Share

Bab. 2

"Istighfar Aina, istighfar!" Kurasakan seseorang mengguncang guncangkan bahuku. Ya, dialah ibuku.

"As - as - astaghfirullah. Astaghfirullah hal 'adziim!" ucapku dengan terbata bata. Masih tergugu dalam isak tangisku.

Ibu mengusap lembut punggung dan pucuk kepalaku, sebelum akhirnya mendekapku dalam pelukannya. Pelukan yang perlahan bisa menenangkanku. Pelukan yang kehangatannya tak pernah berubah semenjak diriku masih dalam timangan hingga saat ini.

"Kuatkan dirimu Aina! Hiduplah untuk masa depan, bukan masa lalu!" Ibu kembali berbisik lembut ditelingaku.

💖💖💖

"Mama, bolehkah aku mengatakan sesuatu?"

Gadis berusia 6 tahun itu kini mendekatiku yang sedang menatap layar ponsel di teras rumah. Aku menyeruput sedikit tehku, lalu menoleh kearahnya. "Ada apa?"

"Mama, bisakah mama..." Aiswa nampak ragu dan menggantung ucapannya.

"Katakan yang jelas, Aiswa! Mama tidak banyak waktu."

Aiswa mengangguk mengerti.

"Mama, bisakah mama datang ke sekolahku esok? Rabu minggu depan ada pesta perpisahan sekolah."

"Mama kan kerja, Aiswa." Cepat aku memberi tanggapan.

"Biasa juga sama nenek." imbuhku.

"Tapi Ma, hari itu aku akan tampil. Dan lagi semua murid membawa Mama dan Papanya ke sekolah. Hanya aku yang tidak..."

Aiswa tidak meneruskan ucapannya. Kulihat ia menggigit bibir bawahnya. Nampak raut kesedihan di wajahnya. Matanya berkaca kaca. Gadis kecil itu pasti tengah kecewa.

Aiswa kini duduk di bangku TK nol besar. Sebentar lagi acara kelulusan sekolahnya, dan dia memintaku untuk hadir.

"Itu hal mustahil bagiku,"desis batinku.

Karena memang dari awal masuk sekolah, ibulah yang mengurus semua kebutuhan Aiswa di sekolah.

Aku mengalihkan pandanganku darinya. Menatap rerimbunan bunga bunga di halaman rumah. Ada rasa tak tega melihatnya seperti itu.

"Huuuuffff!" Napas panjang kuhembuskan.

"Pergi dan katakan pada Nenek, Mama tidak bisa datang ke acara itu!"

Aiswa mematung beberapa saat, sebelum akhirnya manjawab, "Baik, Ma!"

Aiswa kemudian berlalu. Gadis berambut panjang kepang dua itu berjalan dengan wajah menunduk. Langkahnya sangat pelan.

Aaah, entahlah! Ini semua seperti dilema bagiku. Ada rasa nyeri di hati ketika melihatnya berlalu.

Di sisi lain aku sama sekali tidak ingin ke sekolah. Bertemu dengan wali murid lainnya, mengobrol, saling bertanya pekerjaan, alamat rumah, dan pastinya tentang keluarga. Dan.., ada satu hal yang paling tidak ingin aku dengar, bila ada yang menanyakan " Siapa dan dimana ayah Aiswa ?

"Aiswa!" panggilku.

"Ya, Ma! Aiswa reflek menoleh.

Kutatap sekilas manik matanya yang bening. Dengan ragu ku katakan, "Mama akan liat scedule dulu, tapi Mama tidak janji ya!"

"Beneran Ma?" Mata Aiswa berbinar diiringi senyum cerah di bibirnya.

Aku ingin sekali memeluknya, tetapi sulit sekali karena setiap melihatnya aku teringat betapa kejinya perlakuan pria laknat itu padaku.

Ya Tuhan, begitu sederhananya membuatnya kembali ceria. Mungkin dalam benaknya berpikir, "masih ada kemungkinan bila aku akan datang."

💖💖💖

"Nek, apa menurut nenek, mama akan ke sini?" Sepasang mata bening Aiswa menatap iri pada teman teman sekelasnya yang datang ke sekolah bersama orang tuanya.

Bu Marni tersenyum getir. Memahami apa isi hati cucu kesayangannya. Meski akhirnya dia berkata dengan lembut, "Mama pasti menyempatkan waktu kesini bila sudah menyelesaikan pekerjaan serta mendapat ijin dari atasannya, sayang."
"Apa atasan mama akan berbaik hati dan mengijinkan mama?"

Pandangan Aiswa masih tak terlepas dari teman temannya.
Sungguh betapa dirinya berharap mamanya datang kali ini. Ia ingin menunjukkan pada teman temannya, menunjukkan pada dunia bahwa ia pun juga punya seorang mama yang begitu dibanggakan. Mama yang selalu bekerja keras mati matian untuknya agar bisa hidup layak seperti yang lain.
Tentu saja tanpa gadis kecil itu mengerti alasan mamanya yang sebenarnya. Mengapa ia selalu menghindar untuk segala urusan sekolah, baik itu rapat , acara, bahkan sekedar mengantar Aiswa ke sekolah. Aina malu pada kenyataan bahwa putrinya tidak memiliki ayah. Bocah itu bahkan belum mengetahui statusnya dalam kartu keluarga hanyalah tercantum sebagai anak angkat dari Aina. Sungguh miris !
"Nek, bila aku dewasa nanti dan mempunyai karyawan, aku pasti akan memberi ijin pada mereka untuk datang ke acara seperti ini."
"Oh ya?"
"Tentu Nek! Tentu saja, agar anak anak mereka bahagia." Senyum polos Aiswa begitu tulus ketika mengucapkannya. Semakin membuat hati Bu Marni teriris melihatnya.
"Cucu nenek memang berhati mulia. Ayo kita masuk, nunggu Mamanya didalam saja ya! Sebentar lagi acara dimulai."

Bu Marni mengelus pipi Aiswa lembut seraya menggandeng tangannya memasuki aula sekolah.

"Aina...Ibu harap kamu tidak mengecewakan putrimu terus-menerus," batin Ibu dalam hati.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Septy
ya ampun, terharu bgt. Ksian Aiswa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status