Belum sempat Alex mengatakan sesuatu, pintu kamar pribadi Litina dan Leonard terbuka, menunjukkan Leonard, papa Alex.
"Kalian ikutlah denganku," ujar Leonard dengan dingin, mungkin Alex mendapatkan sifat dinginnya itu dari papanya. Stella yang merasa takut dan gugup, tidak tahu harus melakukan apa, terus saja menunduk tidak menatap Leonard yang sudah berjalan menuju ruang kerja. Alex yang mengetahui hal tersebut langsung menggandeng tangan Stella agar mengikutinya ke ruang kerja papanya. Stella membelalakkan mata saat merasakan tangan hangat Alex menggandeng tangannya. Jantungnya berdegup kencang. Mereka berdua masuk ke ruang kerja Leonard. Ruangan itu terasa penuh intimidasi, hampir sama dengan ruang kerja Alex. "Jadi, apakah kalian akan menikah?" tanya Leonard langsung pada intinya. "Apa?" Stella dan Alex terkejut bersamaan. "Apa maksud, Papa?" tanya Alex dengan raut bingung. "Menikahlah kalian, Papa tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi pada Mamamu," kata Leonard. Ia sangat khawatir saat mendengar bahwa istrinya jatuh pingsan karena mendadak kena serangan jantung. Padahal Litina hanya berpura-pura terkena serangan jantung. Dan Leonard tahu jika istrinya hanya berakting untuk membuat anak laki-lakinya menikah dengan gadis bernama Stella. "Ta-tapi ...." seru Stella tergagap. "Baiklah, saya akan melakukan pernikahan itu," lanjut Stella dengan yakin. Entah bagaimana bibirnya ini bisa mengatakan hal selantang itu dengan lancar dan yakin. Spontan Alex menatap Stella dengan tidak percaya. Sebab baru kemarin ia meminta Stella menikah dengannya, dan wanita ini menolak. Tapi sekarang ... benar-benar wanita aneh. "Tapi sebelumnya, bisakah saya bertemu dengan Nyonya Litina." tanya Stella. "Silakan," jawab Leonard. Seketika Stella merasa gugup. Stella segera keluar dari ruang kerja Leonard dan menuju kamar Litina. "Bisakah saya berbicara dengan Anda, Nyonya Litina?" tanya Stella sopan saat telah berada di kamar Litina, yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang, ditemani Aliya yang duduk di sebelah mamanya. Stella sangat ingin merasakan hal yang sama seperti yang dilakukan Aliya, berada di samping ibunya sambil bergenggaman tangan. "Kemarilah, Stella," panggil Litina, yang melihat Stella masih berdiri di kaki tempat tidurnya yang berukuran king size. Stella segera mendekat dan berdiri di sisi tempat tidur. "Saya ingin bicara berdua dengan Nyonya, apa boleh?" tanya Stella sopan sembari menunduk. "Mulai saat ini, jangan memanggil Nyonya, Nak. Panggil aku, Mama!" kata Litina. "M-Ma-Mama?" dengan terbata-bata Stella mencoba memanggil Mama pada Litina. Litina tersenyum mendengar panggilan Stella untuknya. Wanita itu mengisyaratkan agar Stella mendekat. Aliya mengerti bahwa kedua wanita itu membutuhkan waktu berdua, ia pun langsung berdiri dan berjalan keluar kamar mamanya. "Saya ingin menceritakan siapa saya pada Mama," ujar Stella sambil menatap Litina, kemudian membenarkan posisi duduknya agar sepenuhnya menghadap pada Litina. "Mama akan mendengarkan," kata Litina lembut sambil balas menatap mata penuh kesedihan itu. Flashback On Saat itu, Stella berumur delapan tahun. Di umur itu semua anak butuh seorang teman. Tapi, Stella berbeda. Dari kecil ia hampir tidak pernah bermain dengan teman sebayanya. Hampir semua temannya menolak bermain bersamanya. Menurut salah satu temannya, Stella adalah anak haram, yang bahkan tidak diinginkan oleh ayahnya sendiri. Lalu mengapa mereka harus menerima Stella? Dan karena itulah, Sarah sadar bahwa tidak ada seorang anak pun yang mau berteman dengan putrinya karena ia tidak memiliki suami dan ayah untuk putrinya. Kemudian Sarah menikah dengan Josh, hanya agar Stella memiliki ayah dan anak-anak sebaya Stella mau bermain bersama putrinya. Hingga Sarah sadar, bahwa ia menikahi pria yang salah. Josh gemar mabuk dan berjudi, meski ia menikah dengan Josh, tidak seorang anak pun mau bermain dengan Stella. Flashback Off Mendengar cerita Stella, tanpa sadar Litina menitikkan air mata. Ia tidak pernah mengira bahwa kehidupan calon menantunya akan seberat itu. Ia langsung memeluk Stella. Seseorang yang berada di luar kamar Litina, mendengar semuanya. Perasaan marah tiba-tiba menyelimutinya, saat mendengar bahwa selama ini tidak ada yang menyukai Stella. Ia bertekad, nanti saat Stella telah menjadi bagian dari keluarganya, Alex akan membuat siapa pun menerima wanita itu. Harus. Mau atau tidak. Dan sekarang ia semakin mantap dan yakin untuk menikah dengan Stella. "Dengar, siapa pun dirimu, aku tidak peduli. Karena aku menyukaimu apa adanya. Jangan pernah mengatakan bahwa tidak ada yang menginginkanmu. Jika kau sudah menikah dengan Alex, maka kau adalah bagian dari keluarga Edward!" ujar Litina lembut seraya mengelus rambut Stella. "Tapi, aku tetap tidak pantas untuk putra Anda." Ada alasan lain mengapa Stella ingin menjalani pernikahan ini. "Dengarkan aku. Apa kau tahu mengapa aku sangat menginginkanmu menikah dengan Alex?" Stella terdiam mendengar pertanyaan itu. "Karena ini adalah perasaan seorang ibu. Entah mengapa, aku merasa kaulah orang yang tepat untuk Alex. Kaulah orang yang akan melengkapi kekurangannya. Selain itu, aku tidak mau Alex terus menerus memuaskan kebutuhan biologisnya pada wanita lain," lanjut Litina. Dan Stella tidak terkejut mendengar itu. Dia sudah mengira bagaimana kehidupan seorang pria seperti Alex. Kini Stella tidak peduli apa-apa lagi. Ia melirik arlojinya dan ternyata ia sudah cukup lama berada di rumah keluarga Edward. "Ma, aku harus kembali." "Baiklah, biar Harry mengantarmu." Stella tidak menolak tawaran Litina, apalagi saat wanita paruh baya itu memanggil bodyguard-nya. "Antarkan calon menantuku pulang ke rumahnya." Pipi Stella merona saat mendengar kata-kata 'calon menantu' yang diucapkan Litina. "Sampai jumpa, Ma. Dan tolong sampaikan salamku pada yang lain," pamit Stella dengan sopan pada Litina. Stella mengekori Harry, dan saat ia sampai di depan pintu rumah, tiba-tiba seseorang menariknya, membawanya masuk dan mendudukkannya di jok depan sebuah mobil sport. Tak lama kemudian, Alex menyusul duduk di kursi pengemudi. Stella terkejut melihat kelakuan pria itu. "Apa yang Anda lakukan? Saya akan pulang dan diantar oleh Harry." Stella berusaha menghentikan Alex yang sudah melajukan mobilnya. "Jadi, kau lebih senang diantar bodyguard daripada calon suamimu?" Lagi-lagi Stella dibuat merona mendengar kata-kata Alex tentang calon suami. Alex yang melihat itu tersenyum geli di dalam hati. Mobil Alex melaju meninggalkan pelataran rumahnya. "Kau ingat bahwa kau akan memberikan apa pun yang kumau jika aku mau menikah denganmu?" Stella mengingatkan Alex pada kejadian di dalam lift waktu itu. "Hmm ...." "Aku ingin meminta sesuatu padamu," kata Stella menatap Alex yang fokus pada jalanan. "Aku akan memberikannya," jawab Alex, ia tahu akan seperti ini, Stella akan meminta sesuatu padanya. "Aku meminta uang satu setengah juta dollar untuk lusa," ucap Stella. Sebenarnya ia tidak ingin mengatakan hal ini, karena itu sama saja secara tidak langsung ia telah menjual dirinya pada Alex. Tapi dia tidak punya cara lain untuk bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam dua hari saja. Ciiittt. Alex mengerem mendadak, membuat tubuh Stella yang tidak menggunakan sabuk pengaman terhuyung ke depan, hampir saja kepalanya terbentur. "Untuk apa uang itu?" tanya Alex bingung. Sebenarnya bagi Alex, uang sejumlah itu tidak masalah. Jika dibandingkan dengan perusahannya, satu setengah juta dollar itu hanya sebagian kecil dari kerugian perusahaan. "Itu urusanku, kau hanya harus memberikan uang itu padaku lusa," kata Stella. "Baiklah, besok aku akan menghubungimu." Alex harus menyusun strategi dengan membuat perjanjian. Karena Alex pikir, Stella sama saja seperti wanita lain di luar sana, membutuhkan uang untuk berfoya-foya. "Semua terserah padamu." Singkat dan jelas. Stella harus melakukan ini demi keselamatan ibunya. Tidak ada pilihan lain. 🌹🌹🌹🌹🌹Stella meyeruak masuk ke dalam kamar inap ibunya dengan perasaan campur aduk.Itulah yang selalu ia lakukan selama lima tahun terakhir setiap kali ia merasa kacau. Jika ia berada jauh dari ibunya, maka kalung liontin salju milik ibunyalah yang menjadi penggantinya. Sebuah kalung yang diberikan oleh seseorang yang sangat dicintai oleh Sarah. Ayah kandung Stella. Dulu sebelum ibunya mengalami kecelakaan itu, ia akan lari ke dalam pelukan ibunya yang menenangkan. Namun, kini hanya ini yang bisa dia lakukan. "Maafkan aku, Bu. Seandainya Josh tidak mengancam, aku tidak akan melakukan ini semua. Maafkan aku." Stella menangis sembari menggenggam tangan sang ibu. Stella sebenarnya adalah gadis yang cengeng dan rapuh, tapi keadaan yang memaksanya harus bersikap tegar dan berani. Seseorang yang ada di luar kamar inap Sarah yang terbuka, mendengar semua perkataan Stella. Ia semakin dibuat bingung oleh kehidupan yang dijalani Stella. Apa sebenarnya yang dialami Stella? Ia tidak tahu dan a
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datanglah ke apartemenku sekarang, supirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datang ke apartemenku sekarang, sopirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang mele
Stella tiba di rumah pukul tujuh malam, sekarang ia benar-benar merasakan. pipinya memanas sejak tadi. Dan ini gila, tidak seharusnya hal ini terjadi, karena kekonyolannya, ia jadi malu sekarang. "Kamu baru pulang? Seharian aku mengkhawatirkanmu," ujar Karen yang ternyata masih berada di rumah Stella, menunggunya pulang. "Eh? I-iya, aku sudah menulis note untukmu tadi." "Kamu kenapa?" tanya Karen, menyadari kegugupan Stella. "Aku tidak apa-apa." jawab Stella, masih duduk di ruang tamu. "Tapi wajahmu memerah." Karen menyipitkan matanya sambil menatap Stella dengan curiga. Mendengar perkataan Karen, Stella langsung beranjak dari sofa seraya menutupi wajah dengan tangannya dan berjalan ke kamar. Stella benar-benar merasa malu, ibarat pencuri yang ketahuan. Pertama, ia malu dengan kejadian di apartemen Alex tadi pagi, dan sekarang, ia ketahuan oleh Karen sedang merona. Seandainya tadi -- sewaktu ia masih di apartemen Alex -- ia tidak bertingkah konyol, tentu ini semua tidak
Beberapa karyawan langsung memberi jalan pada Stella agar bisa keluar dan menemui seseorang di depan lift itu. Stella terkejut bukan main saat ia melihat siapa yang memanggilnya. "Ikut denganku!" kata Alex dingin sembari berjalan menuju lift khusus petinggi perusahaan. Stella mengekori Alex dengan perasaan bercampur aduk. Pertama, dia telah berlaku tidak sopan pada atasannya. Kedua, dia sudah bersikap lancang di depan karyawan lain. Astaga! Sekarang apa yang akan terjadi? Nyali Stella semakin menciut saat mereka berada di lift khusus, berdua. Alex masuk ke ruangannya dengan Stella yang mengikuti di belakangnya. Seseorang yang berada di dalam terkejut dengan kedatangan mereka, bukan karena Alex, melainkan karena Stella. Begitu juga dengan Stella. "Dia yang kamu maksud, bukan?" tanya Alex, membuyarkan keterkejutan keduanya. "Hah? Oh, benar. Bagaimana kau bisa tahu?" balas Calvin sedikit terpana. Ia hanya mengatakan ciri-cirinya saja, tapi Alex sudah dapat mengetahuinya. Cant
Mereka tiba di depan sebuah butik terkenal. Mereka segera masuk dan seketika menjadi pusat perhatian, tatapan orang-orang tertuju kepada mereka. Mungkin pesona yang dipancarkan oleh Alex-lah yang seakan menyita perhatian orang-orang tersebut. Sambil menunduk Stella mengikuti langkah Alex, mencoba menghindari tatapan para pengunjung butik itu, meski sebenarnya tatapan kekaguman itu tertuju pada Alex, tapi Stella merasa secara otomatis tatapan itu juga jatuh untuknya. Alex berhenti di depan sebuah ruangan, Stella ikut berhenti. Tiba-tiba Alex menggenggam tangan Stella, membuat Stella mendongak dengan jantung yang berpacu cepat. Alex membawanya masuk ke dalam ruangan itu. "Kalian sudah datang!" sapa seorang wanita saat melihat kedatngan mereka berdua. "Tunjukkan saja bajunya!" ujar Alex seakan tidak peduli pada sapaan wanita itu. "Kau seberuntung apa mendapatkan wanita secantik dia?" tanya Nanda -- pemilik butik, tidak peduli ucapan cuek Alex. Stella tersipu malu mendengar puji
Semenjak hari ini, Stella sudah tidak diperbolehkan oleh Litina untuk bekerja. Alasan Mama Alex itu -- calon mertua Stella -- bahwa sebentar lagi adalah hari pernikahannya dengan Alex. Stella harus tetap berada di rumah hingga pernikahan selesai. Kembali Stella sadar akan posisinya, jadi ia hanya menuruti semua perkataan keluarga Alex. Segelas coklat panas menemaninya pagi hari ini. Stella benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan selama di rumah. Biasanya ia -- bahkan saat weekend -- tetap bekerja. Setelah memikirkan apa yang akan dilakukannya seharian ini, akhirnya Stella memilih untuk mengunjungi taman. Di sana, terdapat beberapa anak yang tampaknya belum sekolah, bermain menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Dan di sisi lain, orang tua mereka berkumpul dan entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya itu hal yang seru. Stella berpikir, apakah masa kecilnya dulu seperti ini? Apa ia bermain bersama teman sebayanya di taman? Apa ibunya juga sering berkumpul dengan ora
Malam ini, Stella benar-benar merasa sangat gugup. Pasalnya, dia tidak tahu harus melakukan apa di hari pertamanya sebagai istri Alexander Edward. Jika tiba-tiba Alex meminta haknya sebagai seorang suami, maka sesuai isi perjanjian Stella harus menuruti itu. Ketika keluar dari kamar mandi, Stella melihat Alex tengah duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuannya. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Beruntung dia tidak mengenakan lingerie yang diberikan oleh Karen dan Litina tadi. Bisa-bisa esok hari dia tidak akan pernah menunjukkan wajahnya di depan Alex. Stella berjalan mendekat ke arah ranjang. Alex yang menyadari itu berkata, "Tidurlah, aku tidak akan melakukan apa pun padamu!" Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Stella. Stella yang merasa mendapatkan izin, merangkak naik ke atas ranjang dan tidur membelakangi Alex. Setidaknya malam ini dia tidak akan melakukan apa pun untuk pria itu. Entah karena terlalu lelah atau ranjang milik Alex terlalu nyaman, dengan cepat