Stella berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang sudah ia hapal. Sebelumnya, Stella pulang ke rumah terlebih dahulu untuk mengambil beberapa pakaian. Karena ia pikir besok adalah hari libur, maka seharian penuh ia akan berada di rumah sakit. Tapi ia tidak ingin bermalas-malasan, jadi ia juga akan mengerjakan tugas-tugas dari kantor.
"Stella." Sapa dokter Rafael saat membuka pintu kamar inap Sarah dan berpapasan dengan Stella di pintu. "Rafa," sapa Stella balik pada sang dokter. "Kamu lembur lagi!" Itu bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh Rafael. "Aku hanya ingin mencari kesibukan." balas Stella menatap lekat ibunya. Siapa pun tahu, di mata coklat karamel itu terdapat kesedihan mendalam setiap menatap wanita paruh baya di depannya. "Ada apa dengan tanganmu?" tanya Rafael, saat melihat pergelangan tangan Stella yang berwarna ungu kebiruan. "Tidak apa, hanya kecelakaan kecil," jawab Stella seraya menjauhkan tangannya. "Sudah diobati?" tanya Rafael khawatir. "Tidak perlu khawatir, ini hanya bekasnya saja," ujar Stella. "Baiklah, jaga diri dan kesehatanmu." Rafael tahu pasti bahwa Stella sangat lelah saat ini. Ia segera menuju pintu keluar dan pulang. ***** Cahaya matahari yang malu-malu masuk dari jendela kamar rumah sakit membuat Stella menggeliat malas di tempat tidur. Sedikit demi sedikit bulu mata lentik itu terbuka menunjukkan mata coklat karamel yang banyak menyimpan kesedihan. Stella tersadar bahwa ia berada di rumah sakit. Sedikit senyum terukir setiap kali ia tersadar, bahwa setidaknya ia masih bisa tidur bersama ibunya. Stella bangkit dari tempat tidurnya dan berniat masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Stella terlihat lebih segar dengan celana jeans selutut dan kaos dengan lengan setengah berwarna peach yang kontras dengan kulit putihnya. Membuatnya semakin terlihat cantik natural tanpa polesan make up apa pun. "Ka-kamu ...?!" ujar Stella terkejut saat ia baru keluar dari kamar mandi. "Apa kau tidak ingin menyambut ayahmu ini dengan pelukan kerinduan seorang anak kepada ayahnya?" tanya Josh. Benar, ayah tirinya itu tiba-tiba masuk ke kamar inap Sarah. "Jangan sentuh apa pun di sini!" kata Stella sinis saat ia melihat Josh memegang selang infus ibunya. "Aku ke sini hanya ingin menawarkan sesuatu padamu," ucap Josh, masih memegang selang infus Sarah. "Jangan menyentuh ibuku, Josh!" jerit Stella. Percuma saja berteriak, kamar inap ini kedap suara. "Aku tidak akan menyentuh milikmu lagi, Stella, setelah kau memberikan apa yang kumau," ujar Josh, mengancam Stella dengan masih memegang selang infus Sarah. "Apa yang kau mau?" tanya Stella berusaha menahan kemarahannya. "Aku hanya ingin uang," jawab Josh. "Berapa yang kau inginkan?" tanya Stella lagi. "Satu setengah juta dollar, mudah bukan?" "Apa?! Kau gila? Aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Kau sangar gila!" pekik Stella seraya memberikan tatapan membunuh pada ayah tirinya itu. "Saat kau memberikan uang itu maka aku akan pergi dari kehidupan kalian selamanya. Tapi jika kau tidak sanggup, maka ucapkan selamat tinggal pada ibumu yang menyusahkan ini." Ancam Josh sambil ingin membuka alat pernapasan Sarah. "Hentikan!!" teriak Stella tertahan, kemudian mendekat dan menahan tangan Josh. "Ingat, Stella, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku!" ancam Josh lagi, sedikit mundur untuk melihat reaksi ketakutan Stella. Josh tahu, Stella sangat ingin menelepon pihak yang berwajib, tapi apa daya meskipun Josh ditangkap, jika ia sudah memberikan ancaman maka ancaman itu tidak akan berhenti meski ia berada di balik jeruji besi. Karena Josh bukan sekadar pemabuk dan penjudi, tapi dia penjahat yang sangat berbahaya. "Tapi, kau harus berjanji akan meninggalkan kami selamanya. Dan segera tanda tangani surat cerai itu. Jika aku sudah memberikan uangnya, kau harus pergi dari kehidupan kamu selamanya!" kata Stella dengan menekankan kata 'selamanya'. "Okey, deal. Aku akan mengambil uang itu lusa. Tapi jika lusa uang itu tidak ada, maka ... say goodbye to your mother." "Apa?! Lusa?" Dari mana Stella bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu dua hari? Ini benar-benar gila. "Aku tidak punya banyak waktu lagi. Segera siapkan atau sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi!" ancam Josh lagi sebelum pergi meninggalkan Stella. Stella frustrasi. Ingin rasanya ia benar-benar menelepon polisi, andai saja Josh tidak mengancamnya. Dulu, Stella dan ibunya pernah menelepon pihak berwajib. Tapi, Josh yang mengerikan itu akan membuktikan ancamannya. Bahwa jika Stella atau Sarah melaporkan ke pihak berwajib mengenai kejahatan yang telah ia lakukan, maka Stella tidak akan selamat. Saat Stella pulang kuliah malam, ketika ia mencari angkutan umum, segerombol pria datang mendekat dan ingin mencelakainya juga memerkosanya. Beberapa lama kemudian, Josh datang dan menghentikan aksi para anak buahnya itu. Dia hanya ingin membuktikan ancamannya dan membuat peringatan agar Sarah mencabut laporannya pada polisi. Karena Sarah khawatir akan keselamatan Stella, ditambah lagi Stella pulang terlambat malam itu, akhirnya Sarah mencabut laporannya. Dan karena insiden itulah, Stella mengalami trauma yang luar biasa. Sekarang yang harus Stella pikirkan adalah dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu dua hari? ***** Stella baru saja keluar dari minimarket untuk membeli beberapa kebutuhannya, ketika seorang pria berbaju hitam menghampirinya dan mengatakan bahwa seseorang ingin bertemu dengannya. Dan ternyata orang yang ingin menemuinya itu adalah ibunda CEO-nya. Benar, Litina Edward tiba-tiba ingin bertemu dengannya. Dan di sinilah Stella sekarang berada, di kediaman mewah keluarga Edward. Stella mengikut seorang pelayan rumah yang membawanya menemui Litina. Pelayan itu mengantarnya ke taman belakang yang dipenuhi dengan bunga-bunga indah. Dan sepertinya Stella telah jatuh cinta melihat taman itu pada pandangan pertama. "Nyonya, Nona Stella sudah datang." Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik dan anggun itu tersenyum manis pada Stella yang berpenampilan biasa seperti tadi pagi. Ia hanya mengganti celana jeans selututnya menjadi lebih panjang sampai mata kaki, dengan flatshoes berwarna cokelat yang nampak indah di kaki putihnya. Rambutnya yang hitam pekat ia biarkan terurai serta wajah tanpa make up. "Maaf, Nyonya, saya berpenampilan tidak sopan saat pertama kali bertamu di rumah Anda." ujar Stella sopan. "Aku menyukai gadis yang berpenampilan apa adanya. Dan kau tetap terlihat cantik. Tidak salah jika Alex tergila-gila padamu," balas Litina yang membuat Stella terkejut mendengar perkataannya. "Saya tidak mengerti," kata Stella bingung dengan apa yang dibicarakan Litina. "Kau akan menikah dengan Alex, Stella. Aku bahagia sekali," lanjut Litina menggenggam tangan Stella dengan mata berbinar. Litina tidak yakin Alex akan mengatakan hal itu pada Stella, tapi dengan sedikit bantuannya, Litina mampu membuat mereka menikah. Entah perasaan apa dirasakan Litina yang saat itu menemukan sapu tangan Stella di kamar Alex, langsung mencari tahu tentang Stella Caelan. Dan Litina yakin, Stella adalah orang yang tepat untuk Alex. Ia pikir ini adalah insting seorang ibu dan ia tidak akan salah. "Tapi, saya tidak bisa menikah dengan Tuan Alex, Nyonya," kata Stella, membuat hati Litina kecewa. "Kenapa?" tanya Litina. "Karena saya tidak mengenalnya, saya hanya tahu bahwa dia atasan saya, Nyonya. Permisi." jawab Stella seraya beranjak dari tempat duduknya dan membungkuk pada Litina. "Nyonya ... tolong!" teriak histeris Stella yang menopang tubuh Litina agar tidak terjatuh ke tanah. Beberapa pelayan dan bodyguard pun datang untuk membantu Stella, mengangkat Litina dan membawanya ke kamar. Salah seorang pelayan menelpon dokter pribadi keluarga Edward. Setelah beberapa lama, terdengar derap langkah orang yang berlari mendekat. "Apa yang terjadi pada Mama?" suara bariton itu membuat Stella menjadi lebih ketakutan. Leonard Edward yang baru saja datang dari Los Angeles. Dia langsung pulang mengambil penerbangan pertama, segera masuk ke kamar pribadinya dan Litina, diikuti oleh Aliya. "Nyonya masih diperiksa oleh dokter, Tuan," jawab pelayan sembari menunduk ketakutan. "Kenapa Mama bisa seperti ini?" tanya Alex dan melihat Stella yang berdiri tidak jauh, menunduk seraya meremas tangannya ketakutan. Alex segera menghampiri Stella, tanpa menggubris perkataan pelayan. Entah apa yang dirasakan Alex, kesal, senang, khawatir menjadi satu. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Alex dingin pada Stella. Stella langsung mendongak menatap Alex takut. Alex sangat ingin merengkuh tubuh Stella dan mendekapnya, menenangkan Stella dan juga dirinya, saat melihat mata cokelat karamel yang ingin menangis karena ketakutan itu. Tapi ia harus tetap menjaga imagenya. "Ma-maafkan saya ...." ujar Stella dengan suara bergetar. 🌹🌹🌹🌹🌹Belum sempat Alex mengatakan sesuatu, pintu kamar pribadi Litina dan Leonard terbuka, menunjukkan Leonard, papa Alex. "Kalian ikutlah denganku," ujar Leonard dengan dingin, mungkin Alex mendapatkan sifat dinginnya itu dari papanya. Stella yang merasa takut dan gugup, tidak tahu harus melakukan apa, terus saja menunduk tidak menatap Leonard yang sudah berjalan menuju ruang kerja. Alex yang mengetahui hal tersebut langsung menggandeng tangan Stella agar mengikutinya ke ruang kerja papanya. Stella membelalakkan mata saat merasakan tangan hangat Alex menggandeng tangannya. Jantungnya berdegup kencang. Mereka berdua masuk ke ruang kerja Leonard. Ruangan itu terasa penuh intimidasi, hampir sama dengan ruang kerja Alex. "Jadi, apakah kalian akan menikah?" tanya Leonard langsung pada intinya. "Apa?" Stella dan Alex terkejut bersamaan. "Apa maksud, Papa?" tanya Alex dengan raut bingung. "Menikahlah kalian, Papa tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi pada Mamamu," kata Leona
Stella meyeruak masuk ke dalam kamar inap ibunya dengan perasaan campur aduk.Itulah yang selalu ia lakukan selama lima tahun terakhir setiap kali ia merasa kacau. Jika ia berada jauh dari ibunya, maka kalung liontin salju milik ibunyalah yang menjadi penggantinya. Sebuah kalung yang diberikan oleh seseorang yang sangat dicintai oleh Sarah. Ayah kandung Stella. Dulu sebelum ibunya mengalami kecelakaan itu, ia akan lari ke dalam pelukan ibunya yang menenangkan. Namun, kini hanya ini yang bisa dia lakukan. "Maafkan aku, Bu. Seandainya Josh tidak mengancam, aku tidak akan melakukan ini semua. Maafkan aku." Stella menangis sembari menggenggam tangan sang ibu. Stella sebenarnya adalah gadis yang cengeng dan rapuh, tapi keadaan yang memaksanya harus bersikap tegar dan berani. Seseorang yang ada di luar kamar inap Sarah yang terbuka, mendengar semua perkataan Stella. Ia semakin dibuat bingung oleh kehidupan yang dijalani Stella. Apa sebenarnya yang dialami Stella? Ia tidak tahu dan a
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datanglah ke apartemenku sekarang, supirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datang ke apartemenku sekarang, sopirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang mele
Stella tiba di rumah pukul tujuh malam, sekarang ia benar-benar merasakan. pipinya memanas sejak tadi. Dan ini gila, tidak seharusnya hal ini terjadi, karena kekonyolannya, ia jadi malu sekarang. "Kamu baru pulang? Seharian aku mengkhawatirkanmu," ujar Karen yang ternyata masih berada di rumah Stella, menunggunya pulang. "Eh? I-iya, aku sudah menulis note untukmu tadi." "Kamu kenapa?" tanya Karen, menyadari kegugupan Stella. "Aku tidak apa-apa." jawab Stella, masih duduk di ruang tamu. "Tapi wajahmu memerah." Karen menyipitkan matanya sambil menatap Stella dengan curiga. Mendengar perkataan Karen, Stella langsung beranjak dari sofa seraya menutupi wajah dengan tangannya dan berjalan ke kamar. Stella benar-benar merasa malu, ibarat pencuri yang ketahuan. Pertama, ia malu dengan kejadian di apartemen Alex tadi pagi, dan sekarang, ia ketahuan oleh Karen sedang merona. Seandainya tadi -- sewaktu ia masih di apartemen Alex -- ia tidak bertingkah konyol, tentu ini semua tidak
Beberapa karyawan langsung memberi jalan pada Stella agar bisa keluar dan menemui seseorang di depan lift itu. Stella terkejut bukan main saat ia melihat siapa yang memanggilnya. "Ikut denganku!" kata Alex dingin sembari berjalan menuju lift khusus petinggi perusahaan. Stella mengekori Alex dengan perasaan bercampur aduk. Pertama, dia telah berlaku tidak sopan pada atasannya. Kedua, dia sudah bersikap lancang di depan karyawan lain. Astaga! Sekarang apa yang akan terjadi? Nyali Stella semakin menciut saat mereka berada di lift khusus, berdua. Alex masuk ke ruangannya dengan Stella yang mengikuti di belakangnya. Seseorang yang berada di dalam terkejut dengan kedatangan mereka, bukan karena Alex, melainkan karena Stella. Begitu juga dengan Stella. "Dia yang kamu maksud, bukan?" tanya Alex, membuyarkan keterkejutan keduanya. "Hah? Oh, benar. Bagaimana kau bisa tahu?" balas Calvin sedikit terpana. Ia hanya mengatakan ciri-cirinya saja, tapi Alex sudah dapat mengetahuinya. Cant
Mereka tiba di depan sebuah butik terkenal. Mereka segera masuk dan seketika menjadi pusat perhatian, tatapan orang-orang tertuju kepada mereka. Mungkin pesona yang dipancarkan oleh Alex-lah yang seakan menyita perhatian orang-orang tersebut. Sambil menunduk Stella mengikuti langkah Alex, mencoba menghindari tatapan para pengunjung butik itu, meski sebenarnya tatapan kekaguman itu tertuju pada Alex, tapi Stella merasa secara otomatis tatapan itu juga jatuh untuknya. Alex berhenti di depan sebuah ruangan, Stella ikut berhenti. Tiba-tiba Alex menggenggam tangan Stella, membuat Stella mendongak dengan jantung yang berpacu cepat. Alex membawanya masuk ke dalam ruangan itu. "Kalian sudah datang!" sapa seorang wanita saat melihat kedatngan mereka berdua. "Tunjukkan saja bajunya!" ujar Alex seakan tidak peduli pada sapaan wanita itu. "Kau seberuntung apa mendapatkan wanita secantik dia?" tanya Nanda -- pemilik butik, tidak peduli ucapan cuek Alex. Stella tersipu malu mendengar puji
Semenjak hari ini, Stella sudah tidak diperbolehkan oleh Litina untuk bekerja. Alasan Mama Alex itu -- calon mertua Stella -- bahwa sebentar lagi adalah hari pernikahannya dengan Alex. Stella harus tetap berada di rumah hingga pernikahan selesai. Kembali Stella sadar akan posisinya, jadi ia hanya menuruti semua perkataan keluarga Alex. Segelas coklat panas menemaninya pagi hari ini. Stella benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan selama di rumah. Biasanya ia -- bahkan saat weekend -- tetap bekerja. Setelah memikirkan apa yang akan dilakukannya seharian ini, akhirnya Stella memilih untuk mengunjungi taman. Di sana, terdapat beberapa anak yang tampaknya belum sekolah, bermain menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Dan di sisi lain, orang tua mereka berkumpul dan entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya itu hal yang seru. Stella berpikir, apakah masa kecilnya dulu seperti ini? Apa ia bermain bersama teman sebayanya di taman? Apa ibunya juga sering berkumpul dengan ora
“Halo?”“Nyonya, ini aku, Alexa!” kata Alexa melalui telepon. “Ah, ternyata Alexa-ku. Ada apa, sayang?” balas Stella. “Aku ... aku siap menikah dengan putramu!” kata Alexa dengan berat hati. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih padamu, Sayang. Aku benar-benar senang,” kata Stella dengan nada teramat bahagia. “Tapi ....” “Katakan saja, Alexa. Ada apa?” “Aku ingin mahar dua ratus lima puluh juta untuk pernikahanku!” Stella sedikit terkejut di seberang sana, namun setelahnya dia pun tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan memberikan mahar tiga ratus juta –“ “Tidak, aku hanya ingin mahar dua ratus lima puluh juta,” sela Alexa. “Ah, baiklah. Terserah kau saja.” “Bisakah aku menerima uang itu besok?” “Sayang, bukan maksudku meragukanmu. Tapi, aku hanya mengantisipasi jika kau malah membawa lari uang itu. Aku percaya padamu, tapi tetap saja tidak menutup kemungkinan jika kau lari dengan membawa uang itu. Sebenarnya, uang tidak masalah bagiku, yang menjadi masalahnya adalah jika kau
49. Season 2“Steve! Apa yang kau lakukan?” bentak seseorang. Steve pun segera berdiri dan menatap seseorang yang membentaknya dengan panik, itu ibunya. “Mom, ini tidak seperti yang kau lihat,” ujarnya mencoba menghilangkan kesalahpahaman yang pastinya ada di benak sang ibu. “Aku dan Daddy-mu tidak pernah mengajarimu menjadi pria brengsek seperti ini, Steve!” bentak Stella sambil menunjuk gadis yang terduduk di lantai. “Nyo-nyonya, kami tidak melakukan apa pun, tadi kami hanya terpeleset. Sungguh, kami tidak sengaja berada dalam posisi seperti itu,” terang sang gadis. Tadi dia datang ke cafe ini bersama teman-teman sekampusnya. Dan saat dia pergi ke toilet, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang akhirnya membuat mereka terpeleset karena lantai yang licin. Tapi mereka malah terjatuh dengan posisi si pria yang berada tepat di atas tubuhnya. Dan itu bertepatan dengan ibu sang pria datang dan memergoki mereka yang sebenarnya hanya terpeleset. “Aku tidak percaya pada kalian. K
Setelah berada di dalam kamar mereka, Stella menyandarkan tubuhnya ke dada bidang suaminya. Kehamilan kali ini, keluarganya tidak sekejam seperti pada kehamilannya yang pertama. Mereka tidak membiarkan Stella pergi ke mana pun dan terus saja menyuruhnya untuk berdiam diri di dalam kamar. "Jadi, jika bukan dirimu yang berada di dalam peti mati itu, lalu yang terkubur di dalam sana siapa?" tanya Alex yang masih bingung. Alex memang baru menanyai Stella sekarang, karena saat pertama kali Stella kembali lagi padanya, ia masih ragu untuk bertanya. Ia khawatir membuat Stella sedih jika ia membangkitkan cerita kelam hidup Stella selama pergi dari sisinya. Ia lebih baik menunggu saat yang tepat, biarkan Stella sendiri yang bercerita dan mengatakan semuanya. "Ketika aku pergi meninggalkan rumah, aku langsung ke rumah sakit terlebih dahulu. Tapi, aku tidak pergi ke rumah sakit yang biasa aku kunjungi. Saat itu aku merasa sangat lemah, karenanya aku memilih untuk dirawat untuk semalam terl
"Matthew, ayolah. Kau terlihat sangat tidak bersemangat padahal kita akan mengunjungi Silvi," kata Stella seraya menggoyangkan lengan pria yang telah menjadi orang paling penting dalam hidupnya. Matthew memutar bola matanya malas mendengar rengekan wanita di sebelahnya ini. "Aku bukannya tidak bersemangat karena kita akan mengunjungi Silvi." "Lalu apa?" "Aku menyesal mengusulkan pada kalian untuk tinggal di apartemen yang sama denganku, andai aku tahu tadi kau sudah mengganggu pagiku yang cerah!" kesal Matthew pada wanita di sebelahnya. Sedang wanita itu hanya terkikik melihat kekesalannya. Azrael yang melihat interaksi di antara keduanya terkikik geli. Saat mereka berdebat seperti itu, mereka tampak seperti bocah. Tidak lama kemudian, Alex kembali dengan dua karangan bunga berukuran sedang di dalam genggamannya. Mereka berempat -- Stella, Alex, Matthew dan Azrael -- berjalan memasuki area pemakaman. Tidak membutuhkan waktu lama mereka telah sampai di depan sebuah makam. I
Yakinlah, Tuhan itu adil. Karena setelah kesedihan pasti akan datang kebahagiaan. Meski kita tidak tahu kapan kebahagiaan itu akan datang. Tuhan tidak pernah tidur. Itulah yang dirasakan Alex dan Stella saat ini. Kebahagiaan tak terbendung setelah rasa sedih yang menyakitkan --- kini tengah mereka rasakan. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan pernah mereka tukar dengan apa pun. Kebahagiaan yang akan selalu mereka ciptakan mulai sekarang. Malam itu mereka sedang berdiri di balkon kamar. Saling memberikan kehangatan satu sama lain dengan berpelukan erat. Seakan pelukan itu dapat menyalurkan perasaan rindu yang mereka rasakan selama berpisah. "Kenapa kau tidak kembali saat itu?" tanya Alex sambil menaruh dagunya di bahu Stella. "Aku hanya ragu dan takut!" jawab Stella. "Kenapa?" tanya Alex masih memeluk Stella. "Aku takut kau akan membenciku ketika kau mengetahui semuanya. Bahwa akulah penyebab hilangnya Peter.Aku ragu untuk kembali bila kau tahu aku telah menyembunyikan suatu h
Sebuah resepsi pernikahan megah seorang pengusaha muda digelar di salah satu hotel terkenal di negeri ini. Menunjukkan pada semua, bahwa orang yang melakukan resepsi tengah berbahagia. Para wartawan sudah berkumpul di pelataran depan hotel tersebut. Tak jarang para wartawan itu menghentikan salah satu tamu undangan untuk diwawancarai. Pria berwajah datar dan dingin itu berdiri seorang diri di tengah-tengah ballroom. Mengabaikan setiap tatapan kagum dari para wanita. Setiap wanita berebut ingin memeluk lengan kokoh tersebut. Sayangnya, pria itu telanjur berhati dingin dan tidak akan ada lagi yang bisa mencairkan kebekuan hatinya. Pria itu tetap pada posisinya, hingga seorang pria lain yang juga koleganya menyapanya dan mengajaknya mengobrol, meski dibalas dengan singkat oleh Alex. Pria itu mengatakan jika ada seorang penyanyi Cafe cantik yang sedang viral ikut diundang. Awalnya Alex heran. Penyanyi Cafe? Di acara semegah ini? Yang benar saja! Pria koleganya itu mengatakan bah
Wanita itu berdiri di balkon kamarnya menikmati terpaan hangat sang mentari pagi pada wajahnya. Memejamkan matanya seakan-akan dia benar-benar menikmati mentari. Hingga tanpa ia sadari seorang pria yang selalu saja menemani kegiatannya datang. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," kata pria itu. Wanita itu bergeming, beberapa saat kemudian dia membuka matanya kemudian membalikkan tubuhnya. Tersenyum tipis saat pandangannya bertemu dengan pria itu -- yang masih saja menunggunya. Mereka berdua menikmati sarapan dalam diam, tidak ada kata yang terucap dan hanya suara sendok beradu dengan piring yang mendominasi ruang makan tersebut. Akhirnya pria itu memecahkan keheningan. "Apa kau ingin terus seperti ini?" tanya pria itu sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Seperti apa?" Wanita itu balik bertanya. "Kamu hanya menutupi penderitaan mu itu dariku," jawab pria itu. Hening. Dan wanita itu berlalu dari sana, meninggalkan sang pria tanpa sepatah kata pun. Pria i
Mencari sebuah alasan pengganti untuk tetap hidup bukanlah satu hal yang mudah. Alex merasakannya. Ketika Stella masih berada di sisinya, ia memiliki alasan untuk tetap hidup, karena ia mencintai Stella. Alex bukanlah remaja bodoh yang baru mengenal cinta. Kehidupan kejam yang diberikan Tuhan membuat ia tahu apa yang sedang terjadi saat ia bersama orang yang benar-benar ia cintai. Alex sangat mengerti arti getaran yang timbul saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan Stella. Semua orang di sekelilingnya sudah merasakan hatinya yang kembali buruk, bahkan lebih buruk. Mereka pasrah akan keadaan Alex saat ini. Bukannya mereka tidak peduli, tapi mereka tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat mencairkan bongkahan es yang sudah mencair kembali membeku. Alasan yang membuat es itu mencair telah tiada. Siang itu, Reyhan tiba-tiba datang berkunjung ke perusahaannya. Seperti temannya yang lain, Reyhan datang hanya sekedar untuk menanyakan kabarnya. Dan lagi-lagi menemukan. Alex yang berkuta
Bolehkah untuk kali ini Alex beranggapan jika Tuhan kembali bersikap tidak adil padanya? Bolehkah bila ia beranggapan Tuhan terlalu kejam padanya? Dia tidak tahu apa kesalahannya hingga Tuhan bersikap begitu kejam. Alex marah, ia marah pada sang takdir yang begitu kejam padanya. Saat ini, pria itu tengah berada dalam satu ruangan khusus di Cafe milik Max. Alex POV Aku marah. Marah pada takdir, marah pada diriku sendiri. Ketika satu masalah belum terselesaikan, kini masalah lain kembali datang. Apa aku tidak pantas untuk bahagia? Seandainya bunuh diri bukan dosa, maka akan kuakhiri hidupku. Tapi, aku teringat kembali pada satu hal. Aku harus menemukan istriku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan mengalah pada sang takdir lagi. Namun, harus kucari ke mana lagi istriku? Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Hingga saat ini aku belum mendapatkan kabar tentang keberadaannya. Dia hilang bagaikan ditelan bumi. Tapi satu keyakinanku, Stella masih ada