"Aiswa," lirihku.
Untuk kesekian kali gadis kecil itu tertidur di situ. Tampak sangat pulas dia tertidur bersandar pada bahu sofa.Pelan ku berjalan kearahnya. Kulepas sepatuku agar tak menimbulkan suara yang bisa membuatnya terbangun. Kini jarak kami hanya tinggal sejengkal. Kupandangi wajah polos yang tengah terlelap. Tanganku terulur hendak menyentuh pucuk rambut kepalanya."Sudah pulang kamu, Aina?" Sebuah suara mengagetkanku. Ibu rupanya. Reflek kutarik tanganku kembali."Iya Bu, biasalah macet.""Kenapa Aiswa dibiarkan tidur di sini, Bu?" tanyaku lagi. Kutatap wajah teduh wanita yang kini usianya telah memasuki setengah abad itu."Tadi Ibu sudah menemaninya tidur dikamarnya. Tapi mungkin dia keluar lagi setelah Ibu kembali ke kamar Ibu."Kuhela napas panjang. "Aku capek Bu, tolong Ibu bawa Aiswa kembali ke kamar!"Aku mengurungkan niatku yang tadinya ingin membopong tubuh mungil Aiswa ke kamarnya."Tapi, dia berjam-jam menunggumu hingga tertidur di sini, Aina!"Sepertinya, Ibu sempat membaca gesture tubuhku saat mendekati Aiswa tadi. Dan berharap akulah yang akan membawanya ke kamar.Sejenak aku tertegun."Aku tak pernah menyuruhnya melakukan itu, Bu!"Ibu menghela napas. Kecewa."Tidakkah kamu sedikit saja ada waktu untuknya, Aina? Bagaimanapun dia anakmu !"Ibu menahan langkahku. Manik matanya menatap lekat ke arahku. Seperti meminta sebuah jawaban. Jawaban yang sebenarnya bagiku terasa begitu sulit untuk ku katakan."Huuuuufff!"Aku membuang napas kasar sekaligus mengalihkan pandanganku dari tatapannya.Perkataan Ibu barusan membuatku gusar. Entahlah, aku merasa sangat risih setiap Ibu mengingatkan hal ini."Anak yang tidak pernah ku inginkan Bu. Ibulah yang menginginkan kehadirannya!" Satu kalimat akhirnya meluncur dari bibirku."Astaghfirullah, kenapa kamu selalu berkata seperti itu, Aina?""Kenyataannya memang seperti itu Bu. Sudah berulangkali aku berusaha melenyapkannya dari perutku dulu. Karena apa? Karena aku tidak pernah menginginkannya, Bu!" Aku mulai tersulut emosi."Apapun yang terjadi padamu dulu, Aiswa tidaklah berdosa, Aina! Harus berapa kali Ibu katakan ini?"Sekilas kutatap nanar di wajah Ibu. Aku tahu ada kesedihan juga emosi yang dia tahan untuk tidak terluap setiap kali aku memberikan jawaban yang sama untuk hal ini. Namun sebaliknya, aku memilih untuk tak mengacuhkannya. Memilih cepat berlalu dari hadapannya. Jujur, ada rasa nyeri menusuk hati setelah ucapan yang kulontarkan barusan."Sudahlah Bu, sudah sangat larut malam. Aku mau segera tidur. Ibu juga, segeralah istirahat!" kataku dingin.Aku gegas berjalan menaiki anak tangga menuju kamarku di lantai atas. Tak kupedulikan lagi Ibu yang berdiri mematung menatapku.💟💟💟Kulempar tas dan juga map yang sedari tadi kugenggam dengan asal ke atas kasur. Lalu ku hempaskan begitu saja tubuhku di atas ranjang empuk di dalam kamarku.Rasa lelahku makin bertambah sesak di dada. Ku usap wajah kasar dengan telapak tangan. Kepalaku terasa semakin berputar kala bayangan demi bayangan peristiwa masa lalu melintas di pikiranku.Masih terekam dengan jelas malam itu. Kala aku berjalan seorang diri dalam perjalanan pulang ke rumah usai mengerjakan tugas bersama di rumah sahabatku, Nita.Di jalan sepi yang biasanya aman saja kulalui, siapa sangka hari itu menjadi nahas bagiku. Seseorang tiba tiba membekapku dari belakang. Dengan kasar ia menarikku masuk ke mobilnya. Kemudian dengan kasar juga ia melepas pakaianku.Aku menangis, aku menjerit. Tapi semuanya hanya tenggelam di kesunyian malam. Seakan mendukung aksi bejat lelaki itu. Tak seorangpun datang menolong.Sakit yang teramat kurasakan ketika dengan brutal kesucianku direnggut paksa. "Biadab", bahkan setelah puas melakukannya, dia membuangku begitu saja di tepian jalan.Aku begitu lemah saat itu, ditambah rasa perih yang teramat sangat kurasa di daerah selangkangan. Tapi ku terus paksakan menyeret kakiku, berjalan terseok untuk pulang. Hingga akhirnya aku tak kuat lagi berjalan. Tubuhku ambruk persis di pertigaan dekat rumah, dan ditemukan salah satu warga menjelang subuh.Semua harapanku pupus. Cita citaku menjadi seorang Polwan, yang juga menjadi cita cita almarhum ayahku harus kandas. Aku terpaksa berhenti sekolah di tengah semester 1 kelas 3 SMA.Tak cukup disitu, tunanganku yang katanya sedia menungguku hingga 5 tahun ke depan langsung meninggalkanku begitu saja saat tahu aku hamil.Belum lagi cibiran dari orang orang di sekitar padaku juga keluargaku."Tuh si Aina anaknya Bu Marni, belum juga lulus sekolah udah hamil aja. Hobi keluyuran malam sih!" Begitulah bisik bisik sekaligus fitnah keji dari mereka.Aku merasa hancur! Hancur karena seorang pria lakn*t yang sama sekali tidak ku kenal. Dia memperkosaku. Membuatku hamil hingga melahirkan anak tanpa suami, tanpa ayah untuk anakku.Wajah itu, seringai buas lelaki itu, kini seolah tercetak dengan jelas dipelupuk mataku.Napasku memburu, tubuhku menggigil hebat, keringat dingin deras bercucuran. Sementara detak jantungku semakin cepat tak berirama. Kututup wajahku dengan dua telapak tanganku."Aku tidak sanggup. Aku tidak sanggup!" teriakku meracau. Emosiku semakin kacau karna bayangan lelaki itu tak juga pergi. Bahkan seolah tertawa puas melihatku."Aaaaa..., pergi!Pergiiii!" Aku menjerit histeris sejadi jadinya."Istighfar Aina, istighfar!" Kurasakan seseorang mengguncang guncangkan bahuku. Ya, dialah ibuku."As - as - astaghfirullah. Astaghfirullah hal 'adziim!" ucapku dengan terbata bata. Masih tergugu dalam isak tangisku.Ibu mengusap lembut punggung dan pucuk kepalaku, sebelum akhirnya mendekapku dalam pelukannya. Pelukan yang perlahan bisa menenangkanku. Pelukan yang kehangatannya tak pernah berubah semenjak diriku masih dalam timangan hingga saat ini."Kuatkan dirimu Aina! Hiduplah untuk masa depan, bukan masa lalu!" Ibu kembali berbisik lembut ditelingaku.💖💖💖"Mama, bolehkah aku mengatakan sesuatu?"Gadis berusia 6 tahun itu kini mendekatiku yang sedang menatap layar ponsel di teras rumah. Aku menyeruput sedikit tehku, lalu menoleh kearahnya. "Ada apa?""Mama, bisakah mama..." Aiswa nampak ragu dan menggantung ucapannya."Katakan yang jelas, Aiswa! Mama tidak banyak waktu."Aiswa mengangguk mengerti."Mama, bisakah mama datang ke sekolahku esok? Rabu minggu depan ada pesta perpisah
"Selamat pagi. Maaf, bisa kami lihat surat surat kelengkapan kendaraannya?" Seorang Polisi yang sedang bertugas menghentikan laju kendaraanku."Oh tentu," jawabku.Kuraih tas slempang yang tergeletak di samping jok kemudi. "A - apa?" Alangkah terkejutnya aku begitu resleting tas terbuka. Tidak ada dompetku didalamnya, sedangkan SIM dan beberapa kartu identitas lainnya berada disana."Aaah, betapa cerobohnya aku!" Kutepuk jidat sendiri. Baru teringat bila aku mengganti tas kerja hari ini. Sial, aku lupa memindahkan dompet dari tas yang kemarin kupakai."Maaf Pak, surat suratnya semua tertinggal di rumah," jelasku pada akhirnya."Kalo begitu dengan terpaksa Ibu kami tilang. Silakan Ibu keluar dan meninggalkan mobil Ibu disini. Dan Ibu bisa mengambilnya kembali setelah sidang dan menunjukkan surat suratnya!""Pak, Pak! Apa nggak bisa dengan jalan damai saja Pak?" "Maksud Ibu?" Pria berseragam itu mengernyitkan keningnya."Emm, maksud saya, saya kasih Bapak uang dan ijinkan saya melanju
Aku pun memutuskan untuk segera duduk. Kini, semua murid murid naik ke atas panggung menyanyikan lagu " Guruku Tersayang" sebagai lagu persembahan untuk para guru. Lalu dilanjutkan penampilan murid yang maju ke depan, ada yang menyanyi, menari, dan beberapa dari mereka membaca puisi.Aku dapat melihat Aiswa beberapa kali ikut tampil bersama teman temannya. Sayang sekali HP ku mati, hingga tak bisa mengabadikan momen itu seperti wali lainnya.Aku berniat untuk segera pulang. Yang terpenting, aku sudah melihat penampilan Aiswa meski ia belum sempat melihatku."Selanjutnya adalah persembahan dari murid kami yang sangat berbakat. Aiswa! Akan membawakan tari piring dari daerah Sumatra Barat!" Pembawa acara menyebut nama putriku. Aku reflek membalik badan, urung untuk pulang. Penasaran seperti apa penampilan putriku nanti."Prok prok prok!" Tepuk tangan meriah menyambut penampilan Aiswa begitu naik ke atas panggung. Aiswa begitu cantik berbalut busana khas Minang. Senyum manis selalu ters
"Aiswa mana Bu?" Aku bertanya pada Ibu karna tak biasanya jam segini anakku itu belum siap di meja makan untuk sarapan."Mungkin masih tidur. Capek kali! Kemarin kan acara di sekolahnya lumayan lama waktunya." Ibu menjawab pertanyaanku tanpa melihat ke arahku. Tangannya terus sibuk menyiapkan piring dan makanan di meja."Selamat pagi Ma, pagi Nek !""Eeh, cucu nenek sudah bangun. Ayo sayang sarapan! Nenek masak kesukaan Aiswa, opor ayam spesial!" Ibu nampak sumringah menyambut kemunculan cucunya.Aiswa hanya tersenyum mengangguk, lalu menarik sebuah kursi untuk ia duduk disebelah Ibu.Detik selanjutnya, tak sepatah katapun terlontar dari mulut kami. Aku memang jarang sekali ikut sarapan dirumah. Tapi biasanya Aiswa selalu berceloteh riang bila sudah bersama neneknya. Namun kali ini, entah kenapa bocah itu jadi sangat pendiam."Mungkinkah Aiswa marah karna mengira aku tak hadir di sekolah kemarin?" Batinku bertanya menelisik."Ehm ehm!" Aku berdehem sebelum memulai berbicara."Bu, nan
Ku tekan tombol lantai 10 ketika aku memasuki lift. Aku akan ke ruangan Pak Jatmiko atasan kami untuk menyerahkan semua laporan yang telah selesai ku kerjakan. Aku menarik napas lega, sebab seluruh laporan selesai tepat waktu. Itu artinya rencanaku mengajak Aiswa dan Ibu jalan jalan ke puncak bisa terealisasi."Tiiiit!" Pintu lift terbuka. Seorang pria berpostur tinggi dengan kaca mata hitam masuk ke dalam lift. Awalnya aku begitu cuek dengan kehadiran lelaki itu. Tapi selanjutnya, aku benar benar terper angah begitu menyadari siapa pria tersebut.Fattan lagi ?Huuh...bagaimana bisa aku bertemu pria arogan ini lagi sih?"Apa jangan jangan dia mengikutiku?" Pikiranku mulai berprasangka."Tiiiit!" Pintu lift kembali terbuka. Empat orang karyawan wanita dengan busana yang elegan dan riasan sedikit menor pun masuk. Mereka adalah Siska, Melani, Wina dan seorang karyawan baru yang belum ku kenal. Mereka terkenal aktif di grup lambe turah.Ruangan di dalam lift terasa sangat sumpek sekarang.
"Bu..Ibu yakin akan menjual rumah ini ?" Tanyaku yang masih belum yakin akan keputusan Ibu kala itu."Kita akan memulai hidup baru Aina. Ruang baru untuk kamu bangkit dari keterpurukan." Ibu menatapku serius.Tanganku reflek terhenti memasukkan barang barang kedalam kardus. Saat itu aku dan Ibu sedang sibuk mempacking perabotan yang akan kita bawa pindah ke rumah baru.Memang tak terelakkan sejak kehamilanku hingga Aiswa lahir, aku hampir tak pernah keluar rumah. Mengurung diri di kamar. Demi tidak mendengar cuitan orang orang diluar sana. Hilang sudah pribadi seorang Aina yang dulu selalu ceria dan energik."Lanjutkan sekolahmu Aina !"Ibu meyakinkanku."Tapi Bu..." "Biar Ibu yang mengurus Aiswa. Ibu juga sudah mendaftarkanmu disekolah yang baru. Tata lagi masa depanmu !" Ibu memotong ucapanku. Ibu seperti mengerti keraguanku. Perlahan berjalan ke arahku, memelukku dan berbisik kemudia, "Jangan biarkan dirimu terlarut kesedihan masa lalu Aina!"Aku hanya mengangguk. Tak mampu berka
POV. AuthorNita tak pernah menyangka jika setelah hampir 6 tahun tak ada kabar sama sekali akhirnya bertemu dengan Aina secara kebetulan.Terakhir kali Nita dan Dion pergi ke rumah Aina, rumah itu telah kosong. Kata tetangga disitu, Aina dan Ibunya sudah 2 bulan pindah. Hanya memang tak ada yang tahu persis mereka pindah kemana.Sedangkan sebelum sebelumnya Nita tak pernah bertemu dengan Aina tiap kali berkunjung ke rumahnya. Ia hanya ditemani Ibunya mengobrol di sofa ruang tamu."Maafkan Aina ya nak Nita, Aina memang sedang tidak ingin bertemu siapapun!" "Iya Bu. Nita ngerti kok. Nita turut prihatin dengan keadaan Aina sekarang." Nita mengusap lembut bahu ibu dari sahabatnya tersebut."Aina benar benar terpukul dengan apa yang menimpanya. Saat ini Ibu hanya bisa lebih menjaganya." Mata Bu Marni nampak berkaca kaca mengingat keadaan putrinya."Ibu yang sabar, ya!"Bu Marni semakin terisak saat meceritakan bagaimana depresi Aina yang membuatnya selalu mengurung diri di rumah. Bahkan
Berkali kali kulirik jam dipergelangan tanganku. Huuh, waktu terasa begitu lambat"Bu Aina, apa ada saran yang ingin disampaikan sebelum rapat ini di akhiri?" Teguran Pak Daniel selaku pemimpin rapat sedikit mengejutkanku. Untung aku masih bisa mendengarnya dengan baik, meski pikiranku sedikit kurang konsen."Eh,tidak! Tidak ada, Pak!" Aku mendongak menatap sang moderator dengan ekspresi yakin. Tentu saja untuk menutupi keterkejutanku saat namaku tiba tiba disebut. Lalu selanjutnya sedikit ku edarkan pandangan pada para peserta rapat lainnya.Seeeeett! Sekilas mataku bersitatap dengan seseorang yang sepertinya melihatku dengan begitu serius. "Dion!" pekikku dalam hati.Ia nampak sedikit gelagapan begitu menyadari tatapan kami bertemu. Sebelum detik selanjutnya aku lebih memilih membuang pandanganku ke arah lain. Tapi aku merasa seperti ada yang janggal. "Oh ya, Nita. Dimana Nita? Bukankah harusnya hari ini dia masih mengikuti rapat bersama Dion mewakili perusahaannya ?""Ah sudahl