“Adnan, bawa mobilnya pelan-pelan aja, nggak usah ngebut, kasihan cinta nanti takut.”
“Ehey, nggak apa-apa, Tante. Cinta tuh malah suka loh dibawa ngebut. Kalau kebutan-butan ntar jantung Cinta berdebar kayak pas lagi deket-deket Mas Adnan,” ucap Cinta, cengengesan.
Indah pun tertawa. Wanita itu mencolek dagu gadis yang ia harap dapat mengisi kursi menantu di keluarganya. “Waduw-Waduw.. Bisaan banget nih, Cinta. Padahal Adnan yang digombalin, tapi kok Tante yang happy, ya?!”
“He-he-he..”
“Cinta..”
Cinta memalingkan wajahnya menghadap Adnan. Gadis itu tersenyum sembari menjawab, “ya, Sayang?”
Jawaban nyeleneh ala Cinta itu membuat Adnan mengembuskan napas. ‘Sabar,’ batin Adnan. Seperti itulah Cinta. Ia tak perlu mengambil hati kenyelenehan sekretarisnya.
“Ayo.. Jam makan siang sudah terlewat.” Ajak Adnan, sangat baku, berbeda saat dirinya tengah berbincang dengan keluarganya.
Perbedaan sikap itu nyatanya mengusik maminya. Diah pun langsung menegur Adnan, mengatakan jika sikap putranya terlihat sangat menjengkelkan. “ini Cinta loh, Adnan! Anaknya Tante Nirmala, bukan bawahan kamu yang lainnya!” tutup Indah, mengingatkan siapa Cinta di hidup mereka.
Bagi keluarga Adnan, Cinta bukanlah orang luar. Sosoknya telah dikenal sejak gadis itu memakai diapers. Mereka bahkan sempat bertetangga sebelum akhirnya keluarga Cinta pindah ke kawasan lain.
Keluarga Cinta pindah karena mengalami kemerosotan usaha. Untuk mempertahankan showroom yang dibangun secara turun-temurun, ayah Cinta yang menjadi penerus pun terpaksa menjual rumah mewahnya sebagai modal tambahan.
Beruntung keadaan tersebut tak berlangsung lama. Meski tak dapat membeli kembali rumah yang mereka jual, tapi hunian tempat Cinta tinggal sekarang tergolong berada di kawasan yang sama elitnya dengan dulu.
“Kamu tau sendiri kan, gimana Mami sayang banget sama Cinta?”
“Maafin Adnan, Mi.. Adnan kebiasa karena di kantor kita kan nggak boleh beda-bedain karyawan.”
“Ck, alasan!” decak Indah, tak menerima alibi yang putranya kemukakan.
“Cinta, jangan sakit hati ya.. Adnan emang gitu sejak kenal sama pacar barunya..”
Hah! Beginilah deritanya jika cinta tak direstui. Membuat sedikit masalah, kekasihnya pasti dibawa-bawa. Padahal kekasihnya saja tidak sedang bersama mereka.
“Cinta oke aja kok, Tante..” Cinta berjinjit. Gadis itu mendekatkan bibirnya ke telinga Diah seraya berbisik, “malah seksi tau Tan cara ngomongnya Mas Adnan. Cinta berasa lagi ngejar-ngejar Om-Om, hihihi..”
Kalimatnya itu pun meledakkan tawa Diah hingga terpingkal.
“Emang nggak salah Tante milih kamu jadi calon mantu..”
Adnan lagi-lagi memperluas stock sabarnya.
Ia sudah menganggap Cinta seperti adik sendiri. Tak sekali pun ia pernah melihat Cinta sebagai seorang wanita. Setiap pertemuan yang mempertemukan mereka sebelum terjadinya kontrak kerja, ia artikan layaknya jam pengasuhan dadakan.
“Mi, Bagas udah keliatan tuh..”
“Ah, iya, iya.. Cinta, besok kita makan siang bareng lagi ya..”
“Iya, Tante. Natha juga mau maem sama Tante Cinta lagi.”
“Cip, Cip! Besok Tante Cinta bawain cimol ya buat kita ngemil.”
“Aaaa, maauuu...” pekik Nathania, tampak begitu antusias.
Antara Cinta dan Nathania memang sangatlah dekat. Mungkin karena Cinta termasuk pribadi yang humble, sehingga anak kecil pun senang bermain dengannya.
Indah dan Grace bercipa-cipiki sebelum ketiganya berpisah, sedang Nathania melambaikan tangan, berdada kepada Cinta sebagai salam perpisahan mereka.
“Mas..”
“Ya, Cin?”
“Kok diem? Mas nggak ngambil mobil?” tanya Cinta.
Adnan tertegun. Sekretarisnya memang agak lain. Gadis itu tak seperti sekretaris kebanyakan. Bisa dikatakan, disini, ialah yang tampak seperti pekerja.
“Heum, Mas ambil dulu. Kamu jangan kemana-mana.”
Cinta menyodorkan ibu jarinya, tanda bahwa dia mengerti akan perintah Adnan.
DI DALAM MOBIL yang Adnan kemudikan, Cinta yang merasa bosan pun merubah posisi duduknya.
“Mas.. Mas Adnan..” Panggilnya, mendayu, meminta perhatian dari atasannya yang kini sedang mengontrol roda kemudi.
“Cinta mau tanya sesuatu boleh nggak?”
“Tergantung dengan apa yang akan kamu tanyakan Cinta.”
“Aih, kok gitu sih, Mas?” protes Cinta, mencebik.
“Saya sedang fokus sekarang. Kalau kamu tanya yang aneh-aneh, kemungkinan besar kita bisa kecelakaan dan membahayakan pengendara lain.” Aku Adnan, jujur sekali.
Cinta pun mengerucutkan bibir. Telunjuk gadis itu terulur, menusuk-nusuk lengan kiri Adnan yang berbalutkan tuxedo hitam.
“Nggak aneh kok, cuman agak ke ranah pribadi.. Boleh ya?” Rayu Cinta, memelas.
Tak tega mendengar nada lemah Cinta, Adnan pun mengalah. Pria itu memberikan izinnya dengan syarat Cinta tak boleh menanyakan sesuatu yang menyebabkan keduanya ke dalam masalah.
“Yeeee!! Makasih Mas.. Cinta mulai ya..”
Dibalik roda kemudi, Adnan mempersiapkan mental. Ia tidak tahu hal pribadi apa yang akan Cinta sasar— hanya saja, ia perlu untuk mempersiapkan diri mengingat uniknya sekretarisnya.
“Ehem.. Jawab yang jujur ya..”
Cinta mengepalkan tangannya lalu mengantarkan kepalannya ke depan bibir Adnan, seakan menganggap jika tangannya itu adalah sebuah microphone.
“Pertama, apa sih yang bikin Mas suka sama Mbak Ara?”
Diam-diam Adnan merasa lega. Ternyata Cinta tidak sedang kumat, begitulah pikir pemuda yang hampir melewati masa expirednya itu.
“Karena dimata saya dia sangat cantik,” tutu Adnan, bangga dengan kecantikan kekasihnya.
“Alah, basi! Mana ada cewek yang nggak cantik Mas Adnan! Mas Adnan nggak asik nih!”
Adnan pun terkekeh. “Kan kamu suruh saya jujur, Cin. Saya sudah jujur loh..”
“Hih!! Old people emang nggak kreatif!” dumel Cinta.
“Next..” Adnan meminta Cinta untuk menggulir pada pertanyaan selanjutnya. Jika tidak salah dengar, Cinta tadi menyebutkan adanya indikasi kalau pertanyaan yang akan dia ajukan tak hanya satu buah saja.
“Apa iihh! Belom, belom! Kasih jawaban lagi, ya kali, cuman itu doang yang bikin Mas Adnan klepek-klepek sampe nentang keluarga!”
Cinta ingin mengorek informasi lebih dalam. Kalau hanya cantik saja, pesonanya sebagai gadis cantik juga tidak kaleng-kaleng. Ia bahkan selalu menjadi most wanted setiap kali bersekolah— itulah mengapa saat cintanya bertepuk sebelah tangan, harga dirinya sangat-sangat menolak untuk percaya.
“Oke, Oke.. Tolong duduk yang tenang, Cinta. Tangan kamu menghalangi pandangan saya.”
Cinta menurunkan tangannya, membenarkan letak microphon abal-abalnya sesuai perintah Adnan.
“As person, Arabela menawan. Dia mandiri..”
“Aduh, Mas Adnan!!” Sekali lagi Cinta mengudarakan protesnya. “Kalau mandiri sih Cinta juga mandiri, Mas. Tiap hari loh Cinta mandinya sendiri!”
Adnan tidak tahu apakah ia harus menangis atau tertawa mendengar dumelan sekretarisnya. Siapa pun pasti tahu bukan ‘itu,’ yang dirinya maksud dengan kata mandiri.
“Udah deh, kita ganti aja sistem jawabnya.. Jawaban Mas jelek, nggak memuaskan rasa ingin tahunya Cinta!”
Cinta lantas menjelaskan jika Adnan hanya perlu menjawab dengan ‘ya’, atau ‘tidak,’ dari setiap pertanyaan yang gadis itu ajukan.
“Paham kan, Mas?”
“Ya, Mas paham, Cinta.”
Cinta bertepuk tangan sekali.
Pak!
“Okay, here we go! Bener atau nggak Mas suka sama Mbak Ara karena teteknya super gede?!”
Cyyyiiiiittttt!!!!
“Ya Ampun, Mami kan udah bilang, bawa mobilnya tuh pelan-pelan.. Belom juga ada satu jam kita pisah, ketemunya malah di kantor polisi!” “Coba kamu jadi anak tuh nurut apa kata Mami, Nan.. Dijamin hidup kamu bener, nggak kena azab kayak begini!”“Udah tua loh kamu itu!”Adnan harus rela mendengar caci-maki maminya. Perempuan itu tidak tahu saja jika yang gadis yang disukainya lah yang menyebabkan anak laki-lakinya digelandang menuju polres setempat.“Mami, enough ya.. Diliatin Pal Polnya tuh, Mam..” Ucap papi Adnan, mencoba menenangkan sang istri yang uring-uringan. “Bela aja terus, Pi.. Adnan ini mending nggak usah balik Indo kalau kerjaannya bikin kesel Mami aja..”Adnan mengerjapkan kelopak matanya. Padahal ia pulang ke tanah air sudah lama sekali, itu pun karena desakkan sang mami yang tak mengizinkannya menetap di Singapura.“Cinta, Sayang.. Kamu baik-baik aja kan? Nggak ada luka apa lecet kan, Sayang?!” Cinta mengangguk, “nggak ada, Tante.. Jantung Cinta doang aja yang rasany
Bagaimana caranya agar Cinta mengerti bahwa hubungan mereka tidak dapat berkembang menjadi sebuah romansa?!— Hal rumit itu lah yang terus Adnan pikirkan sejak ia memasuki ruang kerjanya.Adnan tak memikirkan mobil mahalnya yang harus memasuki tempat reparasi. Ia merasa bahwa kejadian naas itu terjadi akibat kesalahannya yang rupanya masih belum sigap menghadapi sikap ajaib sekretarisnya.“Cinta.. Bagaimana cara untuk menghentikan kamu..” monolog Adnan sembari mengetuk-ngetukkan punggung ruas jari tengahnya pada meja kerjanya.Bibir pria itu terlipat ke dalam dengan wajah yang kental akan ekspresi berpikir dalam.“Hah!” hembus Adnan melalui kedua lubang hidungnya.Sungguh, kasih sayang yang cinta berikan untuknya sangatlah memberatkan. Dengan menolak Cinta bukan berarti dirinya ingin menyakiti hati gadis itu.Tidak— bukan seperti itu maksud Adnan.Ia menolak karena ia memang tak memiliki perasaan lebih terhadap anak sahabat ibunya. Selain itu, ia juga harus menjaga hati kekasihnya seka
“Mas Oppa, Mas..”“Cinta, Mas dan Oppa kan artinya sama. Pakai saja salah satu.” Ujar Adnan, mencoba membenahi panggilan ganda yang diberikan Cinta untuk Nathan.“Loh, enggak.. Menurut Cinta tuh harus disebut dua-duanya, Mas Adnan.”Nathan tertawa kecil. Sejak Cinta membawakan sendiri minuman yang Adnan pesan untuk dirinya, ia sudah mengira jika Cinta pasti akan bergabung ke dalam obrolan mereka— dan benar saja.. Alih-alih kembali ke mejanya, gadis itu justru mendudukkan diri pada lengan single sofa yang Adnan tempati.Anehnya, sebagai seorang atasan sekaligus anak pemilik perusahaan, Adnan sama sekali tidak terlihat memendam amarah kala mendapati kelancangan bawahannya. Pria itu bersikap biasa saja seolah hal tersebut bukanlah bentuk ketidak-sopanan pekerjanya.“Ya sudah.. Suka-Suka kamu saja, Cin..” balas Adnan dengan helaan napas yang menjadi pembuka kalimatnya.“Mas Adnan nggak nanya alasannya?”“Saya harus tanya?”“Ung..” Angguk Cinta.Nathan menyimak interaksi keduanya. Kalau sa
Adnan merasa tak tenang. Dia dalam lift yang membawa-nya turun, kakinya terus saja bergerak mengelilingi kotak lift.Sampai pada lobby perusahaan keluarganya, Adnan pun bergegas untuk keluar. Pria itu lalu memacu kuda-kuda kakinya.“Selamat siang, Pak Adnan..” Sapa beberapa karyawan setiap kali mereka berpapasan dengan Adnan.“Ya, ya.. Sorry saya buru-buru..” Ucap Adnan, meminta pengertian jika saja tanggapannya terdengar dingin ditelinga para karyawannya.Ketika indera penglihatannya menangkap Cinta yang hendak menaiki sebuah mobil, Adnan pun berteriak disela-sela langkah kakinya. “Cintaaa... Ciiiin!!”“Cin.. Tunggu Mas, Cintaa!!”Nahas, Cinta mengabaikan panggilan Adnan. Meski gadis itu sempat ditahan oleh pihak keamanan yang berjaga di depan pintu lobby, nyatanya Cinta tetap menutup pintu mobilnya dan berlalu pergi seolah Adnan tak pernah memanggil namanya.“Pak, kenapa sekretaris saya dibiarkan pergi?”“Bu Cinta bilang ada emergency, Pak Adnan.”“Ya?”“Kata Bu Cinta, Ayahnya ketahu
‘Maaf, pemilik nomor yang Anda hubungi sedang tidak mood berbicara dengan Anda. Silahkan hubungi lagi tahun depan..’Klik!Dibalik roda kemudinya, Adnan pun terperanjat. Ia bahkan belum sempat melayangkan salam sapaan, tapi pemilik nomor yang ia hubungi sudah lebih dulu memblokade akses komunikasi mereka.Tahu jika Cinta akan mengulangi hal yang sama, Adnan pun memilih mengirimkan pesan singkat melalui aplikasi perpesanan.Cinta, kamu dimana? Bisa kita bertemu? Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan kamu.Satu detik setelah pesannya terbaca, kedua mata pria itu pun membola. Ia tak lagi menemukan foto Cinta pada profil kolom chat mereka. Singkatnya, kontaknya telah dimasukkan ke dalam daftar hitam atau ramai dikenal dengan block.“Lalu saya harus bagaimana?” gumam Adnan, bermonolog. Hubungan dengan maminya sedang dipertaruhkan, sedangkan Cinta yang memegang kunci dari hubungan mereka justru menghilang.Ponsel Adnan berdering. Tanpa melihat ID penelepon, Adnan yang mengira jik
Susah payah Adnan mengejar dan menangkap tubuh Cinta. Setelah bermain kejar-kejaran mengelilingi tenda restoran, Adnan akhirnya dapat memboyong Cinta ke dalam mobilnya.Andai saja gadis itu tak kehilangan energi, mereka mungkin akan bermain sampai matahari menyinari kota Jakarta.“Kamu terlalu unik sampai-sampai saya nggak kuat ngadepinnya, Cinta.”“Babi, go away.. Gue naksirnya udahan aja.. Capek..” Racau Cinta, pelan, sembari memiringkan tubuhnya.Adnan mengulum bibirnya. Ia lalu membalas racauan yang Cinta udarakan dengan, “ya.. Lebih banget begitu, Cinta. Jangan sakit lagi gara-gara saya. Saya yakin di luar sana akan ada laki-laki yang jauh lebih pantas menerima cinta kamu.” Adnan membelai puncak kepala Cinta. Namun ia segera menarik tangannya cepat.Pekerjaan rumah Adnan tak selesai hanya pada ditemukannya Cinta. Tertangkapnya gadis yang kabur itu menjadi titik awal pekerjaan besar Adnan.Cinta yang tak sadarkan diri tidak memungkinkan untuk diantarkan pulang ke kediaman orang tua
Hangat!Cinta merasakan kehangatan seolah guling yang ia dekap dalam tidurnya berbeda dengan malam-malam sebelumnya.Guling itu terasa seperti suhu tubuh manusia, terlebih telinganya juga menangkap adanya detak beraturan yang tampaknya berasal dari jantung seseorang.‘Wait, jantung?!’Sadar akan adanya keganjilan pada gulingnya, mata yang tertutup pun terbuka dengan lebarnya.Cinta termangu dalam keadaan shock berat.“Shit!” Cinta mengumpat tertahan kala menyadari jika dirinya kini tidak sedang berada di kamarnya.“What, What..” Pekik Cinta panik dengan tubuh terdorong ke belakang. Bersamaan dengan hal itu, Cinta pun mengetahui jika saat ini dirinya tengah tertidur di dalam pelukan seseorang.Kedua mata Cinta pun terbelalak hebat. Ia menyusupkan kedua tangannya pada sela-sela tubuh keduanya, lalu membekap mulutnya kuat-kuat.“Te-telanjang..” gagap Cinta usai mengetahui penampilan pria yang memeluknya.Jangan tanya mengapa Cinta bisa mengetahui jenis kelamin manusia jahanam yang melaku
Berselang beberapa detik dari kepergian Cinta, Adnan pun mengekor keluar. Pria itu berjalan cukup santai meski tahu kehebohan seperti apa yang nantinya akan menimpanya.“Mbak, tolong sisir untuk rapiin rambut Mbak Cinta..” pinta Adnan pada pelayan yang baru saja menyuguhkan jamuan untuk kedua orang tua Cinta.Ia memposisikan diri dibelakang tubuh Cinta, melayangkan tangan kanannya pada puncak kepala sang adik. “Rambut kamu acak-acakan, Cin. Sini saya rapihin.” Ucapnya membuat orang-orang yang melihat keduanya terhenyak ditempat.Keadaan tersebut tak berlangsung lama. Setelah mampu menguasai dirinya, ibunda Cinta pun mengirimkan sinar laser dari sorot matanya yang tajam.“Cinta.. Bisa kamu jelasin kenapa kamu ngilang, terus tiba-tiba malemnya nginep di rumah Tante Diah?”“An-Anu..” Cinta membelitkan jari tangannya, tampak kentara jika dirinya sedang gugup.Setelah mendapatkan informasi terkait keberadaan sang putri, baik Nirmala atau pun Dimas, keduanya berniat membawa pulang Cinta. Nam
“Hiyyaaaa!! Ya udah kawinnya sama aku aja, Oppaaaa!”“HEEEEEE!!”Tempelengan lembut tak ayal mendarat dikepala Cinta. Pelakunya adalah Adnan yang tak lagi bisa menahan kekesalannya kepada sang istri.Disaat tubuh istrinya oleng ke samping, pria itu dengan cepat menarik lengan sang istri lalu memerangkap tubuhnya ke dalam pelukkan.“Mas! Kamu noyor kepala aku?”“Mas nggak mau minta maaf, abis kamunya yang mulai duluan.” Tutur Adnan, kali ini tak akan merendahkan diri demi melindungi dirinya dari amukan istri cantiknya.Sekali-kali wanita bar-bar yang ia nikahi harus tahu kapan tepatnya wanita itu boleh bercanda dan dengan candaan seperti apa yang boleh dia lontarkan sehingga tidak mengusik batas kesabarannya.“Aku sampe..” Cinta menelengkan kepalanya. “Wiiiing!” lalu mendorong kepalanya untuk me-reka ulang adegan.Situasi yang semula tegang pun mencair dengan sangat cepat. Dua bintang utama yang belum lama ini masih berdebat tentang sebuah pernikahan, kini berusaha keras untuk tak mene
Gentleman— tak ada lagi kata yang dapat mendeskripsikan betapa memukaunya seorang Nathan didalam benak Cinta.Pria itu begitu cepat bergerak seolah dirinya tengah berlomba dengan waktu. Dia benar-benar menepati ucapannya. Memboyong ibu kandungnya datang melamar disaat hari bahkan belum berganti.“Sat-set banget ya, Mas. Nggak nyesel deh aku pernah ngefans.”“Nakal.” Pungkas Adnan, mencubit gemas pipi kiri sang istri.Jujur saja, jika mengikuti kata hati, ia cemburu. Ia tidak suka Cinta memuja pria lain meski pemujaan itu tak lagi dilakukan oleh istrinya. Namun untuk kali ini saja, ia akan memendam kecemburuannya. Menurutnya, sahabatnya memang layak dipuja.“Dia itu kayak Mas, Yang. Kalau udah serius ya nggak pake lama.”“Idih! Iyain aja deh.”“Eh, kok gitu? Kan Mas langsung ngelamar kamu juga, Yang.”“After many drama ya, Mas. Kamu nggak amnesia kan, kalau pernah mau ngasih aku ke Oppa?”Pertanyaan itu membuat Adnan meringis.“Kalau mantan kamu nggak ketahuan selengki, sekarang mungkin
“Yang..” rengek Adnan.Persetan dengan citranya dihadapan keluarga. Nasib dan akal sehatnya sekarang sedang dipertaruhkan. Ia bisa gila jika Cinta benar-benar menginginkan perceraian.“Eung?”“Tarik kata-kata kamu, Yang. Tarr-riiik!” pinta Adnan sembari mengguncang tubuh Cinta.Ia tahu istrinya memang mempunyai cara berpikir yang unik. Namun ini sungguh terlalu! Mana ada sih manusia yang meminta cerai hanya untuk mendapatkan lamaran ulang?Cuma Cinta saja kan? Iya kan?!“Ayo, Yang. Tarik! Bilang kalau kamu cuman bercanda, Yang.”Cinta mendongak, menatap Adnan. “Mas, ini ngidamnya anak kamu loh.” Ujarnya dengan tangan membelai si buah hati.Beberapa kali Cinta mengerjap, membuat bulu matanya bergerak naik-turun.“Masa ngidam anak kita udah lewat, Sayang. Please jangan gunain dia buat kepentingan pribadi Maminya.”“Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah.” Pekik Cinta bernada. “Sungguh kejam fitnahanmu, Kisanak. Kenapa engkau begitu teg..”Adnan menghentikan ucapan ngelantur sang istri dengan melet
Tidak ada yang salah dengan apa yang Cinta lakukan. Meski terkesan mencampuri urusan pribadi orang lain, tapi Cinta melakukannya untuk kebaikan orang-orang yang dirinya kasihi. Tanpa campur tangannya, hubungan Grace dan Nathan akan diam ditempat. Mereka akan berdiam seolah menerima takdir, lalu hidup dalam penyesalan karena hidup didalam kepengecutan. Sungguh, Cinta tidak ingin itu terjadi. Menurutnya, yang keduanya butuhkan hanyalah sebuah keberanian. Keberanian untuk mencoba. Keberanian untuk menepikan ketakutan. Dan keberanian untuk bersikap jujur pada diri sendiri. Hal ini Cinta tujukan kepada Grace, kakak iparnya. Cinta mungkin tak tahu seberat apa peperangan batin yang dirasakan Grace. Ia tidak berada diposisi yang sama dengan kakak iparnya. Akan tetapi, melihat wanita itu terus membentengi diri dengan mekanisme yang menurutnya salah, sebagai adik ipar, Cinta ingin Grace mengalir saja seperti air. Toh apa yang ditakutkan oleh wanita itu belum tentu terjadi. Jika pun k
Grace tak dapat menahan helaan napasnya sesaat setelah adik dan iparnya berlalu pergi meninggalkan dirinya bersama dengan si pembuat onar.Pembuat onar itu— sebut saja dia NATHAN. Tak perlu menggunakan inisial segala. Namanya pun harus ditulis kapital agar semua orang tahu bahwa pria yang katanya pernah menjadi idaman kaum hawa ditempat mengenyam pendidikan itu, tak ubahnya manusia alay ketika menghadapi sesuatu yang tak sejalan dengan keinginannya.“You!” erang Grace melihat cengiran lebar, terbentuk pada wajah tampan Nathan.Demi Nathan yang katanya berulah karena dirinya, Grace bahkan rela meninggalkan putri semata wayangnya.Nathania memang terlelap, tapi anak itu bisa saja terbangun. Dia pasti akan menangis karena tidak menemukan dirinya.“Hai, Grace.. Welcome home, Sayang.”“Gundulmu!” maki Grace keras. Rasanya ia ingin sekali memukul kepala Nathan. Entah apa yang bersarang di dalam kepala pria itu. Bisa-bisanya pria sibuk seperti dirinya menggalau hanya karena seorang janda.“W
“God!” erang Cinta sesaat setelah dirinya meninggalkan bilik kamar mandi.Sumpah demi suaminya yang tampan, ia lebih baik mendatangi konser Oppa-Oppa kesayangannya dibanding masuk ke dalam kelab malam. Entah apa yang para pengunjung sukai dari hingar-bingar menyakitkan mata dan telinga ini— sungguh, Cinta sendiri juga bingung dengan selera masokis manusia-manusia yang menurutnya aneh itu.“Nih kebanyakan yang dateng kesini human-human kebanyakan energi kali! Kalau gue sih mending molor ya tengah malem gini! Hiiih!” Racau Cinta, berjalan keluar untuk menghampiri Adnan yang ia tinggalkan.“Sayang, kenapa?” tanya Adnan, heran saat melihat sang istri yang terus saja bergidik sembari menutup kedua lubang telinganya.“Bising banget! Budek aku lama-lama!”Adnan terkekeh renyah. Ia belai puncak kepala sang istri. “Habis ini kita bawa pulang aja si Nathannya, Yang.” Tuturnya dengan mempertahankan belaian pada kepala istri cantiknya.Untuk golongan anak rumahan seperti Cinta, kelab malam pastil
Siang itu tidak ada balasan, terlebih persetujuan yang terlontar dari mulut Nathan. Pembicaraan terkait hubungan mereka pun berakhir mengambang. Terhenti begitu saja tanpa adanya bait penyelesaian.Dihadapan Nathania pun, keduanya bersikap seolah tak pernah terlibat dalam sebuah ketegangan. Mereka berinteraksi normal layaknya sepasang kekasih pada umumnya— dengan saling mencurahkan perhatian, khususnya untuk si kecil ‘Thania.’Namun apa yang tampak siang itu, sungguh berbeda dengan apa yang Nathan perlihatkan dihadapan sahabatnya.“Wae geurae?” bentak Nathan dengan tangan mencengkram kerah kemeja Adnan.Sial sekali bagi Adnan. Ditengah malam yang seharusnya dapat ia gunakan untuk memeluk erat tubuh sang istri, ia justru harus sibuk mengurusi tingkah polah pelaku peneroran nomor pribadinya.“Sayang.” Adnan meneleng, memalingkan wajahnya ke arah Cinta yang sibuk merekam kegilaan sahabat karibnya.“Waeeee?” sentak Nathan sembari mengguncang tubuh Adnan.Adnan meringis. Ingin sekali rasany
“Hye?” pekik Nathan, tersentak. Pria setengah Korea itu kembali bersuara setelah berhasil menguasai keterkejutan yang dialaminya. “I mean, apa maksud kamu, Grace?” tuntutnya, kali ini dengan intonasi yang lembut.Grace sendiri tampak tak dapat mengendalikan kecemasan pada raut wajahnya. Perempuan itu ingin membuka mulut, tapi tak ada satu pun kalimat yang akhirnya keluar dari bibirnya.“Grace?”“...” Sayangnya, panggilan Nathan tak membuahkan hasil. Grace— wanita itu tetap setia dengan kebungkamannya.“Karena kamu nggak ngejawab, aku anggap kamu nggak pernah ngomong kayak tadi. Or, kita bisa bahas ini dilain waktu when nggak ada Thania yang nungguin kita.” Ucapnya lalu berjalan melewati Grace.Menyadari tak adanya pergerakan dari wanita yang menjalin kesepakatan dengannya, Nathan pun menghentikan langkah kakinya. Sahabat Adnan itu kemudian memutar tubuhnya. Berkata, “We have to hurry. Apa kamu ingin membuat Thania marah karena kita yang terlalu lama?” Meski bersama pengasuhnya, pembica
Melihat keadaan Adnan, Nathan yang semula ingin meminta pendapat, mengurungkan niatnya. Pemuda yang saat ini tengah menjalin kerjasama asmara dengan kakak sahabatnya itu, memutuskan berpamit dengan meninggalkan sebuah pesan yang ia tinggalkan untuk sahabatnya.Jangan sampai menyesal kalau sampai gantian Cinta yang marah ke kamu— begitulah isi pesan yang ditinggalkan oleh Nathan. Pria itu memperingati Adnan supaya tidak melanjutkan ngambeknya mengingat aksi kekanakannya bisa saja menjadi boomerang yang menyerang dirinya sendiri.“Kalau aku translate kata-katanya Oppa..” belum sempurna Cinta mengucapkan kalimatnya, Adnan pun sudah bergegas mengosongkan kursi kerjanya.Pria yang menikahi Cinta setelah menjadi korban perselingkuhan itu, berjongkok tepat dibawah kaki-kaki istrinya. Telapak kakinya berjinjit untuk menyamakan tinggi tubuhnya dengan sepasang paha sang istri yang lututnya sedang terlipat. “Mas salah, Sayang. Jangan bales dendam ya?”Insting Adnan mengatakan jika otak pintar san