"Aiswa mau nambah lagi makannya, sayang?" tanyaku pada Aiswa saat kulihat ia menyuapkan nasi terakhir di piringnya."Makasih, Ma! Aiswa sudah kenyang," jawabnya setelah selesai mengunyah makanannya.Sebuah restoran cepat saji menjadi pilihan kami untuk makan siang sekaligus beristirahat sejenak sepanjang perjalanan ke puncak saat itu."Okey, berarti lepas ini kita bisa langsung melanjutkan perjalanan ke villa," kataku sembari bangkit dari kursiku."Aiswa tunggu disini dulu sama nenek ya, mama mau ke kasir bayar makanan kita. Antriannya lumayan panjang. Jadi harus sabar nunggunya ya !""Oke, Ma!" Aiswa memberi kode dengan jempol dan ibu jarinya yang membentuk sebuah bulatan. Aku segera berjalan menuju antrean kasir. Kuedarkan pandangan ke sekeliling restoran sambil menunggu antrian. Para pegawai mulai dari kasir hingga pelayan terlihat sangat sibuk melayani pengunjung yang membludak di restoran kali ini.Libur panjang kali ini terasa berbeda dengan masa liburan sebelum sebelumnya yang
"Kenapa Mi, dari tadi Papi perhatiin Mami lebih banyak diam. Mami juga keliatan gelisah gitu, ada masalah ?""Ehm... Ga ada Pap!""Atau Mami kurang puas dengan acara liburan kita kali ini? Maafin Papi ya Mi, Papi sengaja ajak Mami liburan ke daerah Puncak agar kita bisa sekalian meninjau pembangunan hotel dan juga resort kita yang baru." Pak Wijaya meraih tangan halus istrinya yang masih saja terlihat murung semenjak perjalanan pulang. Padahal di restoran tempat terakhir mereka singgah, istrinya masih nampak riang dan bersemangat menceritakan banyak hal.Namun tak sepatah kata pun yang terucap dari bibir wanita yang duduk disamping pria paruh baya tersebut. Dialah Ani Wijaya, istri dari seorang pebisnis sukses, Hadi Wijaya. Pengusaha bidang properti di Jakarta. Dan kini tengah melebarkan sayap perusahaannya ke lain daerah, termasuk kawasan puncak Bogor salah satunya."Atau Mami akan terus diam dan biarkan Papi menerka nerka kegelisahan hati Mami?" Hadi Wijaya kian menatap lekat istrin
Aku lagi mikirin gimana caranya nolongin kucing kecil itu, Om!" jelas Aiswa. Matanya kembali terfokus pada pohon tempat hewan itu tersangkut."Hmmm....!" gumam Fattan. Kedua matanya mengikuti arah pandangan gadis kecil itu. Ia pun tersenyum, lalu berjalan ke arah pohon. Dengan gerakan yang gesit Fattan memanjat pohon, lalu meraih tubuh kucing malang tersebut. Haap...! Fattan melompat dari atas pohon. Tangan kirinya mendekap kucing kecil itu ke dadanya."Yeaaay....!" sorak Aiswa gembira. Anak kucing terselamatkan.Fattan yang sedang berjalan sambil mendekap anak kucing di lengannya hanya tersenyum melihat tingkah riang Aiswa."Anak manis, ini kucingmu?" Fattan berjongkok di depan Aiswa."Itu bukan kucing Aiswa, Om," jelas Aiswa polos."Oh ya?" Fattan kembali mengernyit, seperti sedang berpikir. Lalu ia pun tersenyum dan berkata, "Emm... kucing kecil ini sepertinya terpisah dari induknya hingga tersesat. Apa kamu mau merawatnya?""Emm..." gumam Aiswa dengan tatapan ragu.Diamatinya
"Aina, kamu ikut saya nanti setelah jam makan siang ke kantor 'Wijaya Corp.' Jangan lupa bawa semua berkas yang saya minta kemarin!" perintah Pak Daniel menghampiri meja kerjaku."Oh, siap Pak!" jawabku singkat disertai anggukan."Ehm... Atau bagaimana kalau sekalian saja kita keluar makan siang bersama nanti. Dan kita bisa langsung pergi bersama setelahnya?"Aku mendongak. Kupikir pria itu sudah pergi, ternyata masih terpaku berdiri di depanku. Bahkan menawariku untuk makan siang."Emm... Maaf tapi...""Ayolah Aina. Sudah sekian kali kamu menolakku. Toh hanya makan siang saja, apalagi hari ini hari spesial buatku," Pak Daniel memasang wajah melas dengan tatapan menghiba.Aku menarik napas panjang. Sebenarnya sama sekali tak berminat menuruti ajakannya, dan bahkan pria manapun juga. Tapi melihat caranya memohon kali ini membuatku merasa tak enak hati. Apalagi dia bilang ini adalah hari spesial untuknya. Akhirnya aku mengangguk mengiyakan ajakannya, "Baiklah!""Iyeeess...!" Pal Daniel
"Aiswa, kenapa makanannya tak dihabiskan?" tegurku saat melihat piring Aiswa yang masih banyak tersisa makanan. "Udah kenyang, Ma," jawabnya singkat."Hmm... Kamu sakit?" tanyaku lagi"Ga kok, Ma." Aiswa menggelengkan kepalanya kali ini. Selanjutnya ia berucap ragu, "Ma, bolehkah sisa makan Aiswa untuk Tan Tan?""Tan Tan?" ulangku. Terjawab sudah alasan putriku tak melahap habis makan siangnya, rupanya sengaja menyisihkan untuk kucing kesayangannya. "Emang biskuit Tan Tan udah habis?""I - iya, Ma. Maaf Aiswa lupa bilang kemarin kalau makanan Tan Tan tinggal sedikit."Aku hanya tersenyum mendengar pengakuan polosnya. Menyadari begitu bijaknya sifat putriku yang rela membagi jatah makanannya hanya untuk seekor kucing kecil."Jika alasannya karna Tan Tan, sebaiknya lebih baik cepat kamu habiskan makananmu. Biar setelah ini, Ibu belikan biskuit buat Tan Tan. Oke?""Oke, Ma. Makasih ya, Ma!" ujar Aiswa lagi dengan mata berbinar, dan langsung menyuapkan makanan kembali ke mulutnya.Akhi
Aiswa sedang asik bermain dengan kucing kecilnya saat aku tiba di rumah. Ia memainkan seutas tali berwarna merah yang diikatnya di ujung sebuah lidi, lalu menggerak gerakkannya di depan hewan itu. Alhasil, si kucing pun berlari dan melompat lompat kian kemari mengikuti arah tali tersebut. Gerakannya yang agresif dan lincah membuat putriku kegirangan melihatnya.Aku hanya ikut tersenyum menyaksikan tingkah keduanya yang sama sama polos dan menggemaskan."Aiswa, kasih Tan Tan makan dulu, Nak! Capek dia lompat lompatan terus," tegurku pada Aiswa."Eh, Mama!" ujarnya begitu menyadari kehadiranku. Yang langsung menghentikan permainannya, dan membopong kucing imut itu kembali ke kandangnya untuk makan."Nenek sudah bangun, Aiswa?""Sudah, Aina!" Ibu tiba tiba muncul dari dalam rumah menyahut ucapanku. Reflek membuat aku dan Aiswa pun menoleh ke arahnya. "Ibu kok keluar kamar, Ibu sudah baikan?""Alhamdulillah, sudah. Ibu juga bosan di kamar terus jadi Ibu keluar." tuturnya.Aku tersenyum l
"Nek, lihat deh Nek! Gaun yang itu kayaknya pas banget buat Mama, bagus lagi, Nek," pekik Aiswa antusias saat matanya tertuju pada sebuah gaun yang terpajang di etalase sebuah butik.Bu Marni yang mendengar seruan cucunya pun merespon dan mengikuti arah pandangan Aiswa. "Iya, bagus banget!"Siang itu selepas menjemput Aiswa pulang sekolah, Bu Marni memang mengajak Aiswa membeli beberapa bahan kue, serta sekaligus mencari sebuah kado untuk Aina. Sebab hari itu adalah hari ulang tahun Aina."Ayo Nek kita masuk ke sana, kita lihat yuk, Nek!" Aiswa kembali berseru sembari menarik narik tangan sang nenek."Eeh, iya Aiswa! Iya.. Tapi pelan pelan jalannya!" Bu Marni tampak kepayahan mengimbangi langkah Aiswa yang berjalan begitu cepat.Sampai di dalam butik, Aiswa segera menghambur menuju gaun tersebut. Sorot matanya nampak berbinar mengagumi keindahan gaun di depannya. Sebuah gaun panjang warna silver dengan belahan di bagian bawahnya. Hiasan manik mutiara yang cantik di bagian dada, menjad
"Bu Aina, maaf di depan ada kiriman paket. Apa mau diterima?" Roni seorang office boy di kantorku tiba tiba menghampiriku. "Paket?" ulangku. Ku hentikan aktifitasku di depan komputer, keningku mengernyit mengingat ingat sesuatu, sebab rasanya aku tidak memesan barang apapun dalam waktu dekat ini.Tapi untuk menjawab rasa penasaranku, aku pun terpaksa keluar ruangan menemui kurir tersebut."Benar dengan Bu Aina?" tanya si kurir padaku begitu aku tiba."Ya," jawabku singkat."Mohon diterima Ibu, ini kiriman bunganya!" Kurir itu pun menyodorkan sebuah bucket mawar putih padaku.Tak ada nama pengirim yang tertera. Hanya sederet tulisan tangan yang cukup rapi di secarik kertas. 'Selamat ulang tahun Aina, semoga kamu selalu bahagia', begitulah bunyi tulisan tersebut.Meski masih ragu ditengah kebingunganku tentang siapa sebenarnya pengirim bucket tersebut, tapi akhirnya aku menerimanya juga. Setelah membubuhkan tanda tangan sebagai penerima paket, aku pun gegas kembali ke ruang kerjaku. "
Sekilas kulirik lelaki di sampingku. Dalam hati berkata, "Kenapa Fattan gak bilang kalau Mamanya dan Aiswa sudah saling mengenal?"Tapi di saat yang sama, ekor mataku menangkap Fattan yang tengah terbengong menatap dua orang yang masih saling berpelukan di depan kami. Mulut lelaki itu sedikit menganga, kedua matanya pun melebar. Dari ekspresinya, sepertinya ia juga sama terkejutnya denganku.Tunggu!Kalau begitu, itu berarti Fattan juga tidak tahu kalau keduanya memang telah saling kenal sebelumnya?"Fattan, Aina, Ayo masuk! Malah bengong kalian berdua!" titah Mama Fattan yang sedikit mengejutkan kami. "Fattan, kamu kenapa sih melongo begitu. Jelek, tahu?""Haa...?" secara hampir bersamaan aku dan Fattan menjawab. "Ma, Mama kok ga bilang kalau udah kenal sama Aiswa?" sembur Fattan langsung begitu memasuki rumah. Pertanyaan yang juga mewakili rasa penasaranku."Lah, Mama sendiri juga ga tahu kalau ternyata Aiswa ini adalah anak dari Aina," Mama Fattan melihat ke arahku.Aku tertunduk.
"Loyo banget keliatannya kamu, Na!" Wina mendekatiku, menoel lenganku. Lalu dengan suara berbisik dia kembali berkata, "Begadang ya? Mikirin ayang Polisi ya?" Pletaakk!Aku menjitak jidatnya. "Duuh...! Semena mena banget sih, Na!" katanya cemberut sambil mengusap usap jidatnya. Bibirnya mengerucut. Hingga gemas aku rasanya, ingin mengikatnya dengan karet.Aku terkekeh. "Salah sendiri jahil. Punya temen satu, mulutnya suka suka rada blong remnya," ujarku."Nah, situ ngelamun aja kerjaannya. Ntar kesambet setan jomblo, baru tahu rasa loh. Minta dikawin dia! Ha ha...""Yeee... Pantesnya tuh ya, tuh Setan ama kamu. Klop sama sama jahil, sama sama jomblo juga!""Enak aja ngatain jomblo! Gue punya Pak Daniel, tahu?" dan Wina langsung membekap mulutnya kemudian. "Alamak, keceplosan!lMataku membola, menatap Wina serius. Tapi tatapanku itu hanya dibalas nyengir kuda tak jelas olehnya."Oh, akhirnya, bebas sudah satu pria gak akan mengejarku lagi!" aku menarik napas panjang dan menghembuskan
"Kamu sudah siap?" Fattan bertanya ke sekian kalinya dengan pertanyaan yang sama, sejak dari ia menjemputku di rumah, hingga perjalanan menuju rumahnya.Dan aku sendiri hanya mengangguk tiap kali ia bertanya demikian.Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin dengan kesiapanku. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan wanita yang paling penting di hidup Fattan selama ini. Mamanya. Jujur saja, aku sangat nervous. Berkali kali kumenghela napas panjang untuk mengurangi kegugupan. Tapi sepertinya sama sekali tak berhasil.Ciiittt...!Rem mobil berdecit pelan saat mobil memasuki sebuah garasi yang sangat luas. "Keluar!" titah Fattan disertai senyum manisnya. Ia juga mencubit gemas pipiku. "Tenang saja, Ibuku adalah wanita teranggun di dunia. Dia bukan singa yang akan menerkammu. Ha ha..."Fattan terkekeh memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Aku segera keluar dari mobil setelah pintu mobil terbuka secara otomatis. Pemandangan yang tak biasa kini tersuguh di depan mataku. Bagaimana ti
"Gimana, bagus kan, Ma? Surprize dari kita?" Aiswa bertanya masih dengan senyum lebar di bibirnya. Alih alih menjawab pertanyaannya, diriku yang masih mematung karna shock, hanya mampu melongo tanpa seucap kata pun."Bagaimana Aiswa bisa berada di sini sekarang? Bahkan mungkin tiba lebih dulu dariku! Bukankah tadi kata Ibu, Aiswa sudah tidur lebih awal? Dan undangan makan malam itu, palsu?Seribu pertanyaan itu kini saling berjejal di pikiranku.Kupandang Fattan juga Aiswa bergantian. Rona ceria di wajah mereka mungkin sangat kontras dengan wajahku yang pucat pasi saat ini.Fattan melepaskan gandengan tangannya dari Aiswa. Ia kemudian berjalan menuju sebuah meja. Menuang segelas air putih dari sebuah dispenser. Lalu kembali berbalik kepada kami. "Minumlah!" titahnya, menyodorkan gelas kepadaku. Sepertinya ia mulai paham tentangku yang belum juga pulih dari keterkejutan.Tanpa menjawab lagi aku pun meraih gelas tersebut, dan menenggak isinya hingga tandas. Perlahan napasku yang tadinya
"Na, mau makan siang bareng?" tanya Winda yang kini telah berdiri di samping mejaku."Aduh, kayaknya ga deh Win! Kerjaan aku masih numpuk banget soalnya," tolakku halus seraya menggelengkan kepala. "Tapi nitip aja kali, ya?""Emm... gimana ya?" Winda menyipitkan mata sambil mengerucutkan bibirnya. Pura pura berpikir. Menggodaku!Spontan saja kucubit pinggangnya. Membuatnya memekik geli, "Auu..., iya - iya, aku beliin! Ha ha ha...""Ehm... ehm...!" Mendengar suara deheman, aku dan Winda refleks menghentikan candaan kami. Hampir bersamaan kami menoleh. Sesosok pria dengan langkahnya yang tegap berjalan menghampiri kami."Eh, Pak Daniel!" sapa Winda pertama kali. Sementara aku hanya tersenyum dan menganggkukkan kepala melihat kehadirannya. "Kayaknya ada yang bakal diajak makan siang bareng, nih!" celetuk Winda melirik lirik ke arahku. Hmm, lagi bersiap siap usil dia rupanya!Aku melotot, dengan maksud supaya Winda berhenti berceloteh dan menggodaku. Karna memang dirinya sudah hapal di
"Bengong! Gimana, diterima tidak?" dia kembali bertanya."Aaah...?" aku makin tergagap. Ya ampun! Orang ini benar benar ga ada basa basinya menanyakan hal seperti ini, ya? To the point saja maunya. Melamarku dengan cara seperti ini. Sungguh nggak ada romantis romantisnya sama sekali!Eiiits...! Apa? Romantis? Lah, malah pikiranku kemana mana ini jadinya! Aku menepuk jidat frustasi."Aina!" kudengar Ibu memanggil. Kemudian setelahnya, ia sudah berdiri di ambang pintu. Raut mukanya kulihat seketika berubah canggung saat menatap ke dalam ruangan. Ah, iya! Jarak aku dan Fattan berdiri rupanya begitu dekat. "Maaf, mengganggu!" ucap Ibu sedikit kikuk."Nggak kok, Bu! Ada apa?" tanyaku. Dan di saat yang bersamaan, Fattan pun memutar badan ke arah Ibu berdiri. Ia lalu tersenyum dan menyapa, "Oh, Ibu?""Emm... Aina, ada tamu untukmu!" Ibu berkata mengungkapkan maksudnya menghampiri kami. Ekspresinya nampak ragu ketika mengatakannya."Tamu?" ulangku, sedikit mengernyit. Perasaan tidak ada tema
"A - apa?" tanyaku terbata, yang hanya dijawab dengan senyum mencibir di wajahnya."Kenapa? Kamu cemburu?" semprotnya langsung kala melihat ekspresiku seperti orang bingung."Diih...! Siapa juga yang cemburu? Ngapain juga?" tepisku buru buru, yang sekali lagi malah membuat tawanya kembali pecah."Apanya yang lucu sih?" sewotku. Aku mendelik melihatnya, menangkap sinyal sinyal keusilannya akan mulai beraksi."Hahaha... Ya kamu itu yang lucu. Udah jelas jelas cemburu gitu!" masih di sela tawanya, ia menjawab dengan pedenya. Lalu dengan cueknya kembali menstater mesin mobil dan melajukannya.Aku sendiri, masih dengan perasaanku yang tidak menentu selanjutnya hanya diam seribu bahasa. Rasanya lidahku kehilangan kata kata begitu saja. Toh, melanjutkan pembahasan hanya akan menjadikanku bulan bulanan olehnya. Sudah sering dia menggodaku seperti ini dan dirinya lalu tertawa puas saat aku sudah mulai dongkol.Kutekuk mukaku, kode bahwa aku tak ingin berbicara apapun lagi dengannya.Tapi bukan
Dengan langkah gontai aku kembali kepada Aiswa. Nampak ada yang berbeda kali ini darinya. Wajah pucatnya kini telah sedikit merona. Binar matanya juga telah kembali cerah seperti sedia kala. Seolah kehadiran Fattan benar benar menjadi obat yang sangat mujarab baginya.Mendapati kenyataan ini, hatiku lagi lagi dilanda dilema. Satu sisi aku merasa senang sebab kehadiran Fattan benar benar memberi pencerahan dalam kehidupan kami, terutama putriku. Sisi lainnya mau tak mau kami juga harus tahu diri untuk menjaga jarak dengan lelaki yang sebentar lagi menjadi pasangan orang lain itu."Ma..." lirih suara Aiswa memanggilku."Ya," sahutku."Mama suka sama Om Tan Tan?"Jeddaaar...! Pertanyaan Aiswa barusan membuat jantungku tersentak. "Ap - apa maksud Aiswa? Eh, ya, eh... sukalah. Kayak Aiswa sama Nenek, juga suka kan?"aku bertanya balik, menutupi kegugupanku. Huuf, kenapa juga aku bisa gugup begini?"Suka! Suka banget malah Aiswa sama Om, abis Om Tan Tan baiiiiikk... banget sih!" bocah itu m
"Bengong lagi!" Fattan menjitak jidatku, memutus rangkaian pemikiran di otakku. Huuh, kebiasaan!"Oh, ya udah ga pa pa. Makasih udah sempetin waktu buat Aiswa," ujarku dengan sedikit terpaksa senyum.Aku kembali terdiam. Padahal semula banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya. Tentang pesannya tempo hari agar aku lebih mawas diri dengan orang orang sekitar, tentang banyaknya CCTV yang ia pasangkan di rumah. Termasuk juga soal yang barusan, siapa orang yang selalu memberinya kabar tentang aku dan Aiswa.Semua pertanyaan itu rasanya menguap begitu saja dari otakku setelah mendengar kata 'tunangan' darinya barusan. Yang ada hanya segumpal perasaan aneh yang sangat tidak nyaman dan terasa menyesakkan. Kecewakah aku?****"Ayo, sesuap lagi!" titah Fattan lagi. Menyodorkan sendok ke bibir Aiswa, yang kemudian disambut bocah itu dengan membuka lebar mulutnya. "Anak hebat!" pujinya karna Aiswa berhasil menghabiskan makanannya.Melihatnya, aku dan Ibu pun tersenyum. Bernapas lega sebab Ai