Share

[2] Kawin Yuk, Mas?

Masalah terkait pertemuan yang mundur dengan pihak Jayapura telah terselesaikan sesuai feeling Adnan. Saat mereka kembali ke kantor, jam pun menunjukkan waktu makan siang.

Seperti yang sudah-sudah, pada waktu makan siang berlangsung, Cinta sama sekali tak meninggalkan lantai kantor mereka. Gadis itu justru menjadikan ruang kerja Adnan sebagai sarang ternyamannya.

“Mas, Mas..”    

“Apa Cin?” tanya Adnan sembari mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.

“Kok Cin dong sih, Mas? yang lengkap dong.”

Tak ingin urusan menjadi panjang hanya karena masalah sepele, Adnan pun menuruti permintaan sekretarisnya yang menguji iman itu.

“Iya, Cinta, kenapa?”

Piuwit, cinta-cintaan segala. Jadi salting nih aku, Mas..” lontar Cinta, kumat nyentriknya.

Adnan tak mengambil pusing candaan Cinta. Anak itu sudah sering seperti itu. Jika ia tanggapi, Cinta akan semakin menjadi, jadi sudah dibiarkan saja.

“Mas, kawin yuk?”    

Prak!

Ponsel ditangan Adnan pun terjatuh dengan sendirinya. Saraf-saraf ditangannya melemah seiring dengan keterkejutan yang menerpanya.

Sejauh-jauhnya kenyentrikan Cinta, ajakan menikah dadakan inilah yang paling jauh.

“KUA di deket rumah Cinta lagi sepi nih, Mas. Kita ramein aja yuk biar mereka punya kerjaan.”

‘Wah, niat baik kamu kok malah jadi nyusahin saya, Cin?!’ dengus Adnan tak bersuara.

“Mau kapan nih, Mas, biar Cinta daftarin. Mereka pasti happy loh ada duit masuk ke khas.”

Sudah tidak bisa didiamkan. Cinta harus segera dihentikan sebelum semakin merajalela.

“Ehem..” Untuk menghentikan Cinta, Adnan pun terlebih dahulu berdehem.

“Mas kan udah punya pacar, Cin. Ajak yang lain aja deh ya..” Ucapnya, menegaskan hubungannya kalau saja Cinta melupakan statusnya yang telah mempunyai seorang kekasih.

“Lah, apa urusannya, Mas? Nggak apa-apa kali, Mas, punya pacar, asal nikahnya tetep sama Cinta.”

“....”

Sudahlah, Adnan menyerah. Memang sudah benar untuk tidak menanggapi kegabutan sekretarisnya. Sudah terlanjur begini, kepalanya malah jadi pusing tujuh keliling.

Ditengah kesunyian yang diciptakan oleh Adnan, pintu ruang kerjanya pun terbuka.

“Sayang, sekre..”

Belum selesai tamu yang ternyata kekasihnya melengkapi kalimatnya, Adnan telah lebih dulu memberikan kode jika gadis yang dicari-cari kekasihnya, kini sedang berselonjor di atas sofa ruang kerjanya.

“Siang Mbak Ara.. Kok nggak hubungin Cinta dulu kalau mau kesini? Tahu gitu kan Cinta sambut didepan..”

Arabela— gadis cantik yang kerap membintangi berbagai judul FTV itu pun menghirup napasnya dalam-dalam. Sudah berulang kali ia meminta Adnan untuk memecat sekretarisnya, tapi kuasa tersebut nyatanya tidak bisa Adnan jalankan mengingat backingan Cinta yang terlalu over power.

Hi, Cinta. Kamu nggak makan siang?”

“Udah, Mbak sama Mas Adnan. Mbak mau Cinta cariin makan?”

“Boleh, boleh. Tolong ya, Cin. Saya chat ke kamu ya maunya apa.”

“Oke, Mbak, nanti Cinta pesenin.”

Cinta pun keluar dari ruangan Adnan. Ia memang menyukai Adnan, tapi sebagai seorang pejuang cinta, ia menjunjung sportifitas.

Di kamusnya, untuk menjadi pelakor Adnan, ia harus fair. Ketika Adnan bersama kekasihnya, ia akan mengendurkan serangannya. Injak gasnya nanti lagi saja saat kekasih atasannya sudah pulang.

“Buset.. Gede banget ya.. Kalah gue!” Gumam Cinta didepan pintu ruang kerja Adnan yang tertutup. Gadis itu memegang gunung kembarnya untuk membandingkan ukuran miliknya dengan kekasih Adnan.

“Asli nggak sih itu? Ah, gue jadi pengen implan biar Mas Adnan kepincut.” Monolognya, supaya mendekati tipe gadis ideal Adnan.

Cinta yang terlalu menghayati pikiran nyentriknya pun tak sadar jika kedua tangannya bergerak meremas mandiri gunung kembarnya. Hal itu membuat seseorang yang melihatnya menjerit, shock.

“Astaga Cinta! Kamu ngapain, Sayang?”

“Gedein tetek, eh!!” Sadar dengan kengabrutan mulutnya, tangannya lalu berpindah, melakukan bekapan.

“Nggak Tante, Nggak!” Ia berdada-dada, terserang kepanikan atas ulah tak berotaknya.

“Huwaaa Tante.. Kenapa punya Cinta mungil, nggak kayak punya Mbak Ara, hiks!”

Mami Adnan yang mendengar itu pun terpelongo. Ia kini tahu mengapa anak sahabatnya sampai bertingkah yang tidak-tidak.

“Artis FTV itu ada disini, Cin?”

“Hu’um,” jawab Cinta disertai anggukkan. Mulutnya yang suka sekali asal ceplos itu mengerucut. “Cinta rata, Tante, huwaaaaa!!!”

“Aigoo!! Jangan nangis, Cinta. Gede kalau nggak asli buat apa loh.” Hibur Mami Adnan— Diah.

“Emangnya punya Mbak Ara nggak Asli Tante?”

Diah menggaruk pelipisnya. “Ka-Kayaknya sih.. Tante kan nggak pernah megang, Cin.” Ungkapnya yang rupanya hanya berasumsi belaka.

Melihat Cinta yang kembali akan menangis, Dia pun menepuk-nepuk bahu anak sahabatnya. “Stop-Stop. Kita makan aja yuk? Cinta belom makan kan?”

“Udah, tapinya Cinta laper lagi abis nangis.”

“Ha-Ha.. Kebetulan kalau gitu. Tante ajakin Adnan dulu. Om sama Tante mau keluar makan, kita bareng-bareng aja.”

“Kan ada Mbak Ara, Tan?”

“Biar Tante suruh pulang. Salah sendiri datengnya tiba-tiba. Bentar ya..”

Disaat Diah mengagetkan Adnan yang tengah memadu kasih, Cinta yang tak beranjak dari posisinya menelengkan kepala. “Bukannya Tante juga dateng nggak pake permisi ya?” Cicit gadis itu tak habis pikir.

Adnan mungkin berhasil mempertahankan hubungannya dengan Arabela. Sayangnya keberhasilan anak itu tak didukung oleh restu orang tuanya. Dua tahun ia berusaha, lampu hijau masih juga tak dinyalakan.

Alasan tersebutlah yang membuat Adnan tak dapat mengamini permintaan sang kekasih untuk memecat Cinta. Dibandingkan sang kekasih yang sempurna dimatanya, maminya justru lebih condong pada anak sahabatnya yang serba kekurangan.

Contohnya seperti sekarang.. Disaat seharusnya Arabela lah yang menempati kursi restoran disebelahnya, posisi tersebut tergantikan oleh Cinta yang notabenenya hanyalah bawahannya di kantor.

Kekasihnya?

Tentu saja diusir pulang secara halus.

“Cinta, aaaakk.. Udang tigernya enak loh..”

“Mami ini.. Cinta biar milih yang dia suka dong, Mi. Masa dipaksa nurutin maunya Mami terus sih.”

“Papi kalau iri suapin aja tuh si Adnan..” Ucap Diah membalas ucapan Samuel Wiyoko— suaminya.

“Males, mending Papi nyuapin cucu cantiknya Papi aja deh.. Iya kan, Sayang?”

Nathania, si kecil yang tahun ini berusia 7 tahun itu membuka mulutnya, menerima suapan dari opanya.

Dengan mulut penuh makanan, Nathania berceloteh. “Om Adnan kok nggak makan? Sariawan ya?”

“Habisin dulu makanannya Nath.. Ntar keselek loh.” Tegur Grace yang tak lain merupakan kakak perempuan Adnan, sekaligus ibu dari si kecil Nathania.

“Makan, Nan! Jangan nyontohin yang nggak-nggak ke anak Mbak. Makanan tuh dimakan, bukan diliatin doang!” timpal perempuan itu sembari menatap sang adik.

“Biasa, Grace.. Gagal makan siang sama Ayang, makanya kayak orang nggak selera gitu.” Papar Diah, memberitahu kemungkinan tak berseleranya sang putra.

Grace berdecih. Janda satu anak yang ditinggal selingkuh oleh mantan suaminya itu meletakkan sendok dan garpunya ke atas piring. “Belum putus juga?” tanya Grace, sarkastik.

Adnan menghela napasnya, pelan. “Adnan nggak ada rencana putus, Mbak. Kami baik-baik aja. Nggak ada hal yang bikin kami harus putus.”

“Lah, terus Cinta mau kamu kemanain?”

Uhuk!

Tidak hanya Adnan, Cinta pun terbatuk mendengar pertanyaan yang Grace layangkan. Keduanya saling tatap hingga berakhir dengan penampakan Cinta yang menunjukkan cengiran.

“Hehehe.. Jadi mau ngeramein KUA deket rumah cinta, Mas?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status