Mereka tiba di depan sebuah butik terkenal. Mereka segera masuk dan seketika menjadi pusat perhatian, tatapan orang-orang tertuju kepada mereka. Mungkin pesona yang dipancarkan oleh Alex-lah yang seakan menyita perhatian orang-orang tersebut. Sambil menunduk Stella mengikuti langkah Alex, mencoba menghindari tatapan para pengunjung butik itu, meski sebenarnya tatapan kekaguman itu tertuju pada Alex, tapi Stella merasa secara otomatis tatapan itu juga jatuh untuknya. Alex berhenti di depan sebuah ruangan, Stella ikut berhenti. Tiba-tiba Alex menggenggam tangan Stella, membuat Stella mendongak dengan jantung yang berpacu cepat. Alex membawanya masuk ke dalam ruangan itu. "Kalian sudah datang!" sapa seorang wanita saat melihat kedatngan mereka berdua. "Tunjukkan saja bajunya!" ujar Alex seakan tidak peduli pada sapaan wanita itu. "Kau seberuntung apa mendapatkan wanita secantik dia?" tanya Nanda -- pemilik butik, tidak peduli ucapan cuek Alex. Stella tersipu malu mendengar puji
Semenjak hari ini, Stella sudah tidak diperbolehkan oleh Litina untuk bekerja. Alasan Mama Alex itu -- calon mertua Stella -- bahwa sebentar lagi adalah hari pernikahannya dengan Alex. Stella harus tetap berada di rumah hingga pernikahan selesai. Kembali Stella sadar akan posisinya, jadi ia hanya menuruti semua perkataan keluarga Alex. Segelas coklat panas menemaninya pagi hari ini. Stella benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan selama di rumah. Biasanya ia -- bahkan saat weekend -- tetap bekerja. Setelah memikirkan apa yang akan dilakukannya seharian ini, akhirnya Stella memilih untuk mengunjungi taman. Di sana, terdapat beberapa anak yang tampaknya belum sekolah, bermain menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Dan di sisi lain, orang tua mereka berkumpul dan entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya itu hal yang seru. Stella berpikir, apakah masa kecilnya dulu seperti ini? Apa ia bermain bersama teman sebayanya di taman? Apa ibunya juga sering berkumpul dengan ora
Malam ini, Stella benar-benar merasa sangat gugup. Pasalnya, dia tidak tahu harus melakukan apa di hari pertamanya sebagai istri Alexander Edward. Jika tiba-tiba Alex meminta haknya sebagai seorang suami, maka sesuai isi perjanjian Stella harus menuruti itu. Ketika keluar dari kamar mandi, Stella melihat Alex tengah duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuannya. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Beruntung dia tidak mengenakan lingerie yang diberikan oleh Karen dan Litina tadi. Bisa-bisa esok hari dia tidak akan pernah menunjukkan wajahnya di depan Alex. Stella berjalan mendekat ke arah ranjang. Alex yang menyadari itu berkata, "Tidurlah, aku tidak akan melakukan apa pun padamu!" Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Stella. Stella yang merasa mendapatkan izin, merangkak naik ke atas ranjang dan tidur membelakangi Alex. Setidaknya malam ini dia tidak akan melakukan apa pun untuk pria itu. Entah karena terlalu lelah atau ranjang milik Alex terlalu nyaman, dengan cepat
ALEX POV Aku melihatnya telah berlalu dari sana. Dan aku pun ikut berlalu menuju ruang kerjaku, dan kuyakini jika Claudia mengikutiku saat ini. Sekarang wanita itu sudah berada di dalam ruangan dan mendekat, namun terhenti saat aku bersuara. "Jangan mendekat." ucapku. Dia berhenti di tempat dan menatapku penuh kebingungan. "Alex, aku kemari karena merindukanmu," ujarnya lagi dengan nada menjijikkan. "Aku tidak pernah menyuruhmu ke mari dan jangan pernah datang ke mari lagi. Keluarlah!" Entah apa yang ia rasakan, aku sempat melihat raut wajahnya yang terkejut mendengar perkataanku barusan. "Lihat saja, kau akan kembali padaku," katanya. Aku tidak peduli. Aku tidak pernah mengharapkan dia ataupun Jessica untuk datang dalam kehidupanku. Merekalah yang mendekat dan menyerahkan tubuh mereka dengan sukarela kepadaku. Kehadiran mereka hanya membuatku pusing saja. Ku keluarkan tablet yang secara otomatis menampilkan gambar wanitaku. Hei, aku berhak untuk mengklaim Stella seperti
Sudah lewat beberapa hari setelah kejadian Alex mencari Stella. Dan sudah beberapa hari juga sejak kejadian itu, Alex mendiamkannya. Stella sadar dia salah, namun bagaimana ia bisa menjelaskan kejadian sesungguhnya jika Alex selalu saja menghindarinya. Sewaktu Stella menceritakan kepada Karen, sahabatnya itu menyarankan untuk segera mengatakan semuanya pada Alex. Mungkin, suatu saat nanti Alex akan mengerti dan memaafkannya. Lagi pula keluarga Edward sudah mengetahui masalah ibunya, bukan? Lalu kenapa dia harus membuat segalanya menjadi rumit? Persoalannya adalah, bagaimana ia akan minta maaf, jika Alex terus menghindarinya. Stella berjalan mondar mandir di kamarnya. Dia merasa gugup ingin menyapa Alex terlebih dulu setelah beberapa hari mereka saling mendiamkan. Stella teringat akan saran Karen, jika Alex menghindar, maka tunggu pria itu pulang, barulah Stella mengajaknya bicara. Sejak tiga puluh menit yang lalu, Alex sudah pulang dan langsung masuk kamar. Stella menghela napas
Stella baru teringat jika dia memiliki janji bertemu dengan Tommy. Sejak kejadian pagi tadi ia masih memikirkan sikap Alex. Apa perkataannya tadi sangat menyinggung ego pria itu? Padahal Stella hanya bergurau untuk mencairkan suasana. Astaga, sepertinya dia tidak memiliki bakat bercanda pada saat mereka sedang berdua. Untuk meredakan kerisauan hatinya, Stella memutuskan untuk menemui Tommy, sekaligus menepati janjinya. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah restoran. Stella sengaja datang lebih awal. Selain ingin menghindari Alex, ini juga bentuk permintaan maafnya pada Tommy, karena hampir melupakan janji mereka. Stella juga sudah minta izin pada Alex, pria itu memperbolehkan, meski setelahnya nada suaranya kembali datar. Stella rindu pada ibunya, seandainya Sarah ada di sampingnya, ia yakin ibunya akan menghiburnya dengan kata-katanya yang lembut dan menenangkan. Stella asyik dengan lamunannya, ketika Tommy tiba di restoran tersebut, dan langsung duduk tepat di depannya. "
Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah gorden jendela membangunkan Stella dari tidurnya yang nyaman. Bahkan dia lupa kapan terakhir kali ia tidur senyaman ini. Namun, saat ia bergerak, Stella tersadar, ada sebuah lengan kekar yang melingkari perutnya. Ia mendongak dan mendapati wajah yang tidak asing lagi baginya, Stella POV"Aaa!!" teriakku tak sadar, saat menyadari kalau aku tidak tidur di kamar biasanya. Apalagi ada lengan kekar yang melingkari perutku. Astaga, ya Tuhan. "Kau berisik sekali!" ujar Alex dengan tenang, tapi sama sekali tidak melepaskan pelukannya di pinggangku. "Kenapa aku bisa di sini?" tanyaku berusaha untuk menutupi degup jantungku yang mulai menggila. "Kau, tiba-tiba tertidur," kata Alex, matanya masih terpejam."Kau sengaja tidak membangunkanku." tuduhku padanya. Alex hanya menanggapi perkataanku dengan tersenyum samar, tapi aku masih bisa melihatnya. Astaga, melihatnya tersenyum bukanlah hal yang baik untuk jantungku. "Lepaskan tanganmu dari perutk
Stella, Aliya dan Karen menikmati weekend bersama dengan bahagia. Stella sengaja mengajak Karen, karena ia ingin membuat Aliya dan Karen saling kenal. Namun, sepertinya ia mengambil keputusan yang salah. Ternyata Aliya dan Karen adalah pasangan sempurna menghabiskan weekend dengan shopping. Hampir semua toko di mall telah mereka jelajahi. Stella hanya bisa pasrah mengikuti langkah adik ipar dan temannya. Dan pada saat keduanya kompak memilihkan pakaian untuknya, dan kemudian memaksanya untuk membeli pakaian tersebut, Stella benar-benar merasa kesal. Bukan pada mereka berdua, tapi harga pakaian itu yang membuat Stella kesal. Meski sebelum pergi tadi Alex telah memberinya sebuah black card atas nama Stella, tetap saja menurutnya harga pakaian itu terlalu berlebihan. Tapi, kedua wanita itu terus mendesaknya untuk membeli gaun itu. Akhirnya Stella menyerah dan terpaksa membelinya, dengan uang tabungannya sendiri. Ia sama sekali tidak ingin membuat hutangnya pada Alex semakin bertambah
“Halo?”“Nyonya, ini aku, Alexa!” kata Alexa melalui telepon. “Ah, ternyata Alexa-ku. Ada apa, sayang?” balas Stella. “Aku ... aku siap menikah dengan putramu!” kata Alexa dengan berat hati. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih padamu, Sayang. Aku benar-benar senang,” kata Stella dengan nada teramat bahagia. “Tapi ....” “Katakan saja, Alexa. Ada apa?” “Aku ingin mahar dua ratus lima puluh juta untuk pernikahanku!” Stella sedikit terkejut di seberang sana, namun setelahnya dia pun tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan memberikan mahar tiga ratus juta –“ “Tidak, aku hanya ingin mahar dua ratus lima puluh juta,” sela Alexa. “Ah, baiklah. Terserah kau saja.” “Bisakah aku menerima uang itu besok?” “Sayang, bukan maksudku meragukanmu. Tapi, aku hanya mengantisipasi jika kau malah membawa lari uang itu. Aku percaya padamu, tapi tetap saja tidak menutup kemungkinan jika kau lari dengan membawa uang itu. Sebenarnya, uang tidak masalah bagiku, yang menjadi masalahnya adalah jika kau
49. Season 2“Steve! Apa yang kau lakukan?” bentak seseorang. Steve pun segera berdiri dan menatap seseorang yang membentaknya dengan panik, itu ibunya. “Mom, ini tidak seperti yang kau lihat,” ujarnya mencoba menghilangkan kesalahpahaman yang pastinya ada di benak sang ibu. “Aku dan Daddy-mu tidak pernah mengajarimu menjadi pria brengsek seperti ini, Steve!” bentak Stella sambil menunjuk gadis yang terduduk di lantai. “Nyo-nyonya, kami tidak melakukan apa pun, tadi kami hanya terpeleset. Sungguh, kami tidak sengaja berada dalam posisi seperti itu,” terang sang gadis. Tadi dia datang ke cafe ini bersama teman-teman sekampusnya. Dan saat dia pergi ke toilet, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang akhirnya membuat mereka terpeleset karena lantai yang licin. Tapi mereka malah terjatuh dengan posisi si pria yang berada tepat di atas tubuhnya. Dan itu bertepatan dengan ibu sang pria datang dan memergoki mereka yang sebenarnya hanya terpeleset. “Aku tidak percaya pada kalian. K
Setelah berada di dalam kamar mereka, Stella menyandarkan tubuhnya ke dada bidang suaminya. Kehamilan kali ini, keluarganya tidak sekejam seperti pada kehamilannya yang pertama. Mereka tidak membiarkan Stella pergi ke mana pun dan terus saja menyuruhnya untuk berdiam diri di dalam kamar. "Jadi, jika bukan dirimu yang berada di dalam peti mati itu, lalu yang terkubur di dalam sana siapa?" tanya Alex yang masih bingung. Alex memang baru menanyai Stella sekarang, karena saat pertama kali Stella kembali lagi padanya, ia masih ragu untuk bertanya. Ia khawatir membuat Stella sedih jika ia membangkitkan cerita kelam hidup Stella selama pergi dari sisinya. Ia lebih baik menunggu saat yang tepat, biarkan Stella sendiri yang bercerita dan mengatakan semuanya. "Ketika aku pergi meninggalkan rumah, aku langsung ke rumah sakit terlebih dahulu. Tapi, aku tidak pergi ke rumah sakit yang biasa aku kunjungi. Saat itu aku merasa sangat lemah, karenanya aku memilih untuk dirawat untuk semalam terl
"Matthew, ayolah. Kau terlihat sangat tidak bersemangat padahal kita akan mengunjungi Silvi," kata Stella seraya menggoyangkan lengan pria yang telah menjadi orang paling penting dalam hidupnya. Matthew memutar bola matanya malas mendengar rengekan wanita di sebelahnya ini. "Aku bukannya tidak bersemangat karena kita akan mengunjungi Silvi." "Lalu apa?" "Aku menyesal mengusulkan pada kalian untuk tinggal di apartemen yang sama denganku, andai aku tahu tadi kau sudah mengganggu pagiku yang cerah!" kesal Matthew pada wanita di sebelahnya. Sedang wanita itu hanya terkikik melihat kekesalannya. Azrael yang melihat interaksi di antara keduanya terkikik geli. Saat mereka berdebat seperti itu, mereka tampak seperti bocah. Tidak lama kemudian, Alex kembali dengan dua karangan bunga berukuran sedang di dalam genggamannya. Mereka berempat -- Stella, Alex, Matthew dan Azrael -- berjalan memasuki area pemakaman. Tidak membutuhkan waktu lama mereka telah sampai di depan sebuah makam. I
Yakinlah, Tuhan itu adil. Karena setelah kesedihan pasti akan datang kebahagiaan. Meski kita tidak tahu kapan kebahagiaan itu akan datang. Tuhan tidak pernah tidur. Itulah yang dirasakan Alex dan Stella saat ini. Kebahagiaan tak terbendung setelah rasa sedih yang menyakitkan --- kini tengah mereka rasakan. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan pernah mereka tukar dengan apa pun. Kebahagiaan yang akan selalu mereka ciptakan mulai sekarang. Malam itu mereka sedang berdiri di balkon kamar. Saling memberikan kehangatan satu sama lain dengan berpelukan erat. Seakan pelukan itu dapat menyalurkan perasaan rindu yang mereka rasakan selama berpisah. "Kenapa kau tidak kembali saat itu?" tanya Alex sambil menaruh dagunya di bahu Stella. "Aku hanya ragu dan takut!" jawab Stella. "Kenapa?" tanya Alex masih memeluk Stella. "Aku takut kau akan membenciku ketika kau mengetahui semuanya. Bahwa akulah penyebab hilangnya Peter.Aku ragu untuk kembali bila kau tahu aku telah menyembunyikan suatu h
Sebuah resepsi pernikahan megah seorang pengusaha muda digelar di salah satu hotel terkenal di negeri ini. Menunjukkan pada semua, bahwa orang yang melakukan resepsi tengah berbahagia. Para wartawan sudah berkumpul di pelataran depan hotel tersebut. Tak jarang para wartawan itu menghentikan salah satu tamu undangan untuk diwawancarai. Pria berwajah datar dan dingin itu berdiri seorang diri di tengah-tengah ballroom. Mengabaikan setiap tatapan kagum dari para wanita. Setiap wanita berebut ingin memeluk lengan kokoh tersebut. Sayangnya, pria itu telanjur berhati dingin dan tidak akan ada lagi yang bisa mencairkan kebekuan hatinya. Pria itu tetap pada posisinya, hingga seorang pria lain yang juga koleganya menyapanya dan mengajaknya mengobrol, meski dibalas dengan singkat oleh Alex. Pria itu mengatakan jika ada seorang penyanyi Cafe cantik yang sedang viral ikut diundang. Awalnya Alex heran. Penyanyi Cafe? Di acara semegah ini? Yang benar saja! Pria koleganya itu mengatakan bah
Wanita itu berdiri di balkon kamarnya menikmati terpaan hangat sang mentari pagi pada wajahnya. Memejamkan matanya seakan-akan dia benar-benar menikmati mentari. Hingga tanpa ia sadari seorang pria yang selalu saja menemani kegiatannya datang. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," kata pria itu. Wanita itu bergeming, beberapa saat kemudian dia membuka matanya kemudian membalikkan tubuhnya. Tersenyum tipis saat pandangannya bertemu dengan pria itu -- yang masih saja menunggunya. Mereka berdua menikmati sarapan dalam diam, tidak ada kata yang terucap dan hanya suara sendok beradu dengan piring yang mendominasi ruang makan tersebut. Akhirnya pria itu memecahkan keheningan. "Apa kau ingin terus seperti ini?" tanya pria itu sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Seperti apa?" Wanita itu balik bertanya. "Kamu hanya menutupi penderitaan mu itu dariku," jawab pria itu. Hening. Dan wanita itu berlalu dari sana, meninggalkan sang pria tanpa sepatah kata pun. Pria i
Mencari sebuah alasan pengganti untuk tetap hidup bukanlah satu hal yang mudah. Alex merasakannya. Ketika Stella masih berada di sisinya, ia memiliki alasan untuk tetap hidup, karena ia mencintai Stella. Alex bukanlah remaja bodoh yang baru mengenal cinta. Kehidupan kejam yang diberikan Tuhan membuat ia tahu apa yang sedang terjadi saat ia bersama orang yang benar-benar ia cintai. Alex sangat mengerti arti getaran yang timbul saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan Stella. Semua orang di sekelilingnya sudah merasakan hatinya yang kembali buruk, bahkan lebih buruk. Mereka pasrah akan keadaan Alex saat ini. Bukannya mereka tidak peduli, tapi mereka tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat mencairkan bongkahan es yang sudah mencair kembali membeku. Alasan yang membuat es itu mencair telah tiada. Siang itu, Reyhan tiba-tiba datang berkunjung ke perusahaannya. Seperti temannya yang lain, Reyhan datang hanya sekedar untuk menanyakan kabarnya. Dan lagi-lagi menemukan. Alex yang berkuta
Bolehkah untuk kali ini Alex beranggapan jika Tuhan kembali bersikap tidak adil padanya? Bolehkah bila ia beranggapan Tuhan terlalu kejam padanya? Dia tidak tahu apa kesalahannya hingga Tuhan bersikap begitu kejam. Alex marah, ia marah pada sang takdir yang begitu kejam padanya. Saat ini, pria itu tengah berada dalam satu ruangan khusus di Cafe milik Max. Alex POV Aku marah. Marah pada takdir, marah pada diriku sendiri. Ketika satu masalah belum terselesaikan, kini masalah lain kembali datang. Apa aku tidak pantas untuk bahagia? Seandainya bunuh diri bukan dosa, maka akan kuakhiri hidupku. Tapi, aku teringat kembali pada satu hal. Aku harus menemukan istriku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan mengalah pada sang takdir lagi. Namun, harus kucari ke mana lagi istriku? Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Hingga saat ini aku belum mendapatkan kabar tentang keberadaannya. Dia hilang bagaikan ditelan bumi. Tapi satu keyakinanku, Stella masih ada