"Selamat pagi. Maaf, bisa kami lihat surat surat kelengkapan kendaraannya?" Seorang Polisi yang sedang bertugas menghentikan laju kendaraanku.
"Oh tentu," jawabku.Kuraih tas slempang yang tergeletak di samping jok kemudi."A - apa?" Alangkah terkejutnya aku begitu resleting tas terbuka. Tidak ada dompetku didalamnya, sedangkan SIM dan beberapa kartu identitas lainnya berada disana."Aaah, betapa cerobohnya aku!" Kutepuk jidat sendiri. Baru teringat bila aku mengganti tas kerja hari ini. Sial, aku lupa memindahkan dompet dari tas yang kemarin kupakai."Maaf Pak, surat suratnya semua tertinggal di rumah," jelasku pada akhirnya."Kalo begitu dengan terpaksa Ibu kami tilang. Silakan Ibu keluar dan meninggalkan mobil Ibu disini. Dan Ibu bisa mengambilnya kembali setelah sidang dan menunjukkan surat suratnya!""Pak, Pak! Apa nggak bisa dengan jalan damai saja Pak?""Maksud Ibu?" Pria berseragam itu mengernyitkan keningnya."Emm, maksud saya, saya kasih Bapak uang dan ijinkan saya melanjutkan perjalanan saya Pak!" tanyaku sedikit ragu."Maaf, saya tidak butuh uang Ibu. Dan silakan Ibu ikuti prosedur yang berlaku!" Polisi itu dengan gaya arogan tetap memintaku untuk turun.Aku terpaksa mengikuti perintahnya untuk turun dan keluar dari mobil. Huuuf.., sekarang aku harus segera memesan ojek online agar bisa secepatnya sampai ke sekolah.Segera kuraih ponsel dari dalam tas. Tapi baru saja menatap layar di ponselku, aku kembali terkejut. Astaga! Layar HP ku hanya menampilkan warna hitam. Ternyata batreinya habis dan aku lupa mengechasnya kembali."Pak, Pak! Saya mohon Pak, saya mohon bantu saya. Saya harus segera pergi ke sekolah putri saya sekarang." Aku mulai frustasi kali ini.Aku melepas jam mewah yang melingkar di tanganku. Ku jadikan satu dengan ponsel yang masih ku genggam di tangan. Menyodorkan kedua benda itu, berharap Polisi itu mau mempertimbangkannya."Tolong Pak, Bapak bisa bawa kedua barang ini sebagai jaminan. Saya akan kembali untuk menebusnya dan membawa surat suratnya setelah saya selesai menghadiri acara putri saya!"Hasilnya?Menyakitkan!Polisi arogan itu bahkan tak sedikitpun melirik ke arahku dan terus sibuk mengisi surat tilang."Nama?""Aina Fattiyah," Jawabku sedikit kesal."Oke, serahkan kunci mobil Ibu pada kami!" Polisi yang kutahu bernama Fattan dari tulisan di seragamnya itu menengadahkan tangannya.Aku menarik napas panjang sebelum dengan berat hati menyerahkan kunci ke tangannya.Seketika kembali wajah Aiswa yang memohon muncul di benakku. Dadaku kembali sesak. Usahaku kali ini untuk bisa memenuhi permintaan Aiswa rasanya pupus sudah. Sudut mataku terasa kian berair. Aku hanya bisa menunduk lesu."Di mana alamat sekolah anak Ibu?"Aku mendongak. Menatap malas Polisi yang sedari tadi mengintrogasiku itu."TK Mutiara, Jalan Pemuda Nomor 60."Kulihat Fattan kemudian membisikkan sesuatu pada rekannya. Polisi disampingnya itu hanya beberapa kali mengangguk mendengar ucapan Fattan. Sebelum akhirnya berlari meninggalkan kami.Tak lama berselang Polisi tadi kembali dengan mengendarai sebuah motor."Lapor Komandan! Perintah sudah siap dilaksanakan!" Begitu turun dari motor, Polisi itu langsung memberi hormat kepada Fattan yang tengah berdiri di depanku."Lanjutkan tugas!""Siaaap, laksanakan!"Jujur, aku sempat merasa terpana melihat mereka yang tampak sangat gagah dan berwibawa dengan seragam dinasnya. Apalagi Fattan! Ternyata dibalik garis wajahnya yang tegas, dia sangat tampan. Hidung mancung dan mata elangnya, benar benar perpaduan sempurna yang tak membosankan untuk dilihat."Berhenti memandangi saya seperti itu, atau anda saya tilang dobel nanti?""Haah?" Aku terperangah. Jadi dia sadar dari tadi ku liatin?"Kebetulan saya ada urusan dan harus kembali ke kantor. Kebetulan kita searah.""Mak - maksudnya?" Aku tergagap, masih belum sempurna mencerna kata katanya barusan. Linglung !Huuff, Polisi arogan itu tak lagi menjawab pertanyaanku. Ia hanya menyodorkan sebuah helm ke arahku."Dia mengantarku!?" teriak hatiku terkejut. Tapi sudahlah, aku tak mau lagi banyak bertanya. Membuang waktu.Segera aku berjalan menghampiri dan meraih helm dari tangannya.Kami melaju membelah kemacetan jalan. Tapi kurasa jauh lebih cepat memang bila menggunakan roda dua. Kami bisa menyalip diantara padatnya kendaraan.Aku menarik napas lega, akhirnya bisa juga sampai di sekolah Aiswa sebelum acara selesai.Dalam hati aku berucap, "Terima kasih Pak Polisi arogan!"
Aku berlari cepat ke arah aula sekolah. Napasku menjadi ngos ngosan saat tiba di depan pintu. Ruangan yang mampu menampung hingga 300 orang itu terlihat penuh.
Aku masih saja berdiri mematung di ambang pintu. Rasa ragu untuk masuk ke dalam kembali menyergap pikiranku. Terlebih, sepertinya memang tak ada yang menyadari kehadiranku. Karena semua mata tengah serius menatap ke depan panggung!"Di mana Aiswa dan Ibu," gumamku mencari keberadaan keduanya.
Aku pun memutuskan untuk segera duduk. Kini, semua murid murid naik ke atas panggung menyanyikan lagu " Guruku Tersayang" sebagai lagu persembahan untuk para guru. Lalu dilanjutkan penampilan murid yang maju ke depan, ada yang menyanyi, menari, dan beberapa dari mereka membaca puisi.Aku dapat melihat Aiswa beberapa kali ikut tampil bersama teman temannya. Sayang sekali HP ku mati, hingga tak bisa mengabadikan momen itu seperti wali lainnya.Aku berniat untuk segera pulang. Yang terpenting, aku sudah melihat penampilan Aiswa meski ia belum sempat melihatku."Selanjutnya adalah persembahan dari murid kami yang sangat berbakat. Aiswa! Akan membawakan tari piring dari daerah Sumatra Barat!" Pembawa acara menyebut nama putriku. Aku reflek membalik badan, urung untuk pulang. Penasaran seperti apa penampilan putriku nanti."Prok prok prok!" Tepuk tangan meriah menyambut penampilan Aiswa begitu naik ke atas panggung. Aiswa begitu cantik berbalut busana khas Minang. Senyum manis selalu ters
"Aiswa mana Bu?" Aku bertanya pada Ibu karna tak biasanya jam segini anakku itu belum siap di meja makan untuk sarapan."Mungkin masih tidur. Capek kali! Kemarin kan acara di sekolahnya lumayan lama waktunya." Ibu menjawab pertanyaanku tanpa melihat ke arahku. Tangannya terus sibuk menyiapkan piring dan makanan di meja."Selamat pagi Ma, pagi Nek !""Eeh, cucu nenek sudah bangun. Ayo sayang sarapan! Nenek masak kesukaan Aiswa, opor ayam spesial!" Ibu nampak sumringah menyambut kemunculan cucunya.Aiswa hanya tersenyum mengangguk, lalu menarik sebuah kursi untuk ia duduk disebelah Ibu.Detik selanjutnya, tak sepatah katapun terlontar dari mulut kami. Aku memang jarang sekali ikut sarapan dirumah. Tapi biasanya Aiswa selalu berceloteh riang bila sudah bersama neneknya. Namun kali ini, entah kenapa bocah itu jadi sangat pendiam."Mungkinkah Aiswa marah karna mengira aku tak hadir di sekolah kemarin?" Batinku bertanya menelisik."Ehm ehm!" Aku berdehem sebelum memulai berbicara."Bu, nan
Ku tekan tombol lantai 10 ketika aku memasuki lift. Aku akan ke ruangan Pak Jatmiko atasan kami untuk menyerahkan semua laporan yang telah selesai ku kerjakan. Aku menarik napas lega, sebab seluruh laporan selesai tepat waktu. Itu artinya rencanaku mengajak Aiswa dan Ibu jalan jalan ke puncak bisa terealisasi."Tiiiit!" Pintu lift terbuka. Seorang pria berpostur tinggi dengan kaca mata hitam masuk ke dalam lift. Awalnya aku begitu cuek dengan kehadiran lelaki itu. Tapi selanjutnya, aku benar benar terper angah begitu menyadari siapa pria tersebut.Fattan lagi ?Huuh...bagaimana bisa aku bertemu pria arogan ini lagi sih?"Apa jangan jangan dia mengikutiku?" Pikiranku mulai berprasangka."Tiiiit!" Pintu lift kembali terbuka. Empat orang karyawan wanita dengan busana yang elegan dan riasan sedikit menor pun masuk. Mereka adalah Siska, Melani, Wina dan seorang karyawan baru yang belum ku kenal. Mereka terkenal aktif di grup lambe turah.Ruangan di dalam lift terasa sangat sumpek sekarang.
"Bu..Ibu yakin akan menjual rumah ini ?" Tanyaku yang masih belum yakin akan keputusan Ibu kala itu."Kita akan memulai hidup baru Aina. Ruang baru untuk kamu bangkit dari keterpurukan." Ibu menatapku serius.Tanganku reflek terhenti memasukkan barang barang kedalam kardus. Saat itu aku dan Ibu sedang sibuk mempacking perabotan yang akan kita bawa pindah ke rumah baru.Memang tak terelakkan sejak kehamilanku hingga Aiswa lahir, aku hampir tak pernah keluar rumah. Mengurung diri di kamar. Demi tidak mendengar cuitan orang orang diluar sana. Hilang sudah pribadi seorang Aina yang dulu selalu ceria dan energik."Lanjutkan sekolahmu Aina !"Ibu meyakinkanku."Tapi Bu..." "Biar Ibu yang mengurus Aiswa. Ibu juga sudah mendaftarkanmu disekolah yang baru. Tata lagi masa depanmu !" Ibu memotong ucapanku. Ibu seperti mengerti keraguanku. Perlahan berjalan ke arahku, memelukku dan berbisik kemudia, "Jangan biarkan dirimu terlarut kesedihan masa lalu Aina!"Aku hanya mengangguk. Tak mampu berka
POV. AuthorNita tak pernah menyangka jika setelah hampir 6 tahun tak ada kabar sama sekali akhirnya bertemu dengan Aina secara kebetulan.Terakhir kali Nita dan Dion pergi ke rumah Aina, rumah itu telah kosong. Kata tetangga disitu, Aina dan Ibunya sudah 2 bulan pindah. Hanya memang tak ada yang tahu persis mereka pindah kemana.Sedangkan sebelum sebelumnya Nita tak pernah bertemu dengan Aina tiap kali berkunjung ke rumahnya. Ia hanya ditemani Ibunya mengobrol di sofa ruang tamu."Maafkan Aina ya nak Nita, Aina memang sedang tidak ingin bertemu siapapun!" "Iya Bu. Nita ngerti kok. Nita turut prihatin dengan keadaan Aina sekarang." Nita mengusap lembut bahu ibu dari sahabatnya tersebut."Aina benar benar terpukul dengan apa yang menimpanya. Saat ini Ibu hanya bisa lebih menjaganya." Mata Bu Marni nampak berkaca kaca mengingat keadaan putrinya."Ibu yang sabar, ya!"Bu Marni semakin terisak saat meceritakan bagaimana depresi Aina yang membuatnya selalu mengurung diri di rumah. Bahkan
Berkali kali kulirik jam dipergelangan tanganku. Huuh, waktu terasa begitu lambat"Bu Aina, apa ada saran yang ingin disampaikan sebelum rapat ini di akhiri?" Teguran Pak Daniel selaku pemimpin rapat sedikit mengejutkanku. Untung aku masih bisa mendengarnya dengan baik, meski pikiranku sedikit kurang konsen."Eh,tidak! Tidak ada, Pak!" Aku mendongak menatap sang moderator dengan ekspresi yakin. Tentu saja untuk menutupi keterkejutanku saat namaku tiba tiba disebut. Lalu selanjutnya sedikit ku edarkan pandangan pada para peserta rapat lainnya.Seeeeett! Sekilas mataku bersitatap dengan seseorang yang sepertinya melihatku dengan begitu serius. "Dion!" pekikku dalam hati.Ia nampak sedikit gelagapan begitu menyadari tatapan kami bertemu. Sebelum detik selanjutnya aku lebih memilih membuang pandanganku ke arah lain. Tapi aku merasa seperti ada yang janggal. "Oh ya, Nita. Dimana Nita? Bukankah harusnya hari ini dia masih mengikuti rapat bersama Dion mewakili perusahaannya ?""Ah sudahl
Aku memarkirkan mobilku di pelataran plaza. Rencananya aku akan membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan besok. Ini week end pertamaku dengan keluarga kecilku. Rasanya aku sungguh tak sabar menunggu momen itu hingga berpuluh jam lagi.Ku dorong trolly dan memasukkan barang barang yang telah aku buat list sebelumnya. Setelah semuanya lengkap, segera aku berjalan ke meja kasir untuk menyelesaikan transaksi pembayaran.Wajah Aiswa yang nampak begitu bahagia saat mendengar ajakanku berlibur kemarin, demikian terbayang di pelupuk mata. Membuat bibirku tanpa sadar menerbitkan sebuah senyum."Eh mbak, yang di belakang dah pada antri tuh. Buruan!" Seorang ibu yang sedang mengantri di kasir sebelah menyenggol lenganku."Diiih, malah senyum senyum sendiri!" Terdengar yang lain ikut menimpali.Aku tersentak kaget. Antara keki juga malu, ku tengok orang orang di belakangku. Ternyata benar, antrian begitu panjang mengular, dan sudah tiba giliranku untuk membayar. Pantas saja mereka sewot."Oh, m
"Aiswa mau nambah lagi makannya, sayang?" tanyaku pada Aiswa saat kulihat ia menyuapkan nasi terakhir di piringnya."Makasih, Ma! Aiswa sudah kenyang," jawabnya setelah selesai mengunyah makanannya.Sebuah restoran cepat saji menjadi pilihan kami untuk makan siang sekaligus beristirahat sejenak sepanjang perjalanan ke puncak saat itu."Okey, berarti lepas ini kita bisa langsung melanjutkan perjalanan ke villa," kataku sembari bangkit dari kursiku."Aiswa tunggu disini dulu sama nenek ya, mama mau ke kasir bayar makanan kita. Antriannya lumayan panjang. Jadi harus sabar nunggunya ya !""Oke, Ma!" Aiswa memberi kode dengan jempol dan ibu jarinya yang membentuk sebuah bulatan. Aku segera berjalan menuju antrean kasir. Kuedarkan pandangan ke sekeliling restoran sambil menunggu antrian. Para pegawai mulai dari kasir hingga pelayan terlihat sangat sibuk melayani pengunjung yang membludak di restoran kali ini.Libur panjang kali ini terasa berbeda dengan masa liburan sebelum sebelumnya yang