"Stella Caelan bekerja di bagian marketing. Di sudah bekerja di sini selama dua tahun dan proposal yang ia selesaikan selalu menarik minat para klien. Dan empat bulan terakhir ia berhutang sebesar satu juta dollar pada perusahan dan baru terbayar setengahnya. Hutangnya ia bayar dengan sebagian gaji dan bonusnya." Demikian penjelasan panjang lebar Galih, asisten Alex.
"Jadi dia gadis yang selalu membantuku memenangkan tender karena proposal-proposalnya itu?" tanya Alex seraya meletakkan tangannya di atas meja kerjanya. "Benar, dia memang sedikit membantu Anda." jawab Galih. "Baiklah." Galih yang sudah tahu akan sifat bosnya segera pergi dari ruangan mematikan itu. Karena ruang kerja Galih penuh dengan intimidasi ditambah tatapan sang pemilik ruangan. Drtt ... drtt .... Ponsel Alex bergetar. Mama calling. "Ada apa?" tanya Alex tanpa basa basi, saat menjawab telpon Mamanya. "Bisa kau pulang sekarang? Ada hal penting yang ingin Mama bicarakan denganmu." ujar Litina, sang Mama di seberang telepon. "Aku masih banyak pekerjaan." Alex paling benci jika membahas hal remeh-temeh yang disebut penting saat ini dengan Mamanya, karena ia tahu apa yang akan dibicarakan oleh Mamanya. "Hanya sebentar, Tolonglah, Alex." ucap Litina memohon pada anak lelakinya. Karena jika tidak begitu, bisa dipastikan anaknya ini akan tetap keras kepala, sepertinya dirinya. "Hanya sebentar." jawab Alex. "Okay. Mama tunggu." Sambungan telepon langsing dimatikan begitu saja oleh Alex. Kebiasaannya. ***** Saat sampai di kediaman keluarganya, Alex segera turun dari mobil dan segera menemui Mama saat tahu di mana ia berada. Di mana lagi jika bukan di taman belakang. Tempat favorit Mama "Alex, kemarilah," seru Litina, ibu Alex saat melihat anaknya. Alex pun menghampiri Mama yang sedang menyiram bunga lily kesayangannya. "Baiklah. Hal penting apa yang ingin Mama bicarakan?" tanya Alex pada Litina yang berjalan menuju kursi goyang. "Kau pasti sudah tahu. Soal istri," jawab Litina sambil.menyesap minumannya. "Mesti kukatakan berapa kali, Ma, aku masih ingin sendiri." ujar Alex. "Kamu mau menunggu Mama meninggal terlebih dahulu, baru kamu mau menikah?" tanya Litina. "Jangan bicara sembarangan, Ma." Inilah yang ia benci setiap kali ibunya membicarakan soal pernikahan, padahal ia masih ingin hidup bebas di luaran sana. "Alex, Mama dan Papa sudah tidak muda lagi dan Mama ingin segera menggendong cucu sebelum Mama mati," ucap Litina memelas pada anak laki-lakinya. "Dan Aliya mengatakan kamu telah menyelamatkan seorang gadis. Mama yakin gadis itu orangnya. Karena kamu sangat jarang, bahkan tidak pernah menyelamatkan seorang gadis kecuali anggota keluarga. Tapi lihat, kau akhirnya peduli pada seorang gadis," ujar Litina, mengingat Aliya yang bercerita tentang kakaknya yang pulang dalam keadaan terluka karena menyelamatkan seorang gadis. "Itu hanya kebetulan," balas Alex singkat. "Mama tidak peduli itu hanya kebetulan atau bukan, Mama hanya yakin kalau dialah wanita yang akan menjadi menantu Mama. Dan Mama juga tidak peduli siapa dia, dari keluarga terpandang atau bukan, kaya atau miskin. Mama hanya mau kamu bawa dia ke hadapan Mama dan Papa secepatnya," tegas Litina. "Apa maksud Mama? Aku tidak mau. Sudahlah, aku pergi." Alex pergi meninggalkan Mamanya, yang berseru memanggilnya untuk tidak pergi dulu. ***** "Kamu benar-benar bekerja keras, Stella." Karen prihatin terhadap Stella. Ia duduk di sebelah Stella yang masih berkutat dengan komputer dan berkas-berkas kantor seperti biasanya. Ia membawakan makanan untuk Stella, karena sahabatnya ini belum makan siang. "Ini cita-citaku dan terima kasih makanannya, sayang," kata Stella sembari membuka bungkus makanan yang dibawa oleh Karen untuknya. "Ini sudah pukul empat sore dan kau baru mau makan? Astaga, Stella, apa yang ada dalam pikiranmu?" gerutu Karen kesal pada sahabatnya itu. Karen tahu jika bukan ia, Max, dan Rafael yang mengingatkan Stella untuk makan, maka tidak ada satu orang pun yang akan mengajaknya, bahkan memaksanya untuk makan siang. "Yang ada dalam kepalaku, ya otak, tentunya. Kamu pikir apa?" jawab Stella cuek. Pletak. "Aaww ... Karen!" pekik Stella kesal pada Karen. Padahal ia tahu jitakan Karen sama sekali tidak sakit. "Aku tidak mau melihatmu seperti ini lagi. Dan mulai sekarang, eh mulai detik ini, aku akan selalu mengajakmu makan siang bersamaku. Setiap hari." tegas Karen. "Iya, iya, terserah kamu," balas Stella sambil memasukkan makanan ke mulutnya. Baru saja Stella menghabiskan makanannya, sudah ada panggilan tugas untuknya. "Stella," panggil manajer marketing di bagiannya. Stella langsung berdiri dari kursi dan menghadap pada managernya itu di ruang kerjanya. "Ya, Pak, apa ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?" tanya Stella. "Kamu kerjakan proposal ini. Lusa berikan pada saya." perintah manajernya itu. "Baik, permisi," pamit Stella dan beranjak keluar ruangan. ***** "Stella, ayo pulang!" Ajak Karen pada Stella yang masih seperti biasa, berkutat dengan komputer dan draf proposal yang diberikan oleh manajernya tadi. "Aku lembur, Karen," ujar Stella tanpa memandang wajah Karen. "Tapi, ini sudah pukul tujuh malam." Karen memang sengaja lembur sekadar untuk menemani Stella. "Aku janji tidak akan pulang larut malam," ujar Stella berusaha meyakinkan Karen. "Jika ada apa-apa hubungi aku, ya. Aku tidak mau melihatmu memar lagi." Karen memperingatkan karena ia merasa khawatir saat melihat memar yang ada di pergelangan tangan sahabatnya itu. "Ya sudah, sana. Aku yakin William sudah menunggu di luar." jawab Stella dan dijawab dengan senyum malu-malu oleh Karen. "Aku duluan, ya," pamit Karen dan berlalu meninggalkan Stella. Keadaan kantor sudah cukup sepi meski masih ada beberapa karyawan yang juga memilih untuk lembur. Bruk. Seseorang tiba-tiba memeluk Stella dari belakang, saat ia berada di dalam lift. Stella yang tidak tahu menahu hampir roboh, ia langsung mendekatkan dirinya ke dinding lift. Ia segera berpaling ke belakang untuk melihat orang yang memeluknya itu, tercium aroma maskulin bercampur bau alkohol. "Maaf Tuan, Anda mabuk," ucap Stella dengan sopan, saat tahu siapa orang yang berani memeluknya itu. Stella tidak merasa takut meski kantor dalam keadaan sepi, karena ia tahu tidak sembarang orang bisa masuk ke perusahaan ini, dan yang bisa masuk bukanlah orang jahat, sebab penjagaan sangat ketat meski sudah malam. "Jadilah istriku." Ucapan itu membuat Stella menegang. Bagaimana tidak, yang mengatakan itu adalah seorang Alexander Edward. Deg. Ada gejolak aneh dalam diri Stella saat mendengar ucapan Alex. "Tuan, Anda sedang mabuk," kata Stella seraya masih menopang tubuh atletis Alex dengan bersandar di dinding lift, agar bisa mengimbangi berat tubuh Alex. "Aku tidak mabuk, aku masih sadar dengan apa yang aku katakan ini dan aku masih berada di level rendah jika aku mabuk seperti ini," kata Alex yang sadar bahwa Stella menopang tubuhnya. Dengan cepat ia memeluk Stella dan menaruh dagunya di bahu gadis itu. Deg. Jantung Stella berdegup dengan cepat saat Alex memeluknya sangat erat seperti orang yang tidak ingin kehilangan kekasih tersayangnya. "Menikahlah denganku, Stella Caelan. Aku akan memberikan apa pun yang kau mau. Aku tidak akan menyebutkan namamu dengan lengkap jika aku sedang mabuk." Lanjut Alex dengan cepat. Pasalnya, ia tahu Stella akan menolak dan ia tidak pernah mengenal kata penolakan untuknya. Ada perasaan sedih saat mendengar perkataan Alex, bahwa ia akan memberi apa pun yang gadis itu mau, asalkan Stella mau menikah dengannya, Stella bukanlah wanita seperti itu. "Maaf Tuan, Anda mabuk. Permisi." Stella segera mendorong tubuh Alex dan berlari keluar begitu pintu lift terbuka. Dengan berat hati, Alex melepaskan pelukannya. Ia merasa Stella tidak menolaknya hanya belum menjawab. Sebenarnya apa yang Alex pikirkan, hingga tiba-tiba melamarnya? Pikir Stella sambil berjalan keluar dari perusahan itu. Malam ini, ia akan pergi ke rumah sakit untuk menemui ibunya. Mendadak ia merasa sangat rindu pada ibunya. Ia ingin bercerita tentang kejadian yang ia alami malam ini pada ibunya. Meski ibunya hanya diam dan tidur. Sementara di pihak Alex, ia sebenarnya tidak tahu apa yang menyebabkan ia bisa mengatakan hal serius itu kepada Stella. Semua ini karena kebodohannya. Seandainya ia tidak meninggalkan sapu tangan milik Stella di kamarnya, maka kejadiannya tidak akan seperti ini. Dan ia tahu bagaimana Mamanya, jika sudah mendapatkan satu petunjuk, maka Mamanya akan mencari petunjuk yang lain, yang lebih banyak lagi. Seperti saat ini, Mama sudah tahu siapa Stella Caelan. 🌹🌹🌹🌹🌹Stella berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang sudah ia hapal. Sebelumnya, Stella pulang ke rumah terlebih dahulu untuk mengambil beberapa pakaian. Karena ia pikir besok adalah hari libur, maka seharian penuh ia akan berada di rumah sakit. Tapi ia tidak ingin bermalas-malasan, jadi ia juga akan mengerjakan tugas-tugas dari kantor. "Stella." Sapa dokter Rafael saat membuka pintu kamar inap Sarah dan berpapasan dengan Stella di pintu. "Rafa," sapa Stella balik pada sang dokter. "Kamu lembur lagi!" Itu bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh Rafael. "Aku hanya ingin mencari kesibukan." balas Stella menatap lekat ibunya. Siapa pun tahu, di mata coklat karamel itu terdapat kesedihan mendalam setiap menatap wanita paruh baya di depannya. "Ada apa dengan tanganmu?" tanya Rafael, saat melihat pergelangan tangan Stella yang berwarna ungu kebiruan. "Tidak apa, hanya kecelakaan kecil," jawab Stella seraya menjauhkan tangannya. "Sudah diobati?" tan
Belum sempat Alex mengatakan sesuatu, pintu kamar pribadi Litina dan Leonard terbuka, menunjukkan Leonard, papa Alex. "Kalian ikutlah denganku," ujar Leonard dengan dingin, mungkin Alex mendapatkan sifat dinginnya itu dari papanya. Stella yang merasa takut dan gugup, tidak tahu harus melakukan apa, terus saja menunduk tidak menatap Leonard yang sudah berjalan menuju ruang kerja. Alex yang mengetahui hal tersebut langsung menggandeng tangan Stella agar mengikutinya ke ruang kerja papanya. Stella membelalakkan mata saat merasakan tangan hangat Alex menggandeng tangannya. Jantungnya berdegup kencang. Mereka berdua masuk ke ruang kerja Leonard. Ruangan itu terasa penuh intimidasi, hampir sama dengan ruang kerja Alex. "Jadi, apakah kalian akan menikah?" tanya Leonard langsung pada intinya. "Apa?" Stella dan Alex terkejut bersamaan. "Apa maksud, Papa?" tanya Alex dengan raut bingung. "Menikahlah kalian, Papa tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi pada Mamamu," kata Leona
Stella meyeruak masuk ke dalam kamar inap ibunya dengan perasaan campur aduk.Itulah yang selalu ia lakukan selama lima tahun terakhir setiap kali ia merasa kacau. Jika ia berada jauh dari ibunya, maka kalung liontin salju milik ibunyalah yang menjadi penggantinya. Sebuah kalung yang diberikan oleh seseorang yang sangat dicintai oleh Sarah. Ayah kandung Stella. Dulu sebelum ibunya mengalami kecelakaan itu, ia akan lari ke dalam pelukan ibunya yang menenangkan. Namun, kini hanya ini yang bisa dia lakukan. "Maafkan aku, Bu. Seandainya Josh tidak mengancam, aku tidak akan melakukan ini semua. Maafkan aku." Stella menangis sembari menggenggam tangan sang ibu. Stella sebenarnya adalah gadis yang cengeng dan rapuh, tapi keadaan yang memaksanya harus bersikap tegar dan berani. Seseorang yang ada di luar kamar inap Sarah yang terbuka, mendengar semua perkataan Stella. Ia semakin dibuat bingung oleh kehidupan yang dijalani Stella. Apa sebenarnya yang dialami Stella? Ia tidak tahu dan a
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datanglah ke apartemenku sekarang, supirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datang ke apartemenku sekarang, sopirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang mele
Stella tiba di rumah pukul tujuh malam, sekarang ia benar-benar merasakan. pipinya memanas sejak tadi. Dan ini gila, tidak seharusnya hal ini terjadi, karena kekonyolannya, ia jadi malu sekarang. "Kamu baru pulang? Seharian aku mengkhawatirkanmu," ujar Karen yang ternyata masih berada di rumah Stella, menunggunya pulang. "Eh? I-iya, aku sudah menulis note untukmu tadi." "Kamu kenapa?" tanya Karen, menyadari kegugupan Stella. "Aku tidak apa-apa." jawab Stella, masih duduk di ruang tamu. "Tapi wajahmu memerah." Karen menyipitkan matanya sambil menatap Stella dengan curiga. Mendengar perkataan Karen, Stella langsung beranjak dari sofa seraya menutupi wajah dengan tangannya dan berjalan ke kamar. Stella benar-benar merasa malu, ibarat pencuri yang ketahuan. Pertama, ia malu dengan kejadian di apartemen Alex tadi pagi, dan sekarang, ia ketahuan oleh Karen sedang merona. Seandainya tadi -- sewaktu ia masih di apartemen Alex -- ia tidak bertingkah konyol, tentu ini semua tidak
Beberapa karyawan langsung memberi jalan pada Stella agar bisa keluar dan menemui seseorang di depan lift itu. Stella terkejut bukan main saat ia melihat siapa yang memanggilnya. "Ikut denganku!" kata Alex dingin sembari berjalan menuju lift khusus petinggi perusahaan. Stella mengekori Alex dengan perasaan bercampur aduk. Pertama, dia telah berlaku tidak sopan pada atasannya. Kedua, dia sudah bersikap lancang di depan karyawan lain. Astaga! Sekarang apa yang akan terjadi? Nyali Stella semakin menciut saat mereka berada di lift khusus, berdua. Alex masuk ke ruangannya dengan Stella yang mengikuti di belakangnya. Seseorang yang berada di dalam terkejut dengan kedatangan mereka, bukan karena Alex, melainkan karena Stella. Begitu juga dengan Stella. "Dia yang kamu maksud, bukan?" tanya Alex, membuyarkan keterkejutan keduanya. "Hah? Oh, benar. Bagaimana kau bisa tahu?" balas Calvin sedikit terpana. Ia hanya mengatakan ciri-cirinya saja, tapi Alex sudah dapat mengetahuinya. Cant
Mereka tiba di depan sebuah butik terkenal. Mereka segera masuk dan seketika menjadi pusat perhatian, tatapan orang-orang tertuju kepada mereka. Mungkin pesona yang dipancarkan oleh Alex-lah yang seakan menyita perhatian orang-orang tersebut. Sambil menunduk Stella mengikuti langkah Alex, mencoba menghindari tatapan para pengunjung butik itu, meski sebenarnya tatapan kekaguman itu tertuju pada Alex, tapi Stella merasa secara otomatis tatapan itu juga jatuh untuknya. Alex berhenti di depan sebuah ruangan, Stella ikut berhenti. Tiba-tiba Alex menggenggam tangan Stella, membuat Stella mendongak dengan jantung yang berpacu cepat. Alex membawanya masuk ke dalam ruangan itu. "Kalian sudah datang!" sapa seorang wanita saat melihat kedatngan mereka berdua. "Tunjukkan saja bajunya!" ujar Alex seakan tidak peduli pada sapaan wanita itu. "Kau seberuntung apa mendapatkan wanita secantik dia?" tanya Nanda -- pemilik butik, tidak peduli ucapan cuek Alex. Stella tersipu malu mendengar puji
“Halo?”“Nyonya, ini aku, Alexa!” kata Alexa melalui telepon. “Ah, ternyata Alexa-ku. Ada apa, sayang?” balas Stella. “Aku ... aku siap menikah dengan putramu!” kata Alexa dengan berat hati. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih padamu, Sayang. Aku benar-benar senang,” kata Stella dengan nada teramat bahagia. “Tapi ....” “Katakan saja, Alexa. Ada apa?” “Aku ingin mahar dua ratus lima puluh juta untuk pernikahanku!” Stella sedikit terkejut di seberang sana, namun setelahnya dia pun tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan memberikan mahar tiga ratus juta –“ “Tidak, aku hanya ingin mahar dua ratus lima puluh juta,” sela Alexa. “Ah, baiklah. Terserah kau saja.” “Bisakah aku menerima uang itu besok?” “Sayang, bukan maksudku meragukanmu. Tapi, aku hanya mengantisipasi jika kau malah membawa lari uang itu. Aku percaya padamu, tapi tetap saja tidak menutup kemungkinan jika kau lari dengan membawa uang itu. Sebenarnya, uang tidak masalah bagiku, yang menjadi masalahnya adalah jika kau
49. Season 2“Steve! Apa yang kau lakukan?” bentak seseorang. Steve pun segera berdiri dan menatap seseorang yang membentaknya dengan panik, itu ibunya. “Mom, ini tidak seperti yang kau lihat,” ujarnya mencoba menghilangkan kesalahpahaman yang pastinya ada di benak sang ibu. “Aku dan Daddy-mu tidak pernah mengajarimu menjadi pria brengsek seperti ini, Steve!” bentak Stella sambil menunjuk gadis yang terduduk di lantai. “Nyo-nyonya, kami tidak melakukan apa pun, tadi kami hanya terpeleset. Sungguh, kami tidak sengaja berada dalam posisi seperti itu,” terang sang gadis. Tadi dia datang ke cafe ini bersama teman-teman sekampusnya. Dan saat dia pergi ke toilet, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang akhirnya membuat mereka terpeleset karena lantai yang licin. Tapi mereka malah terjatuh dengan posisi si pria yang berada tepat di atas tubuhnya. Dan itu bertepatan dengan ibu sang pria datang dan memergoki mereka yang sebenarnya hanya terpeleset. “Aku tidak percaya pada kalian. K
Setelah berada di dalam kamar mereka, Stella menyandarkan tubuhnya ke dada bidang suaminya. Kehamilan kali ini, keluarganya tidak sekejam seperti pada kehamilannya yang pertama. Mereka tidak membiarkan Stella pergi ke mana pun dan terus saja menyuruhnya untuk berdiam diri di dalam kamar. "Jadi, jika bukan dirimu yang berada di dalam peti mati itu, lalu yang terkubur di dalam sana siapa?" tanya Alex yang masih bingung. Alex memang baru menanyai Stella sekarang, karena saat pertama kali Stella kembali lagi padanya, ia masih ragu untuk bertanya. Ia khawatir membuat Stella sedih jika ia membangkitkan cerita kelam hidup Stella selama pergi dari sisinya. Ia lebih baik menunggu saat yang tepat, biarkan Stella sendiri yang bercerita dan mengatakan semuanya. "Ketika aku pergi meninggalkan rumah, aku langsung ke rumah sakit terlebih dahulu. Tapi, aku tidak pergi ke rumah sakit yang biasa aku kunjungi. Saat itu aku merasa sangat lemah, karenanya aku memilih untuk dirawat untuk semalam terl
"Matthew, ayolah. Kau terlihat sangat tidak bersemangat padahal kita akan mengunjungi Silvi," kata Stella seraya menggoyangkan lengan pria yang telah menjadi orang paling penting dalam hidupnya. Matthew memutar bola matanya malas mendengar rengekan wanita di sebelahnya ini. "Aku bukannya tidak bersemangat karena kita akan mengunjungi Silvi." "Lalu apa?" "Aku menyesal mengusulkan pada kalian untuk tinggal di apartemen yang sama denganku, andai aku tahu tadi kau sudah mengganggu pagiku yang cerah!" kesal Matthew pada wanita di sebelahnya. Sedang wanita itu hanya terkikik melihat kekesalannya. Azrael yang melihat interaksi di antara keduanya terkikik geli. Saat mereka berdebat seperti itu, mereka tampak seperti bocah. Tidak lama kemudian, Alex kembali dengan dua karangan bunga berukuran sedang di dalam genggamannya. Mereka berempat -- Stella, Alex, Matthew dan Azrael -- berjalan memasuki area pemakaman. Tidak membutuhkan waktu lama mereka telah sampai di depan sebuah makam. I
Yakinlah, Tuhan itu adil. Karena setelah kesedihan pasti akan datang kebahagiaan. Meski kita tidak tahu kapan kebahagiaan itu akan datang. Tuhan tidak pernah tidur. Itulah yang dirasakan Alex dan Stella saat ini. Kebahagiaan tak terbendung setelah rasa sedih yang menyakitkan --- kini tengah mereka rasakan. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan pernah mereka tukar dengan apa pun. Kebahagiaan yang akan selalu mereka ciptakan mulai sekarang. Malam itu mereka sedang berdiri di balkon kamar. Saling memberikan kehangatan satu sama lain dengan berpelukan erat. Seakan pelukan itu dapat menyalurkan perasaan rindu yang mereka rasakan selama berpisah. "Kenapa kau tidak kembali saat itu?" tanya Alex sambil menaruh dagunya di bahu Stella. "Aku hanya ragu dan takut!" jawab Stella. "Kenapa?" tanya Alex masih memeluk Stella. "Aku takut kau akan membenciku ketika kau mengetahui semuanya. Bahwa akulah penyebab hilangnya Peter.Aku ragu untuk kembali bila kau tahu aku telah menyembunyikan suatu h
Sebuah resepsi pernikahan megah seorang pengusaha muda digelar di salah satu hotel terkenal di negeri ini. Menunjukkan pada semua, bahwa orang yang melakukan resepsi tengah berbahagia. Para wartawan sudah berkumpul di pelataran depan hotel tersebut. Tak jarang para wartawan itu menghentikan salah satu tamu undangan untuk diwawancarai. Pria berwajah datar dan dingin itu berdiri seorang diri di tengah-tengah ballroom. Mengabaikan setiap tatapan kagum dari para wanita. Setiap wanita berebut ingin memeluk lengan kokoh tersebut. Sayangnya, pria itu telanjur berhati dingin dan tidak akan ada lagi yang bisa mencairkan kebekuan hatinya. Pria itu tetap pada posisinya, hingga seorang pria lain yang juga koleganya menyapanya dan mengajaknya mengobrol, meski dibalas dengan singkat oleh Alex. Pria itu mengatakan jika ada seorang penyanyi Cafe cantik yang sedang viral ikut diundang. Awalnya Alex heran. Penyanyi Cafe? Di acara semegah ini? Yang benar saja! Pria koleganya itu mengatakan bah
Wanita itu berdiri di balkon kamarnya menikmati terpaan hangat sang mentari pagi pada wajahnya. Memejamkan matanya seakan-akan dia benar-benar menikmati mentari. Hingga tanpa ia sadari seorang pria yang selalu saja menemani kegiatannya datang. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," kata pria itu. Wanita itu bergeming, beberapa saat kemudian dia membuka matanya kemudian membalikkan tubuhnya. Tersenyum tipis saat pandangannya bertemu dengan pria itu -- yang masih saja menunggunya. Mereka berdua menikmati sarapan dalam diam, tidak ada kata yang terucap dan hanya suara sendok beradu dengan piring yang mendominasi ruang makan tersebut. Akhirnya pria itu memecahkan keheningan. "Apa kau ingin terus seperti ini?" tanya pria itu sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Seperti apa?" Wanita itu balik bertanya. "Kamu hanya menutupi penderitaan mu itu dariku," jawab pria itu. Hening. Dan wanita itu berlalu dari sana, meninggalkan sang pria tanpa sepatah kata pun. Pria i
Mencari sebuah alasan pengganti untuk tetap hidup bukanlah satu hal yang mudah. Alex merasakannya. Ketika Stella masih berada di sisinya, ia memiliki alasan untuk tetap hidup, karena ia mencintai Stella. Alex bukanlah remaja bodoh yang baru mengenal cinta. Kehidupan kejam yang diberikan Tuhan membuat ia tahu apa yang sedang terjadi saat ia bersama orang yang benar-benar ia cintai. Alex sangat mengerti arti getaran yang timbul saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan Stella. Semua orang di sekelilingnya sudah merasakan hatinya yang kembali buruk, bahkan lebih buruk. Mereka pasrah akan keadaan Alex saat ini. Bukannya mereka tidak peduli, tapi mereka tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat mencairkan bongkahan es yang sudah mencair kembali membeku. Alasan yang membuat es itu mencair telah tiada. Siang itu, Reyhan tiba-tiba datang berkunjung ke perusahaannya. Seperti temannya yang lain, Reyhan datang hanya sekedar untuk menanyakan kabarnya. Dan lagi-lagi menemukan. Alex yang berkuta
Bolehkah untuk kali ini Alex beranggapan jika Tuhan kembali bersikap tidak adil padanya? Bolehkah bila ia beranggapan Tuhan terlalu kejam padanya? Dia tidak tahu apa kesalahannya hingga Tuhan bersikap begitu kejam. Alex marah, ia marah pada sang takdir yang begitu kejam padanya. Saat ini, pria itu tengah berada dalam satu ruangan khusus di Cafe milik Max. Alex POV Aku marah. Marah pada takdir, marah pada diriku sendiri. Ketika satu masalah belum terselesaikan, kini masalah lain kembali datang. Apa aku tidak pantas untuk bahagia? Seandainya bunuh diri bukan dosa, maka akan kuakhiri hidupku. Tapi, aku teringat kembali pada satu hal. Aku harus menemukan istriku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan mengalah pada sang takdir lagi. Namun, harus kucari ke mana lagi istriku? Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Hingga saat ini aku belum mendapatkan kabar tentang keberadaannya. Dia hilang bagaikan ditelan bumi. Tapi satu keyakinanku, Stella masih ada