Share

[3] Pertanyaan Pembawa Bencana

“Adnan, bawa mobilnya pelan-pelan aja, nggak usah ngebut, kasihan cinta nanti takut.” 

“Ehey, nggak apa-apa, Tante. Cinta tuh malah suka loh dibawa ngebut. Kalau kebutan-butan ntar jantung Cinta berdebar kayak pas lagi deket-deket Mas Adnan,” ucap Cinta, cengengesan.

Indah pun tertawa. Wanita itu mencolek dagu gadis yang ia harap dapat mengisi kursi menantu di keluarganya. “Waduw-Waduw.. Bisaan banget nih, Cinta. Padahal Adnan yang digombalin, tapi kok Tante yang happy, ya?!”

“He-he-he..” 

“Cinta..”

Cinta memalingkan wajahnya menghadap Adnan. Gadis itu tersenyum sembari menjawab, “ya, Sayang?”

Jawaban nyeleneh ala Cinta itu membuat Adnan mengembuskan napas. ‘Sabar,’ batin Adnan. Seperti itulah Cinta. Ia tak perlu mengambil hati kenyelenehan sekretarisnya.

“Ayo.. Jam makan siang sudah terlewat.” Ajak Adnan, sangat baku, berbeda saat dirinya tengah berbincang dengan keluarganya. 

Perbedaan sikap itu nyatanya mengusik maminya. Diah pun langsung menegur Adnan, mengatakan jika sikap putranya terlihat sangat menjengkelkan. “ini Cinta loh, Adnan! Anaknya Tante Nirmala, bukan bawahan kamu yang lainnya!” tutup Indah, mengingatkan siapa Cinta di hidup mereka.

Bagi keluarga Adnan, Cinta bukanlah orang luar. Sosoknya telah dikenal sejak gadis itu memakai diapers. Mereka bahkan sempat bertetangga sebelum akhirnya keluarga Cinta pindah ke kawasan lain. 

Keluarga Cinta pindah karena mengalami kemerosotan usaha. Untuk mempertahankan showroom yang dibangun secara turun-temurun, ayah Cinta yang menjadi penerus pun terpaksa menjual rumah mewahnya sebagai modal tambahan.

Beruntung keadaan tersebut tak berlangsung lama. Meski tak dapat membeli kembali rumah yang mereka jual, tapi hunian tempat Cinta tinggal sekarang tergolong berada di kawasan yang sama elitnya dengan dulu.

“Kamu tau sendiri kan, gimana Mami sayang banget sama Cinta?”

“Maafin Adnan, Mi.. Adnan kebiasa karena di kantor kita kan nggak boleh beda-bedain karyawan.”

“Ck, alasan!” decak Indah, tak menerima alibi yang putranya kemukakan.

“Cinta, jangan sakit hati ya.. Adnan emang gitu sejak kenal sama pacar barunya..”

Hah! Beginilah deritanya jika cinta tak direstui. Membuat sedikit masalah, kekasihnya pasti dibawa-bawa. Padahal kekasihnya saja tidak sedang bersama mereka.

“Cinta oke aja kok, Tante..” Cinta berjinjit. Gadis itu mendekatkan bibirnya ke telinga Diah seraya berbisik, “malah seksi tau Tan cara ngomongnya Mas Adnan. Cinta berasa lagi ngejar-ngejar Om-Om, hihihi..”

Kalimatnya itu pun meledakkan tawa Diah hingga terpingkal.

“Emang nggak salah Tante milih kamu jadi calon mantu..”

Adnan lagi-lagi memperluas stock sabarnya.

Ia sudah menganggap Cinta seperti adik sendiri. Tak sekali pun ia pernah melihat Cinta sebagai seorang wanita. Setiap pertemuan yang mempertemukan mereka sebelum terjadinya kontrak kerja, ia artikan layaknya jam pengasuhan dadakan.

“Mi, Bagas udah keliatan tuh..”

“Ah, iya, iya.. Cinta, besok kita makan siang bareng lagi ya..”

“Iya, Tante. Natha juga mau maem sama Tante Cinta lagi.”

Cip, Cip! Besok Tante Cinta bawain cimol ya buat kita ngemil.”

“Aaaa, maauuu...” pekik Nathania, tampak begitu antusias.

Antara Cinta dan Nathania memang sangatlah dekat. Mungkin karena Cinta termasuk pribadi yang humble, sehingga anak kecil pun senang bermain dengannya.

Indah dan Grace bercipa-cipiki sebelum ketiganya berpisah, sedang Nathania melambaikan tangan, berdada kepada Cinta sebagai salam perpisahan mereka.

“Mas..”

“Ya, Cin?”

“Kok diem? Mas nggak ngambil mobil?” tanya Cinta.

Adnan tertegun. Sekretarisnya memang agak lain. Gadis itu tak seperti sekretaris kebanyakan. Bisa dikatakan, disini, ialah yang tampak seperti pekerja.

Heum, Mas ambil dulu. Kamu jangan kemana-mana.”

Cinta menyodorkan ibu jarinya, tanda bahwa dia mengerti akan perintah Adnan.

DI DALAM MOBIL yang Adnan kemudikan, Cinta yang merasa bosan pun merubah posisi duduknya.

“Mas.. Mas Adnan..” Panggilnya, mendayu, meminta perhatian dari atasannya yang kini sedang mengontrol roda kemudi.

“Cinta mau tanya sesuatu boleh nggak?”

“Tergantung dengan apa yang akan kamu tanyakan Cinta.”

“Aih, kok gitu sih, Mas?” protes Cinta, mencebik.

“Saya sedang fokus sekarang. Kalau kamu tanya yang aneh-aneh, kemungkinan besar kita bisa kecelakaan dan membahayakan pengendara lain.” Aku Adnan, jujur sekali.

Cinta pun mengerucutkan bibir. Telunjuk gadis itu terulur, menusuk-nusuk lengan kiri Adnan yang berbalutkan tuxedo hitam.

“Nggak aneh kok, cuman agak ke ranah pribadi.. Boleh ya?” Rayu Cinta, memelas.

Tak tega mendengar nada lemah Cinta, Adnan pun mengalah. Pria itu memberikan izinnya dengan syarat Cinta tak boleh menanyakan sesuatu yang menyebabkan keduanya ke dalam masalah.

“Yeeee!! Makasih Mas.. Cinta mulai ya..”

Dibalik roda kemudi, Adnan mempersiapkan mental. Ia tidak tahu hal pribadi apa yang akan Cinta sasar— hanya saja, ia perlu untuk mempersiapkan diri mengingat uniknya sekretarisnya.

“Ehem.. Jawab yang jujur ya..”

Cinta mengepalkan tangannya lalu mengantarkan kepalannya ke depan bibir Adnan, seakan menganggap jika tangannya itu adalah sebuah microphone.

 “Pertama, apa sih yang bikin Mas suka sama Mbak Ara?”

Diam-diam Adnan merasa lega. Ternyata Cinta tidak sedang kumat, begitulah pikir pemuda yang hampir melewati masa expirednya itu.

“Karena dimata saya dia sangat cantik,” tutu Adnan, bangga dengan kecantikan kekasihnya.

“Alah, basi! Mana ada cewek yang nggak cantik Mas Adnan! Mas Adnan nggak asik nih!”

Adnan pun terkekeh. “Kan kamu suruh saya jujur, Cin. Saya sudah jujur loh..”

“Hih!! Old people emang nggak kreatif!” dumel Cinta.

Next..” Adnan meminta Cinta untuk menggulir pada pertanyaan selanjutnya. Jika tidak salah dengar, Cinta tadi menyebutkan adanya indikasi kalau pertanyaan yang akan dia ajukan tak hanya satu buah saja.

“Apa iihh! Belom, belom! Kasih jawaban lagi, ya kali, cuman itu doang yang bikin Mas Adnan klepek-klepek sampe nentang keluarga!”

Cinta ingin mengorek informasi lebih dalam. Kalau hanya cantik saja, pesonanya sebagai gadis cantik juga tidak kaleng-kaleng. Ia bahkan selalu menjadi most wanted setiap kali bersekolah— itulah mengapa saat cintanya bertepuk sebelah tangan, harga dirinya sangat-sangat menolak untuk percaya.

“Oke, Oke.. Tolong duduk yang tenang, Cinta. Tangan kamu menghalangi pandangan saya.”

Cinta menurunkan tangannya, membenarkan letak microphon abal-abalnya sesuai perintah Adnan.

As person, Arabela menawan. Dia mandiri..”

“Aduh, Mas Adnan!!” Sekali lagi Cinta mengudarakan protesnya. “Kalau mandiri sih Cinta juga mandiri, Mas. Tiap hari loh Cinta mandinya sendiri!”

Adnan tidak tahu apakah ia harus menangis atau tertawa mendengar dumelan sekretarisnya. Siapa pun pasti tahu bukan ‘itu,’ yang dirinya maksud dengan kata mandiri.

“Udah deh, kita ganti aja sistem jawabnya.. Jawaban Mas jelek, nggak memuaskan rasa ingin tahunya Cinta!”

Cinta lantas menjelaskan jika Adnan hanya perlu menjawab dengan ‘ya’, atau ‘tidak,’ dari setiap pertanyaan yang gadis itu ajukan.

“Paham kan, Mas?”

“Ya, Mas paham, Cinta.”

Cinta bertepuk tangan sekali.

Pak!

Okay, here we go! Bener atau nggak Mas suka sama Mbak Ara karena teteknya super gede?!”

Cyyyiiiiittttt!!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status