"AKU AKAN MEMBUNUHNYA, AWASI DIA!!" teriak Alex pada lawan bicaranya di seberang telepon. Stella yang mendengar teriakan Alex terlonjak kaget. Ia benar-benar yakin, lawan bicara Alex sekarang merasa sangat takut mendengar teriakan itu. "LAKUKAN DENGAN CEPAT!!" teriaknya sekali lagi dan Alex pun mematikan sambungan telepon itu. Mereka kini telah berada di apartemen Alex. Mereka berdua berada di kamar. Seandainya mereka masih berada di perusahaan, maka bisa dipastikan Alex akan melampiaskan kemarahannya pada para karyawan. Berbicara tentang perusahaan dan karyawan, tadi sore ketika, Stella dan Alex berniat pulang, sekali lagi Stella melihat dengan jelas tatapan para karyawan yang sedari awal menghunjamnya. Ia sudah mengatakan pada Alex bahwa ia akan menunggu di basement. Tapi seperti biasa, Alex tidak ingin mendengar penolakan. Alex berjalan ke arahnya dan pria itu menghempaskan badannya di sebelah Stella seraya memijat pangkal hidungnya dengan mata terpejam, tanda pria itu te
Sore itu seperti yang Alex katakan, jika mereka akan bertemu keluarga Edward. Namun ternyata tujuan mereka bukanlah mansion, melainkan sebuah restoran yang telah diberitahukan oleh Litina. Alex mengatakan bahwa ini adalah pertemuan keluarga besarnya. Bahkan pria itu juga tidak tahu siapa saja keluarganya yang datang, yang ia tahu sekarang Stella merasa gugup. "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja." Alex menggenggam tangan Stella dengan salah satu tangannya dan tangan satunya lagi ia gunakan untuk memegang kemudi. "Aku tenang." sangkal Stella, memalingkan wajahnya ke samping. Bagaimana ia bisa tenang, jika tangan Alex semakin membuatnya bertambah gugup. Selama ini Stella tidak pernah bertemu dengan keluarga besar. Ia tidak memiliki keluarga besar. Keluarga yang ia miliki hanya ibunya. Dan kini, ia harus bertemu dengan sebuah keluarga besar, keluarga suaminya. Stella tidak pernah tahu bagaimana tanggapan keluarga Edward mengenai dirinya. Dia hanya tidak siap menerima berbaga
Malam itu Alex dan Stella segera kembali ke apartemen. Keluarga besar Edward sangat menyayangkan malam itu telah berakhir, padahal mereka sangat senang bisa mendengar kembali tawa seorang Alexander Edward. Stella masih merasa kesal sebab Alex menertawakannya. Alex menyadari jika istrinya itu merajuk. Dia mendekat dan meminta maaf. Stella memaafkannya, tali jawaban wanita itu terdengar agak cuek. Entah mengapa, Alex merasa senang ketika menyadari Stella merajuk padanya. Rasanya ia telah lama tidak merasakan momen seperti ini. "Kau marah?" Tiba-tiba Alex memeluk Stella dari belakang. Stella merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Astaga, reaksinya selalu saja sama. Tapi, baginya ini terasa sangat nyaman, hangat, dan benar. Semua ini benar. "Tidak!" jawab Stella tak acuh. "Benarkah?" tanya Alex menggoda Stella. Alex memeluk Stella begitu lama. Menikmati kehangatan tubuhnya. Stella tenggelam dalam kenyamanan, bahkan ia menginginkan lebih. Tidak berhenti sampai di sana,
Seperti hari-hari biasanya, Alex dan Stella berangkat ke kantor bersama. Tapi, Alex selalu saja ingin turun bersama Stella di depan kantor. Padahal ia tahu, jika mereka turun bersama, itu akan menjadikan mereka bahan perbincangan dan mungkin Stella akan mendapat banyak tatapan kemarahan dari karyawan wanita. "Alex, jika kau menurunkan aku di perempatan sebelum kantor, aku akan memberikan sebuah hadiah untukmu sekarang," rayu Stella. Lalu, Stella memberinya sebuah ciuman. Sebenarnya, ciuman singkat saja, tapi malah menjadi ciuman panjang dan panas. Untungnya, di dalam mobil Alex terdapat sebuah penyekat yang memisahkan bagian depan dan bagian belakang. Supir sekaligus asistennya yang berada di depan tidak akan tahu apa yang mereka lakukan di kursi belakang. Namun, setelah menyudahi ciuman itu, bukannya menurunkan Stella, Alex malah kembali memerintahkan supirnya untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya, Stella terjebak dalam satu mobil bersama Alex. Mereka telah tiba di depan per
Stella sangat senang karena Peter akan menginap di kediaman keluarga Edward bersama ibunya. Stella senang sekali melihat keluarga kecil Daniel yang hangat, membuat Stella rasanya juga ingin memiliki keluarga kecil bersama suami yang ia cintai beserta anak hasil dari buah cinta mereka berdua. Stella sangat berharap bisa membangun keluarga kecil seperti itu bersama Alex. Tapi Stella terlalu takut untuk memikirkannya, ia takut jika Alex tidak mengharapkan yang sama, memiliki keluarga kecil bahagia bersamanya. "Kau memikirkan apa?" tanya Alex seraya mengelus lembut rambut Stella. "Aku hanya memikirkan apa kau masih sering sakit kepala?" Stella balik bertanya berusaha menutupi kegugupannya. Mereka sedang berada di kamar berdua. Alex tersenyum mengetahui kekhawatiran istrinya. Ia duduk di samping Stella dan mengisyaratkan kepada Stella agar bersandar di bahunya. Stella menyambutnya dengan senang. "Kadang aku merasa tidak pantas berada di tengah keluargamu," ujar Stella tiba-tiba.
"Alex!" panggil Julia membuat Stella yang awalnya melihat ke arah lain menoleh pada seseorang yang memanggil suaminya. Di sana, berdiri seorang wanita cantik yang ia lihat di perusahaan tempo hari. Wanita cantik yang mendapat tatapan memuja dari para karyawan pria, serta mendapat tatapan iri dari karyawan wanita. Stella menatap Alex yang bergeming tidak memandang pada wanita tersebut. Stella juga melihat ada pancaran dingin dari mata Alex, meski suaminya tidak memandang Julia. "Alex!" panggil Julia sekali lagi. Stella semakin bingung dengan keadaan ini. Peter, bocah itu malah asyik memakan lolipop-nya seraya memandang Alex dan Julia bergantian dengan tatapan polos. Dan pandangan terakhirnya jatuh pada Stella. "Ayo, pulang!" ajak Alex tiba-tiba, tapi itu tidak membantu mengurangi kebingungan Stella. "Alex, kumohon." Julia memelas dengan mata berkaca-kaca. "Hai, aku Stella." Stella mengulurkan tangannya, ia berusaha mencairkan suasana yang terasa mencekam. Julia menyambu
ALEX POV Itulah mengapa aku menuliskan sebuah perjanjian pranikah yang salah satu pasalnya 'tidak boleh bermain di belakang'. Kejadian di masa laluku mengajarkanku untuk selalu berhati-hati jika berhadapan dengan yang namanya 'wanita'. Terlebih bila sampai terjadi pernikahan lagi. Marah? Tentu saja. Aku tidak tahu harus marah kepada siapa. Pada Julia, pada Ethan atau pada diriku sendiri? Aku tidak pernah berpikir jika Julia dan Ethan telah merencanakan semua ini untuk membunuhku secara perlahan. Dan mereka berhasil. Mereka berhasil membunuh setiap perasaan yang kupunya. Mereka berhasil membuatku tidak mempercayai arti cinta lagi. Namun, seiring berjalannya waktu, kini aku kembali mengenal cinta. Benar, kehadiran Stella-lah yang membuatku akhirnya kembali mengenal cinta. Definisinya tentang pemahaman cinta berhasil membuat pikiranku tersita. Tapi, aku terlalu takut untuk mengakui perasaan ini. Apakah ini perasaan cinta? Perasaan cinta yang hadir di tengah perasaanku, mulai meng
Air matanya terus saja mengalir, seakan tidak mau berhenti. Stella terus memegangi dadanya. Ia merasakan sesak yang teramat dalam. Seakan ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya dari dalam. Bahkan supir pribadi Alex yang melihat itu merasa khawatir. Setelah Stella sudah merasa tenang, barulah wanita itu turun dari mobil. Dia bisa saja langsung pulang ke apartemen, hanya saja berada di apartemen dalam keadaan seperti ini seorang diri, bukanlah pilihan yang tepat. Ketika Stella baru saja keluar dari lift, salah satu rekan kerjanya memberinya beberapa berkas yang harus segera diantarkan kepada CEO. Stella menerimanya dalam diam. Dan saat lagi-lagi ia harus melewati meja asisten Alex, wanita itu mengernyit menatap Stella. Pandangan sang asisten jatuh pada beberapa berkas yang ada di dekapan Stella, akhirnya ia membiarkan Stella masuk begitu saja. Stella menunduk, tidak ingin menatap Alex. Pria itu menyadari sikap aneh istrinya, tentu saja ia merasa bingung. Alex mendekati