49. Season 2“Steve! Apa yang kau lakukan?” bentak seseorang. Steve pun segera berdiri dan menatap seseorang yang membentaknya dengan panik, itu ibunya. “Mom, ini tidak seperti yang kau lihat,” ujarnya mencoba menghilangkan kesalahpahaman yang pastinya ada di benak sang ibu. “Aku dan Daddy-mu tidak pernah mengajarimu menjadi pria brengsek seperti ini, Steve!” bentak Stella sambil menunjuk gadis yang terduduk di lantai. “Nyo-nyonya, kami tidak melakukan apa pun, tadi kami hanya terpeleset. Sungguh, kami tidak sengaja berada dalam posisi seperti itu,” terang sang gadis. Tadi dia datang ke cafe ini bersama teman-teman sekampusnya. Dan saat dia pergi ke toilet, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang akhirnya membuat mereka terpeleset karena lantai yang licin. Tapi mereka malah terjatuh dengan posisi si pria yang berada tepat di atas tubuhnya. Dan itu bertepatan dengan ibu sang pria datang dan memergoki mereka yang sebenarnya hanya terpeleset. “Aku tidak percaya pada kalian. K
“Halo?”“Nyonya, ini aku, Alexa!” kata Alexa melalui telepon. “Ah, ternyata Alexa-ku. Ada apa, sayang?” balas Stella. “Aku ... aku siap menikah dengan putramu!” kata Alexa dengan berat hati. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih padamu, Sayang. Aku benar-benar senang,” kata Stella dengan nada teramat bahagia. “Tapi ....” “Katakan saja, Alexa. Ada apa?” “Aku ingin mahar dua ratus lima puluh juta untuk pernikahanku!” Stella sedikit terkejut di seberang sana, namun setelahnya dia pun tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan memberikan mahar tiga ratus juta –“ “Tidak, aku hanya ingin mahar dua ratus lima puluh juta,” sela Alexa. “Ah, baiklah. Terserah kau saja.” “Bisakah aku menerima uang itu besok?” “Sayang, bukan maksudku meragukanmu. Tapi, aku hanya mengantisipasi jika kau malah membawa lari uang itu. Aku percaya padamu, tapi tetap saja tidak menutup kemungkinan jika kau lari dengan membawa uang itu. Sebenarnya, uang tidak masalah bagiku, yang menjadi masalahnya adalah jika kau
Suasana jam makan siang di 'Edward Corp' cukup ramai. Banyak para karyawan yang tergesa-gesa menuju kantin atau tempat makan terdekat. Karena percayalah, jam makan siang adalah kesempatan bagi mereka para pekerja untuk melepaskan diri dari tugas sejenak. Berbeda dengan gadis cantik yang lebih memilih berkutat dengan segala pekerjaan yang seakan mencekiknya. Matanya terfokus pada layar komputer di depannya. "Mau makan sekarang atau kita jangan bertegur sapa?" tawar seorang wanita berambut hitam sebahu pada gadis yang masih fokus pada pekerjaannya itu. "Tapi aku sangat sibuk, Karen." "Baiklah. Jangan menegurku selama beberapa hari!" ucap wanita itu dan berlalu dari meja temannya. Melihat itu, gadis tersebut segera merapikan mejanya dan mengejar temannya. "Baiklah. Hanya sebentar!" ujarnya menyerah. Karen tersenyum karena merasa menang. Karena seorang Stella Caelan adalah gadis paling keras kepala yang pernah ia temui. Karen dan Stella memang telah berteman sejak masa kulia
"Stella Caelan bekerja di bagian marketing. Di sudah bekerja di sini selama dua tahun dan proposal yang ia selesaikan selalu menarik minat para klien. Dan empat bulan terakhir ia berhutang sebesar satu juta dollar pada perusahan dan baru terbayar setengahnya. Hutangnya ia bayar dengan sebagian gaji dan bonusnya." Demikian penjelasan panjang lebar Galih, asisten Alex. "Jadi dia gadis yang selalu membantuku memenangkan tender karena proposal-proposalnya itu?" tanya Alex seraya meletakkan tangannya di atas meja kerjanya. "Benar, dia memang sedikit membantu Anda." jawab Galih. "Baiklah." Galih yang sudah tahu akan sifat bosnya segera pergi dari ruangan mematikan itu. Karena ruang kerja Galih penuh dengan intimidasi ditambah tatapan sang pemilik ruangan. Drtt ... drtt .... Ponsel Alex bergetar. Mama calling. "Ada apa?" tanya Alex tanpa basa basi, saat menjawab telpon Mamanya. "Bisa kau pulang sekarang? Ada hal penting yang ingin Mama bicarakan denganmu." ujar Litina, sa
Stella berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang sudah ia hapal. Sebelumnya, Stella pulang ke rumah terlebih dahulu untuk mengambil beberapa pakaian. Karena ia pikir besok adalah hari libur, maka seharian penuh ia akan berada di rumah sakit. Tapi ia tidak ingin bermalas-malasan, jadi ia juga akan mengerjakan tugas-tugas dari kantor. "Stella." Sapa dokter Rafael saat membuka pintu kamar inap Sarah dan berpapasan dengan Stella di pintu. "Rafa," sapa Stella balik pada sang dokter. "Kamu lembur lagi!" Itu bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh Rafael. "Aku hanya ingin mencari kesibukan." balas Stella menatap lekat ibunya. Siapa pun tahu, di mata coklat karamel itu terdapat kesedihan mendalam setiap menatap wanita paruh baya di depannya. "Ada apa dengan tanganmu?" tanya Rafael, saat melihat pergelangan tangan Stella yang berwarna ungu kebiruan. "Tidak apa, hanya kecelakaan kecil," jawab Stella seraya menjauhkan tangannya. "Sudah diobati?" tan
Belum sempat Alex mengatakan sesuatu, pintu kamar pribadi Litina dan Leonard terbuka, menunjukkan Leonard, papa Alex. "Kalian ikutlah denganku," ujar Leonard dengan dingin, mungkin Alex mendapatkan sifat dinginnya itu dari papanya. Stella yang merasa takut dan gugup, tidak tahu harus melakukan apa, terus saja menunduk tidak menatap Leonard yang sudah berjalan menuju ruang kerja. Alex yang mengetahui hal tersebut langsung menggandeng tangan Stella agar mengikutinya ke ruang kerja papanya. Stella membelalakkan mata saat merasakan tangan hangat Alex menggandeng tangannya. Jantungnya berdegup kencang. Mereka berdua masuk ke ruang kerja Leonard. Ruangan itu terasa penuh intimidasi, hampir sama dengan ruang kerja Alex. "Jadi, apakah kalian akan menikah?" tanya Leonard langsung pada intinya. "Apa?" Stella dan Alex terkejut bersamaan. "Apa maksud, Papa?" tanya Alex dengan raut bingung. "Menikahlah kalian, Papa tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi pada Mamamu," kata Leona
Stella meyeruak masuk ke dalam kamar inap ibunya dengan perasaan campur aduk.Itulah yang selalu ia lakukan selama lima tahun terakhir setiap kali ia merasa kacau. Jika ia berada jauh dari ibunya, maka kalung liontin salju milik ibunyalah yang menjadi penggantinya. Sebuah kalung yang diberikan oleh seseorang yang sangat dicintai oleh Sarah. Ayah kandung Stella. Dulu sebelum ibunya mengalami kecelakaan itu, ia akan lari ke dalam pelukan ibunya yang menenangkan. Namun, kini hanya ini yang bisa dia lakukan. "Maafkan aku, Bu. Seandainya Josh tidak mengancam, aku tidak akan melakukan ini semua. Maafkan aku." Stella menangis sembari menggenggam tangan sang ibu. Stella sebenarnya adalah gadis yang cengeng dan rapuh, tapi keadaan yang memaksanya harus bersikap tegar dan berani. Seseorang yang ada di luar kamar inap Sarah yang terbuka, mendengar semua perkataan Stella. Ia semakin dibuat bingung oleh kehidupan yang dijalani Stella. Apa sebenarnya yang dialami Stella? Ia tidak tahu dan a
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datanglah ke apartemenku sekarang, supirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang
“Halo?”“Nyonya, ini aku, Alexa!” kata Alexa melalui telepon. “Ah, ternyata Alexa-ku. Ada apa, sayang?” balas Stella. “Aku ... aku siap menikah dengan putramu!” kata Alexa dengan berat hati. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih padamu, Sayang. Aku benar-benar senang,” kata Stella dengan nada teramat bahagia. “Tapi ....” “Katakan saja, Alexa. Ada apa?” “Aku ingin mahar dua ratus lima puluh juta untuk pernikahanku!” Stella sedikit terkejut di seberang sana, namun setelahnya dia pun tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan memberikan mahar tiga ratus juta –“ “Tidak, aku hanya ingin mahar dua ratus lima puluh juta,” sela Alexa. “Ah, baiklah. Terserah kau saja.” “Bisakah aku menerima uang itu besok?” “Sayang, bukan maksudku meragukanmu. Tapi, aku hanya mengantisipasi jika kau malah membawa lari uang itu. Aku percaya padamu, tapi tetap saja tidak menutup kemungkinan jika kau lari dengan membawa uang itu. Sebenarnya, uang tidak masalah bagiku, yang menjadi masalahnya adalah jika kau
49. Season 2“Steve! Apa yang kau lakukan?” bentak seseorang. Steve pun segera berdiri dan menatap seseorang yang membentaknya dengan panik, itu ibunya. “Mom, ini tidak seperti yang kau lihat,” ujarnya mencoba menghilangkan kesalahpahaman yang pastinya ada di benak sang ibu. “Aku dan Daddy-mu tidak pernah mengajarimu menjadi pria brengsek seperti ini, Steve!” bentak Stella sambil menunjuk gadis yang terduduk di lantai. “Nyo-nyonya, kami tidak melakukan apa pun, tadi kami hanya terpeleset. Sungguh, kami tidak sengaja berada dalam posisi seperti itu,” terang sang gadis. Tadi dia datang ke cafe ini bersama teman-teman sekampusnya. Dan saat dia pergi ke toilet, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang akhirnya membuat mereka terpeleset karena lantai yang licin. Tapi mereka malah terjatuh dengan posisi si pria yang berada tepat di atas tubuhnya. Dan itu bertepatan dengan ibu sang pria datang dan memergoki mereka yang sebenarnya hanya terpeleset. “Aku tidak percaya pada kalian. K
Setelah berada di dalam kamar mereka, Stella menyandarkan tubuhnya ke dada bidang suaminya. Kehamilan kali ini, keluarganya tidak sekejam seperti pada kehamilannya yang pertama. Mereka tidak membiarkan Stella pergi ke mana pun dan terus saja menyuruhnya untuk berdiam diri di dalam kamar. "Jadi, jika bukan dirimu yang berada di dalam peti mati itu, lalu yang terkubur di dalam sana siapa?" tanya Alex yang masih bingung. Alex memang baru menanyai Stella sekarang, karena saat pertama kali Stella kembali lagi padanya, ia masih ragu untuk bertanya. Ia khawatir membuat Stella sedih jika ia membangkitkan cerita kelam hidup Stella selama pergi dari sisinya. Ia lebih baik menunggu saat yang tepat, biarkan Stella sendiri yang bercerita dan mengatakan semuanya. "Ketika aku pergi meninggalkan rumah, aku langsung ke rumah sakit terlebih dahulu. Tapi, aku tidak pergi ke rumah sakit yang biasa aku kunjungi. Saat itu aku merasa sangat lemah, karenanya aku memilih untuk dirawat untuk semalam terl
"Matthew, ayolah. Kau terlihat sangat tidak bersemangat padahal kita akan mengunjungi Silvi," kata Stella seraya menggoyangkan lengan pria yang telah menjadi orang paling penting dalam hidupnya. Matthew memutar bola matanya malas mendengar rengekan wanita di sebelahnya ini. "Aku bukannya tidak bersemangat karena kita akan mengunjungi Silvi." "Lalu apa?" "Aku menyesal mengusulkan pada kalian untuk tinggal di apartemen yang sama denganku, andai aku tahu tadi kau sudah mengganggu pagiku yang cerah!" kesal Matthew pada wanita di sebelahnya. Sedang wanita itu hanya terkikik melihat kekesalannya. Azrael yang melihat interaksi di antara keduanya terkikik geli. Saat mereka berdebat seperti itu, mereka tampak seperti bocah. Tidak lama kemudian, Alex kembali dengan dua karangan bunga berukuran sedang di dalam genggamannya. Mereka berempat -- Stella, Alex, Matthew dan Azrael -- berjalan memasuki area pemakaman. Tidak membutuhkan waktu lama mereka telah sampai di depan sebuah makam. I
Yakinlah, Tuhan itu adil. Karena setelah kesedihan pasti akan datang kebahagiaan. Meski kita tidak tahu kapan kebahagiaan itu akan datang. Tuhan tidak pernah tidur. Itulah yang dirasakan Alex dan Stella saat ini. Kebahagiaan tak terbendung setelah rasa sedih yang menyakitkan --- kini tengah mereka rasakan. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan pernah mereka tukar dengan apa pun. Kebahagiaan yang akan selalu mereka ciptakan mulai sekarang. Malam itu mereka sedang berdiri di balkon kamar. Saling memberikan kehangatan satu sama lain dengan berpelukan erat. Seakan pelukan itu dapat menyalurkan perasaan rindu yang mereka rasakan selama berpisah. "Kenapa kau tidak kembali saat itu?" tanya Alex sambil menaruh dagunya di bahu Stella. "Aku hanya ragu dan takut!" jawab Stella. "Kenapa?" tanya Alex masih memeluk Stella. "Aku takut kau akan membenciku ketika kau mengetahui semuanya. Bahwa akulah penyebab hilangnya Peter.Aku ragu untuk kembali bila kau tahu aku telah menyembunyikan suatu h
Sebuah resepsi pernikahan megah seorang pengusaha muda digelar di salah satu hotel terkenal di negeri ini. Menunjukkan pada semua, bahwa orang yang melakukan resepsi tengah berbahagia. Para wartawan sudah berkumpul di pelataran depan hotel tersebut. Tak jarang para wartawan itu menghentikan salah satu tamu undangan untuk diwawancarai. Pria berwajah datar dan dingin itu berdiri seorang diri di tengah-tengah ballroom. Mengabaikan setiap tatapan kagum dari para wanita. Setiap wanita berebut ingin memeluk lengan kokoh tersebut. Sayangnya, pria itu telanjur berhati dingin dan tidak akan ada lagi yang bisa mencairkan kebekuan hatinya. Pria itu tetap pada posisinya, hingga seorang pria lain yang juga koleganya menyapanya dan mengajaknya mengobrol, meski dibalas dengan singkat oleh Alex. Pria itu mengatakan jika ada seorang penyanyi Cafe cantik yang sedang viral ikut diundang. Awalnya Alex heran. Penyanyi Cafe? Di acara semegah ini? Yang benar saja! Pria koleganya itu mengatakan bah
Wanita itu berdiri di balkon kamarnya menikmati terpaan hangat sang mentari pagi pada wajahnya. Memejamkan matanya seakan-akan dia benar-benar menikmati mentari. Hingga tanpa ia sadari seorang pria yang selalu saja menemani kegiatannya datang. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," kata pria itu. Wanita itu bergeming, beberapa saat kemudian dia membuka matanya kemudian membalikkan tubuhnya. Tersenyum tipis saat pandangannya bertemu dengan pria itu -- yang masih saja menunggunya. Mereka berdua menikmati sarapan dalam diam, tidak ada kata yang terucap dan hanya suara sendok beradu dengan piring yang mendominasi ruang makan tersebut. Akhirnya pria itu memecahkan keheningan. "Apa kau ingin terus seperti ini?" tanya pria itu sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Seperti apa?" Wanita itu balik bertanya. "Kamu hanya menutupi penderitaan mu itu dariku," jawab pria itu. Hening. Dan wanita itu berlalu dari sana, meninggalkan sang pria tanpa sepatah kata pun. Pria i
Mencari sebuah alasan pengganti untuk tetap hidup bukanlah satu hal yang mudah. Alex merasakannya. Ketika Stella masih berada di sisinya, ia memiliki alasan untuk tetap hidup, karena ia mencintai Stella. Alex bukanlah remaja bodoh yang baru mengenal cinta. Kehidupan kejam yang diberikan Tuhan membuat ia tahu apa yang sedang terjadi saat ia bersama orang yang benar-benar ia cintai. Alex sangat mengerti arti getaran yang timbul saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan Stella. Semua orang di sekelilingnya sudah merasakan hatinya yang kembali buruk, bahkan lebih buruk. Mereka pasrah akan keadaan Alex saat ini. Bukannya mereka tidak peduli, tapi mereka tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat mencairkan bongkahan es yang sudah mencair kembali membeku. Alasan yang membuat es itu mencair telah tiada. Siang itu, Reyhan tiba-tiba datang berkunjung ke perusahaannya. Seperti temannya yang lain, Reyhan datang hanya sekedar untuk menanyakan kabarnya. Dan lagi-lagi menemukan. Alex yang berkuta
Bolehkah untuk kali ini Alex beranggapan jika Tuhan kembali bersikap tidak adil padanya? Bolehkah bila ia beranggapan Tuhan terlalu kejam padanya? Dia tidak tahu apa kesalahannya hingga Tuhan bersikap begitu kejam. Alex marah, ia marah pada sang takdir yang begitu kejam padanya. Saat ini, pria itu tengah berada dalam satu ruangan khusus di Cafe milik Max. Alex POV Aku marah. Marah pada takdir, marah pada diriku sendiri. Ketika satu masalah belum terselesaikan, kini masalah lain kembali datang. Apa aku tidak pantas untuk bahagia? Seandainya bunuh diri bukan dosa, maka akan kuakhiri hidupku. Tapi, aku teringat kembali pada satu hal. Aku harus menemukan istriku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan mengalah pada sang takdir lagi. Namun, harus kucari ke mana lagi istriku? Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Hingga saat ini aku belum mendapatkan kabar tentang keberadaannya. Dia hilang bagaikan ditelan bumi. Tapi satu keyakinanku, Stella masih ada