Semenjak hari ini, Stella sudah tidak diperbolehkan oleh Litina untuk bekerja. Alasan Mama Alex itu -- calon mertua Stella -- bahwa sebentar lagi adalah hari pernikahannya dengan Alex. Stella harus tetap berada di rumah hingga pernikahan selesai. Kembali Stella sadar akan posisinya, jadi ia hanya menuruti semua perkataan keluarga Alex. Segelas coklat panas menemaninya pagi hari ini. Stella benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan selama di rumah. Biasanya ia -- bahkan saat weekend -- tetap bekerja. Setelah memikirkan apa yang akan dilakukannya seharian ini, akhirnya Stella memilih untuk mengunjungi taman. Di sana, terdapat beberapa anak yang tampaknya belum sekolah, bermain menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Dan di sisi lain, orang tua mereka berkumpul dan entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya itu hal yang seru. Stella berpikir, apakah masa kecilnya dulu seperti ini? Apa ia bermain bersama teman sebayanya di taman? Apa ibunya juga sering berkumpul dengan ora
Malam ini, Stella benar-benar merasa sangat gugup. Pasalnya, dia tidak tahu harus melakukan apa di hari pertamanya sebagai istri Alexander Edward. Jika tiba-tiba Alex meminta haknya sebagai seorang suami, maka sesuai isi perjanjian Stella harus menuruti itu. Ketika keluar dari kamar mandi, Stella melihat Alex tengah duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuannya. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Beruntung dia tidak mengenakan lingerie yang diberikan oleh Karen dan Litina tadi. Bisa-bisa esok hari dia tidak akan pernah menunjukkan wajahnya di depan Alex. Stella berjalan mendekat ke arah ranjang. Alex yang menyadari itu berkata, "Tidurlah, aku tidak akan melakukan apa pun padamu!" Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Stella. Stella yang merasa mendapatkan izin, merangkak naik ke atas ranjang dan tidur membelakangi Alex. Setidaknya malam ini dia tidak akan melakukan apa pun untuk pria itu. Entah karena terlalu lelah atau ranjang milik Alex terlalu nyaman, dengan cepat
ALEX POV Aku melihatnya telah berlalu dari sana. Dan aku pun ikut berlalu menuju ruang kerjaku, dan kuyakini jika Claudia mengikutiku saat ini. Sekarang wanita itu sudah berada di dalam ruangan dan mendekat, namun terhenti saat aku bersuara. "Jangan mendekat." ucapku. Dia berhenti di tempat dan menatapku penuh kebingungan. "Alex, aku kemari karena merindukanmu," ujarnya lagi dengan nada menjijikkan. "Aku tidak pernah menyuruhmu ke mari dan jangan pernah datang ke mari lagi. Keluarlah!" Entah apa yang ia rasakan, aku sempat melihat raut wajahnya yang terkejut mendengar perkataanku barusan. "Lihat saja, kau akan kembali padaku," katanya. Aku tidak peduli. Aku tidak pernah mengharapkan dia ataupun Jessica untuk datang dalam kehidupanku. Merekalah yang mendekat dan menyerahkan tubuh mereka dengan sukarela kepadaku. Kehadiran mereka hanya membuatku pusing saja. Ku keluarkan tablet yang secara otomatis menampilkan gambar wanitaku. Hei, aku berhak untuk mengklaim Stella seperti
Sudah lewat beberapa hari setelah kejadian Alex mencari Stella. Dan sudah beberapa hari juga sejak kejadian itu, Alex mendiamkannya. Stella sadar dia salah, namun bagaimana ia bisa menjelaskan kejadian sesungguhnya jika Alex selalu saja menghindarinya. Sewaktu Stella menceritakan kepada Karen, sahabatnya itu menyarankan untuk segera mengatakan semuanya pada Alex. Mungkin, suatu saat nanti Alex akan mengerti dan memaafkannya. Lagi pula keluarga Edward sudah mengetahui masalah ibunya, bukan? Lalu kenapa dia harus membuat segalanya menjadi rumit? Persoalannya adalah, bagaimana ia akan minta maaf, jika Alex terus menghindarinya. Stella berjalan mondar mandir di kamarnya. Dia merasa gugup ingin menyapa Alex terlebih dulu setelah beberapa hari mereka saling mendiamkan. Stella teringat akan saran Karen, jika Alex menghindar, maka tunggu pria itu pulang, barulah Stella mengajaknya bicara. Sejak tiga puluh menit yang lalu, Alex sudah pulang dan langsung masuk kamar. Stella menghela napas
Stella baru teringat jika dia memiliki janji bertemu dengan Tommy. Sejak kejadian pagi tadi ia masih memikirkan sikap Alex. Apa perkataannya tadi sangat menyinggung ego pria itu? Padahal Stella hanya bergurau untuk mencairkan suasana. Astaga, sepertinya dia tidak memiliki bakat bercanda pada saat mereka sedang berdua. Untuk meredakan kerisauan hatinya, Stella memutuskan untuk menemui Tommy, sekaligus menepati janjinya. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah restoran. Stella sengaja datang lebih awal. Selain ingin menghindari Alex, ini juga bentuk permintaan maafnya pada Tommy, karena hampir melupakan janji mereka. Stella juga sudah minta izin pada Alex, pria itu memperbolehkan, meski setelahnya nada suaranya kembali datar. Stella rindu pada ibunya, seandainya Sarah ada di sampingnya, ia yakin ibunya akan menghiburnya dengan kata-katanya yang lembut dan menenangkan. Stella asyik dengan lamunannya, ketika Tommy tiba di restoran tersebut, dan langsung duduk tepat di depannya. "
Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah gorden jendela membangunkan Stella dari tidurnya yang nyaman. Bahkan dia lupa kapan terakhir kali ia tidur senyaman ini. Namun, saat ia bergerak, Stella tersadar, ada sebuah lengan kekar yang melingkari perutnya. Ia mendongak dan mendapati wajah yang tidak asing lagi baginya, Stella POV"Aaa!!" teriakku tak sadar, saat menyadari kalau aku tidak tidur di kamar biasanya. Apalagi ada lengan kekar yang melingkari perutku. Astaga, ya Tuhan. "Kau berisik sekali!" ujar Alex dengan tenang, tapi sama sekali tidak melepaskan pelukannya di pinggangku. "Kenapa aku bisa di sini?" tanyaku berusaha untuk menutupi degup jantungku yang mulai menggila. "Kau, tiba-tiba tertidur," kata Alex, matanya masih terpejam."Kau sengaja tidak membangunkanku." tuduhku padanya. Alex hanya menanggapi perkataanku dengan tersenyum samar, tapi aku masih bisa melihatnya. Astaga, melihatnya tersenyum bukanlah hal yang baik untuk jantungku. "Lepaskan tanganmu dari perutk
Stella, Aliya dan Karen menikmati weekend bersama dengan bahagia. Stella sengaja mengajak Karen, karena ia ingin membuat Aliya dan Karen saling kenal. Namun, sepertinya ia mengambil keputusan yang salah. Ternyata Aliya dan Karen adalah pasangan sempurna menghabiskan weekend dengan shopping. Hampir semua toko di mall telah mereka jelajahi. Stella hanya bisa pasrah mengikuti langkah adik ipar dan temannya. Dan pada saat keduanya kompak memilihkan pakaian untuknya, dan kemudian memaksanya untuk membeli pakaian tersebut, Stella benar-benar merasa kesal. Bukan pada mereka berdua, tapi harga pakaian itu yang membuat Stella kesal. Meski sebelum pergi tadi Alex telah memberinya sebuah black card atas nama Stella, tetap saja menurutnya harga pakaian itu terlalu berlebihan. Tapi, kedua wanita itu terus mendesaknya untuk membeli gaun itu. Akhirnya Stella menyerah dan terpaksa membelinya, dengan uang tabungannya sendiri. Ia sama sekali tidak ingin membuat hutangnya pada Alex semakin bertambah
Malam itu, Alex kembali tengah malam. Keadaan apartemennya sudah sangat sunyi, bahkan lampu-lampu sudah dimatikan, pertanda semua orang telah tidur. Alex segera menuju ke kamarnya. Keadaan di kamar itu berbeda, lampunya masih terang benderang. Alex melihat ke arah sofa, Stella tertidur dengan berkas-berkas yang berserakan di mana-mana dan laptop masih menyala. Wanita itu tertidur dengan posisi duduk dan kepalanya diletakkan. di atas meja. Alex segera menggendong Stella dan memindahkan istrinya ke atas ranjang. Ia meletakkan Stella dengan lembut, seakan takut menyakiti istrinya. Alex memperhatikan lekat-lekat wajah Stella yang terlihat damai dalam tidurnya. Entah mengapa, hanya dengan melihat wajah itu, bisa membuat rasa lelah yang ia rasakan hilang. Tidak hanya itu, ia juga merasakan desiran halus di dadanya. Akhirnya Alex memilih ikut bergabung bersama Stella dan memeluk wanita itu dari belakang. "Kau hanya milikku, Stella Caelan Edward. Dan akan seperti itu selamanya." ***