"Surprizeee...""Selamat ulang tahun, Ma!" Dua sosok langsung menyembul sambil berteriak mengejutkanku begitu pintu rumah kubuka. "Ibu..., Aiswa..." ucapku sembari mengelus dada karna kagetAiswa yang tengah membawa sebuah nampan berisi cake dengan sebuah lilin menyala di atasnya mulai berjalan mendekat ke arahku. Ia tersenyum dengan sangat manis, dan mengucapkan sebaris kalimat untukku, "Selamat ulang tahun, Ma. Semoga ke depannya kelak Mama akan selalu bahagia. Aamiin!""Aamiin," ucapku mengaminkan doa tulusnya.Sementara Ibu hanya tersenyum menatap kami berdua. Lalu dengan perlahan berjalan menhampiri. "Selamat ulang tahun, Aina! Semoga kelak nasibmu selalu beruntung," ujarnya."Keberuntungan terbesarku adalah memiliki Ibu, juga Aiswa!" ucapku terharu dan langsung memeluknya."Oh ya, kita tiup lilinnya sama sama ya!" Aku mengurai pelukanku dari Ibu. Selanjutnya ku keluarkan ponsel untuk merekam moment terindah dalam hidupku tersebut."Satu, dua, tiga!" Aku mulai memberi komand
Aku melengos pura pura tak mendengar gombalan dari makhluk aneh di depanku. Dan lantas pergi begitu saja meninggalkannya."Hey, mana terimakasihnya?" kudengar ia masih berteriak."Terimakasih!" balasku tanpa menoleh ke arahnya, hanya mengibaskan dompetku yang kuangkat tinggi tinggi di udara, dan terus berjalan.****"Ciiit!" suara derit rem sebuah mobil berhenti tepat di depanku yang sedang menunggu taksi online. "Masuk!" perintah lelaki yang duduk di depan kemudi. Yang hanya kutanggapi cuek, sementara ekor mataku terus melihat arah jalan, mencari cari kedatangan mobil yang telah kupesan.Aku tersenyum senang, sebab pada akhirnya yang ku tunggu tunggu datang juga. Sopir taksi bergegas keluar dan membukakan pintu untukku yang siap berjalan menghampirinya."Kliik!" pintu mobil kembali tertutup begitu aku bersiap masuk. Eh, bukan! Lebih tepatnya tangan seseorang telah sengaja menutupnya. Aku menoleh, melihat siapa orang iseng yang telah mempermainkanku. "Kamu!" Aku melotot marah, mend
"Assalamu'alaykum!" kuketuk pintu rumah dengan mengucap salam."Wa'alaykumsalam!" Seseorang menjawab salam disertai pintu yang mulai terbuka. Gadis kecil berambut panjang yang dikucir ekor kuda keluar menyambut kami."Mama!" sambutnya begitu melihatku."Om Tan Tan!" seru Aiswa lagi yang membuatku mengernyit bingung."Aiswa!" respon Fattan yang tak kalah membuatku makin bingung."Ma, ini Om yang Aiswa ceritain tempo hari. Yang udah nyelametin Tan Tan waktu terjebak di ranting pohon," ujar Aiswa bersemangat. Kedua matanya nampak berbinar senang melihat lelaki di sebelahku."Namanya Om Fattan, Aiswa bukan Tan...""Aiswa, ayo masuk! Om Tan Tan pingin mainan sama Aiswa," Fattan memotong cepat ucapanku yang belum selesai. Bahkan dengan percaya diri, dia mengajak dan menggandeng Aiswa masuk ke dalam rumah. Meninggalkan aku selaku tuan rumah yang jadi terbengong dibuatnya."Om lihat deh, si Tan Tan udah gendut banget sekarang! Tubuhnya sudah besar," Aiswa menggendong kucing kesayangannya kelu
Lagi lagi aku melempar baju yang barusan kucoba ke atas kasur. Entah ini sudah gaun ke berapa, mungkin sudah lebih dari yang ke sepuluh kali. Namun tak satupun kurasa sreg di hati. Aku menggaruk tengkuk memandang tumpukan baju baju itu. Memperhatikannya lagi, barangkali ada yang bisa kupertimbangkan untuk kukenakan malam ini.Kuhela napas panjang sambil terus berjalan mondar mandir di dalam kamar. Sepertinya aku mulai sedikit frustasi. Memang tak ada yang cocok semua baju itu! Kesibukanku akhir akhir ini membuatku bahkan tak sempat membeli baju sehelaipun. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk Ibu juga Aiswa. Oh, menyadari ini akupun jadi merasa bersalah pada mereka!"Loh, kenapa diberantakin seperti ini, Aina!" protes Ibu begitu masuk ke dalam kamarku, mendapati pakaian yang berserak di kasur."Maaf, Bu! Biar nanti aku yang rapikan. Aku ada undangan acara kantor hari ini, Bu. Tapi lupa persiapan," jawabku jujur.Ibu mengusap lembut bahuku, seolah mengerti kesulitanku. Tampak ia pun
Kupicingkan sebelah mataku mengintip keadaan sekitar. Memastikan semuanya baik baik saja. Huuuf... Aku mengelus dada, bernapas lega mendapati diriku memang demikian adanya."P - Pak Fattan!" terdengar suara Nita gugup. Aku menoleh, mendapati wajahnya yang tampak pias. Tunggu! Tadi Nita menyebut nama siapa? Cepat kupalingkan wajahku ke sisi lain. "Astaghfirullah!" spontan aku beristighfar. Dan, aah... Tanganku? Jantungku rasa terhentak! Ya Yuhan, kenapa baru nyadar sih kalau tanganku bergelayut di pundak lelaki itu. "Ma - maaf!" kataku seraya cepat melepaskan pelukan. Entahlah, wajahku pasti sudah sangat merah seperti kepiting rebus karna malu. Apalagi saat pandangan mata kami beradu satu sama lain. Rasanya aku benar benar ingin masuk saja ke dalam lubang semut!"Tidak mungkin!" "Apanya yang tidak mungkin?" Fattan berucap mantap dan melihat Nita dengan dingin.Nita tersenyum kecut memandang ke arahku. Sorot matanya seperti orang yang sedang diliputi keraguan. Sambil menunjuk lurus
"Hey Aina, kok kamu malah bengong sendirian aja di sini! Bukannya gabung sama temen temen kantor?" seseorang menepuk pundakku dari belakang.Aku menoleh, menilik si pemilik suara yang memang tak asing di telingaku."Winda!" seruku. Benar saja, rupanya bocah itu!"Noh dicariin kuda nil, eh Pak Daniel maksudku!" katanya sambil menunjukkan sebuah arah dengan bibirnya. Mataku mengekor mengikuti arah yang ditunjuknya. Tak jauh dari kami nampak seorang pria berjas rapi berjalan sambil melempar senyuman padaku. Di sampingnya berjalan pula seorang pria lain yang lebih muda mengikutinya."Aina, rupanya kamu datang juga," sapanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil sebagai respon."Pipi kamu..." Tiba tiba Pak Daniel berkata sambil menunjuk wajahku. "Pipiku?" aku mengulang pertanyaannya. "Astaga, Pak Daniel pasti sedang melihat keanehan di sana." batinku mulai cemas.Aku sedikit mengusap pipi dengan ujung jari. Masih tersisa perih akibat tamparan Nita tadi. Beruntung, saat kejadian tak
POV AuthorFattan merebahkan tubuhnya di sofa begitu sampai di rumah. Rasanya begitu lelah setelah kesibukannya beberapa hari bolak balik ke kantor papanya, di samping kesibukannya sebagai abdi negara, menjadi seorang Polisi.Menjadi Polisi adalah cita citanya sedari kecil. Fattan kecil begitu terpesona dan kagum setiap kali melihat para perwira yang berbadan tinggi tegap itu mengenakan seragam kebesaran mereka dengan segala atributnya. Di tambah dengan sepatu boot dan senjata di tangan mereka. Sungguh gagah dan berkharisma, begitulah pendapat Fattan kecil.Sedangkan menjadi seorang pengusaha sukses adalah tuntutan orang tuanya. Sebagai seorang pewaris perusahaan raksasa di Jakarta, Fattan lah pemegang estafet kepemilikan perusahaan setelah Papanya menyatakan pensiun. Meski sebelumnya, Fattan sempat menolak posisi tersebut."Biar Ferdy aja yang nerusin perusahaan Papa. Fattan belum berminat, Pa - Ma!" ucap Ferdy waktu itu, saat berkumpul di ruang keluarga."Kamu yakin dengan pilihan
Kedua mata Fattan tak berkedip menatap layar monitor CCTV. Matanya yang setajam elang memindai setiap hal yang terekam di dalamnya. Setiap sudut ruangan dan setiap orang yang hadir dan berlalu, tak luput dari perhatiannya."Tunggu...!" teriak Fattan tiba tiba. "Putar dua belas detik terakhir!" Layar diputar sesuai intruksi Fattan.Mata Fattan kian melebar mengamati rekaman kejadian."Stop! Perbesar gambar wanita yang memakai seragam katering itu!" perintah Fattan lagi. "Mira! Tak salah lagi, itu dia!" desisnya. Fattan segera berlari keluar gedung menuju tempat parkir. Ia ingin segera mengejar Mira yang sempat terekam kamera juga berjalan ke tempat itu dan kemudian pergi dengan sebuah mobil.Sementara itu di dalam gedung."Apa benar Mira kabur, Ma?" Ferdy yang melihat mamanya masih di dalam kamar rias Mira tiba tiba muncul dan bertanya.Rupanya Ferdy mulai menyadari kejanggalan yang terjadi saat melihat ekspresi dari orang orang di dalam gedung. Raut muka mereka begitu aneh. Mereka ju