Alex dan Stella tetap dalam posisi seperti itu selama beberapa menit. Satu pun di antara mereka tidak ada yang ingin menghentikan kegiatan saling memandang itu. Mereka sama-sama ingin memahami arti desiran dalam diri mereka. Tanpa sadar, Stella menahan napasnya. Ia bisa merasakan napas hangat Alex menerpa wajahnya. ***** ALEX POV Aku terus memandangi wajah cantik wanita di hadapanku. Jujur, aku ingin mengerti arti desiran yang kurasakan saat bersamanya. Apa mungkin aku kembali bisa merasakan perasaan yang sama seperti dulu? Sebuah perasaan yang telah lama kukubur dalam diriku. Tidak mungkin. Aku baru mengenalnya, dan gilanya, aku adalah suaminya. Yang membuatku bersikap aneh dan merasakan desiran-desiran ini, alasannya hanya satu. Benar, Stella-lah yang menjadi alasanku merasakan itu semua. Ia membuatku tiba-tiba bersikap aneh, dengan mengklaim dirinya sebagai milikku seutuhnya. Aku tidak ingin hal yang membuatku tersakiti terjadi lagi kepadaku, aku tidak ingin dan tidak ak
"AKU AKAN MEMBUNUHNYA, AWASI DIA!!" teriak Alex pada lawan bicaranya di seberang telepon. Stella yang mendengar teriakan Alex terlonjak kaget. Ia benar-benar yakin, lawan bicara Alex sekarang merasa sangat takut mendengar teriakan itu. "LAKUKAN DENGAN CEPAT!!" teriaknya sekali lagi dan Alex pun mematikan sambungan telepon itu. Mereka kini telah berada di apartemen Alex. Mereka berdua berada di kamar. Seandainya mereka masih berada di perusahaan, maka bisa dipastikan Alex akan melampiaskan kemarahannya pada para karyawan. Berbicara tentang perusahaan dan karyawan, tadi sore ketika, Stella dan Alex berniat pulang, sekali lagi Stella melihat dengan jelas tatapan para karyawan yang sedari awal menghunjamnya. Ia sudah mengatakan pada Alex bahwa ia akan menunggu di basement. Tapi seperti biasa, Alex tidak ingin mendengar penolakan. Alex berjalan ke arahnya dan pria itu menghempaskan badannya di sebelah Stella seraya memijat pangkal hidungnya dengan mata terpejam, tanda pria itu te
Sore itu seperti yang Alex katakan, jika mereka akan bertemu keluarga Edward. Namun ternyata tujuan mereka bukanlah mansion, melainkan sebuah restoran yang telah diberitahukan oleh Litina. Alex mengatakan bahwa ini adalah pertemuan keluarga besarnya. Bahkan pria itu juga tidak tahu siapa saja keluarganya yang datang, yang ia tahu sekarang Stella merasa gugup. "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja." Alex menggenggam tangan Stella dengan salah satu tangannya dan tangan satunya lagi ia gunakan untuk memegang kemudi. "Aku tenang." sangkal Stella, memalingkan wajahnya ke samping. Bagaimana ia bisa tenang, jika tangan Alex semakin membuatnya bertambah gugup. Selama ini Stella tidak pernah bertemu dengan keluarga besar. Ia tidak memiliki keluarga besar. Keluarga yang ia miliki hanya ibunya. Dan kini, ia harus bertemu dengan sebuah keluarga besar, keluarga suaminya. Stella tidak pernah tahu bagaimana tanggapan keluarga Edward mengenai dirinya. Dia hanya tidak siap menerima berbaga
Malam itu Alex dan Stella segera kembali ke apartemen. Keluarga besar Edward sangat menyayangkan malam itu telah berakhir, padahal mereka sangat senang bisa mendengar kembali tawa seorang Alexander Edward. Stella masih merasa kesal sebab Alex menertawakannya. Alex menyadari jika istrinya itu merajuk. Dia mendekat dan meminta maaf. Stella memaafkannya, tali jawaban wanita itu terdengar agak cuek. Entah mengapa, Alex merasa senang ketika menyadari Stella merajuk padanya. Rasanya ia telah lama tidak merasakan momen seperti ini. "Kau marah?" Tiba-tiba Alex memeluk Stella dari belakang. Stella merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Astaga, reaksinya selalu saja sama. Tapi, baginya ini terasa sangat nyaman, hangat, dan benar. Semua ini benar. "Tidak!" jawab Stella tak acuh. "Benarkah?" tanya Alex menggoda Stella. Alex memeluk Stella begitu lama. Menikmati kehangatan tubuhnya. Stella tenggelam dalam kenyamanan, bahkan ia menginginkan lebih. Tidak berhenti sampai di sana,
Seperti hari-hari biasanya, Alex dan Stella berangkat ke kantor bersama. Tapi, Alex selalu saja ingin turun bersama Stella di depan kantor. Padahal ia tahu, jika mereka turun bersama, itu akan menjadikan mereka bahan perbincangan dan mungkin Stella akan mendapat banyak tatapan kemarahan dari karyawan wanita. "Alex, jika kau menurunkan aku di perempatan sebelum kantor, aku akan memberikan sebuah hadiah untukmu sekarang," rayu Stella. Lalu, Stella memberinya sebuah ciuman. Sebenarnya, ciuman singkat saja, tapi malah menjadi ciuman panjang dan panas. Untungnya, di dalam mobil Alex terdapat sebuah penyekat yang memisahkan bagian depan dan bagian belakang. Supir sekaligus asistennya yang berada di depan tidak akan tahu apa yang mereka lakukan di kursi belakang. Namun, setelah menyudahi ciuman itu, bukannya menurunkan Stella, Alex malah kembali memerintahkan supirnya untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya, Stella terjebak dalam satu mobil bersama Alex. Mereka telah tiba di depan per
Stella sangat senang karena Peter akan menginap di kediaman keluarga Edward bersama ibunya. Stella senang sekali melihat keluarga kecil Daniel yang hangat, membuat Stella rasanya juga ingin memiliki keluarga kecil bersama suami yang ia cintai beserta anak hasil dari buah cinta mereka berdua. Stella sangat berharap bisa membangun keluarga kecil seperti itu bersama Alex. Tapi Stella terlalu takut untuk memikirkannya, ia takut jika Alex tidak mengharapkan yang sama, memiliki keluarga kecil bahagia bersamanya. "Kau memikirkan apa?" tanya Alex seraya mengelus lembut rambut Stella. "Aku hanya memikirkan apa kau masih sering sakit kepala?" Stella balik bertanya berusaha menutupi kegugupannya. Mereka sedang berada di kamar berdua. Alex tersenyum mengetahui kekhawatiran istrinya. Ia duduk di samping Stella dan mengisyaratkan kepada Stella agar bersandar di bahunya. Stella menyambutnya dengan senang. "Kadang aku merasa tidak pantas berada di tengah keluargamu," ujar Stella tiba-tiba.
"Alex!" panggil Julia membuat Stella yang awalnya melihat ke arah lain menoleh pada seseorang yang memanggil suaminya. Di sana, berdiri seorang wanita cantik yang ia lihat di perusahaan tempo hari. Wanita cantik yang mendapat tatapan memuja dari para karyawan pria, serta mendapat tatapan iri dari karyawan wanita. Stella menatap Alex yang bergeming tidak memandang pada wanita tersebut. Stella juga melihat ada pancaran dingin dari mata Alex, meski suaminya tidak memandang Julia. "Alex!" panggil Julia sekali lagi. Stella semakin bingung dengan keadaan ini. Peter, bocah itu malah asyik memakan lolipop-nya seraya memandang Alex dan Julia bergantian dengan tatapan polos. Dan pandangan terakhirnya jatuh pada Stella. "Ayo, pulang!" ajak Alex tiba-tiba, tapi itu tidak membantu mengurangi kebingungan Stella. "Alex, kumohon." Julia memelas dengan mata berkaca-kaca. "Hai, aku Stella." Stella mengulurkan tangannya, ia berusaha mencairkan suasana yang terasa mencekam. Julia menyambu
ALEX POV Itulah mengapa aku menuliskan sebuah perjanjian pranikah yang salah satu pasalnya 'tidak boleh bermain di belakang'. Kejadian di masa laluku mengajarkanku untuk selalu berhati-hati jika berhadapan dengan yang namanya 'wanita'. Terlebih bila sampai terjadi pernikahan lagi. Marah? Tentu saja. Aku tidak tahu harus marah kepada siapa. Pada Julia, pada Ethan atau pada diriku sendiri? Aku tidak pernah berpikir jika Julia dan Ethan telah merencanakan semua ini untuk membunuhku secara perlahan. Dan mereka berhasil. Mereka berhasil membunuh setiap perasaan yang kupunya. Mereka berhasil membuatku tidak mempercayai arti cinta lagi. Namun, seiring berjalannya waktu, kini aku kembali mengenal cinta. Benar, kehadiran Stella-lah yang membuatku akhirnya kembali mengenal cinta. Definisinya tentang pemahaman cinta berhasil membuat pikiranku tersita. Tapi, aku terlalu takut untuk mengakui perasaan ini. Apakah ini perasaan cinta? Perasaan cinta yang hadir di tengah perasaanku, mulai meng
“Halo?”“Nyonya, ini aku, Alexa!” kata Alexa melalui telepon. “Ah, ternyata Alexa-ku. Ada apa, sayang?” balas Stella. “Aku ... aku siap menikah dengan putramu!” kata Alexa dengan berat hati. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih padamu, Sayang. Aku benar-benar senang,” kata Stella dengan nada teramat bahagia. “Tapi ....” “Katakan saja, Alexa. Ada apa?” “Aku ingin mahar dua ratus lima puluh juta untuk pernikahanku!” Stella sedikit terkejut di seberang sana, namun setelahnya dia pun tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan memberikan mahar tiga ratus juta –“ “Tidak, aku hanya ingin mahar dua ratus lima puluh juta,” sela Alexa. “Ah, baiklah. Terserah kau saja.” “Bisakah aku menerima uang itu besok?” “Sayang, bukan maksudku meragukanmu. Tapi, aku hanya mengantisipasi jika kau malah membawa lari uang itu. Aku percaya padamu, tapi tetap saja tidak menutup kemungkinan jika kau lari dengan membawa uang itu. Sebenarnya, uang tidak masalah bagiku, yang menjadi masalahnya adalah jika kau
49. Season 2“Steve! Apa yang kau lakukan?” bentak seseorang. Steve pun segera berdiri dan menatap seseorang yang membentaknya dengan panik, itu ibunya. “Mom, ini tidak seperti yang kau lihat,” ujarnya mencoba menghilangkan kesalahpahaman yang pastinya ada di benak sang ibu. “Aku dan Daddy-mu tidak pernah mengajarimu menjadi pria brengsek seperti ini, Steve!” bentak Stella sambil menunjuk gadis yang terduduk di lantai. “Nyo-nyonya, kami tidak melakukan apa pun, tadi kami hanya terpeleset. Sungguh, kami tidak sengaja berada dalam posisi seperti itu,” terang sang gadis. Tadi dia datang ke cafe ini bersama teman-teman sekampusnya. Dan saat dia pergi ke toilet, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang akhirnya membuat mereka terpeleset karena lantai yang licin. Tapi mereka malah terjatuh dengan posisi si pria yang berada tepat di atas tubuhnya. Dan itu bertepatan dengan ibu sang pria datang dan memergoki mereka yang sebenarnya hanya terpeleset. “Aku tidak percaya pada kalian. K
Setelah berada di dalam kamar mereka, Stella menyandarkan tubuhnya ke dada bidang suaminya. Kehamilan kali ini, keluarganya tidak sekejam seperti pada kehamilannya yang pertama. Mereka tidak membiarkan Stella pergi ke mana pun dan terus saja menyuruhnya untuk berdiam diri di dalam kamar. "Jadi, jika bukan dirimu yang berada di dalam peti mati itu, lalu yang terkubur di dalam sana siapa?" tanya Alex yang masih bingung. Alex memang baru menanyai Stella sekarang, karena saat pertama kali Stella kembali lagi padanya, ia masih ragu untuk bertanya. Ia khawatir membuat Stella sedih jika ia membangkitkan cerita kelam hidup Stella selama pergi dari sisinya. Ia lebih baik menunggu saat yang tepat, biarkan Stella sendiri yang bercerita dan mengatakan semuanya. "Ketika aku pergi meninggalkan rumah, aku langsung ke rumah sakit terlebih dahulu. Tapi, aku tidak pergi ke rumah sakit yang biasa aku kunjungi. Saat itu aku merasa sangat lemah, karenanya aku memilih untuk dirawat untuk semalam terl
"Matthew, ayolah. Kau terlihat sangat tidak bersemangat padahal kita akan mengunjungi Silvi," kata Stella seraya menggoyangkan lengan pria yang telah menjadi orang paling penting dalam hidupnya. Matthew memutar bola matanya malas mendengar rengekan wanita di sebelahnya ini. "Aku bukannya tidak bersemangat karena kita akan mengunjungi Silvi." "Lalu apa?" "Aku menyesal mengusulkan pada kalian untuk tinggal di apartemen yang sama denganku, andai aku tahu tadi kau sudah mengganggu pagiku yang cerah!" kesal Matthew pada wanita di sebelahnya. Sedang wanita itu hanya terkikik melihat kekesalannya. Azrael yang melihat interaksi di antara keduanya terkikik geli. Saat mereka berdebat seperti itu, mereka tampak seperti bocah. Tidak lama kemudian, Alex kembali dengan dua karangan bunga berukuran sedang di dalam genggamannya. Mereka berempat -- Stella, Alex, Matthew dan Azrael -- berjalan memasuki area pemakaman. Tidak membutuhkan waktu lama mereka telah sampai di depan sebuah makam. I
Yakinlah, Tuhan itu adil. Karena setelah kesedihan pasti akan datang kebahagiaan. Meski kita tidak tahu kapan kebahagiaan itu akan datang. Tuhan tidak pernah tidur. Itulah yang dirasakan Alex dan Stella saat ini. Kebahagiaan tak terbendung setelah rasa sedih yang menyakitkan --- kini tengah mereka rasakan. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan pernah mereka tukar dengan apa pun. Kebahagiaan yang akan selalu mereka ciptakan mulai sekarang. Malam itu mereka sedang berdiri di balkon kamar. Saling memberikan kehangatan satu sama lain dengan berpelukan erat. Seakan pelukan itu dapat menyalurkan perasaan rindu yang mereka rasakan selama berpisah. "Kenapa kau tidak kembali saat itu?" tanya Alex sambil menaruh dagunya di bahu Stella. "Aku hanya ragu dan takut!" jawab Stella. "Kenapa?" tanya Alex masih memeluk Stella. "Aku takut kau akan membenciku ketika kau mengetahui semuanya. Bahwa akulah penyebab hilangnya Peter.Aku ragu untuk kembali bila kau tahu aku telah menyembunyikan suatu h
Sebuah resepsi pernikahan megah seorang pengusaha muda digelar di salah satu hotel terkenal di negeri ini. Menunjukkan pada semua, bahwa orang yang melakukan resepsi tengah berbahagia. Para wartawan sudah berkumpul di pelataran depan hotel tersebut. Tak jarang para wartawan itu menghentikan salah satu tamu undangan untuk diwawancarai. Pria berwajah datar dan dingin itu berdiri seorang diri di tengah-tengah ballroom. Mengabaikan setiap tatapan kagum dari para wanita. Setiap wanita berebut ingin memeluk lengan kokoh tersebut. Sayangnya, pria itu telanjur berhati dingin dan tidak akan ada lagi yang bisa mencairkan kebekuan hatinya. Pria itu tetap pada posisinya, hingga seorang pria lain yang juga koleganya menyapanya dan mengajaknya mengobrol, meski dibalas dengan singkat oleh Alex. Pria itu mengatakan jika ada seorang penyanyi Cafe cantik yang sedang viral ikut diundang. Awalnya Alex heran. Penyanyi Cafe? Di acara semegah ini? Yang benar saja! Pria koleganya itu mengatakan bah
Wanita itu berdiri di balkon kamarnya menikmati terpaan hangat sang mentari pagi pada wajahnya. Memejamkan matanya seakan-akan dia benar-benar menikmati mentari. Hingga tanpa ia sadari seorang pria yang selalu saja menemani kegiatannya datang. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," kata pria itu. Wanita itu bergeming, beberapa saat kemudian dia membuka matanya kemudian membalikkan tubuhnya. Tersenyum tipis saat pandangannya bertemu dengan pria itu -- yang masih saja menunggunya. Mereka berdua menikmati sarapan dalam diam, tidak ada kata yang terucap dan hanya suara sendok beradu dengan piring yang mendominasi ruang makan tersebut. Akhirnya pria itu memecahkan keheningan. "Apa kau ingin terus seperti ini?" tanya pria itu sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Seperti apa?" Wanita itu balik bertanya. "Kamu hanya menutupi penderitaan mu itu dariku," jawab pria itu. Hening. Dan wanita itu berlalu dari sana, meninggalkan sang pria tanpa sepatah kata pun. Pria i
Mencari sebuah alasan pengganti untuk tetap hidup bukanlah satu hal yang mudah. Alex merasakannya. Ketika Stella masih berada di sisinya, ia memiliki alasan untuk tetap hidup, karena ia mencintai Stella. Alex bukanlah remaja bodoh yang baru mengenal cinta. Kehidupan kejam yang diberikan Tuhan membuat ia tahu apa yang sedang terjadi saat ia bersama orang yang benar-benar ia cintai. Alex sangat mengerti arti getaran yang timbul saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan Stella. Semua orang di sekelilingnya sudah merasakan hatinya yang kembali buruk, bahkan lebih buruk. Mereka pasrah akan keadaan Alex saat ini. Bukannya mereka tidak peduli, tapi mereka tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat mencairkan bongkahan es yang sudah mencair kembali membeku. Alasan yang membuat es itu mencair telah tiada. Siang itu, Reyhan tiba-tiba datang berkunjung ke perusahaannya. Seperti temannya yang lain, Reyhan datang hanya sekedar untuk menanyakan kabarnya. Dan lagi-lagi menemukan. Alex yang berkuta
Bolehkah untuk kali ini Alex beranggapan jika Tuhan kembali bersikap tidak adil padanya? Bolehkah bila ia beranggapan Tuhan terlalu kejam padanya? Dia tidak tahu apa kesalahannya hingga Tuhan bersikap begitu kejam. Alex marah, ia marah pada sang takdir yang begitu kejam padanya. Saat ini, pria itu tengah berada dalam satu ruangan khusus di Cafe milik Max. Alex POV Aku marah. Marah pada takdir, marah pada diriku sendiri. Ketika satu masalah belum terselesaikan, kini masalah lain kembali datang. Apa aku tidak pantas untuk bahagia? Seandainya bunuh diri bukan dosa, maka akan kuakhiri hidupku. Tapi, aku teringat kembali pada satu hal. Aku harus menemukan istriku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan mengalah pada sang takdir lagi. Namun, harus kucari ke mana lagi istriku? Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Hingga saat ini aku belum mendapatkan kabar tentang keberadaannya. Dia hilang bagaikan ditelan bumi. Tapi satu keyakinanku, Stella masih ada