Stella tiba di rumah pukul tujuh malam, sekarang ia benar-benar merasakan. pipinya memanas sejak tadi. Dan ini gila, tidak seharusnya hal ini terjadi, karena kekonyolannya, ia jadi malu sekarang.
"Kamu baru pulang? Seharian aku mengkhawatirkanmu," ujar Karen yang ternyata masih berada di rumah Stella, menunggunya pulang. "Eh? I-iya, aku sudah menulis note untukmu tadi." "Kamu kenapa?" tanya Karen, menyadari kegugupan Stella. "Aku tidak apa-apa." jawab Stella, masih duduk di ruang tamu. "Tapi wajahmu memerah." Karen menyipitkan matanya sambil menatap Stella dengan curiga. Mendengar perkataan Karen, Stella langsung beranjak dari sofa seraya menutupi wajah dengan tangannya dan berjalan ke kamar. Stella benar-benar merasa malu, ibarat pencuri yang ketahuan. Pertama, ia malu dengan kejadian di apartemen Alex tadi pagi, dan sekarang, ia ketahuan oleh Karen sedang merona. Seandainya tadi -- sewaktu ia masih di apartemen Alex -- ia tidak bertingkah konyol, tentu ini semua tidak akan terjadi. Flashback On Saat Stella baru saja selesai menyiapkan masakannya, terdengar suara derap langkah mendekat ke arahnya. Stella seketika terpana melihat penampakan di depannya. Alex mendekat dengan rambut basah seperti baru selesai mandi,.mengenakan kaos polo putih yang agak ketat sehingga dengan jelas mencetak otot-ototnya.. Terlalu berlebihan mungkin jika ia mengatakan bahwa ini pengalaman pertama kali baginya, tapi mengingat Stella memang tidak memiliki banyak teman, apalagi teman lelaki, bahkan belum pernah menjalin hubungan intim dengan pria mana pun, jadi ini bisa dimaklumi. "Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Alex yang langsung duduk di kursi di hadapan Stella. "Eh ... ti-tidak." jawab Stella terbata, merasa tertangkap basah sedang mengagumi penampilan Alex pagi ini, yang terlihat sangat ... sexy. Stella merasakan pipinya memanas. Alex tersenyum geli melihat wajah Stella yang memerah seperti tomat. Dan tanpa peduli dengan Stella yang merona, Alex langsung menyantap makanan di hadapannya dengan lahap. Sudah sejak tadi perutnya bersorak minta diisi. Flashback Off. Drrtt ... drrtt .... Dering ponsel Stelan membuyarkan lamunannya. "Halo." "Kau tidak lupa dengan uang yang kuminta, kan?" Ternyata Josh "Tidak. Kau bisa datang ke rumah sakit besok dan aku juga meminta yang kuinginkan." kata Stella. "Good. Kau memang dapat diandalkan, aku akan datang jam empat pagi dan aku tidak ingin kau terlambat." Setelah mengucapkan ancamannya Josh memutuskan sambungan telepon. Kenapa pagi sekali? batin Stella. ***** Seperti yang dikatakan Josh, Stella datang tepat waktu. Awalnya Karen khawatir saat ia mengatakan bahwa pagi-pagi sekali ia akan pergi ke rumah sakit. Tapi Stella berhasil meyakinkan Karen. Saat membuka kamar inap ibunya, Stella tidak terkejut saat menemukan Josh sudah berada di dalam. "Ini!" Stella menyodorkan selembar cek kepada Josh. "Aku tidak menyangka kau akan mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu singkat." kata Josh terkesan. Stella diam tak mengacuhkan ucapan pria itu dan berkata, "Berikan suratnya.". Josh memberikan sebuah map yang berisi surat cerai yang seharusnya sudah ia tanda tangani sejak lima tahun lalu. Setelah mengecek isi map tersebut, Stella kembali berucap, "Kau sudah berjanji untuk tidak mengganggu kami lagi, aku harap itu bukan janji palsu." Stella kembali mengingatkan janji Josh. "Tentu. Aku bukan tipe orang yang suka mengingkari janji dan jaga dirimu baik-baik," balas Josh seraya mengelus lembut rambut Stella. Ia berjalan keluar dari ruang inap, sebelum menoleh dan menatap kembali kedua wanita yang pernah mengisi harinya. Josh tersenyum tipis saat ia mengingat sebuah memori tentang kebersamaan mereka. "Selamat tinggal." Dan pria itu pergi. Stella diam termenung mengingat kembali sikap manis Josh padanya barusan. Entah mengapa, sepercik rasa sedih menghampirinya. Josh memang bukan ayah idaman, tapi salahkah ia menangisi kepergian seseorang yang pernah berperan sebagai ayahnya? Setidaknya kehadiran Josh mampu mengurangi cemoohan orang sekitar padanya dan ibunya. ***** Hari itu, Stella benar-benar merasa sedikit beban yang ia tanggung terangkat, meski tidak seluruhnya. Bahkan Karen menyadari perubahan Stella, tapi ia tidak ingin banyak bertanya dan membiarkannya saja. Kini mereka berdua tengah berada di salah satu cafe terdekat dari kantor untuk menghabiskan jam makan siang. Mereka tertawa bersama melupakan sejenak semua hal yang telah terjadi. "Karen, aku ke toilet dulu," pamit Stella. "Jangan terlalu lama, aku tidak suka sendirian," sahut Karin sebelum Stella benar-benar pergi. Saat keluar dari toilet, Stella melihat Karen sedang memandang ke arah lain dengan tatapan sedih, marah, dan kecewa. Stella mengikuti arah pandangan Karen. Kemudian Stella berjalan menuju sebuah meja, tapi bukan mejanya dengan Karen, melainkan meja yang dipandang Karen sejak tadi. Brak. Seketika para pengunjung cafe -- yang siang itu tidak terlalu ramai dan rata-rata wanita -- menoleh ke asal suara. "Stella?" Seorang pria yang berada di meja yang digebrak Stella itu, tampak terkejut sekali melihat kedatangannya. "Ya, kenapa? Takut? Heh ... .rupanya kamu selingkuh, ya!" labrak Stella, memandang sinis wanita yang duduk di samping pria itu. Sekarang ia benar-benar naik pitam dan tidak peduli pada tatapan pengunjung cafe. "Stella, kita pergi saja dari sini. Ayo!" Tiba-tiba Karen sudah berada di sebelah Stella dan menarik lengannya. "Tidak. Sebelum pria brengsek ini menjelaskan semuanya!" tolak Stella. "Sudahlah, semuanya sudah berakhir, Stella. Ayo, sebentar lagi jam makan siang selesai." Karen tidak menatap William sama sekali. "Kau pria brengsek yang berani melukai hati sahabatku, mimpi apa kau pernah menjalin hubungan dengannya?" Wajah cantik Stella merah padam karena emosi. "Aku sudah tidak mencintai dia!" ujar William dengan tenang. Stella bisa merasakan kekecewaan Karen saat mendengar perkataan William dan kini jangan salahkan Stella jika satu tamparan berakhir mulus di wajah tampan pria brengsek itu. Plak. Terkejut? Pastinya. Bahkan hal itu tergambar jelas di wajah William, pria itu tidak pernah menyangka bahwa Stella bakal mampu melakukan hal ini. "Berani sekali kau!" bentak William, seraya mencekal erat pergelangan Stella. Karen yang melihat berusaha untuk melerai.mereka, namun tiba-tiba .... "Lepaskan tanganmu, William!" kata seorang pria dengan tenang. "Pak Calvin!" ucap William saat melihat siapa gerangan yang berani menghentikan aksinya untuk membalas Stella. "Aku bilang, lepaskan tanganmu, sekarang!" Suara pria tersebut meninggi saat William tidak menanggapi. "Tapi ---" "Lepaskan atau pergi dari perusahan." William langsung melepaskan cekalan tangannya dari Stella. "Terima kasih," ucap Stella sambil mendekat ke arah Karen yang sempat menjauh. "Terima kasih, Pak!" ucap Karen pada Calvin, yang hanya ditanggapi dengan senyum manis dan anggukan dari pria itu. Saat mereka telah berada di luar cafe, Karen tampak antusias dan Stella mengerti mengapa temannya menjadi seantusias itu. "Stella, kau tahu siapa yang menyelamatkanmu?" "CEO William," jawab Stella singkat. "Betul sekali, dia sangat tampan." "Karen, berhentilah menyukai pria seperti itu, lihatlah apa yang kau dapatkan sekarang!" kata Stella.menasihati Karen. "Kau berkata seakan pernah merasakan jatuh cinta. Kau bisa berkata seperti itu, tapi apa kau sudah bercermin?" Karen emosi karena ucapan Stella yang mengingatkannya pada perlakuan William. Karen berjalan lebih dulu meninggalkan Stella di belakang. Stella terdiam mendengar itu. Ia teringat pada dirinya sendiri. Karen benar, tidak seharusnya dia berkata seperti itu, sedangkan dia tidak sadar, bahwa ia telah menjual dirinya kepada CEO-nya sendiri. Sebuah pernikahan tanpa cinta. Yang kau katakan benar, Karen. Aku akan menikah dengan seseorang yang tampan dan kaya, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana dia sebenarnya, batin Stella. "Stella, aku ... aku minta maaf. Aku tidak bermaksud mengatakan itu tadi, aku terbawa emosi." Karen sadar akan kesalahan ucapannya yang telah menyakiti hati Stella. Ia segera menghampiri temannya itu. "Ayo. Sebentar lagi jam makan siang selesai," ucap Stella sambil berjalan mendahului Karen. "Tapi ---" "Cepat atau aku tinggal?!" teriak Stella, ia tahu Karen masih diam di tempat. ***** Ketika berada di lift untuk menuju ke ruangan kerja Stella dan Karen, lift yang mereka naiki berhenti. Namun, bukan di lantai yang akan mereka tuju. Para karyawan yang berdiri di depan mereka berdua, setelah melihat siapa yang berdiri di depan pintu lift yang terbuka itu, serentak menunduk hormat pada seseorang itu. Sedangkan Stella dan Karen yang berada di bagian belakang, hampir tidak mengetahui siapa yang berada di depan sana. Mereka berdua melanjutkan perbincangannya mengenai hal yang ditakutkan oleh William. "Saya ingin bertemu dengan Stella Caelan," ucap seseorang yang berada di depan lift dengan dingin. Stella yang merasa namanya dipanggil, hanya bisa mengangkat sebelah alisnya, bingung, ditambah lagi dia tidak mengenali suara orang yang memanggilnya karena keadaan lift yang cukup ramai. "Saya di sini." kata Stella seraya melambaikan tangannya ke atas memberitahu orang tersebut, tapi dia tetap tidak bisa melihat orang yang memanggilnya itu karena beberapa pria menghalangi penglihatannya. 🌹🌹🌹🌹🌹Beberapa karyawan langsung memberi jalan pada Stella agar bisa keluar dan menemui seseorang di depan lift itu. Stella terkejut bukan main saat ia melihat siapa yang memanggilnya. "Ikut denganku!" kata Alex dingin sembari berjalan menuju lift khusus petinggi perusahaan. Stella mengekori Alex dengan perasaan bercampur aduk. Pertama, dia telah berlaku tidak sopan pada atasannya. Kedua, dia sudah bersikap lancang di depan karyawan lain. Astaga! Sekarang apa yang akan terjadi? Nyali Stella semakin menciut saat mereka berada di lift khusus, berdua. Alex masuk ke ruangannya dengan Stella yang mengikuti di belakangnya. Seseorang yang berada di dalam terkejut dengan kedatangan mereka, bukan karena Alex, melainkan karena Stella. Begitu juga dengan Stella. "Dia yang kamu maksud, bukan?" tanya Alex, membuyarkan keterkejutan keduanya. "Hah? Oh, benar. Bagaimana kau bisa tahu?" balas Calvin sedikit terpana. Ia hanya mengatakan ciri-cirinya saja, tapi Alex sudah dapat mengetahuinya. Cant
Mereka tiba di depan sebuah butik terkenal. Mereka segera masuk dan seketika menjadi pusat perhatian, tatapan orang-orang tertuju kepada mereka. Mungkin pesona yang dipancarkan oleh Alex-lah yang seakan menyita perhatian orang-orang tersebut. Sambil menunduk Stella mengikuti langkah Alex, mencoba menghindari tatapan para pengunjung butik itu, meski sebenarnya tatapan kekaguman itu tertuju pada Alex, tapi Stella merasa secara otomatis tatapan itu juga jatuh untuknya. Alex berhenti di depan sebuah ruangan, Stella ikut berhenti. Tiba-tiba Alex menggenggam tangan Stella, membuat Stella mendongak dengan jantung yang berpacu cepat. Alex membawanya masuk ke dalam ruangan itu. "Kalian sudah datang!" sapa seorang wanita saat melihat kedatngan mereka berdua. "Tunjukkan saja bajunya!" ujar Alex seakan tidak peduli pada sapaan wanita itu. "Kau seberuntung apa mendapatkan wanita secantik dia?" tanya Nanda -- pemilik butik, tidak peduli ucapan cuek Alex. Stella tersipu malu mendengar puji
Semenjak hari ini, Stella sudah tidak diperbolehkan oleh Litina untuk bekerja. Alasan Mama Alex itu -- calon mertua Stella -- bahwa sebentar lagi adalah hari pernikahannya dengan Alex. Stella harus tetap berada di rumah hingga pernikahan selesai. Kembali Stella sadar akan posisinya, jadi ia hanya menuruti semua perkataan keluarga Alex. Segelas coklat panas menemaninya pagi hari ini. Stella benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan selama di rumah. Biasanya ia -- bahkan saat weekend -- tetap bekerja. Setelah memikirkan apa yang akan dilakukannya seharian ini, akhirnya Stella memilih untuk mengunjungi taman. Di sana, terdapat beberapa anak yang tampaknya belum sekolah, bermain menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Dan di sisi lain, orang tua mereka berkumpul dan entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya itu hal yang seru. Stella berpikir, apakah masa kecilnya dulu seperti ini? Apa ia bermain bersama teman sebayanya di taman? Apa ibunya juga sering berkumpul dengan ora
Malam ini, Stella benar-benar merasa sangat gugup. Pasalnya, dia tidak tahu harus melakukan apa di hari pertamanya sebagai istri Alexander Edward. Jika tiba-tiba Alex meminta haknya sebagai seorang suami, maka sesuai isi perjanjian Stella harus menuruti itu. Ketika keluar dari kamar mandi, Stella melihat Alex tengah duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuannya. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Beruntung dia tidak mengenakan lingerie yang diberikan oleh Karen dan Litina tadi. Bisa-bisa esok hari dia tidak akan pernah menunjukkan wajahnya di depan Alex. Stella berjalan mendekat ke arah ranjang. Alex yang menyadari itu berkata, "Tidurlah, aku tidak akan melakukan apa pun padamu!" Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Stella. Stella yang merasa mendapatkan izin, merangkak naik ke atas ranjang dan tidur membelakangi Alex. Setidaknya malam ini dia tidak akan melakukan apa pun untuk pria itu. Entah karena terlalu lelah atau ranjang milik Alex terlalu nyaman, dengan cepat
ALEX POV Aku melihatnya telah berlalu dari sana. Dan aku pun ikut berlalu menuju ruang kerjaku, dan kuyakini jika Claudia mengikutiku saat ini. Sekarang wanita itu sudah berada di dalam ruangan dan mendekat, namun terhenti saat aku bersuara. "Jangan mendekat." ucapku. Dia berhenti di tempat dan menatapku penuh kebingungan. "Alex, aku kemari karena merindukanmu," ujarnya lagi dengan nada menjijikkan. "Aku tidak pernah menyuruhmu ke mari dan jangan pernah datang ke mari lagi. Keluarlah!" Entah apa yang ia rasakan, aku sempat melihat raut wajahnya yang terkejut mendengar perkataanku barusan. "Lihat saja, kau akan kembali padaku," katanya. Aku tidak peduli. Aku tidak pernah mengharapkan dia ataupun Jessica untuk datang dalam kehidupanku. Merekalah yang mendekat dan menyerahkan tubuh mereka dengan sukarela kepadaku. Kehadiran mereka hanya membuatku pusing saja. Ku keluarkan tablet yang secara otomatis menampilkan gambar wanitaku. Hei, aku berhak untuk mengklaim Stella seperti
Sudah lewat beberapa hari setelah kejadian Alex mencari Stella. Dan sudah beberapa hari juga sejak kejadian itu, Alex mendiamkannya. Stella sadar dia salah, namun bagaimana ia bisa menjelaskan kejadian sesungguhnya jika Alex selalu saja menghindarinya. Sewaktu Stella menceritakan kepada Karen, sahabatnya itu menyarankan untuk segera mengatakan semuanya pada Alex. Mungkin, suatu saat nanti Alex akan mengerti dan memaafkannya. Lagi pula keluarga Edward sudah mengetahui masalah ibunya, bukan? Lalu kenapa dia harus membuat segalanya menjadi rumit? Persoalannya adalah, bagaimana ia akan minta maaf, jika Alex terus menghindarinya. Stella berjalan mondar mandir di kamarnya. Dia merasa gugup ingin menyapa Alex terlebih dulu setelah beberapa hari mereka saling mendiamkan. Stella teringat akan saran Karen, jika Alex menghindar, maka tunggu pria itu pulang, barulah Stella mengajaknya bicara. Sejak tiga puluh menit yang lalu, Alex sudah pulang dan langsung masuk kamar. Stella menghela napas
Stella baru teringat jika dia memiliki janji bertemu dengan Tommy. Sejak kejadian pagi tadi ia masih memikirkan sikap Alex. Apa perkataannya tadi sangat menyinggung ego pria itu? Padahal Stella hanya bergurau untuk mencairkan suasana. Astaga, sepertinya dia tidak memiliki bakat bercanda pada saat mereka sedang berdua. Untuk meredakan kerisauan hatinya, Stella memutuskan untuk menemui Tommy, sekaligus menepati janjinya. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah restoran. Stella sengaja datang lebih awal. Selain ingin menghindari Alex, ini juga bentuk permintaan maafnya pada Tommy, karena hampir melupakan janji mereka. Stella juga sudah minta izin pada Alex, pria itu memperbolehkan, meski setelahnya nada suaranya kembali datar. Stella rindu pada ibunya, seandainya Sarah ada di sampingnya, ia yakin ibunya akan menghiburnya dengan kata-katanya yang lembut dan menenangkan. Stella asyik dengan lamunannya, ketika Tommy tiba di restoran tersebut, dan langsung duduk tepat di depannya. "
Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah gorden jendela membangunkan Stella dari tidurnya yang nyaman. Bahkan dia lupa kapan terakhir kali ia tidur senyaman ini. Namun, saat ia bergerak, Stella tersadar, ada sebuah lengan kekar yang melingkari perutnya. Ia mendongak dan mendapati wajah yang tidak asing lagi baginya, Stella POV"Aaa!!" teriakku tak sadar, saat menyadari kalau aku tidak tidur di kamar biasanya. Apalagi ada lengan kekar yang melingkari perutku. Astaga, ya Tuhan. "Kau berisik sekali!" ujar Alex dengan tenang, tapi sama sekali tidak melepaskan pelukannya di pinggangku. "Kenapa aku bisa di sini?" tanyaku berusaha untuk menutupi degup jantungku yang mulai menggila. "Kau, tiba-tiba tertidur," kata Alex, matanya masih terpejam."Kau sengaja tidak membangunkanku." tuduhku padanya. Alex hanya menanggapi perkataanku dengan tersenyum samar, tapi aku masih bisa melihatnya. Astaga, melihatnya tersenyum bukanlah hal yang baik untuk jantungku. "Lepaskan tanganmu dari perutk
“Halo?”“Nyonya, ini aku, Alexa!” kata Alexa melalui telepon. “Ah, ternyata Alexa-ku. Ada apa, sayang?” balas Stella. “Aku ... aku siap menikah dengan putramu!” kata Alexa dengan berat hati. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih padamu, Sayang. Aku benar-benar senang,” kata Stella dengan nada teramat bahagia. “Tapi ....” “Katakan saja, Alexa. Ada apa?” “Aku ingin mahar dua ratus lima puluh juta untuk pernikahanku!” Stella sedikit terkejut di seberang sana, namun setelahnya dia pun tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan memberikan mahar tiga ratus juta –“ “Tidak, aku hanya ingin mahar dua ratus lima puluh juta,” sela Alexa. “Ah, baiklah. Terserah kau saja.” “Bisakah aku menerima uang itu besok?” “Sayang, bukan maksudku meragukanmu. Tapi, aku hanya mengantisipasi jika kau malah membawa lari uang itu. Aku percaya padamu, tapi tetap saja tidak menutup kemungkinan jika kau lari dengan membawa uang itu. Sebenarnya, uang tidak masalah bagiku, yang menjadi masalahnya adalah jika kau
49. Season 2“Steve! Apa yang kau lakukan?” bentak seseorang. Steve pun segera berdiri dan menatap seseorang yang membentaknya dengan panik, itu ibunya. “Mom, ini tidak seperti yang kau lihat,” ujarnya mencoba menghilangkan kesalahpahaman yang pastinya ada di benak sang ibu. “Aku dan Daddy-mu tidak pernah mengajarimu menjadi pria brengsek seperti ini, Steve!” bentak Stella sambil menunjuk gadis yang terduduk di lantai. “Nyo-nyonya, kami tidak melakukan apa pun, tadi kami hanya terpeleset. Sungguh, kami tidak sengaja berada dalam posisi seperti itu,” terang sang gadis. Tadi dia datang ke cafe ini bersama teman-teman sekampusnya. Dan saat dia pergi ke toilet, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang akhirnya membuat mereka terpeleset karena lantai yang licin. Tapi mereka malah terjatuh dengan posisi si pria yang berada tepat di atas tubuhnya. Dan itu bertepatan dengan ibu sang pria datang dan memergoki mereka yang sebenarnya hanya terpeleset. “Aku tidak percaya pada kalian. K
Setelah berada di dalam kamar mereka, Stella menyandarkan tubuhnya ke dada bidang suaminya. Kehamilan kali ini, keluarganya tidak sekejam seperti pada kehamilannya yang pertama. Mereka tidak membiarkan Stella pergi ke mana pun dan terus saja menyuruhnya untuk berdiam diri di dalam kamar. "Jadi, jika bukan dirimu yang berada di dalam peti mati itu, lalu yang terkubur di dalam sana siapa?" tanya Alex yang masih bingung. Alex memang baru menanyai Stella sekarang, karena saat pertama kali Stella kembali lagi padanya, ia masih ragu untuk bertanya. Ia khawatir membuat Stella sedih jika ia membangkitkan cerita kelam hidup Stella selama pergi dari sisinya. Ia lebih baik menunggu saat yang tepat, biarkan Stella sendiri yang bercerita dan mengatakan semuanya. "Ketika aku pergi meninggalkan rumah, aku langsung ke rumah sakit terlebih dahulu. Tapi, aku tidak pergi ke rumah sakit yang biasa aku kunjungi. Saat itu aku merasa sangat lemah, karenanya aku memilih untuk dirawat untuk semalam terl
"Matthew, ayolah. Kau terlihat sangat tidak bersemangat padahal kita akan mengunjungi Silvi," kata Stella seraya menggoyangkan lengan pria yang telah menjadi orang paling penting dalam hidupnya. Matthew memutar bola matanya malas mendengar rengekan wanita di sebelahnya ini. "Aku bukannya tidak bersemangat karena kita akan mengunjungi Silvi." "Lalu apa?" "Aku menyesal mengusulkan pada kalian untuk tinggal di apartemen yang sama denganku, andai aku tahu tadi kau sudah mengganggu pagiku yang cerah!" kesal Matthew pada wanita di sebelahnya. Sedang wanita itu hanya terkikik melihat kekesalannya. Azrael yang melihat interaksi di antara keduanya terkikik geli. Saat mereka berdebat seperti itu, mereka tampak seperti bocah. Tidak lama kemudian, Alex kembali dengan dua karangan bunga berukuran sedang di dalam genggamannya. Mereka berempat -- Stella, Alex, Matthew dan Azrael -- berjalan memasuki area pemakaman. Tidak membutuhkan waktu lama mereka telah sampai di depan sebuah makam. I
Yakinlah, Tuhan itu adil. Karena setelah kesedihan pasti akan datang kebahagiaan. Meski kita tidak tahu kapan kebahagiaan itu akan datang. Tuhan tidak pernah tidur. Itulah yang dirasakan Alex dan Stella saat ini. Kebahagiaan tak terbendung setelah rasa sedih yang menyakitkan --- kini tengah mereka rasakan. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan pernah mereka tukar dengan apa pun. Kebahagiaan yang akan selalu mereka ciptakan mulai sekarang. Malam itu mereka sedang berdiri di balkon kamar. Saling memberikan kehangatan satu sama lain dengan berpelukan erat. Seakan pelukan itu dapat menyalurkan perasaan rindu yang mereka rasakan selama berpisah. "Kenapa kau tidak kembali saat itu?" tanya Alex sambil menaruh dagunya di bahu Stella. "Aku hanya ragu dan takut!" jawab Stella. "Kenapa?" tanya Alex masih memeluk Stella. "Aku takut kau akan membenciku ketika kau mengetahui semuanya. Bahwa akulah penyebab hilangnya Peter.Aku ragu untuk kembali bila kau tahu aku telah menyembunyikan suatu h
Sebuah resepsi pernikahan megah seorang pengusaha muda digelar di salah satu hotel terkenal di negeri ini. Menunjukkan pada semua, bahwa orang yang melakukan resepsi tengah berbahagia. Para wartawan sudah berkumpul di pelataran depan hotel tersebut. Tak jarang para wartawan itu menghentikan salah satu tamu undangan untuk diwawancarai. Pria berwajah datar dan dingin itu berdiri seorang diri di tengah-tengah ballroom. Mengabaikan setiap tatapan kagum dari para wanita. Setiap wanita berebut ingin memeluk lengan kokoh tersebut. Sayangnya, pria itu telanjur berhati dingin dan tidak akan ada lagi yang bisa mencairkan kebekuan hatinya. Pria itu tetap pada posisinya, hingga seorang pria lain yang juga koleganya menyapanya dan mengajaknya mengobrol, meski dibalas dengan singkat oleh Alex. Pria itu mengatakan jika ada seorang penyanyi Cafe cantik yang sedang viral ikut diundang. Awalnya Alex heran. Penyanyi Cafe? Di acara semegah ini? Yang benar saja! Pria koleganya itu mengatakan bah
Wanita itu berdiri di balkon kamarnya menikmati terpaan hangat sang mentari pagi pada wajahnya. Memejamkan matanya seakan-akan dia benar-benar menikmati mentari. Hingga tanpa ia sadari seorang pria yang selalu saja menemani kegiatannya datang. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," kata pria itu. Wanita itu bergeming, beberapa saat kemudian dia membuka matanya kemudian membalikkan tubuhnya. Tersenyum tipis saat pandangannya bertemu dengan pria itu -- yang masih saja menunggunya. Mereka berdua menikmati sarapan dalam diam, tidak ada kata yang terucap dan hanya suara sendok beradu dengan piring yang mendominasi ruang makan tersebut. Akhirnya pria itu memecahkan keheningan. "Apa kau ingin terus seperti ini?" tanya pria itu sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Seperti apa?" Wanita itu balik bertanya. "Kamu hanya menutupi penderitaan mu itu dariku," jawab pria itu. Hening. Dan wanita itu berlalu dari sana, meninggalkan sang pria tanpa sepatah kata pun. Pria i
Mencari sebuah alasan pengganti untuk tetap hidup bukanlah satu hal yang mudah. Alex merasakannya. Ketika Stella masih berada di sisinya, ia memiliki alasan untuk tetap hidup, karena ia mencintai Stella. Alex bukanlah remaja bodoh yang baru mengenal cinta. Kehidupan kejam yang diberikan Tuhan membuat ia tahu apa yang sedang terjadi saat ia bersama orang yang benar-benar ia cintai. Alex sangat mengerti arti getaran yang timbul saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan Stella. Semua orang di sekelilingnya sudah merasakan hatinya yang kembali buruk, bahkan lebih buruk. Mereka pasrah akan keadaan Alex saat ini. Bukannya mereka tidak peduli, tapi mereka tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat mencairkan bongkahan es yang sudah mencair kembali membeku. Alasan yang membuat es itu mencair telah tiada. Siang itu, Reyhan tiba-tiba datang berkunjung ke perusahaannya. Seperti temannya yang lain, Reyhan datang hanya sekedar untuk menanyakan kabarnya. Dan lagi-lagi menemukan. Alex yang berkuta
Bolehkah untuk kali ini Alex beranggapan jika Tuhan kembali bersikap tidak adil padanya? Bolehkah bila ia beranggapan Tuhan terlalu kejam padanya? Dia tidak tahu apa kesalahannya hingga Tuhan bersikap begitu kejam. Alex marah, ia marah pada sang takdir yang begitu kejam padanya. Saat ini, pria itu tengah berada dalam satu ruangan khusus di Cafe milik Max. Alex POV Aku marah. Marah pada takdir, marah pada diriku sendiri. Ketika satu masalah belum terselesaikan, kini masalah lain kembali datang. Apa aku tidak pantas untuk bahagia? Seandainya bunuh diri bukan dosa, maka akan kuakhiri hidupku. Tapi, aku teringat kembali pada satu hal. Aku harus menemukan istriku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan mengalah pada sang takdir lagi. Namun, harus kucari ke mana lagi istriku? Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Hingga saat ini aku belum mendapatkan kabar tentang keberadaannya. Dia hilang bagaikan ditelan bumi. Tapi satu keyakinanku, Stella masih ada