Hari ini Stella dan Alex akan pergi ke kediaman Edward. Bukan Alex yang meminta untuk pergi ke sana, melainkan permintaan Stella. Karena tidak ingin mengecewakan istrinya, Alex menuruti apa yang diinginkan Stella. Selama perjalanan hanya suara radio hang mendominasi. Sang penyiar memutar sebuah lagu yang seolah mewakili perasaan Stella dan Alex. Mereka menghayati setiap lirik lagu yang mengalun. Mereka saling mencintai, namun mereka terlalu takut untuk mengakui itu semua. Mereka takut bila apa yang mereka rasakan tidak dirasakan oleh pasangan mereka. Mereka takut bila kejadian masa lalu terulang lagi. Tapi, bukankah cinta tidak mengenal rasa takut? Yaaa, cinta tidak akan pernah mengenal rasa takut. Cinta akan melawan semua rasa yang berusaha menghalangi jalannya menuju pelabuhan terakhir. Cinta akan berusaha menghancurkan bendungan penghalang jalannya. ***** Ketika tiba di kediaman Edward, orang pertama yang ditemui Stella adalah Litina yang sedang bersama Peter. Dia langsun
Kebahagiaan yang dirasakan Stella dan Alex bahkan mampu dirasakan oleh orang di sekitarnya. Terlihat dengan jelas bagaimana malam itu mereka pulang dengan senyuman yang terukir di bibir mereka. Bahkan tanpa Litina bertanya pun dia tahu apa alasan Alex dan Stella tampak sangat bahagia seperti itu. Namun, hari ini Stella merasa sedih. Alex akan pergi meninggalkannya untuk urusan bisnis. Sebenarnya Stella merasa biasa saja saat suaminya itu mengatakan bahwa dia akan pergi. Tapi, mengapa setelah dua hari kepergian Alex, dia benar-benar merasa sangat merindukan suaminya itu? Setiap malam Stella tertidur dengan mengenakan kemeja Alex. Panggilan Karen pun ia acuhkan begitu saja, hingga temannya itu merasa khawatir melihatnya tampak pucat, ketika wanita itu mengunjungi Stella. Tapi Stella mengatakan bahwa dia baik-baik saja, dia terlihat pucat mungkin karena dia belum makan. Akhirnya setelah Aliya datang, pertama kali yang mereka lakukan adalah pergi ke sebuah restoran. Lagi-lagi, ket
"Dia sakit karena Julia. Hatinya membeku. Ia sangat mencintai Julia. Bahkan kami menganggap Julia tidak akan pernah tergantikan. Kami bingung, kami harus melakukan apa pada Alex agar ia sembuh. Karena itu, cobalah untuk tidak menyulut emosi Alex. Dia bisa saja belum benar-benar sembuh." Kata-kata itu terus menggema di telinganya. Benarkah sebesar itu cinta Alex pada Julia? Tapi, bukankah seharusnya Stella tidak perlu cemas karena Alex telah mengungkapkan kata cinta padanya? Alex mengatakan bahwa ia mencintai Stella. Lantas, kenapa rasanya aneh setelah ia mendengar semua cerita Max? Tidak. Stella menggelengkan kepalanya. Alex sakit. Tidak ada yang tahu apakah ia sudah benar-benar sembuh. Stella hanya perlu untuk tidak menyulut emosi Alex. Stella memasuki lift dengan ekspresi datar. Seharusnya ia tidak seperti ini. Tapi kedatangan Julia --- yang awalnya ia anggap biasa saja, setelah mendengar cerita Max --- membuatnya resah. "Dia terlalu memberikan semua hatinya untuk Julia
Semua berjalan seperti biasanya. Kehidupan rumah tangga Stella dan Alex tidak selalu berjalan sesuai rencana. Terkadang ada lika-liku yang harus mereka lewati. Banyak kerikil tajam yang harus mereka lalui. Dan beruntungnya mereka dapat menjalani itu semua. Sikap saling pengertian dan saling percaya yang membuat mereka mampu bertahan hingga kini. Ditambah lagi rasa cinta yang mereka miliki, tidak memedulikan apa kata orang dan tetap menjalani semuanya. Terkadang dalam suatu hubungan, justru kerikil tajam itulah yang jika berhasil dilalui akan menjadikan hubungan semakin kuat. Meski apa yang telah Stella lihat di cafe waktu itu, hingga sekarang belum mendapatkan jawaban. Apa yang Stella lihat waktu itu di cafe adalah benar adanya. Itu Alex yang bertemu dengan Julia. Tapi, Stella tidak menuntut penjelasan dari suaminya, karena Alex memang mengatakan jika ia tiba saat jam makan siang dan harus kembali mengecek ke kantor, karena mendapat laporan dari stafnya jika terjadi beberapa kesal
Alex mengobati luka yang diberikan Claudia dan Jessica pada Stella. Ia mengecup lembut di bagian yang memar. Stella tampak menikmati ciuman itu. Ia memejamkan mata saat Alex mencium lukanya dengan lembut. Setelah mengobati luka Stella, Alex mengajaknya keluar dari ruangannya dan memerintahkan kepada asistennya untuk mengumpulkan semua karyawan dari tinggi hingga rendah di ruang meeting bagian pertama. Awalnya Stella bingung apa yang akan dilakukan Alex. Namun, semua pertanyaannya terjawab saat mereka telah berdiri di atas podium Stella sudah paham akan apa yang akan dilakukan suaminya ini. Dia ingin turun dari atas podium, tapi pelukan Alex di pinggangnya menghentikan Stella. Akhirnya, yang dapat dia lakukan hanya menunduk, tidak berani menerima berbagai tatapan dari para karyawan, para kepala divisi, para manajer, dan para direktur Edward Corp. Selanjutnya, ucapan Alex semakin membuat perasaannya campur aduk. "Aku ingin mengatakan pada kalian bahwa yang tengah berdiri di sam
Bagi Stella, apa yang telah dituliskan Tuhan untuknya saat ini sudah cukup membuatnya merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Tuhan itu memang adil. Di mana ada kesedihan, setelah itu kebahagiaan akan muncul untuk melengkapinya. Namun ia tahu, tidak ada yang abadi di dunia ini. Stella tidak menyangka Alex mampu menjawab pertanyaan ibunya dengan kata-kata yang begitu menyentuh. Stella menikmati hembusan angin yang menerpa kulitnya. Kini, ia benar-benar telah percaya akan cinta yang diberikan oleh suaminya. Semuanya sudah terasa lengkap baginya, mulai dari ibunya yang koma kini telah sadar, ayah yang selama ini ia harapkan telah datang, bahkan mimpinya memiliki seorang saudara terwujud dengan kehadiran Calvin. Pria yang ia cintai sepenuh hati pun telah membalas perasaan cintanya. Tapi, masih ada satu yang kurang. Anak. Ya, Stella sangat berharap ia segera memiliki anak, buah cintanya bersama Alex. Ia selalu membayangkan kehidupannya kelak bila ia memiliki seorang anak
Pagi itu, lagi-lagi Stella terbangun. tanpa kehadiran Alex di sampingnya. Saat ia telah membersihkan diri dan turun ke bawah untuk sarapan, ternyata keadaan ruang makan masih sangat sepi. Stella pikir dia kesiangan, ternyata dia bangun terlalu pagi. Ketika sedang menikmati sarapannya, asisten rumah tangga bernama Rose membawa koran yang setiap pagi datang. Karena merasa bosan, Stella mengambil dan membaca surat kabar tersebut. Pandangannya jatuh pada satu gambar, dia terbelalak. Ini tidak mungkin, pikir Stella. Stella menutup mulutnya saat melihat dan membaca setiap kata yang tertera di artikel surat kabar itu. Setelah tersadar dari keterkejutannya, Stella kembali melipat dan membiarkan surat kabar itu tergeletak begitu saja. Sapaan Calvin dan kedua orang tuanya, juga Stella abaikan. "Aku ingin menemui Karen!" ujar Stella tiba-tiba. Semua orang yang melihat dan mendengar mengernyit heran, karena tiba-tiba saja Stella ingin bertemu dengan Karen. Calvin menawarkan diri untu
Tidak ada lagi kata-kata yang pas untuk melukiskan perasaan Alex saat ini. Dia bagaikan dihantam godam besar yang seakan menginginkan dia mati dalam sekejap. Alex memang masih dapat bernapas dan melihat semuanya. Namun, justru dengan melihatnya seolah membunuhnya secara perlahan. Istri yang dia cintai kini tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Alex tidak tahu apa yang harus ia katakan ketika Stella membuka mata nanti. Ia merasa bingung, marah, sedih, dan kecewa dalam waktu bersamaan. Tapi, di mau marah pada siapa? Stella? Itu adalah hal terakhir yang akan ia lakukan dalam hidupnya. Alex merasa marah pada dirinya sendiri. Kenapa ia lalai menjaga istri dan calon anaknya? Kenapa? Dan bukankah penyesalan itu selalu datangnya di akhir? Benar. Kini Alex merasakan penyesalan itu. Alex merasakan darah pembunuh tiba-tiba mengalir dalam dirinya. Ia akan membunuh siapapun yang dengan berani melakukan semua ini. Dan jangan harap orang tersebut akan. selamat dari kemarahan Alex