"Alex!" panggil Julia membuat Stella yang awalnya melihat ke arah lain menoleh pada seseorang yang memanggil suaminya. Di sana, berdiri seorang wanita cantik yang ia lihat di perusahaan tempo hari. Wanita cantik yang mendapat tatapan memuja dari para karyawan pria, serta mendapat tatapan iri dari karyawan wanita. Stella menatap Alex yang bergeming tidak memandang pada wanita tersebut. Stella juga melihat ada pancaran dingin dari mata Alex, meski suaminya tidak memandang Julia. "Alex!" panggil Julia sekali lagi. Stella semakin bingung dengan keadaan ini. Peter, bocah itu malah asyik memakan lolipop-nya seraya memandang Alex dan Julia bergantian dengan tatapan polos. Dan pandangan terakhirnya jatuh pada Stella. "Ayo, pulang!" ajak Alex tiba-tiba, tapi itu tidak membantu mengurangi kebingungan Stella. "Alex, kumohon." Julia memelas dengan mata berkaca-kaca. "Hai, aku Stella." Stella mengulurkan tangannya, ia berusaha mencairkan suasana yang terasa mencekam. Julia menyambu
ALEX POV Itulah mengapa aku menuliskan sebuah perjanjian pranikah yang salah satu pasalnya 'tidak boleh bermain di belakang'. Kejadian di masa laluku mengajarkanku untuk selalu berhati-hati jika berhadapan dengan yang namanya 'wanita'. Terlebih bila sampai terjadi pernikahan lagi. Marah? Tentu saja. Aku tidak tahu harus marah kepada siapa. Pada Julia, pada Ethan atau pada diriku sendiri? Aku tidak pernah berpikir jika Julia dan Ethan telah merencanakan semua ini untuk membunuhku secara perlahan. Dan mereka berhasil. Mereka berhasil membunuh setiap perasaan yang kupunya. Mereka berhasil membuatku tidak mempercayai arti cinta lagi. Namun, seiring berjalannya waktu, kini aku kembali mengenal cinta. Benar, kehadiran Stella-lah yang membuatku akhirnya kembali mengenal cinta. Definisinya tentang pemahaman cinta berhasil membuat pikiranku tersita. Tapi, aku terlalu takut untuk mengakui perasaan ini. Apakah ini perasaan cinta? Perasaan cinta yang hadir di tengah perasaanku, mulai meng
Air matanya terus saja mengalir, seakan tidak mau berhenti. Stella terus memegangi dadanya. Ia merasakan sesak yang teramat dalam. Seakan ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya dari dalam. Bahkan supir pribadi Alex yang melihat itu merasa khawatir. Setelah Stella sudah merasa tenang, barulah wanita itu turun dari mobil. Dia bisa saja langsung pulang ke apartemen, hanya saja berada di apartemen dalam keadaan seperti ini seorang diri, bukanlah pilihan yang tepat. Ketika Stella baru saja keluar dari lift, salah satu rekan kerjanya memberinya beberapa berkas yang harus segera diantarkan kepada CEO. Stella menerimanya dalam diam. Dan saat lagi-lagi ia harus melewati meja asisten Alex, wanita itu mengernyit menatap Stella. Pandangan sang asisten jatuh pada beberapa berkas yang ada di dekapan Stella, akhirnya ia membiarkan Stella masuk begitu saja. Stella menunduk, tidak ingin menatap Alex. Pria itu menyadari sikap aneh istrinya, tentu saja ia merasa bingung. Alex mendekati
Pagi itu, Stella terbangun dengan sakit kepala yang luar biasa. Ia segera berlari ke kamar mandi saat merasakan perutnya mual. Dengan selimut yang menutupi tubuh polosnya, Stella mengeluarkan isi perutnya. Dan Alex yang menyadari itu segera bangkit dan menolong istrinya. Dia tidak peduli akan usiran Stella, ia tetap memegangi rambut Stella seraya memijat tengkuk istrinya. Menurut Stella, ia sedang dalam kondisi menjijikkan, dan Alex tidak boleh melihatnya. "Jangan lakukan itu lagi!" ujar Alex, ia benar-benar merasa khawatir pada Stella. "Aku hanya ingin menghilangkan sedikit bebanku!" balas Stella, setelah membersihkan dirinya. "Tapi tidak seperti ini, Stella Caelan Edward!" Alex menahan kemarahannya. Melihat Stella dalam keadaan seperti ini, benar-benar menyulut emosi pria itu. "Lalu, aku harus bagaimana? Aku sudah tidak sanggup lagi, Alex. Terlebih lagi, kini aku tahu siapa ayah kandungku. Aku lelah. Aku benar-benar lelah." Stella kembali terisak. Alex tidak membiarkan b
Hari demi hari telah terlewati. Akhir-akhir ini Stella sering sekali bertemu Williams, hanya sekadar untuk membuatnya secara perlahan melupakan rasa bencinya pada pria itu. Meski di setiap pertemuan mereka hanya didominasi dengan keheningan yang seakan itulah yang mereka butuhkan. Dalam keheningan, mereka berusaha saling memahami satu sama lain. Saat Stella mulai belajar melupakan kebenciannya pada Williams, Julia Collins tiba-tiba menghubunginya. Wanita itu mengatakan ia ingin bertemu dengan Stella. Stella terkejut mendapat telpon dari Julian. Dia bertanya-tanya dari mana Julia mendapatkan nomornya. Hingga ia mengetahui dari salah satu rekan kerjanya yang mengatakan jika beberapa hari lalu ada seorang wanita yang meminta nomor ponselnya. Dalam pertemuan itu, Julia menceritakan semuanya. Wanita itu menceritakan apa yang terjadi dengannya dan Alex, betapa ia menyesal telah meninggalkan Alex di hari penting mereka hanya untuk seorang pria yang salah. Dari cerita Julia-lah, Stella a
Hari ini Stella dan Alex akan pergi ke kediaman Edward. Bukan Alex yang meminta untuk pergi ke sana, melainkan permintaan Stella. Karena tidak ingin mengecewakan istrinya, Alex menuruti apa yang diinginkan Stella. Selama perjalanan hanya suara radio hang mendominasi. Sang penyiar memutar sebuah lagu yang seolah mewakili perasaan Stella dan Alex. Mereka menghayati setiap lirik lagu yang mengalun. Mereka saling mencintai, namun mereka terlalu takut untuk mengakui itu semua. Mereka takut bila apa yang mereka rasakan tidak dirasakan oleh pasangan mereka. Mereka takut bila kejadian masa lalu terulang lagi. Tapi, bukankah cinta tidak mengenal rasa takut? Yaaa, cinta tidak akan pernah mengenal rasa takut. Cinta akan melawan semua rasa yang berusaha menghalangi jalannya menuju pelabuhan terakhir. Cinta akan berusaha menghancurkan bendungan penghalang jalannya. ***** Ketika tiba di kediaman Edward, orang pertama yang ditemui Stella adalah Litina yang sedang bersama Peter. Dia langsun
Kebahagiaan yang dirasakan Stella dan Alex bahkan mampu dirasakan oleh orang di sekitarnya. Terlihat dengan jelas bagaimana malam itu mereka pulang dengan senyuman yang terukir di bibir mereka. Bahkan tanpa Litina bertanya pun dia tahu apa alasan Alex dan Stella tampak sangat bahagia seperti itu. Namun, hari ini Stella merasa sedih. Alex akan pergi meninggalkannya untuk urusan bisnis. Sebenarnya Stella merasa biasa saja saat suaminya itu mengatakan bahwa dia akan pergi. Tapi, mengapa setelah dua hari kepergian Alex, dia benar-benar merasa sangat merindukan suaminya itu? Setiap malam Stella tertidur dengan mengenakan kemeja Alex. Panggilan Karen pun ia acuhkan begitu saja, hingga temannya itu merasa khawatir melihatnya tampak pucat, ketika wanita itu mengunjungi Stella. Tapi Stella mengatakan bahwa dia baik-baik saja, dia terlihat pucat mungkin karena dia belum makan. Akhirnya setelah Aliya datang, pertama kali yang mereka lakukan adalah pergi ke sebuah restoran. Lagi-lagi, ket
"Dia sakit karena Julia. Hatinya membeku. Ia sangat mencintai Julia. Bahkan kami menganggap Julia tidak akan pernah tergantikan. Kami bingung, kami harus melakukan apa pada Alex agar ia sembuh. Karena itu, cobalah untuk tidak menyulut emosi Alex. Dia bisa saja belum benar-benar sembuh." Kata-kata itu terus menggema di telinganya. Benarkah sebesar itu cinta Alex pada Julia? Tapi, bukankah seharusnya Stella tidak perlu cemas karena Alex telah mengungkapkan kata cinta padanya? Alex mengatakan bahwa ia mencintai Stella. Lantas, kenapa rasanya aneh setelah ia mendengar semua cerita Max? Tidak. Stella menggelengkan kepalanya. Alex sakit. Tidak ada yang tahu apakah ia sudah benar-benar sembuh. Stella hanya perlu untuk tidak menyulut emosi Alex. Stella memasuki lift dengan ekspresi datar. Seharusnya ia tidak seperti ini. Tapi kedatangan Julia --- yang awalnya ia anggap biasa saja, setelah mendengar cerita Max --- membuatnya resah. "Dia terlalu memberikan semua hatinya untuk Julia