mengajak semua berembuk di dalam.Di ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang kecil itu, duduk Rega berdampingan dengan sang ibu. Phey diapit ibu juga adik ayah, sedangkan Pak Wang berada di antara kedua kubu.Rega menceritakan semua, mengenai kedekatannya dengan Phey tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dari kaca mata Ibu Mey, dia tahu bahwa Rega anak yang baik, dan kemungkinan Phey tertarik tentu saja itu bisa terjadi.“Jadi, Nak Rega bermaksud untuk melamar putri kami,” ucap Pak Wang. “Tapi, apa Nak Rega tahu bahwa Phey itu berbeda keyakinan? Karena kami sebagai keluarga, mohon maaf … tentu akan sulit untuk menyetujuinya.”“Tapi Papa kan tahu, kalau Phey pengin jadi muslimah. Phey udah bicara sama Papa tentang ini,” tegas Phey, dan tampak matanya memerah juga berkaca-kaca. “Ini hidu

  • MEET AISHA IN 1998   Tiba-tiba ngajak nikah

    “Pernikahan itu sesuatu yang sakral.”Ucapan Rega bukan bermaksud meredupkan harapan Phey, bukan pula menyepelekan apayang disampaikan gadis itu. Jika mengikuti kata hati, Rega akan meminang Phey hari itu juga.Hanya saja, mereka harus melihat realita.Kehidupan pernikahan itu begitu berliku, meski bisa saling bahu membahu. Namun, jikamereka memulai dengan langkah yang salah, Rega pun tidak mau. Tetap merekamembutuhkan yang namanya restu.Tidak ada jawaban dari Phey. Sudah jelas, ada kekecewaan mendera di hatinya.“Ada yang harus kita siapkan, sebelum memutuskan menikah, Aisyah. Mental palingpenting,” ujar Rega.“Kakak enggak mau kita nikah?”“Menikah sama kamu, itu seperti mimpi menjadi kenyataan.”“Terus kenapa sikap Kakak justru kayak yang nolak?”“Aisyah, dengar dulu ….”Rega menjelaskan bahwa jika mereka menikah, karena Phey ingin keluar dari lingkarankeluarganya bukan suatu solusi. Ketika dua insan saling menautkan janji, itu untukmenyatukan dua keluarga. Bukan untuk memis

DMCA.com Protection Status