Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah gorden jendela membangunkan Stella dari tidurnya yang nyaman. Bahkan dia lupa kapan terakhir kali ia tidur senyaman ini. Namun, saat ia bergerak, Stella tersadar, ada sebuah lengan kekar yang melingkari perutnya. Ia mendongak dan mendapati wajah yang tidak asing lagi baginya, Stella POV"Aaa!!" teriakku tak sadar, saat menyadari kalau aku tidak tidur di kamar biasanya. Apalagi ada lengan kekar yang melingkari perutku. Astaga, ya Tuhan. "Kau berisik sekali!" ujar Alex dengan tenang, tapi sama sekali tidak melepaskan pelukannya di pinggangku. "Kenapa aku bisa di sini?" tanyaku berusaha untuk menutupi degup jantungku yang mulai menggila. "Kau, tiba-tiba tertidur," kata Alex, matanya masih terpejam."Kau sengaja tidak membangunkanku." tuduhku padanya. Alex hanya menanggapi perkataanku dengan tersenyum samar, tapi aku masih bisa melihatnya. Astaga, melihatnya tersenyum bukanlah hal yang baik untuk jantungku. "Lepaskan tanganmu dari perutk
Stella, Aliya dan Karen menikmati weekend bersama dengan bahagia. Stella sengaja mengajak Karen, karena ia ingin membuat Aliya dan Karen saling kenal. Namun, sepertinya ia mengambil keputusan yang salah. Ternyata Aliya dan Karen adalah pasangan sempurna menghabiskan weekend dengan shopping. Hampir semua toko di mall telah mereka jelajahi. Stella hanya bisa pasrah mengikuti langkah adik ipar dan temannya. Dan pada saat keduanya kompak memilihkan pakaian untuknya, dan kemudian memaksanya untuk membeli pakaian tersebut, Stella benar-benar merasa kesal. Bukan pada mereka berdua, tapi harga pakaian itu yang membuat Stella kesal. Meski sebelum pergi tadi Alex telah memberinya sebuah black card atas nama Stella, tetap saja menurutnya harga pakaian itu terlalu berlebihan. Tapi, kedua wanita itu terus mendesaknya untuk membeli gaun itu. Akhirnya Stella menyerah dan terpaksa membelinya, dengan uang tabungannya sendiri. Ia sama sekali tidak ingin membuat hutangnya pada Alex semakin bertambah
Malam itu, Alex kembali tengah malam. Keadaan apartemennya sudah sangat sunyi, bahkan lampu-lampu sudah dimatikan, pertanda semua orang telah tidur. Alex segera menuju ke kamarnya. Keadaan di kamar itu berbeda, lampunya masih terang benderang. Alex melihat ke arah sofa, Stella tertidur dengan berkas-berkas yang berserakan di mana-mana dan laptop masih menyala. Wanita itu tertidur dengan posisi duduk dan kepalanya diletakkan. di atas meja. Alex segera menggendong Stella dan memindahkan istrinya ke atas ranjang. Ia meletakkan Stella dengan lembut, seakan takut menyakiti istrinya. Alex memperhatikan lekat-lekat wajah Stella yang terlihat damai dalam tidurnya. Entah mengapa, hanya dengan melihat wajah itu, bisa membuat rasa lelah yang ia rasakan hilang. Tidak hanya itu, ia juga merasakan desiran halus di dadanya. Akhirnya Alex memilih ikut bergabung bersama Stella dan memeluk wanita itu dari belakang. "Kau hanya milikku, Stella Caelan Edward. Dan akan seperti itu selamanya." ***
Alex dan Stella tetap dalam posisi seperti itu selama beberapa menit. Satu pun di antara mereka tidak ada yang ingin menghentikan kegiatan saling memandang itu. Mereka sama-sama ingin memahami arti desiran dalam diri mereka. Tanpa sadar, Stella menahan napasnya. Ia bisa merasakan napas hangat Alex menerpa wajahnya. ***** ALEX POV Aku terus memandangi wajah cantik wanita di hadapanku. Jujur, aku ingin mengerti arti desiran yang kurasakan saat bersamanya. Apa mungkin aku kembali bisa merasakan perasaan yang sama seperti dulu? Sebuah perasaan yang telah lama kukubur dalam diriku. Tidak mungkin. Aku baru mengenalnya, dan gilanya, aku adalah suaminya. Yang membuatku bersikap aneh dan merasakan desiran-desiran ini, alasannya hanya satu. Benar, Stella-lah yang menjadi alasanku merasakan itu semua. Ia membuatku tiba-tiba bersikap aneh, dengan mengklaim dirinya sebagai milikku seutuhnya. Aku tidak ingin hal yang membuatku tersakiti terjadi lagi kepadaku, aku tidak ingin dan tidak ak
"AKU AKAN MEMBUNUHNYA, AWASI DIA!!" teriak Alex pada lawan bicaranya di seberang telepon. Stella yang mendengar teriakan Alex terlonjak kaget. Ia benar-benar yakin, lawan bicara Alex sekarang merasa sangat takut mendengar teriakan itu. "LAKUKAN DENGAN CEPAT!!" teriaknya sekali lagi dan Alex pun mematikan sambungan telepon itu. Mereka kini telah berada di apartemen Alex. Mereka berdua berada di kamar. Seandainya mereka masih berada di perusahaan, maka bisa dipastikan Alex akan melampiaskan kemarahannya pada para karyawan. Berbicara tentang perusahaan dan karyawan, tadi sore ketika, Stella dan Alex berniat pulang, sekali lagi Stella melihat dengan jelas tatapan para karyawan yang sedari awal menghunjamnya. Ia sudah mengatakan pada Alex bahwa ia akan menunggu di basement. Tapi seperti biasa, Alex tidak ingin mendengar penolakan. Alex berjalan ke arahnya dan pria itu menghempaskan badannya di sebelah Stella seraya memijat pangkal hidungnya dengan mata terpejam, tanda pria itu te
Sore itu seperti yang Alex katakan, jika mereka akan bertemu keluarga Edward. Namun ternyata tujuan mereka bukanlah mansion, melainkan sebuah restoran yang telah diberitahukan oleh Litina. Alex mengatakan bahwa ini adalah pertemuan keluarga besarnya. Bahkan pria itu juga tidak tahu siapa saja keluarganya yang datang, yang ia tahu sekarang Stella merasa gugup. "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja." Alex menggenggam tangan Stella dengan salah satu tangannya dan tangan satunya lagi ia gunakan untuk memegang kemudi. "Aku tenang." sangkal Stella, memalingkan wajahnya ke samping. Bagaimana ia bisa tenang, jika tangan Alex semakin membuatnya bertambah gugup. Selama ini Stella tidak pernah bertemu dengan keluarga besar. Ia tidak memiliki keluarga besar. Keluarga yang ia miliki hanya ibunya. Dan kini, ia harus bertemu dengan sebuah keluarga besar, keluarga suaminya. Stella tidak pernah tahu bagaimana tanggapan keluarga Edward mengenai dirinya. Dia hanya tidak siap menerima berbaga
Malam itu Alex dan Stella segera kembali ke apartemen. Keluarga besar Edward sangat menyayangkan malam itu telah berakhir, padahal mereka sangat senang bisa mendengar kembali tawa seorang Alexander Edward. Stella masih merasa kesal sebab Alex menertawakannya. Alex menyadari jika istrinya itu merajuk. Dia mendekat dan meminta maaf. Stella memaafkannya, tali jawaban wanita itu terdengar agak cuek. Entah mengapa, Alex merasa senang ketika menyadari Stella merajuk padanya. Rasanya ia telah lama tidak merasakan momen seperti ini. "Kau marah?" Tiba-tiba Alex memeluk Stella dari belakang. Stella merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Astaga, reaksinya selalu saja sama. Tapi, baginya ini terasa sangat nyaman, hangat, dan benar. Semua ini benar. "Tidak!" jawab Stella tak acuh. "Benarkah?" tanya Alex menggoda Stella. Alex memeluk Stella begitu lama. Menikmati kehangatan tubuhnya. Stella tenggelam dalam kenyamanan, bahkan ia menginginkan lebih. Tidak berhenti sampai di sana,
Seperti hari-hari biasanya, Alex dan Stella berangkat ke kantor bersama. Tapi, Alex selalu saja ingin turun bersama Stella di depan kantor. Padahal ia tahu, jika mereka turun bersama, itu akan menjadikan mereka bahan perbincangan dan mungkin Stella akan mendapat banyak tatapan kemarahan dari karyawan wanita. "Alex, jika kau menurunkan aku di perempatan sebelum kantor, aku akan memberikan sebuah hadiah untukmu sekarang," rayu Stella. Lalu, Stella memberinya sebuah ciuman. Sebenarnya, ciuman singkat saja, tapi malah menjadi ciuman panjang dan panas. Untungnya, di dalam mobil Alex terdapat sebuah penyekat yang memisahkan bagian depan dan bagian belakang. Supir sekaligus asistennya yang berada di depan tidak akan tahu apa yang mereka lakukan di kursi belakang. Namun, setelah menyudahi ciuman itu, bukannya menurunkan Stella, Alex malah kembali memerintahkan supirnya untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya, Stella terjebak dalam satu mobil bersama Alex. Mereka telah tiba di depan per