Stella berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang sudah ia hapal. Sebelumnya, Stella pulang ke rumah terlebih dahulu untuk mengambil beberapa pakaian. Karena ia pikir besok adalah hari libur, maka seharian penuh ia akan berada di rumah sakit. Tapi ia tidak ingin bermalas-malasan, jadi ia juga akan mengerjakan tugas-tugas dari kantor.
"Stella." Sapa dokter Rafael saat membuka pintu kamar inap Sarah dan berpapasan dengan Stella di pintu. "Rafa," sapa Stella balik pada sang dokter. "Kamu lembur lagi!" Itu bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh Rafael. "Aku hanya ingin mencari kesibukan." balas Stella menatap lekat ibunya. Siapa pun tahu, di mata coklat karamel itu terdapat kesedihan mendalam setiap menatap wanita paruh baya di depannya. "Ada apa dengan tanganmu?" tanya Rafael, saat melihat pergelangan tangan Stella yang berwarna ungu kebiruan. "Tidak apa, hanya kecelakaan kecil," jawab Stella seraya menjauhkan tangannya. "Sudah diobati?" tanya Rafael khawatir. "Tidak perlu khawatir, ini hanya bekasnya saja," ujar Stella. "Baiklah, jaga diri dan kesehatanmu." Rafael tahu pasti bahwa Stella sangat lelah saat ini. Ia segera menuju pintu keluar dan pulang. ***** Cahaya matahari yang malu-malu masuk dari jendela kamar rumah sakit membuat Stella menggeliat malas di tempat tidur. Sedikit demi sedikit bulu mata lentik itu terbuka menunjukkan mata coklat karamel yang banyak menyimpan kesedihan. Stella tersadar bahwa ia berada di rumah sakit. Sedikit senyum terukir setiap kali ia tersadar, bahwa setidaknya ia masih bisa tidur bersama ibunya. Stella bangkit dari tempat tidurnya dan berniat masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Stella terlihat lebih segar dengan celana jeans selutut dan kaos dengan lengan setengah berwarna peach yang kontras dengan kulit putihnya. Membuatnya semakin terlihat cantik natural tanpa polesan make up apa pun. "Ka-kamu ...?!" ujar Stella terkejut saat ia baru keluar dari kamar mandi. "Apa kau tidak ingin menyambut ayahmu ini dengan pelukan kerinduan seorang anak kepada ayahnya?" tanya Josh. Benar, ayah tirinya itu tiba-tiba masuk ke kamar inap Sarah. "Jangan sentuh apa pun di sini!" kata Stella sinis saat ia melihat Josh memegang selang infus ibunya. "Aku ke sini hanya ingin menawarkan sesuatu padamu," ucap Josh, masih memegang selang infus Sarah. "Jangan menyentuh ibuku, Josh!" jerit Stella. Percuma saja berteriak, kamar inap ini kedap suara. "Aku tidak akan menyentuh milikmu lagi, Stella, setelah kau memberikan apa yang kumau," ujar Josh, mengancam Stella dengan masih memegang selang infus Sarah. "Apa yang kau mau?" tanya Stella berusaha menahan kemarahannya. "Aku hanya ingin uang," jawab Josh. "Berapa yang kau inginkan?" tanya Stella lagi. "Satu setengah juta dollar, mudah bukan?" "Apa?! Kau gila? Aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Kau sangar gila!" pekik Stella seraya memberikan tatapan membunuh pada ayah tirinya itu. "Saat kau memberikan uang itu maka aku akan pergi dari kehidupan kalian selamanya. Tapi jika kau tidak sanggup, maka ucapkan selamat tinggal pada ibumu yang menyusahkan ini." Ancam Josh sambil ingin membuka alat pernapasan Sarah. "Hentikan!!" teriak Stella tertahan, kemudian mendekat dan menahan tangan Josh. "Ingat, Stella, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku!" ancam Josh lagi, sedikit mundur untuk melihat reaksi ketakutan Stella. Josh tahu, Stella sangat ingin menelepon pihak yang berwajib, tapi apa daya meskipun Josh ditangkap, jika ia sudah memberikan ancaman maka ancaman itu tidak akan berhenti meski ia berada di balik jeruji besi. Karena Josh bukan sekadar pemabuk dan penjudi, tapi dia penjahat yang sangat berbahaya. "Tapi, kau harus berjanji akan meninggalkan kami selamanya. Dan segera tanda tangani surat cerai itu. Jika aku sudah memberikan uangnya, kau harus pergi dari kehidupan kamu selamanya!" kata Stella dengan menekankan kata 'selamanya'. "Okey, deal. Aku akan mengambil uang itu lusa. Tapi jika lusa uang itu tidak ada, maka ... say goodbye to your mother." "Apa?! Lusa?" Dari mana Stella bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu dua hari? Ini benar-benar gila. "Aku tidak punya banyak waktu lagi. Segera siapkan atau sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi!" ancam Josh lagi sebelum pergi meninggalkan Stella. Stella frustrasi. Ingin rasanya ia benar-benar menelepon polisi, andai saja Josh tidak mengancamnya. Dulu, Stella dan ibunya pernah menelepon pihak berwajib. Tapi, Josh yang mengerikan itu akan membuktikan ancamannya. Bahwa jika Stella atau Sarah melaporkan ke pihak berwajib mengenai kejahatan yang telah ia lakukan, maka Stella tidak akan selamat. Saat Stella pulang kuliah malam, ketika ia mencari angkutan umum, segerombol pria datang mendekat dan ingin mencelakainya juga memerkosanya. Beberapa lama kemudian, Josh datang dan menghentikan aksi para anak buahnya itu. Dia hanya ingin membuktikan ancamannya dan membuat peringatan agar Sarah mencabut laporannya pada polisi. Karena Sarah khawatir akan keselamatan Stella, ditambah lagi Stella pulang terlambat malam itu, akhirnya Sarah mencabut laporannya. Dan karena insiden itulah, Stella mengalami trauma yang luar biasa. Sekarang yang harus Stella pikirkan adalah dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu dua hari? ***** Stella baru saja keluar dari minimarket untuk membeli beberapa kebutuhannya, ketika seorang pria berbaju hitam menghampirinya dan mengatakan bahwa seseorang ingin bertemu dengannya. Dan ternyata orang yang ingin menemuinya itu adalah ibunda CEO-nya. Benar, Litina Edward tiba-tiba ingin bertemu dengannya. Dan di sinilah Stella sekarang berada, di kediaman mewah keluarga Edward. Stella mengikut seorang pelayan rumah yang membawanya menemui Litina. Pelayan itu mengantarnya ke taman belakang yang dipenuhi dengan bunga-bunga indah. Dan sepertinya Stella telah jatuh cinta melihat taman itu pada pandangan pertama. "Nyonya, Nona Stella sudah datang." Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik dan anggun itu tersenyum manis pada Stella yang berpenampilan biasa seperti tadi pagi. Ia hanya mengganti celana jeans selututnya menjadi lebih panjang sampai mata kaki, dengan flatshoes berwarna cokelat yang nampak indah di kaki putihnya. Rambutnya yang hitam pekat ia biarkan terurai serta wajah tanpa make up. "Maaf, Nyonya, saya berpenampilan tidak sopan saat pertama kali bertamu di rumah Anda." ujar Stella sopan. "Aku menyukai gadis yang berpenampilan apa adanya. Dan kau tetap terlihat cantik. Tidak salah jika Alex tergila-gila padamu," balas Litina yang membuat Stella terkejut mendengar perkataannya. "Saya tidak mengerti," kata Stella bingung dengan apa yang dibicarakan Litina. "Kau akan menikah dengan Alex, Stella. Aku bahagia sekali," lanjut Litina menggenggam tangan Stella dengan mata berbinar. Litina tidak yakin Alex akan mengatakan hal itu pada Stella, tapi dengan sedikit bantuannya, Litina mampu membuat mereka menikah. Entah perasaan apa dirasakan Litina yang saat itu menemukan sapu tangan Stella di kamar Alex, langsung mencari tahu tentang Stella Caelan. Dan Litina yakin, Stella adalah orang yang tepat untuk Alex. Ia pikir ini adalah insting seorang ibu dan ia tidak akan salah. "Tapi, saya tidak bisa menikah dengan Tuan Alex, Nyonya," kata Stella, membuat hati Litina kecewa. "Kenapa?" tanya Litina. "Karena saya tidak mengenalnya, saya hanya tahu bahwa dia atasan saya, Nyonya. Permisi." jawab Stella seraya beranjak dari tempat duduknya dan membungkuk pada Litina. "Nyonya ... tolong!" teriak histeris Stella yang menopang tubuh Litina agar tidak terjatuh ke tanah. Beberapa pelayan dan bodyguard pun datang untuk membantu Stella, mengangkat Litina dan membawanya ke kamar. Salah seorang pelayan menelpon dokter pribadi keluarga Edward. Setelah beberapa lama, terdengar derap langkah orang yang berlari mendekat. "Apa yang terjadi pada Mama?" suara bariton itu membuat Stella menjadi lebih ketakutan. Leonard Edward yang baru saja datang dari Los Angeles. Dia langsung pulang mengambil penerbangan pertama, segera masuk ke kamar pribadinya dan Litina, diikuti oleh Aliya. "Nyonya masih diperiksa oleh dokter, Tuan," jawab pelayan sembari menunduk ketakutan. "Kenapa Mama bisa seperti ini?" tanya Alex dan melihat Stella yang berdiri tidak jauh, menunduk seraya meremas tangannya ketakutan. Alex segera menghampiri Stella, tanpa menggubris perkataan pelayan. Entah apa yang dirasakan Alex, kesal, senang, khawatir menjadi satu. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Alex dingin pada Stella. Stella langsung mendongak menatap Alex takut. Alex sangat ingin merengkuh tubuh Stella dan mendekapnya, menenangkan Stella dan juga dirinya, saat melihat mata cokelat karamel yang ingin menangis karena ketakutan itu. Tapi ia harus tetap menjaga imagenya. "Ma-maafkan saya ...." ujar Stella dengan suara bergetar. 🌹🌹🌹🌹🌹Belum sempat Alex mengatakan sesuatu, pintu kamar pribadi Litina dan Leonard terbuka, menunjukkan Leonard, papa Alex. "Kalian ikutlah denganku," ujar Leonard dengan dingin, mungkin Alex mendapatkan sifat dinginnya itu dari papanya. Stella yang merasa takut dan gugup, tidak tahu harus melakukan apa, terus saja menunduk tidak menatap Leonard yang sudah berjalan menuju ruang kerja. Alex yang mengetahui hal tersebut langsung menggandeng tangan Stella agar mengikutinya ke ruang kerja papanya. Stella membelalakkan mata saat merasakan tangan hangat Alex menggandeng tangannya. Jantungnya berdegup kencang. Mereka berdua masuk ke ruang kerja Leonard. Ruangan itu terasa penuh intimidasi, hampir sama dengan ruang kerja Alex. "Jadi, apakah kalian akan menikah?" tanya Leonard langsung pada intinya. "Apa?" Stella dan Alex terkejut bersamaan. "Apa maksud, Papa?" tanya Alex dengan raut bingung. "Menikahlah kalian, Papa tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi pada Mamamu," kata Leona
Stella meyeruak masuk ke dalam kamar inap ibunya dengan perasaan campur aduk.Itulah yang selalu ia lakukan selama lima tahun terakhir setiap kali ia merasa kacau. Jika ia berada jauh dari ibunya, maka kalung liontin salju milik ibunyalah yang menjadi penggantinya. Sebuah kalung yang diberikan oleh seseorang yang sangat dicintai oleh Sarah. Ayah kandung Stella. Dulu sebelum ibunya mengalami kecelakaan itu, ia akan lari ke dalam pelukan ibunya yang menenangkan. Namun, kini hanya ini yang bisa dia lakukan. "Maafkan aku, Bu. Seandainya Josh tidak mengancam, aku tidak akan melakukan ini semua. Maafkan aku." Stella menangis sembari menggenggam tangan sang ibu. Stella sebenarnya adalah gadis yang cengeng dan rapuh, tapi keadaan yang memaksanya harus bersikap tegar dan berani. Seseorang yang ada di luar kamar inap Sarah yang terbuka, mendengar semua perkataan Stella. Ia semakin dibuat bingung oleh kehidupan yang dijalani Stella. Apa sebenarnya yang dialami Stella? Ia tidak tahu dan a
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datanglah ke apartemenku sekarang, supirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datang ke apartemenku sekarang, sopirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang mele
Stella tiba di rumah pukul tujuh malam, sekarang ia benar-benar merasakan. pipinya memanas sejak tadi. Dan ini gila, tidak seharusnya hal ini terjadi, karena kekonyolannya, ia jadi malu sekarang. "Kamu baru pulang? Seharian aku mengkhawatirkanmu," ujar Karen yang ternyata masih berada di rumah Stella, menunggunya pulang. "Eh? I-iya, aku sudah menulis note untukmu tadi." "Kamu kenapa?" tanya Karen, menyadari kegugupan Stella. "Aku tidak apa-apa." jawab Stella, masih duduk di ruang tamu. "Tapi wajahmu memerah." Karen menyipitkan matanya sambil menatap Stella dengan curiga. Mendengar perkataan Karen, Stella langsung beranjak dari sofa seraya menutupi wajah dengan tangannya dan berjalan ke kamar. Stella benar-benar merasa malu, ibarat pencuri yang ketahuan. Pertama, ia malu dengan kejadian di apartemen Alex tadi pagi, dan sekarang, ia ketahuan oleh Karen sedang merona. Seandainya tadi -- sewaktu ia masih di apartemen Alex -- ia tidak bertingkah konyol, tentu ini semua tidak
Beberapa karyawan langsung memberi jalan pada Stella agar bisa keluar dan menemui seseorang di depan lift itu. Stella terkejut bukan main saat ia melihat siapa yang memanggilnya. "Ikut denganku!" kata Alex dingin sembari berjalan menuju lift khusus petinggi perusahaan. Stella mengekori Alex dengan perasaan bercampur aduk. Pertama, dia telah berlaku tidak sopan pada atasannya. Kedua, dia sudah bersikap lancang di depan karyawan lain. Astaga! Sekarang apa yang akan terjadi? Nyali Stella semakin menciut saat mereka berada di lift khusus, berdua. Alex masuk ke ruangannya dengan Stella yang mengikuti di belakangnya. Seseorang yang berada di dalam terkejut dengan kedatangan mereka, bukan karena Alex, melainkan karena Stella. Begitu juga dengan Stella. "Dia yang kamu maksud, bukan?" tanya Alex, membuyarkan keterkejutan keduanya. "Hah? Oh, benar. Bagaimana kau bisa tahu?" balas Calvin sedikit terpana. Ia hanya mengatakan ciri-cirinya saja, tapi Alex sudah dapat mengetahuinya. Cant
Mereka tiba di depan sebuah butik terkenal. Mereka segera masuk dan seketika menjadi pusat perhatian, tatapan orang-orang tertuju kepada mereka. Mungkin pesona yang dipancarkan oleh Alex-lah yang seakan menyita perhatian orang-orang tersebut. Sambil menunduk Stella mengikuti langkah Alex, mencoba menghindari tatapan para pengunjung butik itu, meski sebenarnya tatapan kekaguman itu tertuju pada Alex, tapi Stella merasa secara otomatis tatapan itu juga jatuh untuknya. Alex berhenti di depan sebuah ruangan, Stella ikut berhenti. Tiba-tiba Alex menggenggam tangan Stella, membuat Stella mendongak dengan jantung yang berpacu cepat. Alex membawanya masuk ke dalam ruangan itu. "Kalian sudah datang!" sapa seorang wanita saat melihat kedatngan mereka berdua. "Tunjukkan saja bajunya!" ujar Alex seakan tidak peduli pada sapaan wanita itu. "Kau seberuntung apa mendapatkan wanita secantik dia?" tanya Nanda -- pemilik butik, tidak peduli ucapan cuek Alex. Stella tersipu malu mendengar puji
Semenjak hari ini, Stella sudah tidak diperbolehkan oleh Litina untuk bekerja. Alasan Mama Alex itu -- calon mertua Stella -- bahwa sebentar lagi adalah hari pernikahannya dengan Alex. Stella harus tetap berada di rumah hingga pernikahan selesai. Kembali Stella sadar akan posisinya, jadi ia hanya menuruti semua perkataan keluarga Alex. Segelas coklat panas menemaninya pagi hari ini. Stella benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan selama di rumah. Biasanya ia -- bahkan saat weekend -- tetap bekerja. Setelah memikirkan apa yang akan dilakukannya seharian ini, akhirnya Stella memilih untuk mengunjungi taman. Di sana, terdapat beberapa anak yang tampaknya belum sekolah, bermain menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Dan di sisi lain, orang tua mereka berkumpul dan entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya itu hal yang seru. Stella berpikir, apakah masa kecilnya dulu seperti ini? Apa ia bermain bersama teman sebayanya di taman? Apa ibunya juga sering berkumpul dengan ora