"Stella Caelan bekerja di bagian marketing. Di sudah bekerja di sini selama dua tahun dan proposal yang ia selesaikan selalu menarik minat para klien. Dan empat bulan terakhir ia berhutang sebesar satu juta dollar pada perusahan dan baru terbayar setengahnya. Hutangnya ia bayar dengan sebagian gaji dan bonusnya." Demikian penjelasan panjang lebar Galih, asisten Alex.
"Jadi dia gadis yang selalu membantuku memenangkan tender karena proposal-proposalnya itu?" tanya Alex seraya meletakkan tangannya di atas meja kerjanya. "Benar, dia memang sedikit membantu Anda." jawab Galih. "Baiklah." Galih yang sudah tahu akan sifat bosnya segera pergi dari ruangan mematikan itu. Karena ruang kerja Galih penuh dengan intimidasi ditambah tatapan sang pemilik ruangan. Drtt ... drtt .... Ponsel Alex bergetar. Mama calling. "Ada apa?" tanya Alex tanpa basa basi, saat menjawab telpon Mamanya. "Bisa kau pulang sekarang? Ada hal penting yang ingin Mama bicarakan denganmu." ujar Litina, sang Mama di seberang telepon. "Aku masih banyak pekerjaan." Alex paling benci jika membahas hal remeh-temeh yang disebut penting saat ini dengan Mamanya, karena ia tahu apa yang akan dibicarakan oleh Mamanya. "Hanya sebentar, Tolonglah, Alex." ucap Litina memohon pada anak lelakinya. Karena jika tidak begitu, bisa dipastikan anaknya ini akan tetap keras kepala, sepertinya dirinya. "Hanya sebentar." jawab Alex. "Okay. Mama tunggu." Sambungan telepon langsing dimatikan begitu saja oleh Alex. Kebiasaannya. ***** Saat sampai di kediaman keluarganya, Alex segera turun dari mobil dan segera menemui Mama saat tahu di mana ia berada. Di mana lagi jika bukan di taman belakang. Tempat favorit Mama "Alex, kemarilah," seru Litina, ibu Alex saat melihat anaknya. Alex pun menghampiri Mama yang sedang menyiram bunga lily kesayangannya. "Baiklah. Hal penting apa yang ingin Mama bicarakan?" tanya Alex pada Litina yang berjalan menuju kursi goyang. "Kau pasti sudah tahu. Soal istri," jawab Litina sambil.menyesap minumannya. "Mesti kukatakan berapa kali, Ma, aku masih ingin sendiri." ujar Alex. "Kamu mau menunggu Mama meninggal terlebih dahulu, baru kamu mau menikah?" tanya Litina. "Jangan bicara sembarangan, Ma." Inilah yang ia benci setiap kali ibunya membicarakan soal pernikahan, padahal ia masih ingin hidup bebas di luaran sana. "Alex, Mama dan Papa sudah tidak muda lagi dan Mama ingin segera menggendong cucu sebelum Mama mati," ucap Litina memelas pada anak laki-lakinya. "Dan Aliya mengatakan kamu telah menyelamatkan seorang gadis. Mama yakin gadis itu orangnya. Karena kamu sangat jarang, bahkan tidak pernah menyelamatkan seorang gadis kecuali anggota keluarga. Tapi lihat, kau akhirnya peduli pada seorang gadis," ujar Litina, mengingat Aliya yang bercerita tentang kakaknya yang pulang dalam keadaan terluka karena menyelamatkan seorang gadis. "Itu hanya kebetulan," balas Alex singkat. "Mama tidak peduli itu hanya kebetulan atau bukan, Mama hanya yakin kalau dialah wanita yang akan menjadi menantu Mama. Dan Mama juga tidak peduli siapa dia, dari keluarga terpandang atau bukan, kaya atau miskin. Mama hanya mau kamu bawa dia ke hadapan Mama dan Papa secepatnya," tegas Litina. "Apa maksud Mama? Aku tidak mau. Sudahlah, aku pergi." Alex pergi meninggalkan Mamanya, yang berseru memanggilnya untuk tidak pergi dulu. ***** "Kamu benar-benar bekerja keras, Stella." Karen prihatin terhadap Stella. Ia duduk di sebelah Stella yang masih berkutat dengan komputer dan berkas-berkas kantor seperti biasanya. Ia membawakan makanan untuk Stella, karena sahabatnya ini belum makan siang. "Ini cita-citaku dan terima kasih makanannya, sayang," kata Stella sembari membuka bungkus makanan yang dibawa oleh Karen untuknya. "Ini sudah pukul empat sore dan kau baru mau makan? Astaga, Stella, apa yang ada dalam pikiranmu?" gerutu Karen kesal pada sahabatnya itu. Karen tahu jika bukan ia, Max, dan Rafael yang mengingatkan Stella untuk makan, maka tidak ada satu orang pun yang akan mengajaknya, bahkan memaksanya untuk makan siang. "Yang ada dalam kepalaku, ya otak, tentunya. Kamu pikir apa?" jawab Stella cuek. Pletak. "Aaww ... Karen!" pekik Stella kesal pada Karen. Padahal ia tahu jitakan Karen sama sekali tidak sakit. "Aku tidak mau melihatmu seperti ini lagi. Dan mulai sekarang, eh mulai detik ini, aku akan selalu mengajakmu makan siang bersamaku. Setiap hari." tegas Karen. "Iya, iya, terserah kamu," balas Stella sambil memasukkan makanan ke mulutnya. Baru saja Stella menghabiskan makanannya, sudah ada panggilan tugas untuknya. "Stella," panggil manajer marketing di bagiannya. Stella langsung berdiri dari kursi dan menghadap pada managernya itu di ruang kerjanya. "Ya, Pak, apa ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?" tanya Stella. "Kamu kerjakan proposal ini. Lusa berikan pada saya." perintah manajernya itu. "Baik, permisi," pamit Stella dan beranjak keluar ruangan. ***** "Stella, ayo pulang!" Ajak Karen pada Stella yang masih seperti biasa, berkutat dengan komputer dan draf proposal yang diberikan oleh manajernya tadi. "Aku lembur, Karen," ujar Stella tanpa memandang wajah Karen. "Tapi, ini sudah pukul tujuh malam." Karen memang sengaja lembur sekadar untuk menemani Stella. "Aku janji tidak akan pulang larut malam," ujar Stella berusaha meyakinkan Karen. "Jika ada apa-apa hubungi aku, ya. Aku tidak mau melihatmu memar lagi." Karen memperingatkan karena ia merasa khawatir saat melihat memar yang ada di pergelangan tangan sahabatnya itu. "Ya sudah, sana. Aku yakin William sudah menunggu di luar." jawab Stella dan dijawab dengan senyum malu-malu oleh Karen. "Aku duluan, ya," pamit Karen dan berlalu meninggalkan Stella. Keadaan kantor sudah cukup sepi meski masih ada beberapa karyawan yang juga memilih untuk lembur. Bruk. Seseorang tiba-tiba memeluk Stella dari belakang, saat ia berada di dalam lift. Stella yang tidak tahu menahu hampir roboh, ia langsung mendekatkan dirinya ke dinding lift. Ia segera berpaling ke belakang untuk melihat orang yang memeluknya itu, tercium aroma maskulin bercampur bau alkohol. "Maaf Tuan, Anda mabuk," ucap Stella dengan sopan, saat tahu siapa orang yang berani memeluknya itu. Stella tidak merasa takut meski kantor dalam keadaan sepi, karena ia tahu tidak sembarang orang bisa masuk ke perusahaan ini, dan yang bisa masuk bukanlah orang jahat, sebab penjagaan sangat ketat meski sudah malam. "Jadilah istriku." Ucapan itu membuat Stella menegang. Bagaimana tidak, yang mengatakan itu adalah seorang Alexander Edward. Deg. Ada gejolak aneh dalam diri Stella saat mendengar ucapan Alex. "Tuan, Anda sedang mabuk," kata Stella seraya masih menopang tubuh atletis Alex dengan bersandar di dinding lift, agar bisa mengimbangi berat tubuh Alex. "Aku tidak mabuk, aku masih sadar dengan apa yang aku katakan ini dan aku masih berada di level rendah jika aku mabuk seperti ini," kata Alex yang sadar bahwa Stella menopang tubuhnya. Dengan cepat ia memeluk Stella dan menaruh dagunya di bahu gadis itu. Deg. Jantung Stella berdegup dengan cepat saat Alex memeluknya sangat erat seperti orang yang tidak ingin kehilangan kekasih tersayangnya. "Menikahlah denganku, Stella Caelan. Aku akan memberikan apa pun yang kau mau. Aku tidak akan menyebutkan namamu dengan lengkap jika aku sedang mabuk." Lanjut Alex dengan cepat. Pasalnya, ia tahu Stella akan menolak dan ia tidak pernah mengenal kata penolakan untuknya. Ada perasaan sedih saat mendengar perkataan Alex, bahwa ia akan memberi apa pun yang gadis itu mau, asalkan Stella mau menikah dengannya, Stella bukanlah wanita seperti itu. "Maaf Tuan, Anda mabuk. Permisi." Stella segera mendorong tubuh Alex dan berlari keluar begitu pintu lift terbuka. Dengan berat hati, Alex melepaskan pelukannya. Ia merasa Stella tidak menolaknya hanya belum menjawab. Sebenarnya apa yang Alex pikirkan, hingga tiba-tiba melamarnya? Pikir Stella sambil berjalan keluar dari perusahan itu. Malam ini, ia akan pergi ke rumah sakit untuk menemui ibunya. Mendadak ia merasa sangat rindu pada ibunya. Ia ingin bercerita tentang kejadian yang ia alami malam ini pada ibunya. Meski ibunya hanya diam dan tidur. Sementara di pihak Alex, ia sebenarnya tidak tahu apa yang menyebabkan ia bisa mengatakan hal serius itu kepada Stella. Semua ini karena kebodohannya. Seandainya ia tidak meninggalkan sapu tangan milik Stella di kamarnya, maka kejadiannya tidak akan seperti ini. Dan ia tahu bagaimana Mamanya, jika sudah mendapatkan satu petunjuk, maka Mamanya akan mencari petunjuk yang lain, yang lebih banyak lagi. Seperti saat ini, Mama sudah tahu siapa Stella Caelan. 🌹🌹🌹🌹🌹Stella berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang sudah ia hapal. Sebelumnya, Stella pulang ke rumah terlebih dahulu untuk mengambil beberapa pakaian. Karena ia pikir besok adalah hari libur, maka seharian penuh ia akan berada di rumah sakit. Tapi ia tidak ingin bermalas-malasan, jadi ia juga akan mengerjakan tugas-tugas dari kantor. "Stella." Sapa dokter Rafael saat membuka pintu kamar inap Sarah dan berpapasan dengan Stella di pintu. "Rafa," sapa Stella balik pada sang dokter. "Kamu lembur lagi!" Itu bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh Rafael. "Aku hanya ingin mencari kesibukan." balas Stella menatap lekat ibunya. Siapa pun tahu, di mata coklat karamel itu terdapat kesedihan mendalam setiap menatap wanita paruh baya di depannya. "Ada apa dengan tanganmu?" tanya Rafael, saat melihat pergelangan tangan Stella yang berwarna ungu kebiruan. "Tidak apa, hanya kecelakaan kecil," jawab Stella seraya menjauhkan tangannya. "Sudah diobati?" tan
Belum sempat Alex mengatakan sesuatu, pintu kamar pribadi Litina dan Leonard terbuka, menunjukkan Leonard, papa Alex. "Kalian ikutlah denganku," ujar Leonard dengan dingin, mungkin Alex mendapatkan sifat dinginnya itu dari papanya. Stella yang merasa takut dan gugup, tidak tahu harus melakukan apa, terus saja menunduk tidak menatap Leonard yang sudah berjalan menuju ruang kerja. Alex yang mengetahui hal tersebut langsung menggandeng tangan Stella agar mengikutinya ke ruang kerja papanya. Stella membelalakkan mata saat merasakan tangan hangat Alex menggandeng tangannya. Jantungnya berdegup kencang. Mereka berdua masuk ke ruang kerja Leonard. Ruangan itu terasa penuh intimidasi, hampir sama dengan ruang kerja Alex. "Jadi, apakah kalian akan menikah?" tanya Leonard langsung pada intinya. "Apa?" Stella dan Alex terkejut bersamaan. "Apa maksud, Papa?" tanya Alex dengan raut bingung. "Menikahlah kalian, Papa tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi pada Mamamu," kata Leona
Stella meyeruak masuk ke dalam kamar inap ibunya dengan perasaan campur aduk.Itulah yang selalu ia lakukan selama lima tahun terakhir setiap kali ia merasa kacau. Jika ia berada jauh dari ibunya, maka kalung liontin salju milik ibunyalah yang menjadi penggantinya. Sebuah kalung yang diberikan oleh seseorang yang sangat dicintai oleh Sarah. Ayah kandung Stella. Dulu sebelum ibunya mengalami kecelakaan itu, ia akan lari ke dalam pelukan ibunya yang menenangkan. Namun, kini hanya ini yang bisa dia lakukan. "Maafkan aku, Bu. Seandainya Josh tidak mengancam, aku tidak akan melakukan ini semua. Maafkan aku." Stella menangis sembari menggenggam tangan sang ibu. Stella sebenarnya adalah gadis yang cengeng dan rapuh, tapi keadaan yang memaksanya harus bersikap tegar dan berani. Seseorang yang ada di luar kamar inap Sarah yang terbuka, mendengar semua perkataan Stella. Ia semakin dibuat bingung oleh kehidupan yang dijalani Stella. Apa sebenarnya yang dialami Stella? Ia tidak tahu dan a
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datanglah ke apartemenku sekarang, supirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datang ke apartemenku sekarang, sopirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang mele
Stella tiba di rumah pukul tujuh malam, sekarang ia benar-benar merasakan. pipinya memanas sejak tadi. Dan ini gila, tidak seharusnya hal ini terjadi, karena kekonyolannya, ia jadi malu sekarang. "Kamu baru pulang? Seharian aku mengkhawatirkanmu," ujar Karen yang ternyata masih berada di rumah Stella, menunggunya pulang. "Eh? I-iya, aku sudah menulis note untukmu tadi." "Kamu kenapa?" tanya Karen, menyadari kegugupan Stella. "Aku tidak apa-apa." jawab Stella, masih duduk di ruang tamu. "Tapi wajahmu memerah." Karen menyipitkan matanya sambil menatap Stella dengan curiga. Mendengar perkataan Karen, Stella langsung beranjak dari sofa seraya menutupi wajah dengan tangannya dan berjalan ke kamar. Stella benar-benar merasa malu, ibarat pencuri yang ketahuan. Pertama, ia malu dengan kejadian di apartemen Alex tadi pagi, dan sekarang, ia ketahuan oleh Karen sedang merona. Seandainya tadi -- sewaktu ia masih di apartemen Alex -- ia tidak bertingkah konyol, tentu ini semua tidak
Beberapa karyawan langsung memberi jalan pada Stella agar bisa keluar dan menemui seseorang di depan lift itu. Stella terkejut bukan main saat ia melihat siapa yang memanggilnya. "Ikut denganku!" kata Alex dingin sembari berjalan menuju lift khusus petinggi perusahaan. Stella mengekori Alex dengan perasaan bercampur aduk. Pertama, dia telah berlaku tidak sopan pada atasannya. Kedua, dia sudah bersikap lancang di depan karyawan lain. Astaga! Sekarang apa yang akan terjadi? Nyali Stella semakin menciut saat mereka berada di lift khusus, berdua. Alex masuk ke ruangannya dengan Stella yang mengikuti di belakangnya. Seseorang yang berada di dalam terkejut dengan kedatangan mereka, bukan karena Alex, melainkan karena Stella. Begitu juga dengan Stella. "Dia yang kamu maksud, bukan?" tanya Alex, membuyarkan keterkejutan keduanya. "Hah? Oh, benar. Bagaimana kau bisa tahu?" balas Calvin sedikit terpana. Ia hanya mengatakan ciri-cirinya saja, tapi Alex sudah dapat mengetahuinya. Cant
Mereka tiba di depan sebuah butik terkenal. Mereka segera masuk dan seketika menjadi pusat perhatian, tatapan orang-orang tertuju kepada mereka. Mungkin pesona yang dipancarkan oleh Alex-lah yang seakan menyita perhatian orang-orang tersebut. Sambil menunduk Stella mengikuti langkah Alex, mencoba menghindari tatapan para pengunjung butik itu, meski sebenarnya tatapan kekaguman itu tertuju pada Alex, tapi Stella merasa secara otomatis tatapan itu juga jatuh untuknya. Alex berhenti di depan sebuah ruangan, Stella ikut berhenti. Tiba-tiba Alex menggenggam tangan Stella, membuat Stella mendongak dengan jantung yang berpacu cepat. Alex membawanya masuk ke dalam ruangan itu. "Kalian sudah datang!" sapa seorang wanita saat melihat kedatngan mereka berdua. "Tunjukkan saja bajunya!" ujar Alex seakan tidak peduli pada sapaan wanita itu. "Kau seberuntung apa mendapatkan wanita secantik dia?" tanya Nanda -- pemilik butik, tidak peduli ucapan cuek Alex. Stella tersipu malu mendengar puji