Aku pun memutuskan untuk segera duduk. Kini, semua murid murid naik ke atas panggung menyanyikan lagu " Guruku Tersayang" sebagai lagu persembahan untuk para guru. Lalu dilanjutkan penampilan murid yang maju ke depan, ada yang menyanyi, menari, dan beberapa dari mereka membaca puisi.
Aku dapat melihat Aiswa beberapa kali ikut tampil bersama teman temannya. Sayang sekali HP ku mati, hingga tak bisa mengabadikan momen itu seperti wali lainnya.
Aku berniat untuk segera pulang. Yang terpenting, aku sudah melihat penampilan Aiswa meski ia belum sempat melihatku."Selanjutnya adalah persembahan dari murid kami yang sangat berbakat. Aiswa! Akan membawakan tari piring dari daerah Sumatra Barat!" Pembawa acara menyebut nama putriku.Aku reflek membalik badan, urung untuk pulang. Penasaran seperti apa penampilan putriku nanti."Prok prok prok!" Tepuk tangan meriah menyambut penampilan Aiswa begitu naik ke atas panggung. Aiswa begitu cantik berbalut busana khas Minang. Senyum manis selalu tersungging di bibirnya. Sedang gerakannya begitu lincah seiring musik yang mengiringi tariannya. Mataku terpaku menatapnya.Ooh..., begitu bodohnya sebagai orang tua. Aku yang sama sekali tak pernah tahu betapa luar biasa bakat gadis kecilku.Semua mata penonton hampir tak berkedip. Mereka semua begitu terpesona melihat penampilan putriku. Aiswa layaknya bintang di atas panggung yang begitu memukau.Terdengar musik mulai berhenti seiring dengan berakhirnya gerakan Aiswa menari. Aiswa menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sembari membungkukkan sedikit badannya. Tanda bahwa ia telah selesai dengan penampilannya, sekaligus sebagai simbol penghormatan kepada para penonton.Setelah Aiswa kembali menegakkan badan, terlihat ia maju beberapa langkah ke depan dan berhenti tepat di muka mikrofon. Namun tak sepatah katapun terucap dari bibirnya, hanya sepasang mata beningnya nampak bergerak menyisir setiap sudut ruangan. Seperti ia sedang mencari sesuatu.Semua penonton menjadi terheran menatap Aiswa yang hanya diam terpaku di atas panggung. Begitupun diriku yang masih melihatnya dari kejauhan, di ambang pintu aula.Haaap! Aku seketika berlari sembunyi di balik dinding aula tatkala pandangannya hampir tertuju ke arahku."Ya Tuhan, benarkah dia tengah mencariku?" lirih batinku."Mama!" sebuah suara menggema. Suara itu? Suara Aiswa!Aku terkesiap! "Apakah Aiswa telah melihatku?" batinku bertanya tanya.Suasana kembali hening! Membuatku kian penasaran. Sedang apa Aiswa kini?Kembali kucoba memberanikan diri ini mengintip ke dalam ruangan aula dari celah pintu. Mencari jawaban dari penasaranku.Hatiku berdesir! Disana nampak Aiswa masih berdiri terpaku dengan mata yang mulai berkaca kaca."Mama!" kembali suaranya memecah kesunyian. "Ais tidak tahu apakah kali ini Mama melihatku atau tidak. Ais hanya ingin mengatakan sesuatu untuk Mama."Aiswa menghela napas berat. Sepertinya apa yang akan dikatakannya adalah sesuatu yang sangat sulit."Mama, Ais minta maaf! Karna mungkin selama ini Ais udah bikin Mama susah. Ais tahu, hidup Mama begitu letih karena Ais. Demi Ais, Mama harus..." Ucapan putriku kembali terjeda, dengan tatapannya yang terus memandang lurus kedepan.Aiswa mengusap wajahnya dengan punggung tangannya. Menyeka cairan bening yang sedari tadi ia tahan, dan mulai jatuh membulir di pipinya kini."Demi Ais, Mama seringkali harus kerja dari pagi hingga larut malam setiap hari. Hampir tak ada waktu untuk kita bisa bersama. Tapi Mama, hik - hik - hik!" Isakan tangis mulai terdengar disela kalimat yang meluncur dari bibir mungilnya.Semua diam! Semua bungkam! Hanya tatapan iba dari ratusan pasang mata kini tertuju satu arah di atas panggung. Demi mendengar sedihnya curahan hati seorang gadis kecil di depan mereka."Mama, Tuhan telah meletakkan surga dibawah telapak kakimu. Ijinkan Ais..., ijinkan Ais meraihnya Ma! Ais ingin bisa berbakti pada Mama.""Mama, ridhoi hidup Ais. Hik hik hik,"Aiswa kian terisak, membuat semua yang hadir tak kuasa menahan haru. Gadis kecil itu telah menyentuh jiwa sentimentil semua orang.Semua tubuh kini mematung. Semua wajah kini berusaha membendung jatuhnya cairan yang seakan siap luruh begitu saja dari setiap mata."Te - terimakasih Mama. Aiswa sayang Mama!" lirih Aiswa."Aiswaaaaaa!" Seorang wanita paruh baya tiba tiba berjalan cepat dan langsung naik ke atas panggung. Tubuhnya kemudian menghambur memeluk cucu kesayangannya dengan berurai air mata. Di hujaninya pipi lembut bocah itu dengan ciuman yang bertubi tubi. Serasa ingin menumpahkan segala rasa sayang yang ia miliki untuk Aiswa.Aku merasa seperti tertampar ribuan kali kala melihatnya. Sakiiit! Hatiku teramat sakit karna menyadari kebodohanku selama ini. Putriku Aiswa, ternyata dia begitu menyayangiku. Tak sedikitpun mendendam padaku meski perlakuanku yang seolah menganggapnya tak pernah ada. Hatiku teriris perih. Netraku pun mulai membasah karenanya.Seorang Guru wanita melangkah menghampiri Aiswa dan Ibu yang kini saling berpeluk. Guru itupun turut merangkul keduanya dengan linangan air mata di pipinya.Semua seperti terhipnotis melihat pemandangan tersebut. Mereka pun reflek saling menggenggam tangan dan memeluk anggota keluarga masing masing. Isak tangis tak terbendung lagi dari tiap mata yang hadir.Kututup rapat mulutku dengan jemari tangan menahan isakku. Tak terelakkan sudah, air mata pun menganak sungai membanjiri wajahku.Ingin rasanya aku berlari kesana, menghambur memeluk gadis kecilku. Namun, tubuhku terasa kaku tanpa daya untuk bergerak.Rasa sesak begitu memenuhi rongga dadaku meski tlah berulangkali ku hela napas panjang untuk mengisi ruang paru paruku. Membuat tenggorokanku kian tercekat. Padahal ingin sekali aku berteriak memanggilnya, "Aiswa, Mama disini Nak!""Aiswa mana Bu?" Aku bertanya pada Ibu karna tak biasanya jam segini anakku itu belum siap di meja makan untuk sarapan."Mungkin masih tidur. Capek kali! Kemarin kan acara di sekolahnya lumayan lama waktunya." Ibu menjawab pertanyaanku tanpa melihat ke arahku. Tangannya terus sibuk menyiapkan piring dan makanan di meja."Selamat pagi Ma, pagi Nek !""Eeh, cucu nenek sudah bangun. Ayo sayang sarapan! Nenek masak kesukaan Aiswa, opor ayam spesial!" Ibu nampak sumringah menyambut kemunculan cucunya.Aiswa hanya tersenyum mengangguk, lalu menarik sebuah kursi untuk ia duduk disebelah Ibu.Detik selanjutnya, tak sepatah katapun terlontar dari mulut kami. Aku memang jarang sekali ikut sarapan dirumah. Tapi biasanya Aiswa selalu berceloteh riang bila sudah bersama neneknya. Namun kali ini, entah kenapa bocah itu jadi sangat pendiam."Mungkinkah Aiswa marah karna mengira aku tak hadir di sekolah kemarin?" Batinku bertanya menelisik."Ehm ehm!" Aku berdehem sebelum memulai berbicara."Bu, nan
Ku tekan tombol lantai 10 ketika aku memasuki lift. Aku akan ke ruangan Pak Jatmiko atasan kami untuk menyerahkan semua laporan yang telah selesai ku kerjakan. Aku menarik napas lega, sebab seluruh laporan selesai tepat waktu. Itu artinya rencanaku mengajak Aiswa dan Ibu jalan jalan ke puncak bisa terealisasi."Tiiiit!" Pintu lift terbuka. Seorang pria berpostur tinggi dengan kaca mata hitam masuk ke dalam lift. Awalnya aku begitu cuek dengan kehadiran lelaki itu. Tapi selanjutnya, aku benar benar terper angah begitu menyadari siapa pria tersebut.Fattan lagi ?Huuh...bagaimana bisa aku bertemu pria arogan ini lagi sih?"Apa jangan jangan dia mengikutiku?" Pikiranku mulai berprasangka."Tiiiit!" Pintu lift kembali terbuka. Empat orang karyawan wanita dengan busana yang elegan dan riasan sedikit menor pun masuk. Mereka adalah Siska, Melani, Wina dan seorang karyawan baru yang belum ku kenal. Mereka terkenal aktif di grup lambe turah.Ruangan di dalam lift terasa sangat sumpek sekarang.
"Bu..Ibu yakin akan menjual rumah ini ?" Tanyaku yang masih belum yakin akan keputusan Ibu kala itu."Kita akan memulai hidup baru Aina. Ruang baru untuk kamu bangkit dari keterpurukan." Ibu menatapku serius.Tanganku reflek terhenti memasukkan barang barang kedalam kardus. Saat itu aku dan Ibu sedang sibuk mempacking perabotan yang akan kita bawa pindah ke rumah baru.Memang tak terelakkan sejak kehamilanku hingga Aiswa lahir, aku hampir tak pernah keluar rumah. Mengurung diri di kamar. Demi tidak mendengar cuitan orang orang diluar sana. Hilang sudah pribadi seorang Aina yang dulu selalu ceria dan energik."Lanjutkan sekolahmu Aina !"Ibu meyakinkanku."Tapi Bu..." "Biar Ibu yang mengurus Aiswa. Ibu juga sudah mendaftarkanmu disekolah yang baru. Tata lagi masa depanmu !" Ibu memotong ucapanku. Ibu seperti mengerti keraguanku. Perlahan berjalan ke arahku, memelukku dan berbisik kemudia, "Jangan biarkan dirimu terlarut kesedihan masa lalu Aina!"Aku hanya mengangguk. Tak mampu berka
POV. AuthorNita tak pernah menyangka jika setelah hampir 6 tahun tak ada kabar sama sekali akhirnya bertemu dengan Aina secara kebetulan.Terakhir kali Nita dan Dion pergi ke rumah Aina, rumah itu telah kosong. Kata tetangga disitu, Aina dan Ibunya sudah 2 bulan pindah. Hanya memang tak ada yang tahu persis mereka pindah kemana.Sedangkan sebelum sebelumnya Nita tak pernah bertemu dengan Aina tiap kali berkunjung ke rumahnya. Ia hanya ditemani Ibunya mengobrol di sofa ruang tamu."Maafkan Aina ya nak Nita, Aina memang sedang tidak ingin bertemu siapapun!" "Iya Bu. Nita ngerti kok. Nita turut prihatin dengan keadaan Aina sekarang." Nita mengusap lembut bahu ibu dari sahabatnya tersebut."Aina benar benar terpukul dengan apa yang menimpanya. Saat ini Ibu hanya bisa lebih menjaganya." Mata Bu Marni nampak berkaca kaca mengingat keadaan putrinya."Ibu yang sabar, ya!"Bu Marni semakin terisak saat meceritakan bagaimana depresi Aina yang membuatnya selalu mengurung diri di rumah. Bahkan
Berkali kali kulirik jam dipergelangan tanganku. Huuh, waktu terasa begitu lambat"Bu Aina, apa ada saran yang ingin disampaikan sebelum rapat ini di akhiri?" Teguran Pak Daniel selaku pemimpin rapat sedikit mengejutkanku. Untung aku masih bisa mendengarnya dengan baik, meski pikiranku sedikit kurang konsen."Eh,tidak! Tidak ada, Pak!" Aku mendongak menatap sang moderator dengan ekspresi yakin. Tentu saja untuk menutupi keterkejutanku saat namaku tiba tiba disebut. Lalu selanjutnya sedikit ku edarkan pandangan pada para peserta rapat lainnya.Seeeeett! Sekilas mataku bersitatap dengan seseorang yang sepertinya melihatku dengan begitu serius. "Dion!" pekikku dalam hati.Ia nampak sedikit gelagapan begitu menyadari tatapan kami bertemu. Sebelum detik selanjutnya aku lebih memilih membuang pandanganku ke arah lain. Tapi aku merasa seperti ada yang janggal. "Oh ya, Nita. Dimana Nita? Bukankah harusnya hari ini dia masih mengikuti rapat bersama Dion mewakili perusahaannya ?""Ah sudahl
Aku memarkirkan mobilku di pelataran plaza. Rencananya aku akan membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan besok. Ini week end pertamaku dengan keluarga kecilku. Rasanya aku sungguh tak sabar menunggu momen itu hingga berpuluh jam lagi.Ku dorong trolly dan memasukkan barang barang yang telah aku buat list sebelumnya. Setelah semuanya lengkap, segera aku berjalan ke meja kasir untuk menyelesaikan transaksi pembayaran.Wajah Aiswa yang nampak begitu bahagia saat mendengar ajakanku berlibur kemarin, demikian terbayang di pelupuk mata. Membuat bibirku tanpa sadar menerbitkan sebuah senyum."Eh mbak, yang di belakang dah pada antri tuh. Buruan!" Seorang ibu yang sedang mengantri di kasir sebelah menyenggol lenganku."Diiih, malah senyum senyum sendiri!" Terdengar yang lain ikut menimpali.Aku tersentak kaget. Antara keki juga malu, ku tengok orang orang di belakangku. Ternyata benar, antrian begitu panjang mengular, dan sudah tiba giliranku untuk membayar. Pantas saja mereka sewot."Oh, m
"Aiswa mau nambah lagi makannya, sayang?" tanyaku pada Aiswa saat kulihat ia menyuapkan nasi terakhir di piringnya."Makasih, Ma! Aiswa sudah kenyang," jawabnya setelah selesai mengunyah makanannya.Sebuah restoran cepat saji menjadi pilihan kami untuk makan siang sekaligus beristirahat sejenak sepanjang perjalanan ke puncak saat itu."Okey, berarti lepas ini kita bisa langsung melanjutkan perjalanan ke villa," kataku sembari bangkit dari kursiku."Aiswa tunggu disini dulu sama nenek ya, mama mau ke kasir bayar makanan kita. Antriannya lumayan panjang. Jadi harus sabar nunggunya ya !""Oke, Ma!" Aiswa memberi kode dengan jempol dan ibu jarinya yang membentuk sebuah bulatan. Aku segera berjalan menuju antrean kasir. Kuedarkan pandangan ke sekeliling restoran sambil menunggu antrian. Para pegawai mulai dari kasir hingga pelayan terlihat sangat sibuk melayani pengunjung yang membludak di restoran kali ini.Libur panjang kali ini terasa berbeda dengan masa liburan sebelum sebelumnya yang
"Kenapa Mi, dari tadi Papi perhatiin Mami lebih banyak diam. Mami juga keliatan gelisah gitu, ada masalah ?""Ehm... Ga ada Pap!""Atau Mami kurang puas dengan acara liburan kita kali ini? Maafin Papi ya Mi, Papi sengaja ajak Mami liburan ke daerah Puncak agar kita bisa sekalian meninjau pembangunan hotel dan juga resort kita yang baru." Pak Wijaya meraih tangan halus istrinya yang masih saja terlihat murung semenjak perjalanan pulang. Padahal di restoran tempat terakhir mereka singgah, istrinya masih nampak riang dan bersemangat menceritakan banyak hal.Namun tak sepatah kata pun yang terucap dari bibir wanita yang duduk disamping pria paruh baya tersebut. Dialah Ani Wijaya, istri dari seorang pebisnis sukses, Hadi Wijaya. Pengusaha bidang properti di Jakarta. Dan kini tengah melebarkan sayap perusahaannya ke lain daerah, termasuk kawasan puncak Bogor salah satunya."Atau Mami akan terus diam dan biarkan Papi menerka nerka kegelisahan hati Mami?" Hadi Wijaya kian menatap lekat istrin