Tidak ada lagi kata-kata yang pas untuk melukiskan perasaan Alex saat ini. Dia bagaikan dihantam godam besar yang seakan menginginkan dia mati dalam sekejap. Alex memang masih dapat bernapas dan melihat semuanya. Namun, justru dengan melihatnya seolah membunuhnya secara perlahan. Istri yang dia cintai kini tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Alex tidak tahu apa yang harus ia katakan ketika Stella membuka mata nanti. Ia merasa bingung, marah, sedih, dan kecewa dalam waktu bersamaan. Tapi, di mau marah pada siapa? Stella? Itu adalah hal terakhir yang akan ia lakukan dalam hidupnya. Alex merasa marah pada dirinya sendiri. Kenapa ia lalai menjaga istri dan calon anaknya? Kenapa? Dan bukankah penyesalan itu selalu datangnya di akhir? Benar. Kini Alex merasakan penyesalan itu. Alex merasakan darah pembunuh tiba-tiba mengalir dalam dirinya. Ia akan membunuh siapapun yang dengan berani melakukan semua ini. Dan jangan harap orang tersebut akan. selamat dari kemarahan Alex
Banyak orang yang berpikiran, bahwa jika seseorang yang selalu mengalami penderitaan dalam hidupnya akan menjadi gila. Lantas, apakah kata itu pantas untuk kondisi Stella saat ini? Bagi Stella, iya .... Dia gila. Selama hidupnya rasanya hanya penderitaan-lah yang sering datang menghampirinya, seakan-akan memiliki jadwal berkunjung tersendiri dalam hidupnya. Setiap hari ia bertanya pada dirinya sendiri, penderitaan apa lagi yang akan. Tuhan datangkan untuknya? Stella duduk termenung di taman belakang kediaman Greyson. Semenjak kejadian yang menimpanya, dia memang tinggal bersama ibunya dan keluarga Greyson. Alex tidak mempermasalahkan hal itu. Tidak. Stella bukannya lari dari Alex. Dia hanya ingin bersama ibunya kali ini. Alex juga akan datang kemari setelah selesai bekerja. "Apa taman ini lebih menarik daripada diriku, sehingga kau mengacuhkanku, Nyonya Edward?" Stella yang tadinya hanya menatap kosong di depannya, tidak terkejut ataupun menoleh sekadar untuk melihat siap
Saat mereka berdua kembali terdiam, pandangan Stella jatuh pada Calvin dan Karen. Astaga, lihat apa yang dilakukan bocah besar itu pada temannya. Namun, diam-diam Stella tersenyum geli melihat mereka. Ia memutuskan untuk mendekat ke arah Calvin dan Karen, meninggalkan Alex yang tampak sedang berbicara dengan para koleganya. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Stella saat melihat Karen yang sedang menahan marah. "Stella, kau lihat? Temanmu ini seperti anak kecil, dia ---" "Shut up, Dude!" sentak Karen menghentikan ucapan Calvin. Kalau tidak, bisa-bisa temannya itu menertawakannya. "Apa? Ceritakan!" ujar Stella yang sudah sangat penasaran kelanjutan cerita Calvin. "Tidak ada, Stella. Dia hanya mengarang. Kau semakin terlihat serasi dengan Alex." Karen berusaha mengalihkan pembicaraan. Stella yang tahu akan itu, berniat menjawab, tapi sebelum ia sempat bersuara sebuah suara menginterupsi. "Karena kita memang diciptakan untuk bersama." sela suara bariton itu. Stella, Calvin,
Stella berjalan dengan tenang di sepanjang lorong rumah sakit. Kini yang ada di kepalanya hanya satu, apa kabar yang akan diberikan dokter setelah melihat hasil tes lanjutannya dari laboratorium. Kabar bahagiakah atau sebaliknya? Dia membuka pintu sebuah ruangan dan di sana telah duduk seseorang yang tersenyum menyambut kedatangannya. Stella balas tersenyum dan duduk di hadapan orang tersebut. Sang dokter, Laura namanya, adalah teman Stella. Dia mengenal Laura dari Rafael. Selama ini, Laura-lah yang membantu Stella menyembunyikan apa yang dia alami dari keluarganya. Laura juga adalah anak dari dokter kepercayaan keluarga Edward dan itu semakin mempersulitnya. Tapi, Laura sudah berjanji pada Stella, untuk menyimpan rahasia tentang penyakit Stella yang sebenarnya dari keluarga Edward. Keadaan hening selama beberapa menit. Laura tampak mengecek beberapa dokumen. Tak lama kemudian .... "Kau hampir sembuh!" ujar Laura dengan memekik senang. Stella bergeming, ia terkejut h
Semua berjalan baik-baik saja. Stella telah membuktikan pada semua orang tentang ketakutan mereka akan pertemuan Alex dan Julia. Kini ia bisa menjawab setiap kekhawatiran orang-orang mengenai rumah tangganya. Telinganya terasa panas setiap kali Calvin dan Karen mengkhawatirkan rumah tangganya. Mereka menakuti sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakutkan. Hingga kini tidak ada yang tahu tentang penyakit yang dideritanya. Mungkin banyak orang yang akan mengatakan dia bodoh karena menyembunyikan penyakitnya dari semua orang, ia sampai rela memohon pada Laura agar tetap menjaga rahasia ini. Stella tidak peduli pada orang-orang yang mencemoohnya. Ini hidupnya. Orang lain hanya melihat sisi luarnya saja, tapi mereka tidak tahu jalan hidupnya yang sebenarnya. Lagipula ia sudah sangat sering dicemooh, bukan? Lalu untuk apa ia mempedulikannya? Semuanya berjalan baik-baik saja, hingga dua hari lalu Stella menerima sebuah paket berisi fotonya yang sedang menjalani pengobatan disertai s
Bolehkah untuk kali ini Alex beranggapan jika Tuhan kembali bersikap tidak adil padanya? Bolehkah bila ia beranggapan Tuhan terlalu kejam padanya? Dia tidak tahu apa kesalahannya hingga Tuhan bersikap begitu kejam. Alex marah, ia marah pada sang takdir yang begitu kejam padanya. Saat ini, pria itu tengah berada dalam satu ruangan khusus di Cafe milik Max. Alex POV Aku marah. Marah pada takdir, marah pada diriku sendiri. Ketika satu masalah belum terselesaikan, kini masalah lain kembali datang. Apa aku tidak pantas untuk bahagia? Seandainya bunuh diri bukan dosa, maka akan kuakhiri hidupku. Tapi, aku teringat kembali pada satu hal. Aku harus menemukan istriku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan mengalah pada sang takdir lagi. Namun, harus kucari ke mana lagi istriku? Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Hingga saat ini aku belum mendapatkan kabar tentang keberadaannya. Dia hilang bagaikan ditelan bumi. Tapi satu keyakinanku, Stella masih ada
Mencari sebuah alasan pengganti untuk tetap hidup bukanlah satu hal yang mudah. Alex merasakannya. Ketika Stella masih berada di sisinya, ia memiliki alasan untuk tetap hidup, karena ia mencintai Stella. Alex bukanlah remaja bodoh yang baru mengenal cinta. Kehidupan kejam yang diberikan Tuhan membuat ia tahu apa yang sedang terjadi saat ia bersama orang yang benar-benar ia cintai. Alex sangat mengerti arti getaran yang timbul saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan Stella. Semua orang di sekelilingnya sudah merasakan hatinya yang kembali buruk, bahkan lebih buruk. Mereka pasrah akan keadaan Alex saat ini. Bukannya mereka tidak peduli, tapi mereka tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat mencairkan bongkahan es yang sudah mencair kembali membeku. Alasan yang membuat es itu mencair telah tiada. Siang itu, Reyhan tiba-tiba datang berkunjung ke perusahaannya. Seperti temannya yang lain, Reyhan datang hanya sekedar untuk menanyakan kabarnya. Dan lagi-lagi menemukan. Alex yang berkuta
Wanita itu berdiri di balkon kamarnya menikmati terpaan hangat sang mentari pagi pada wajahnya. Memejamkan matanya seakan-akan dia benar-benar menikmati mentari. Hingga tanpa ia sadari seorang pria yang selalu saja menemani kegiatannya datang. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," kata pria itu. Wanita itu bergeming, beberapa saat kemudian dia membuka matanya kemudian membalikkan tubuhnya. Tersenyum tipis saat pandangannya bertemu dengan pria itu -- yang masih saja menunggunya. Mereka berdua menikmati sarapan dalam diam, tidak ada kata yang terucap dan hanya suara sendok beradu dengan piring yang mendominasi ruang makan tersebut. Akhirnya pria itu memecahkan keheningan. "Apa kau ingin terus seperti ini?" tanya pria itu sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Seperti apa?" Wanita itu balik bertanya. "Kamu hanya menutupi penderitaan mu itu dariku," jawab pria itu. Hening. Dan wanita itu berlalu dari sana, meninggalkan sang pria tanpa sepatah kata pun. Pria i