Drrtt ... drrtt ....
Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datanglah ke apartemenku sekarang, supirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang melewati bahu itu. Ia juga hanya memakai make up tipis dan natural tanpa mengurangi kadar kecantikannya. Stella mengambil tas selempangnya, satu-satunya tas selempang yang ia miliki. Tas yang selalu ia pakai saat hang out bersama Karen atau sekedar jalan-jalan. Setelah membuat note untuk Karen, Stella segera mengenakan flatshoes berwarna merah yang terlihat sangat indah di kakinya. Saat keluar dari rumah, ia dapat melihat bahwa supir Alex telah datang. "Nona Stella?" tanya Galih, asisten sekaligus supir Alex. "Iya " Segera Galih membukakan pintu mobil bagian belakang. Setelah berjibaku melawan kemacetan, akhirnya mobil yang mengantarkan Stella tiba di depan lobby sebuah apartemen. Stella lagi-lagi memutar bolanmatanya saat Galih membukakan pintu untuknya dan mempersilakan Stella turun dari mobil. Ia tahu mengapa Alex tinggal di sini. Ini adalah salah satu apartemen milik Alex yang ia menangkan tendernya karena proposal yang dibuat Stella. "Apartemen Tuan berada di lantai teratas," ujar Galih saat melihat Stella masih tetap berada di posisinya dan tidak bergerak memasuki apartemen. Galih pikir, Stella mungkin tidak tahu di mana letak apartemen Alex. "Terima kasih!" ucap Stella seraya tersenyum manis. Ketika ia tiba di depan pintu apartemen Alex, ia segera menekan bel. Dan beberapa menit kemudian pintu itu terbuka. Sekejap Stella terpaku diam melihat ketampanan Alex yang bagaikan dewa-dewa Yunani. "Apa kau mau terus berdiri di sana?" tanya Alex yang merasa geli melihat Stella melihatnya dengan muka tercengang. Stella tersadar dari kekagumannya, kemudian melangkah masuk mengekori Alex. Setelah masuk dan pintu kembali menutup, hal pertama yang terlintas di pikiran Stella adalah bahwa apartemen ini tidak cocok ditinggali seorang diri. Karena, lihatlah betapa luasnya apartemen ini. Meski tidak salah jika Alex menempati apartemen seluas ini, karena apartemen ini memang punya Alex. "Aku sudah membuat perjanjiannya," ujar Alex seraya memberikan sebuah map pada Stella. Stella menerima map itu dan tanpa bersuara ia mulai membaca setiap kata dari isi perjanjian yang dibuat oleh pria di depannya. "Perjanjian ini hanya menguntungkan dirimu saja!" sarkas Stella setelah membaca isi perjanjian itu. Bagaimana tidak, isi perjanjian itu pada pasal pertama, Alex sebagai pihak pertama akan selalu benar dan pihak kedua, yaitu dirinya, harus menuruti perkataan pihak pertama tanpa bantahan. Pasal kedua, kedua belah pihak harus saling menghormati dan tidak boleh bermain belakang. Dan pasal ketiga, setiap kali pihak pertama melakukan kesalahan, maka kembali ke pasal satu. Perjanjian macam apa ini? Alex menang banyak. "Memang." jawab Alex singkat. Sangat singkat. "Tidak adil!" protes Stella lagi. "Itu adil, Stella. Sudahlah, tanda tangani saja dan aku akan memberikan uangnya." kata Alex. "Terserah." Stella malas berdebat. Ia segera menandatangani perjanjian tersebut. "Sabtu depan kita menikah!" tegas Alex, setelah Stella selesai menandatangani perjanjian itu. Alex harus mempercepat pernikahan mereka, sebelum Jessica kembali dari liburannya. Alex akan mengadakan pernikahan tertutup hanya dihadiri oleh keluarganya dan keluarga Stella. Alex tidak ingin Jessica tahu dan mengacaukan acara tersebut. Bisa-bisa Mamanya akan mendapat serangan jantung lagi, dan kali ini beneran. "Apa?!" Mata coklat karamel itu membulat sempurna saat mendengar perkataan Alex. "Kita menikah Sabtu depane Kata Alex seraya memainkan tabletnya. Entah apa yang dilihatnya di tablet itu hingga ia nampak sangat serius. "Tapi ...." Belum sempat Stella menyelesaikan kalimatnya, Alex langsung menyelam "Ingat perjanjian pasal pertama." Akhirnya, Stella hanya bisa bungkam sembari mengerucutkan bibirnya. Alex yang melirik Stella yang tampak kesal dengan mengerucutkan bibirnya, serasa ingin sekali ia .... Ah, sudahlah. Flashback On Percayalah, bahwa Stella memang tidak memiliki teman semasa sekolahnya. Selain ia adalah anak hasil dari hubungan gelap, ia juga bukan berasal dari keluarga terpandang. Ditambah lagi, Stella sepertinya salah masuk sekolah. Siswa-siswa di sekolahnya mayoritas adalah anak-anak dari keluarga kaya dan terpandang. Stella bisa masuk ke sekolah itu, berkat beasiswa yang berhasil ia raih karena kecerdasannya. Pada suatu waktu, saat Stella duduk seorang diri, segerombolan temannya mendekat dan salah satu di antaranya berkata, "Mari berkelompok untuk tugas kimia." ajak salah satu gadis yang bernama Claudia. Stella yang awalnya terkejut, terus merasa senang dan berpikir mungkin ini adalah awal ia mendapatkan seorang kawan. Pasalnya, sebelum ini Stella selalu mengerjakan tugasnya seorang diri. Entah itu tugas berkelompok maupun tugas mandiri. Namun, lagi-lagi Stella harus kembali menelan kenyataan pahit saat menyadari bahwa ia hanya digunakan sebagai alat pencetak nilai oleh teman-teman kelompoknya itu. Akhirnya, Stella benar-benar sadar, bahwa tidak ada yang benar-benar tulus menerimanya, selain Ibu. Flashback Off. "Ish ...." Stella tiba-tiba meringis seolah menahan sakit. Alex yang awalnya fokus pada layar tabletnya terkejut, dan spontan berpindah posisi duduk di samping Stella, yang masih meringis sambil menyentuh kepalanya. "Kau tidak apa-apa?" tanya Alex khawatir. Bukannya mendapatkan jawaban, Stella semakin meringis menahan sakit pada kepalanya. Memang beginilah kondisi Stella setiap kali ia mengingat masa lalunya yang menyakitkan. Masa lalu yang sangat ingin ia lupakan. Dokter mengatakan bahwa Stella mengalami trauma. Seberat itukah kehidupannya?? Alex yang merasa sangat khawatir langsung memeluk Stella, berniat menyalurkan ketenangan dan kekuatan. Tapi ia kembali dikejutkan saat Stella membalas pelukannya dengan sangat erat, bahkan sampai meremas t-shirt yang ia kenakan. "Apa perlu telepon dokter?" tanya Alex. Ia merasakan basah di bagian dadanya. Stella menangis?? "Ti-tidak perlu, biarkan saja, nanti sakitnya akan hilang," ucap Stella sesenggukan. Sempat terlintas pertanyaan di benak Alex, sakit apa yang diderita Stella, tapi wanita itu seakan bungkam dan tidak ingin siapa pun mengetahuinya. Akhirnya, ia memilih diam dan membiarkan saja. Hingga ia merasakan Stella tertidur dalam pelukannya. Alex segera menggendong Stella dan tanpa berpikir panjang, pria itu meletakkan Stella di tempat tidurnya. Saat ia berniat meninggalkan kamarnya, tangannya dicekal erat oleh Stella. "Tetap seperti ini saja." ucap Stella dengan mata terpejam. ***** Stella merasakan ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Ia segera memutar badannya untuk melihat siapa gerangan. Seketika matanya membulat sempurna saat menyadari siapa pemilik lengan kokoh yang memeluknya. Ia ingin berteriak, tapi jantungnya berdegup kencang dan lidahnya terasa kelu. "Kau sudah bangun?" Deg. Jantung Stella kembali berdegup kencang mendengar suara serak khas orang baru bangun tidur milik Alex yang terdengar ... sexy? "Apa yang kau lakukan?" tanya Stella gugup. Jantungnya masih tidak mau diajak kompromi. "Tidur!" jawab Alex singkat, masih dengan mata terpejam, tidak menghiraukan pertanyaan Stella. "Kau mencari kesempatan dalam kesempitan!" seru Stella berusaha untuk melepaskan lengan kokoh milik Alex. Namun sia-sia saja, karena semakin ingin ia lepaskan, maka semakin erat pelukan Alex. "Aku tidak mencari kesempatan, kau saja yang mencekal tanganku erat dan tidak mau dilepaskan." kata Alex masih dengan mata terpejam, seperti enggan terbangun dari tidurnya. Seharusnya, Stella sadar bahwa dia telah menyerahkan dirinya kepada Alex untuk sejumlah uang. Dan apa yang Alex lakukan sekarang adalah haknya. Akhirnya, Stella diam dan tidak berusaha meronta lagi selama beberapa menit, hingga perutnya berdemo. Ia memang belum memakan apa pun dari semalam. Pipi Stella memanas, perutnya berbunyi begitu keras di depan pria yang saat ini adalah calon suaminya, dan ia yakin Alex pasti mendengarnya. Karena jika tidak, pria itu tidak akan beranjak dari tempat tidur dan berkata, "Ayo makan," seraya menariknya keluar kamar. Dan ketahuilah, Ales tidak pernah membawa wanita mana pun masuk ke kamarnya. Bahkan keluarganya tidak bisa masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Menurut Alex, kamar itu adalah privasinya, dan ia tidak senang saat orang lain mengganggu privasinya. Dan Stella adalah wanita sekaligus orang pertama yang dibawanya masuk ke area teritorialnya. Alex juga tidak tahu, mengapa ia bisa membawa Stella ke dalam kamarnya. Alex membawanya ke arah dapur, dan lagi-lagi area ini membuatnya tercengang karena luasnya. "Kau bisa masak, bukan?" Tanpa menunggu jawaban dari Stella, pria itu pergi meninggalkannya sendirian di dapur. Mengerti akan maksud Alex, ia langsung saja melaksanakan tugasnya. "Dasar tukang perintah,' gerutu Stella, dan kembali ia dibuat tercengang saat menyadari dapur Alex sangat lengkap. 🌹🌹🌹🌹🌹Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datang ke apartemenku sekarang, sopirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang mele
Stella tiba di rumah pukul tujuh malam, sekarang ia benar-benar merasakan. pipinya memanas sejak tadi. Dan ini gila, tidak seharusnya hal ini terjadi, karena kekonyolannya, ia jadi malu sekarang. "Kamu baru pulang? Seharian aku mengkhawatirkanmu," ujar Karen yang ternyata masih berada di rumah Stella, menunggunya pulang. "Eh? I-iya, aku sudah menulis note untukmu tadi." "Kamu kenapa?" tanya Karen, menyadari kegugupan Stella. "Aku tidak apa-apa." jawab Stella, masih duduk di ruang tamu. "Tapi wajahmu memerah." Karen menyipitkan matanya sambil menatap Stella dengan curiga. Mendengar perkataan Karen, Stella langsung beranjak dari sofa seraya menutupi wajah dengan tangannya dan berjalan ke kamar. Stella benar-benar merasa malu, ibarat pencuri yang ketahuan. Pertama, ia malu dengan kejadian di apartemen Alex tadi pagi, dan sekarang, ia ketahuan oleh Karen sedang merona. Seandainya tadi -- sewaktu ia masih di apartemen Alex -- ia tidak bertingkah konyol, tentu ini semua tidak
Beberapa karyawan langsung memberi jalan pada Stella agar bisa keluar dan menemui seseorang di depan lift itu. Stella terkejut bukan main saat ia melihat siapa yang memanggilnya. "Ikut denganku!" kata Alex dingin sembari berjalan menuju lift khusus petinggi perusahaan. Stella mengekori Alex dengan perasaan bercampur aduk. Pertama, dia telah berlaku tidak sopan pada atasannya. Kedua, dia sudah bersikap lancang di depan karyawan lain. Astaga! Sekarang apa yang akan terjadi? Nyali Stella semakin menciut saat mereka berada di lift khusus, berdua. Alex masuk ke ruangannya dengan Stella yang mengikuti di belakangnya. Seseorang yang berada di dalam terkejut dengan kedatangan mereka, bukan karena Alex, melainkan karena Stella. Begitu juga dengan Stella. "Dia yang kamu maksud, bukan?" tanya Alex, membuyarkan keterkejutan keduanya. "Hah? Oh, benar. Bagaimana kau bisa tahu?" balas Calvin sedikit terpana. Ia hanya mengatakan ciri-cirinya saja, tapi Alex sudah dapat mengetahuinya. Cant
Mereka tiba di depan sebuah butik terkenal. Mereka segera masuk dan seketika menjadi pusat perhatian, tatapan orang-orang tertuju kepada mereka. Mungkin pesona yang dipancarkan oleh Alex-lah yang seakan menyita perhatian orang-orang tersebut. Sambil menunduk Stella mengikuti langkah Alex, mencoba menghindari tatapan para pengunjung butik itu, meski sebenarnya tatapan kekaguman itu tertuju pada Alex, tapi Stella merasa secara otomatis tatapan itu juga jatuh untuknya. Alex berhenti di depan sebuah ruangan, Stella ikut berhenti. Tiba-tiba Alex menggenggam tangan Stella, membuat Stella mendongak dengan jantung yang berpacu cepat. Alex membawanya masuk ke dalam ruangan itu. "Kalian sudah datang!" sapa seorang wanita saat melihat kedatngan mereka berdua. "Tunjukkan saja bajunya!" ujar Alex seakan tidak peduli pada sapaan wanita itu. "Kau seberuntung apa mendapatkan wanita secantik dia?" tanya Nanda -- pemilik butik, tidak peduli ucapan cuek Alex. Stella tersipu malu mendengar puji
Semenjak hari ini, Stella sudah tidak diperbolehkan oleh Litina untuk bekerja. Alasan Mama Alex itu -- calon mertua Stella -- bahwa sebentar lagi adalah hari pernikahannya dengan Alex. Stella harus tetap berada di rumah hingga pernikahan selesai. Kembali Stella sadar akan posisinya, jadi ia hanya menuruti semua perkataan keluarga Alex. Segelas coklat panas menemaninya pagi hari ini. Stella benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan selama di rumah. Biasanya ia -- bahkan saat weekend -- tetap bekerja. Setelah memikirkan apa yang akan dilakukannya seharian ini, akhirnya Stella memilih untuk mengunjungi taman. Di sana, terdapat beberapa anak yang tampaknya belum sekolah, bermain menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Dan di sisi lain, orang tua mereka berkumpul dan entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya itu hal yang seru. Stella berpikir, apakah masa kecilnya dulu seperti ini? Apa ia bermain bersama teman sebayanya di taman? Apa ibunya juga sering berkumpul dengan ora
Malam ini, Stella benar-benar merasa sangat gugup. Pasalnya, dia tidak tahu harus melakukan apa di hari pertamanya sebagai istri Alexander Edward. Jika tiba-tiba Alex meminta haknya sebagai seorang suami, maka sesuai isi perjanjian Stella harus menuruti itu. Ketika keluar dari kamar mandi, Stella melihat Alex tengah duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuannya. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Beruntung dia tidak mengenakan lingerie yang diberikan oleh Karen dan Litina tadi. Bisa-bisa esok hari dia tidak akan pernah menunjukkan wajahnya di depan Alex. Stella berjalan mendekat ke arah ranjang. Alex yang menyadari itu berkata, "Tidurlah, aku tidak akan melakukan apa pun padamu!" Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Stella. Stella yang merasa mendapatkan izin, merangkak naik ke atas ranjang dan tidur membelakangi Alex. Setidaknya malam ini dia tidak akan melakukan apa pun untuk pria itu. Entah karena terlalu lelah atau ranjang milik Alex terlalu nyaman, dengan cepat
ALEX POV Aku melihatnya telah berlalu dari sana. Dan aku pun ikut berlalu menuju ruang kerjaku, dan kuyakini jika Claudia mengikutiku saat ini. Sekarang wanita itu sudah berada di dalam ruangan dan mendekat, namun terhenti saat aku bersuara. "Jangan mendekat." ucapku. Dia berhenti di tempat dan menatapku penuh kebingungan. "Alex, aku kemari karena merindukanmu," ujarnya lagi dengan nada menjijikkan. "Aku tidak pernah menyuruhmu ke mari dan jangan pernah datang ke mari lagi. Keluarlah!" Entah apa yang ia rasakan, aku sempat melihat raut wajahnya yang terkejut mendengar perkataanku barusan. "Lihat saja, kau akan kembali padaku," katanya. Aku tidak peduli. Aku tidak pernah mengharapkan dia ataupun Jessica untuk datang dalam kehidupanku. Merekalah yang mendekat dan menyerahkan tubuh mereka dengan sukarela kepadaku. Kehadiran mereka hanya membuatku pusing saja. Ku keluarkan tablet yang secara otomatis menampilkan gambar wanitaku. Hei, aku berhak untuk mengklaim Stella seperti
Sudah lewat beberapa hari setelah kejadian Alex mencari Stella. Dan sudah beberapa hari juga sejak kejadian itu, Alex mendiamkannya. Stella sadar dia salah, namun bagaimana ia bisa menjelaskan kejadian sesungguhnya jika Alex selalu saja menghindarinya. Sewaktu Stella menceritakan kepada Karen, sahabatnya itu menyarankan untuk segera mengatakan semuanya pada Alex. Mungkin, suatu saat nanti Alex akan mengerti dan memaafkannya. Lagi pula keluarga Edward sudah mengetahui masalah ibunya, bukan? Lalu kenapa dia harus membuat segalanya menjadi rumit? Persoalannya adalah, bagaimana ia akan minta maaf, jika Alex terus menghindarinya. Stella berjalan mondar mandir di kamarnya. Dia merasa gugup ingin menyapa Alex terlebih dulu setelah beberapa hari mereka saling mendiamkan. Stella teringat akan saran Karen, jika Alex menghindar, maka tunggu pria itu pulang, barulah Stella mengajaknya bicara. Sejak tiga puluh menit yang lalu, Alex sudah pulang dan langsung masuk kamar. Stella menghela napas