"Na, mau makan siang bareng?" tanya Winda yang kini telah berdiri di samping mejaku."Aduh, kayaknya ga deh Win! Kerjaan aku masih numpuk banget soalnya," tolakku halus seraya menggelengkan kepala. "Tapi nitip aja kali, ya?""Emm... gimana ya?" Winda menyipitkan mata sambil mengerucutkan bibirnya. Pura pura berpikir. Menggodaku!Spontan saja kucubit pinggangnya. Membuatnya memekik geli, "Auu..., iya - iya, aku beliin! Ha ha ha...""Ehm... ehm...!" Mendengar suara deheman, aku dan Winda refleks menghentikan candaan kami. Hampir bersamaan kami menoleh. Sesosok pria dengan langkahnya yang tegap berjalan menghampiri kami."Eh, Pak Daniel!" sapa Winda pertama kali. Sementara aku hanya tersenyum dan menganggkukkan kepala melihat kehadirannya. "Kayaknya ada yang bakal diajak makan siang bareng, nih!" celetuk Winda melirik lirik ke arahku. Hmm, lagi bersiap siap usil dia rupanya!Aku melotot, dengan maksud supaya Winda berhenti berceloteh dan menggodaku. Karna memang dirinya sudah hapal di
"Gimana, bagus kan, Ma? Surprize dari kita?" Aiswa bertanya masih dengan senyum lebar di bibirnya. Alih alih menjawab pertanyaannya, diriku yang masih mematung karna shock, hanya mampu melongo tanpa seucap kata pun."Bagaimana Aiswa bisa berada di sini sekarang? Bahkan mungkin tiba lebih dulu dariku! Bukankah tadi kata Ibu, Aiswa sudah tidur lebih awal? Dan undangan makan malam itu, palsu?Seribu pertanyaan itu kini saling berjejal di pikiranku.Kupandang Fattan juga Aiswa bergantian. Rona ceria di wajah mereka mungkin sangat kontras dengan wajahku yang pucat pasi saat ini.Fattan melepaskan gandengan tangannya dari Aiswa. Ia kemudian berjalan menuju sebuah meja. Menuang segelas air putih dari sebuah dispenser. Lalu kembali berbalik kepada kami. "Minumlah!" titahnya, menyodorkan gelas kepadaku. Sepertinya ia mulai paham tentangku yang belum juga pulih dari keterkejutan.Tanpa menjawab lagi aku pun meraih gelas tersebut, dan menenggak isinya hingga tandas. Perlahan napasku yang tadinya
"Kamu sudah siap?" Fattan bertanya ke sekian kalinya dengan pertanyaan yang sama, sejak dari ia menjemputku di rumah, hingga perjalanan menuju rumahnya.Dan aku sendiri hanya mengangguk tiap kali ia bertanya demikian.Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin dengan kesiapanku. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan wanita yang paling penting di hidup Fattan selama ini. Mamanya. Jujur saja, aku sangat nervous. Berkali kali kumenghela napas panjang untuk mengurangi kegugupan. Tapi sepertinya sama sekali tak berhasil.Ciiittt...!Rem mobil berdecit pelan saat mobil memasuki sebuah garasi yang sangat luas. "Keluar!" titah Fattan disertai senyum manisnya. Ia juga mencubit gemas pipiku. "Tenang saja, Ibuku adalah wanita teranggun di dunia. Dia bukan singa yang akan menerkammu. Ha ha..."Fattan terkekeh memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Aku segera keluar dari mobil setelah pintu mobil terbuka secara otomatis. Pemandangan yang tak biasa kini tersuguh di depan mataku. Bagaimana ti
"Loyo banget keliatannya kamu, Na!" Wina mendekatiku, menoel lenganku. Lalu dengan suara berbisik dia kembali berkata, "Begadang ya? Mikirin ayang Polisi ya?" Pletaakk!Aku menjitak jidatnya. "Duuh...! Semena mena banget sih, Na!" katanya cemberut sambil mengusap usap jidatnya. Bibirnya mengerucut. Hingga gemas aku rasanya, ingin mengikatnya dengan karet.Aku terkekeh. "Salah sendiri jahil. Punya temen satu, mulutnya suka suka rada blong remnya," ujarku."Nah, situ ngelamun aja kerjaannya. Ntar kesambet setan jomblo, baru tahu rasa loh. Minta dikawin dia! Ha ha...""Yeee... Pantesnya tuh ya, tuh Setan ama kamu. Klop sama sama jahil, sama sama jomblo juga!""Enak aja ngatain jomblo! Gue punya Pak Daniel, tahu?" dan Wina langsung membekap mulutnya kemudian. "Alamak, keceplosan!lMataku membola, menatap Wina serius. Tapi tatapanku itu hanya dibalas nyengir kuda tak jelas olehnya."Oh, akhirnya, bebas sudah satu pria gak akan mengejarku lagi!" aku menarik napas panjang dan menghembuskan
Sekilas kulirik lelaki di sampingku. Dalam hati berkata, "Kenapa Fattan gak bilang kalau Mamanya dan Aiswa sudah saling mengenal?"Tapi di saat yang sama, ekor mataku menangkap Fattan yang tengah terbengong menatap dua orang yang masih saling berpelukan di depan kami. Mulut lelaki itu sedikit menganga, kedua matanya pun melebar. Dari ekspresinya, sepertinya ia juga sama terkejutnya denganku.Tunggu!Kalau begitu, itu berarti Fattan juga tidak tahu kalau keduanya memang telah saling kenal sebelumnya?"Fattan, Aina, Ayo masuk! Malah bengong kalian berdua!" titah Mama Fattan yang sedikit mengejutkan kami. "Fattan, kamu kenapa sih melongo begitu. Jelek, tahu?""Haa...?" secara hampir bersamaan aku dan Fattan menjawab. "Ma, Mama kok ga bilang kalau udah kenal sama Aiswa?" sembur Fattan langsung begitu memasuki rumah. Pertanyaan yang juga mewakili rasa penasaranku."Lah, Mama sendiri juga ga tahu kalau ternyata Aiswa ini adalah anak dari Aina," Mama Fattan melihat ke arahku.Aku tertunduk.
"Aiswa," lirihku. Untuk kesekian kali gadis kecil itu tertidur di situ. Tampak sangat pulas dia tertidur bersandar pada bahu sofa.Pelan ku berjalan kearahnya. Kulepas sepatuku agar tak menimbulkan suara yang bisa membuatnya terbangun. Kini jarak kami hanya tinggal sejengkal. Kupandangi wajah polos yang tengah terlelap. Tanganku terulur hendak menyentuh pucuk rambut kepalanya."Sudah pulang kamu, Aina?" Sebuah suara mengagetkanku. Ibu rupanya. Reflek kutarik tanganku kembali."Iya Bu, biasalah macet.""Kenapa Aiswa dibiarkan tidur di sini, Bu?" tanyaku lagi. Kutatap wajah teduh wanita yang kini usianya telah memasuki setengah abad itu."Tadi Ibu sudah menemaninya tidur dikamarnya. Tapi mungkin dia keluar lagi setelah Ibu kembali ke kamar Ibu." Kuhela napas panjang. "Aku capek Bu, tolong Ibu bawa Aiswa kembali ke kamar!"Aku mengurungkan niatku yang tadinya ingin membopong tubuh mungil Aiswa ke kamarnya."Tapi, dia berjam-jam menunggumu hingga tertidur di sini, Aina!"Sepertinya, Ib
"Istighfar Aina, istighfar!" Kurasakan seseorang mengguncang guncangkan bahuku. Ya, dialah ibuku."As - as - astaghfirullah. Astaghfirullah hal 'adziim!" ucapku dengan terbata bata. Masih tergugu dalam isak tangisku.Ibu mengusap lembut punggung dan pucuk kepalaku, sebelum akhirnya mendekapku dalam pelukannya. Pelukan yang perlahan bisa menenangkanku. Pelukan yang kehangatannya tak pernah berubah semenjak diriku masih dalam timangan hingga saat ini."Kuatkan dirimu Aina! Hiduplah untuk masa depan, bukan masa lalu!" Ibu kembali berbisik lembut ditelingaku.💖💖💖"Mama, bolehkah aku mengatakan sesuatu?"Gadis berusia 6 tahun itu kini mendekatiku yang sedang menatap layar ponsel di teras rumah. Aku menyeruput sedikit tehku, lalu menoleh kearahnya. "Ada apa?""Mama, bisakah mama..." Aiswa nampak ragu dan menggantung ucapannya."Katakan yang jelas, Aiswa! Mama tidak banyak waktu."Aiswa mengangguk mengerti."Mama, bisakah mama datang ke sekolahku esok? Rabu minggu depan ada pesta perpisah
"Selamat pagi. Maaf, bisa kami lihat surat surat kelengkapan kendaraannya?" Seorang Polisi yang sedang bertugas menghentikan laju kendaraanku."Oh tentu," jawabku.Kuraih tas slempang yang tergeletak di samping jok kemudi. "A - apa?" Alangkah terkejutnya aku begitu resleting tas terbuka. Tidak ada dompetku didalamnya, sedangkan SIM dan beberapa kartu identitas lainnya berada disana."Aaah, betapa cerobohnya aku!" Kutepuk jidat sendiri. Baru teringat bila aku mengganti tas kerja hari ini. Sial, aku lupa memindahkan dompet dari tas yang kemarin kupakai."Maaf Pak, surat suratnya semua tertinggal di rumah," jelasku pada akhirnya."Kalo begitu dengan terpaksa Ibu kami tilang. Silakan Ibu keluar dan meninggalkan mobil Ibu disini. Dan Ibu bisa mengambilnya kembali setelah sidang dan menunjukkan surat suratnya!""Pak, Pak! Apa nggak bisa dengan jalan damai saja Pak?" "Maksud Ibu?" Pria berseragam itu mengernyitkan keningnya."Emm, maksud saya, saya kasih Bapak uang dan ijinkan saya melanju