Stella meyeruak masuk ke dalam kamar inap ibunya dengan perasaan campur aduk.Itulah yang selalu ia lakukan selama lima tahun terakhir setiap kali ia merasa kacau. Jika ia berada jauh dari ibunya, maka kalung liontin salju milik ibunyalah yang menjadi penggantinya. Sebuah kalung yang diberikan oleh seseorang yang sangat dicintai oleh Sarah. Ayah kandung Stella. Dulu sebelum ibunya mengalami kecelakaan itu, ia akan lari ke dalam pelukan ibunya yang menenangkan. Namun, kini hanya ini yang bisa dia lakukan.
"Maafkan aku, Bu. Seandainya Josh tidak mengancam, aku tidak akan melakukan ini semua. Maafkan aku." Stella menangis sembari menggenggam tangan sang ibu. Stella sebenarnya adalah gadis yang cengeng dan rapuh, tapi keadaan yang memaksanya harus bersikap tegar dan berani. Seseorang yang ada di luar kamar inap Sarah yang terbuka, mendengar semua perkataan Stella. Ia semakin dibuat bingung oleh kehidupan yang dijalani Stella. Apa sebenarnya yang dialami Stella? Ia tidak tahu dan akan mencari tahu. Sebenarnya, tadi dia tidak ingin mengikuti Stella, namun kecurigaan yang ia pendam terhadap Stella membuatnya menjadi penasaran dan menghadapkannya pada satu hal yang tidak ia ketahui tentang Stella. Saat perjalanan mengantarkan Stella pulang, bukan rumah Stella yang akan dituju, melainkan arah lain, dan itu membuatnya curiga. "Turunkan aku di perempatan itu." Stella menunjuk sebuah perempatan jalan. "Kenapa tidak di depan rumahmu saja?" tanya Alex bingung. "Tolong Bapak turunkan aku di sana!" Mohon Stella pada Alex, masih menunjukkan sopan santunnya, karena ia pikir Alex masihlah atasannya. "Jangan panggil aku Bapak saat kita hanya berdua, karena aku tidak setua itu!" ujar Alex agak kesal. Jika Stella memanggilnya Bapak ia merasa seolah seperti laki-laki tua. Begitu tiba di perempatan jalan, Stella pun segera turun dari mobil Alex, tanpa sepatah kata pun. Ketika Stella sudah pergi menjauh, Alex yang masih berada di tempat semula, segera memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan keluar mengikuti Stella. Ia tidak peduli dengan tatapan kagum para gadis yang melihatnya. Ia semakin curiga pada Stella, karena ia tahu jalan ke rumah gadis itu bukan melewati jalan ini. Ia akan membuat perhitungan pada Stella jika sampai Stella berani bermain di belakangnya, yang nota bene, saat ini dia adalah calon suami Stella. Namun, ia semakin bingung saat Stella memasuki rumah sakit yang ternyata adalah milik dokter pribadi keluarganya. Dan inilah satu fakta yang ia temui, ternyata Stella masih memiliki seorang ibu yang sedang koma. Alex benar-benar merasa bahwa untuk pertama kalinya ia sangat perduli pada seorang wanita yang baru saja ia kenal. ***** Drrtt ... drrtt .... Stella terbangun dari tidurnya saat ia merasakan ponsel miliknya bergetar. Ia sempat tertidur di samping ranjang ibunya dengan menggenggam tangannya setelah ia selesai mandi. Ini sudah tengah malam, siapa yang meneleponnya selarut ini? Setelah Stella menemukan ponselnya di dalam tas, ia melihat id caller Max di sana. Segera ia mengangkat telepon dari Max. Ia tidak tahu untuk apa Max meneleponnya semalam ini. "Halo!" "Stella, datanglah kemari! Karen mabuk! Dan aku tidak bisa mengantarnya pulang, kau tahu sendiri bukan?" ujar Max sedikit panik di seberang sana, terdengar dentuman suara musik yang sangat keras. "Ada apa dengannya?" tanya Stella seraya mengganti bajunya dengan kemeja panjang yang ia bawa dari rumah. "Entahlah, sepertinya masalah William," ujar Max santai. Stella pun segera keluar kamar inap ibunya, setelah sebelumnya ia sempatkan mencium kening ibunya, lama. ***** Dentuman musik yang sangat keras membuat gendang telinga Stella sakit. Ia tidak pernah habis pikir, bagaimana orang-orang yang berada di club ini tahan mendengar suara musik sekeras itu dan dipenuhi asap rokok, yang seperti kabut tipis menyelimuti ruangan. "Max!" seru Stella saat mendapati Max yang menjaga Karen di pojok ruangan. Stella percaya pada Max, tidak mungkin Max menyakiti Karena yang juga adalah sahabatnya dari masa kuliah. Bahkan Max bisa dikatakan adalah seorang ayah bagi Stella dan Karen, Max yang selalu menjaga mereka berdua. "Dia tampak tidak baik," ujar Max setelah Stella mendekat. "Aku tidak ingin pulang," seru Karen yang bersandar di sofa dengan mata tertutup. "Baiklah, kau ini selalu mengganggu waktu tidurku saja," kesal Stella pada Karen. Max yang sudah biasa mendengar ocehan kedua teman wanitanya ini hanya menggeleng dan berjalan menuju bar. Stella duduk di samping Karen seraya memainkan ponselnya. Stella tidak tega melihat Karen seperti ini. "Aku benar-benar akan membunuh William," geram Stella. "Ayo, Karen." Stella memapah Karen keluar dari club. Saat melewati bar, Stella berpamitan pada Max yang sedang melayani pelanggan. "Max, kami pulang," pamit Stella. Ia tidak melihat jika ada seseorang yang terkejut mendengar suaranya, dan sedang melihatnya. "Perlu bantuan?" tanya Max. Sebenarnya tidak penting pertanyaan itu, karena Stella sudah biasa memapah tubuh mungil Karen. Untungnya, Stella memiliki tubuh tinggi bak seorang model, dan tidak dipungkiri tubuh Stella memang tubuh seorang model. "Tidak perlu." Stella segera berlalu begitu saja tanpa menunggu balasan dari Max. "Kenapa dia kemari?" tanya pelanggan itu pada Max. "Siapa yang kau maksud? Stella?" tanya Max balik. Karena merasa heran pada sobat lamanya ini, untuk pertama kalinya sobatnya ini bertanya tentang wanita. "Ya." "Dia menjemput Karen. Kenapa kau bertanya soal Stella? Tidak biasanya kau bertanya soal wanita?" "Dia calon istriku." Spontan Max membelalakkan matanya. "Apa?" tanya Max tidak percaya akan apa yang dia dengar. Alex dan Max, mereka adalah teman dari masa sekolah dasar. Hanya saja mereka berpisah waktu Alex melanjutkan kuliahnya di luar negeri. "Setahuku, Stella tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang pria, apalagi kau. Ck ... aku pun tidak pernah membayangkan jika dirimu akan menikah dengannya." Max mencoba mengingat-ingat pada masa mereka kuliah dulu. Setiap pria yang menyatakan cinta pada Stella, akan ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Padahal pria itu adalah primadona di kampus mereka dulu. "Berarti bagus, aku tidak perlu mengotori tanganku untuk menghajar pria-pria yang telah berhubungan dengannya." "Padahal aku baru mau menyatakan cinta pada Stella," canda Max menggoda Alex. Dan terbukti, Alex sudah mengepalkan tangan di atas meja bar. "Aku bercanda. Kau ini, mana mungkin aku merebut calon istri orang! Apalagi jika pria itu adalah kau, teman baikku. Kami hanya berteman dari masa kuliah." Alex merasa lega setelah mendengar pernyataan Max. Entah mengapa, ia merasa marah saat tadi mendengar Max akan menyatakan cinta pada Stella. "Ngomong-ngomong soal pernikahan, Jessica tahu soal ini? Ingat Lex, aku tidak ingin temanku Stella, masuk dalam perangkap Jessica," saran Max kepada Alex. Ia tidak ingin jika Stella dalam bahaya karena ulah Jessica -- perempuan yang terobsesi pada Alex -- yang tidak terima pernikahan Alex dan Stella. Dulu pernah, waktu itu Alex bersama seorang wanita cantik dan Jessica melihatnya, perempuan ular itu langsung menjambak si wanita yang berani mendekati Alex. Bahkan Jessica juga menculik wanita itu, entah apa yang dilakukannya, tapi sampai saat ini wanita tersebut tidak pernah lagi terlihat di club ini. Jessica memang mencintai Alex, namun sayangnya Alex tidak mempunyai perasaan apapun pada Jessica, sampai-sampai Jessica rela hanya sekedar menjadi pacar main-main Alex. Alex juga sudah pernah mengatakan berkali-kali pada Jessica bahwa dia tidak akan pernah bisa mencintainya. Jessica bukan tipe perempuan yang Alex inginkan. Namun, Jessica pikir Alex akan mencintainya suatu saat nanti, seperti cerita novel-novel yang pernah ia baca. Dan Alex tahu, bahwa Jessica adalah wanita berbahaya yang akan melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya. ***** Stella keluar dari mobil Karen dan memapah Karen memasuki rumahnya. Karen memang membawa mobil saat pergi ke club tadi. Ia membaringkan tubuh Karen di atas tempat tidur. Stella sengaja membawa Karen ke rumahnya, karena tidak mungkin ia meninggalkan Karen sendirian di apartemen wanita itu sendirian. "William," Karen mengigau, menyebut nama William, kekasihnya. "Minumlah dulu!" Stella memapah Karen yang setengah sadar untuk minum, yang segera dituruti oleh gadis itu. "Sudah lebih baik?" tanya Stella pada Karen, setelah selesai meneguk air putih yang ia berikan. "Hanya saja, aku masih merasa pusing." ujar Karen dengan mata sembab. "Tidurlah, nanti pusingnya akan hilang," kata Stella. Tanpa balasan lagi, Karen segera tidur, ia memang merasa benar-benar pusing. Stella merasa kasihan pada Karen, ia sangat mengenal temannya ini. Jika Karen sudah lari ke club, itu berarti ia sudah tidak sanggup lagi menghadapi masalahnya. 🌹🌹🌹🌹🌹Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datanglah ke apartemenku sekarang, supirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang
Drrtt ... drrtt .... Getar ponsel Stella yang menunjukkan pesan masuk membuatnya terbangun dari tidurnya. Stella menggeliat malas, sebelum melihat pesan masuk dari siapa. Alex: Datang ke apartemenku sekarang, sopirku akan menjemputmu. Stella: Untuk apa? Alex: Tidak usah banyak tanya, datang saja! Aku tunggu dan jangan terlambat! Stella memutar bola matanya saat menerima balasan dari Alex. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Stella melihat ke samping di mana Karen masih tertidur. Ia pun segera menuju kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit Stella membersihkan tubuhnya. Ia pun segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ia bingung pakaian apa yang akan ia kenakan. Setelah beberapa menit mengobrak-abrik isi lemarinya, akhirnya Stella memutuskan untuk mengenakan kemeja yang akan ia gelung sebatas siku dan celana jeans panjang. Ia memang sangat suka dengan penampilan casual yang seperti ini, daripada harus mengenakan dress. Stella menggerai rambutnya yang mele
Stella tiba di rumah pukul tujuh malam, sekarang ia benar-benar merasakan. pipinya memanas sejak tadi. Dan ini gila, tidak seharusnya hal ini terjadi, karena kekonyolannya, ia jadi malu sekarang. "Kamu baru pulang? Seharian aku mengkhawatirkanmu," ujar Karen yang ternyata masih berada di rumah Stella, menunggunya pulang. "Eh? I-iya, aku sudah menulis note untukmu tadi." "Kamu kenapa?" tanya Karen, menyadari kegugupan Stella. "Aku tidak apa-apa." jawab Stella, masih duduk di ruang tamu. "Tapi wajahmu memerah." Karen menyipitkan matanya sambil menatap Stella dengan curiga. Mendengar perkataan Karen, Stella langsung beranjak dari sofa seraya menutupi wajah dengan tangannya dan berjalan ke kamar. Stella benar-benar merasa malu, ibarat pencuri yang ketahuan. Pertama, ia malu dengan kejadian di apartemen Alex tadi pagi, dan sekarang, ia ketahuan oleh Karen sedang merona. Seandainya tadi -- sewaktu ia masih di apartemen Alex -- ia tidak bertingkah konyol, tentu ini semua tidak
Beberapa karyawan langsung memberi jalan pada Stella agar bisa keluar dan menemui seseorang di depan lift itu. Stella terkejut bukan main saat ia melihat siapa yang memanggilnya. "Ikut denganku!" kata Alex dingin sembari berjalan menuju lift khusus petinggi perusahaan. Stella mengekori Alex dengan perasaan bercampur aduk. Pertama, dia telah berlaku tidak sopan pada atasannya. Kedua, dia sudah bersikap lancang di depan karyawan lain. Astaga! Sekarang apa yang akan terjadi? Nyali Stella semakin menciut saat mereka berada di lift khusus, berdua. Alex masuk ke ruangannya dengan Stella yang mengikuti di belakangnya. Seseorang yang berada di dalam terkejut dengan kedatangan mereka, bukan karena Alex, melainkan karena Stella. Begitu juga dengan Stella. "Dia yang kamu maksud, bukan?" tanya Alex, membuyarkan keterkejutan keduanya. "Hah? Oh, benar. Bagaimana kau bisa tahu?" balas Calvin sedikit terpana. Ia hanya mengatakan ciri-cirinya saja, tapi Alex sudah dapat mengetahuinya. Cant
Mereka tiba di depan sebuah butik terkenal. Mereka segera masuk dan seketika menjadi pusat perhatian, tatapan orang-orang tertuju kepada mereka. Mungkin pesona yang dipancarkan oleh Alex-lah yang seakan menyita perhatian orang-orang tersebut. Sambil menunduk Stella mengikuti langkah Alex, mencoba menghindari tatapan para pengunjung butik itu, meski sebenarnya tatapan kekaguman itu tertuju pada Alex, tapi Stella merasa secara otomatis tatapan itu juga jatuh untuknya. Alex berhenti di depan sebuah ruangan, Stella ikut berhenti. Tiba-tiba Alex menggenggam tangan Stella, membuat Stella mendongak dengan jantung yang berpacu cepat. Alex membawanya masuk ke dalam ruangan itu. "Kalian sudah datang!" sapa seorang wanita saat melihat kedatngan mereka berdua. "Tunjukkan saja bajunya!" ujar Alex seakan tidak peduli pada sapaan wanita itu. "Kau seberuntung apa mendapatkan wanita secantik dia?" tanya Nanda -- pemilik butik, tidak peduli ucapan cuek Alex. Stella tersipu malu mendengar puji
Semenjak hari ini, Stella sudah tidak diperbolehkan oleh Litina untuk bekerja. Alasan Mama Alex itu -- calon mertua Stella -- bahwa sebentar lagi adalah hari pernikahannya dengan Alex. Stella harus tetap berada di rumah hingga pernikahan selesai. Kembali Stella sadar akan posisinya, jadi ia hanya menuruti semua perkataan keluarga Alex. Segelas coklat panas menemaninya pagi hari ini. Stella benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan selama di rumah. Biasanya ia -- bahkan saat weekend -- tetap bekerja. Setelah memikirkan apa yang akan dilakukannya seharian ini, akhirnya Stella memilih untuk mengunjungi taman. Di sana, terdapat beberapa anak yang tampaknya belum sekolah, bermain menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Dan di sisi lain, orang tua mereka berkumpul dan entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya itu hal yang seru. Stella berpikir, apakah masa kecilnya dulu seperti ini? Apa ia bermain bersama teman sebayanya di taman? Apa ibunya juga sering berkumpul dengan ora
Malam ini, Stella benar-benar merasa sangat gugup. Pasalnya, dia tidak tahu harus melakukan apa di hari pertamanya sebagai istri Alexander Edward. Jika tiba-tiba Alex meminta haknya sebagai seorang suami, maka sesuai isi perjanjian Stella harus menuruti itu. Ketika keluar dari kamar mandi, Stella melihat Alex tengah duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuannya. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Beruntung dia tidak mengenakan lingerie yang diberikan oleh Karen dan Litina tadi. Bisa-bisa esok hari dia tidak akan pernah menunjukkan wajahnya di depan Alex. Stella berjalan mendekat ke arah ranjang. Alex yang menyadari itu berkata, "Tidurlah, aku tidak akan melakukan apa pun padamu!" Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Stella. Stella yang merasa mendapatkan izin, merangkak naik ke atas ranjang dan tidur membelakangi Alex. Setidaknya malam ini dia tidak akan melakukan apa pun untuk pria itu. Entah karena terlalu lelah atau ranjang milik Alex terlalu nyaman, dengan cepat
ALEX POV Aku melihatnya telah berlalu dari sana. Dan aku pun ikut berlalu menuju ruang kerjaku, dan kuyakini jika Claudia mengikutiku saat ini. Sekarang wanita itu sudah berada di dalam ruangan dan mendekat, namun terhenti saat aku bersuara. "Jangan mendekat." ucapku. Dia berhenti di tempat dan menatapku penuh kebingungan. "Alex, aku kemari karena merindukanmu," ujarnya lagi dengan nada menjijikkan. "Aku tidak pernah menyuruhmu ke mari dan jangan pernah datang ke mari lagi. Keluarlah!" Entah apa yang ia rasakan, aku sempat melihat raut wajahnya yang terkejut mendengar perkataanku barusan. "Lihat saja, kau akan kembali padaku," katanya. Aku tidak peduli. Aku tidak pernah mengharapkan dia ataupun Jessica untuk datang dalam kehidupanku. Merekalah yang mendekat dan menyerahkan tubuh mereka dengan sukarela kepadaku. Kehadiran mereka hanya membuatku pusing saja. Ku keluarkan tablet yang secara otomatis menampilkan gambar wanitaku. Hei, aku berhak untuk mengklaim Stella seperti
“Halo?”“Nyonya, ini aku, Alexa!” kata Alexa melalui telepon. “Ah, ternyata Alexa-ku. Ada apa, sayang?” balas Stella. “Aku ... aku siap menikah dengan putramu!” kata Alexa dengan berat hati. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih padamu, Sayang. Aku benar-benar senang,” kata Stella dengan nada teramat bahagia. “Tapi ....” “Katakan saja, Alexa. Ada apa?” “Aku ingin mahar dua ratus lima puluh juta untuk pernikahanku!” Stella sedikit terkejut di seberang sana, namun setelahnya dia pun tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan memberikan mahar tiga ratus juta –“ “Tidak, aku hanya ingin mahar dua ratus lima puluh juta,” sela Alexa. “Ah, baiklah. Terserah kau saja.” “Bisakah aku menerima uang itu besok?” “Sayang, bukan maksudku meragukanmu. Tapi, aku hanya mengantisipasi jika kau malah membawa lari uang itu. Aku percaya padamu, tapi tetap saja tidak menutup kemungkinan jika kau lari dengan membawa uang itu. Sebenarnya, uang tidak masalah bagiku, yang menjadi masalahnya adalah jika kau
49. Season 2“Steve! Apa yang kau lakukan?” bentak seseorang. Steve pun segera berdiri dan menatap seseorang yang membentaknya dengan panik, itu ibunya. “Mom, ini tidak seperti yang kau lihat,” ujarnya mencoba menghilangkan kesalahpahaman yang pastinya ada di benak sang ibu. “Aku dan Daddy-mu tidak pernah mengajarimu menjadi pria brengsek seperti ini, Steve!” bentak Stella sambil menunjuk gadis yang terduduk di lantai. “Nyo-nyonya, kami tidak melakukan apa pun, tadi kami hanya terpeleset. Sungguh, kami tidak sengaja berada dalam posisi seperti itu,” terang sang gadis. Tadi dia datang ke cafe ini bersama teman-teman sekampusnya. Dan saat dia pergi ke toilet, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang akhirnya membuat mereka terpeleset karena lantai yang licin. Tapi mereka malah terjatuh dengan posisi si pria yang berada tepat di atas tubuhnya. Dan itu bertepatan dengan ibu sang pria datang dan memergoki mereka yang sebenarnya hanya terpeleset. “Aku tidak percaya pada kalian. K
Setelah berada di dalam kamar mereka, Stella menyandarkan tubuhnya ke dada bidang suaminya. Kehamilan kali ini, keluarganya tidak sekejam seperti pada kehamilannya yang pertama. Mereka tidak membiarkan Stella pergi ke mana pun dan terus saja menyuruhnya untuk berdiam diri di dalam kamar. "Jadi, jika bukan dirimu yang berada di dalam peti mati itu, lalu yang terkubur di dalam sana siapa?" tanya Alex yang masih bingung. Alex memang baru menanyai Stella sekarang, karena saat pertama kali Stella kembali lagi padanya, ia masih ragu untuk bertanya. Ia khawatir membuat Stella sedih jika ia membangkitkan cerita kelam hidup Stella selama pergi dari sisinya. Ia lebih baik menunggu saat yang tepat, biarkan Stella sendiri yang bercerita dan mengatakan semuanya. "Ketika aku pergi meninggalkan rumah, aku langsung ke rumah sakit terlebih dahulu. Tapi, aku tidak pergi ke rumah sakit yang biasa aku kunjungi. Saat itu aku merasa sangat lemah, karenanya aku memilih untuk dirawat untuk semalam terl
"Matthew, ayolah. Kau terlihat sangat tidak bersemangat padahal kita akan mengunjungi Silvi," kata Stella seraya menggoyangkan lengan pria yang telah menjadi orang paling penting dalam hidupnya. Matthew memutar bola matanya malas mendengar rengekan wanita di sebelahnya ini. "Aku bukannya tidak bersemangat karena kita akan mengunjungi Silvi." "Lalu apa?" "Aku menyesal mengusulkan pada kalian untuk tinggal di apartemen yang sama denganku, andai aku tahu tadi kau sudah mengganggu pagiku yang cerah!" kesal Matthew pada wanita di sebelahnya. Sedang wanita itu hanya terkikik melihat kekesalannya. Azrael yang melihat interaksi di antara keduanya terkikik geli. Saat mereka berdebat seperti itu, mereka tampak seperti bocah. Tidak lama kemudian, Alex kembali dengan dua karangan bunga berukuran sedang di dalam genggamannya. Mereka berempat -- Stella, Alex, Matthew dan Azrael -- berjalan memasuki area pemakaman. Tidak membutuhkan waktu lama mereka telah sampai di depan sebuah makam. I
Yakinlah, Tuhan itu adil. Karena setelah kesedihan pasti akan datang kebahagiaan. Meski kita tidak tahu kapan kebahagiaan itu akan datang. Tuhan tidak pernah tidur. Itulah yang dirasakan Alex dan Stella saat ini. Kebahagiaan tak terbendung setelah rasa sedih yang menyakitkan --- kini tengah mereka rasakan. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan pernah mereka tukar dengan apa pun. Kebahagiaan yang akan selalu mereka ciptakan mulai sekarang. Malam itu mereka sedang berdiri di balkon kamar. Saling memberikan kehangatan satu sama lain dengan berpelukan erat. Seakan pelukan itu dapat menyalurkan perasaan rindu yang mereka rasakan selama berpisah. "Kenapa kau tidak kembali saat itu?" tanya Alex sambil menaruh dagunya di bahu Stella. "Aku hanya ragu dan takut!" jawab Stella. "Kenapa?" tanya Alex masih memeluk Stella. "Aku takut kau akan membenciku ketika kau mengetahui semuanya. Bahwa akulah penyebab hilangnya Peter.Aku ragu untuk kembali bila kau tahu aku telah menyembunyikan suatu h
Sebuah resepsi pernikahan megah seorang pengusaha muda digelar di salah satu hotel terkenal di negeri ini. Menunjukkan pada semua, bahwa orang yang melakukan resepsi tengah berbahagia. Para wartawan sudah berkumpul di pelataran depan hotel tersebut. Tak jarang para wartawan itu menghentikan salah satu tamu undangan untuk diwawancarai. Pria berwajah datar dan dingin itu berdiri seorang diri di tengah-tengah ballroom. Mengabaikan setiap tatapan kagum dari para wanita. Setiap wanita berebut ingin memeluk lengan kokoh tersebut. Sayangnya, pria itu telanjur berhati dingin dan tidak akan ada lagi yang bisa mencairkan kebekuan hatinya. Pria itu tetap pada posisinya, hingga seorang pria lain yang juga koleganya menyapanya dan mengajaknya mengobrol, meski dibalas dengan singkat oleh Alex. Pria itu mengatakan jika ada seorang penyanyi Cafe cantik yang sedang viral ikut diundang. Awalnya Alex heran. Penyanyi Cafe? Di acara semegah ini? Yang benar saja! Pria koleganya itu mengatakan bah
Wanita itu berdiri di balkon kamarnya menikmati terpaan hangat sang mentari pagi pada wajahnya. Memejamkan matanya seakan-akan dia benar-benar menikmati mentari. Hingga tanpa ia sadari seorang pria yang selalu saja menemani kegiatannya datang. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," kata pria itu. Wanita itu bergeming, beberapa saat kemudian dia membuka matanya kemudian membalikkan tubuhnya. Tersenyum tipis saat pandangannya bertemu dengan pria itu -- yang masih saja menunggunya. Mereka berdua menikmati sarapan dalam diam, tidak ada kata yang terucap dan hanya suara sendok beradu dengan piring yang mendominasi ruang makan tersebut. Akhirnya pria itu memecahkan keheningan. "Apa kau ingin terus seperti ini?" tanya pria itu sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Seperti apa?" Wanita itu balik bertanya. "Kamu hanya menutupi penderitaan mu itu dariku," jawab pria itu. Hening. Dan wanita itu berlalu dari sana, meninggalkan sang pria tanpa sepatah kata pun. Pria i
Mencari sebuah alasan pengganti untuk tetap hidup bukanlah satu hal yang mudah. Alex merasakannya. Ketika Stella masih berada di sisinya, ia memiliki alasan untuk tetap hidup, karena ia mencintai Stella. Alex bukanlah remaja bodoh yang baru mengenal cinta. Kehidupan kejam yang diberikan Tuhan membuat ia tahu apa yang sedang terjadi saat ia bersama orang yang benar-benar ia cintai. Alex sangat mengerti arti getaran yang timbul saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan Stella. Semua orang di sekelilingnya sudah merasakan hatinya yang kembali buruk, bahkan lebih buruk. Mereka pasrah akan keadaan Alex saat ini. Bukannya mereka tidak peduli, tapi mereka tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat mencairkan bongkahan es yang sudah mencair kembali membeku. Alasan yang membuat es itu mencair telah tiada. Siang itu, Reyhan tiba-tiba datang berkunjung ke perusahaannya. Seperti temannya yang lain, Reyhan datang hanya sekedar untuk menanyakan kabarnya. Dan lagi-lagi menemukan. Alex yang berkuta
Bolehkah untuk kali ini Alex beranggapan jika Tuhan kembali bersikap tidak adil padanya? Bolehkah bila ia beranggapan Tuhan terlalu kejam padanya? Dia tidak tahu apa kesalahannya hingga Tuhan bersikap begitu kejam. Alex marah, ia marah pada sang takdir yang begitu kejam padanya. Saat ini, pria itu tengah berada dalam satu ruangan khusus di Cafe milik Max. Alex POV Aku marah. Marah pada takdir, marah pada diriku sendiri. Ketika satu masalah belum terselesaikan, kini masalah lain kembali datang. Apa aku tidak pantas untuk bahagia? Seandainya bunuh diri bukan dosa, maka akan kuakhiri hidupku. Tapi, aku teringat kembali pada satu hal. Aku harus menemukan istriku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan mengalah pada sang takdir lagi. Namun, harus kucari ke mana lagi istriku? Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Hingga saat ini aku belum mendapatkan kabar tentang keberadaannya. Dia hilang bagaikan ditelan bumi. Tapi satu keyakinanku, Stella masih ada