Share

[8] Efek Cinta Minum Soju

‘Maaf, pemilik nomor yang Anda hubungi sedang tidak mood berbicara dengan Anda. Silahkan hubungi lagi tahun depan..’

Klik!

Dibalik roda kemudinya, Adnan pun terperanjat. Ia bahkan belum sempat melayangkan salam sapaan, tapi pemilik nomor yang ia hubungi sudah lebih dulu memblokade akses komunikasi mereka.

Tahu jika Cinta akan mengulangi hal yang sama, Adnan pun memilih mengirimkan pesan singkat melalui aplikasi perpesanan.

Cinta, kamu dimana? Bisa kita bertemu? Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan kamu.

Satu detik setelah pesannya terbaca, kedua mata pria itu pun membola. Ia tak lagi menemukan foto Cinta pada profil kolom chat mereka. Singkatnya, kontaknya telah dimasukkan ke dalam daftar hitam atau ramai dikenal dengan block.

“Lalu saya harus bagaimana?” gumam Adnan, bermonolog. Hubungan dengan maminya sedang dipertaruhkan, sedangkan Cinta yang memegang kunci dari hubungan mereka justru menghilang.

Ponsel Adnan berdering. Tanpa melihat ID penelepon, Adnan yang mengira jika panggilan itu berasal dari Cinta pun, “ya Cinta? Kamu dimana? Mas jemput ya?” langsung memberondong peneleponnya dengan kalimat tanya.

What? This is me, Adnan!’

Mengenali suara sang kekasih, kedua mata Adnan pun terpejam. Sial! Seharusnya ia tak asal mengangkat telepon sebelum melakukan pengecekan.

“Ah, ya, Babe.. Maaf ya.. Cinta mendadak ngilang. Mami suruh aku nyariin dia.” Sesal Adnan, meminta maaf. Ia turut mengemukakan alasan agar Arabela tak salah paham.

‘Ck! Mami kamu itu udah keterlaluan tau, Babe.. Cinta itu kan bawahan kamu. Dia udah gede. Kalau ilang juga nanti balik sendiri! Masa karyawan ilang atasannya harus repot begini sih!’

Adnan tentu tak dapat menceritakan keseluruhan dari kronologi menghilangnya Cinta. Meski selalu bersikap pengertian, Arabela tetaplah seorang wanita. Kekasihnya itu juga bisa merasa cemburu. Apalagi eksistensi Cinta sebagai orang ketiga didalam hubungan mereka mendapatkan dukungan penuh keluarga besarnya.

“Orang tua Cinta lagi ke Bandung, Babe.. Anaknya dititipin ke Mami. Sabar ya.. Jangan marah-marah. Aku cuman nyari dia aja kok.”

“Oh, iya.. Kamu telepon ada apa?”

‘Nggak boleh ya, Babe? Kamunya dari aku ke kantor tadi sampe sekarang nggak ada kabarnya.. Aku kan jadi khawatir. Aku loh shooting sampe nggak tenang.’

Lagi-lagi Adnan mengudarakan kata maaf. Ia mengakui kesalahannya yang telah membuat kekasihnya khawatir.

“Hari ini aku agak sibuk, Babe.. Cinta ngilang aja aku baru tahu dari Mami.”

‘Nggak usah balik sekalian deh.. Nyusahin doang kerjaannya!’

Adnan tersenyum kecut. Walau ia juga membenarkan penilaian yang kekasihnya berikan kepada Cinta, tetapi Adnan tidak berharap Cinta menghilang untuk selamanya.

Babe, nanti malem kamu jadi ke apart kan?’

“Aku usahain ya.. Kalau Cinta udah ketemu, nanti aku kesana.”

‘Cinta lagi, Cinta lagi!! Aku tuh masih bete ya sama dia! Gara-gara ada dia Mami kamu sama sekali nggak ngeliat aku tadi!’ Ungkit Arabela, tentang siang tadi sebelum Adnan dibawa pergi untuk lunch keluarga.

‘Kamu harus tegas, Babe! Aku nggak bisa kalau terus-terusan dibayang-bayangin sama sekertaris kamu!’

“Bertahan sedikit lagi ya, Babe.. Mami pasti ngerti kok kalau aku cintanya sama kamu.”

‘Sedikit laginya itu kapan, Adnan? Kita udah bertahun-tahun pacaran. Umur kita tuh udah berapa?’

Adnan tak bisa menjawabnya. Ia tak mampu memastikan kapan tepatnya pintu hati maminya terbuka untuk sang kekasih.

‘Diem kan kamu? Udah lah! Ntar malem nggak usah ke apart! Aku lagi nggak pengen liat muka kamu!’

Klik!

Dalam satu hari bahkan pada waktu yang berdekatan, terhitung tiga kali sudah sambungan teleponnya terputus secara sepihak.

Kepala Adnan bertambah pening. Hubungannya bersama sang mami yang terancam rusak permanen, belum lagi Cinta yang menghilang tiba-tiba karena kesalahannya dan kini bertambah dengan Arabela yang tampaknya benar-benar marah sampai tidak ingin melihat wajahnya..

“Ya Tuhan.. Sebenarnya apa dosa saya?” desah Adnan, dramatis.

Sekali pun ia durhaka karena menolak gadis yang dijodohkan maminya, sebagai seorang anak, ia tetap berbakti dalam aspek lain. Lantas mengapa cobaannya hidupnya datang secara bersamaan begini?! Setidaknya jika ingin menurunkan cobaan, waktunya jangan dalam satu hari juga dong.

“Cari Cinta dulu saja.. Ara pasti ngerti.”

Tujuan pertama Adnan dalam mencari Cinta yang menghilang jatuh pada restoran langganannya. Jika tidak mendengar percakapannya dengan Nathan, gadis itu seharusnya berada ditempat yang dirinya datangi ini.

“Permisi.. Apakah gadis yang ada difoto ini datang kesini?”

“Ah, iya, Mas. Dua jam-an yang lalu deh kayaknya. Bener, Mbaknya ada pesan disini.” Jawab si pemilik restoran.

“ini mah Mbak yang telepon sambil nangis-nangis itu, Koh.” Pelayan restoran yang juga melihat layar ponsel Adnan pun ikut bersuara. “Masnya pasti mau ambil pesenan yang ditinggalin Mbaknya ya? Saya masih simpan kok, soalnya udah dibayar sama dia.”

“Anu, kalau orangnya, Mbak dan Kokohnya tahu nggak ya?”

“Wah, kurang paham saya, Mas. Mbaknya main lari aja sih tadi. Saya kirain ada keluarganya yang kenapa-napa, makanya dia kelupaan kalau lagi mesen makanan.”

She is fine kan, Mas? Tadi sempet bayarin makan anak-anak di lampu merah sana tuh, Mbaknya. Kalau disini kan biasanya barang jadi baru bayar. Nah, yang ditinggal ini bayarnya barengan sama dia traktir anak-anak jalanan.”

“Terharu saya, Mas.. Udah cantik, baik hati pula. Jarang kan ada yang kayak Mbaknya..”

Kalimat-kalimat itu silih berganti diucapkan oleh pemilik dan pekerja restoran.

“Pesenannya, Mas. Kalau nggak panas nanti bisa dimasukin ke microwave aja. Ada saya lebihin buat Mbaknya. Sampein terima kasih saya karena udah diborong ya, Mas.”

“Ah, baik, baik..”

Adnan telah kehilangan kata-kata. Ia memang tahu jika Cinta adalah sosok yang berhati tulus. Selama mereka bertugas meninggalkan kantor, tak jarang ia melihat Cinta memberikan uang seratus ribuan untuk anak-anak tak beruntung yang menghampirinya.

Namun kasus kali ini berbeda. Disaat gadis itu tengah bersedih, ia masih sempat mengukir kebaikan, terlebih Cinta juga sempat menangis sebelumnya. Jika itu Arabela...

Adnan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bagaimana bisa ia membandingkan antara Cinta dan Arabela. Sejauh ia mengenal keduanya, mereka tumbuh dalam latar belakang keluarga yang berbeda.

Kekasihnya yang merupakan anak broken home dan berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan harus rela merantau ke Ibukota untuk banting tulang. Pagi bertemu pagi, bahkan tak terkadang tidur di lokasi shooting karena jadwalnya yang padat.

Arabela berbeda dengan Cinta yang lahir bersendokkan emas. Meski sempat mengalami guncangan, anak itu mendapatkan kasih sayang berlimpah serta dukungan material yang mumpuni. Bisa dikatakan, semiskin-miskinnya Cinta, setiap hari Cinta masih bisa makan berlaukkan ayam dan daging segar.

“Mikir apa kamu, Nan!!” hardik Adnan pada dirinya sendiri yang sempat berpikiran sempit.

*

*

Setelah berkeliling kota tanpa henti hingga memberanikan diri untuk menghubungi orang tua Cinta, Adnan pun mencapai batas limitnya. Laki-laki yang bahkan belum sempat menyentuh makanan itu, akhirnya memilih singgah sejenak pada kedai makanan Korea di pinggir jalan.

Baru saja ia membuka tirai restoran, dirinya dikejutkan dengan penampakan gadis yang dirinya cari-cari.

“Mbak, udah, Mbak.. Mbaknya udah oleng ini..”

Gwenchana.. Aing Gwenchanayo.. Aing lagi latihan buat jadi pacarnya Mas Kim yang orang Korea nih!!”

“Ya Ilahi Rabbi.. Kim siapa ini, Mbak? Kim Nam Gil? Kim Jong Un?”

Plak!!

Adnan meringis ditempatnya. Pukulan Cinta ketika sadar saja pedas, apalagi sekarang saat gadis itu tak sadarkan diri oleh minuman keras.

“Kim Nathan, Oppa!” Sedetik kemudian Cinta meraung dengan tangis histerisnya. “Dia, Dia cowok yang mau dijadiin pacar aing. Huwaaaa... Terus.. Terus yang mau ngejadiin itu, cowok yang aing suka... Huwaaa...”

“Aing nyeri hateeeekkkk!!”

“Aing..”

“Aing macaaaaan!! Raw!!”

Tak tahan melihat keadaan Cinta, Adnan pun mendekat.

“Cinta...”

Hwik!!

Cinta tersentak. Tubuhnya berjengit dengan cegukkan yang juga mendadak menyerangnya.

“Si Babi ternyata..” Seloroh Cinta, membulatkan kedua mata Adnan. Untuk pertama kalinya Adnan mendengar Cinta memaki dirinya.

“Bang, nih, Bang.. Ini orangnya yang gue suka tapi mau ngasih gue ke Mas Oppa Kim..” Cinta menuding-nuding Adnan. “Bakarin dia disini, Bang!! Mau gue jadiin Galbi, Bang!!”

“Ya Ampun, akhirnya ada yang ngenalin Mbaknya.. Cepet dibawa pulang, Mas.. Viral nanti Mbaknya..”

Andweeee!! Gue nggak mau... Gue haram deket-deket Babi. Gue kan islam! Kata Bunda nggak boleh, nanti gue log out!”

Para pengunjung yang terhibur pun tertawa, begitu juga dengan Adnan..

“Kamu udah logout, Cin.. Soju kan sama haramnya kayak Babi..”

“Haram kayak kamu? Masa sih?”

Sudut bibir Adnan berkedut. Perasaan ia bilangnya babi, bukan dirinya deh!

Maapin Cinta, Tuhan.. Abis enak.. Cinta emang islam kok, tapi yang islam kan banyak yang mabok.. Ayah juga minumnya wine..” Racau Cinta, menyepill kelakuan ayahnya.

Cinta tak berdusta. Ayahnya memang mengkonsumsi alkohol. Ia tak sedang beralibi seperti siang tadi saat ingin kabur dari buruan Adnan.

Cep-plak!

“Jangan pegang-pegang, Babi!! Udah nggak ganteng, sok iye lagi lo.. Nolak-nolak aja.. Nggak usah pake ngoper ke cowok laen dong! Dikira gue nggak laku apa!!” Bentak Cinta kala Adnan memegang lengannya.

Adnan tentu saja terpelongo.

“Soju, Soju!! Aing mau mabok sampe pagi, mumpung besok udah nggak kerja lagi!!”

Adnan melambaikan tangannya, melarang pekerja restoran agar tak menuruti Cinta.

“Sudah dibayar?”

“Belum, Mas...”

Mengetahui itu, Adnan lantas mengeluarkan ponselnya untuk melakukan pembayaran. Akan tetapi...

“Mas, Mbaknya kabur, Massss!!!”

“CINTAAAA!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status