POV. Author
Nita tak pernah menyangka jika setelah hampir 6 tahun tak ada kabar sama sekali akhirnya bertemu dengan Aina secara kebetulan.Terakhir kali Nita dan Dion pergi ke rumah Aina, rumah itu telah kosong. Kata tetangga disitu, Aina dan Ibunya sudah 2 bulan pindah. Hanya memang tak ada yang tahu persis mereka pindah kemana.Sedangkan sebelum sebelumnya Nita tak pernah bertemu dengan Aina tiap kali berkunjung ke rumahnya. Ia hanya ditemani Ibunya mengobrol di sofa ruang tamu."Maafkan Aina ya nak Nita, Aina memang sedang tidak ingin bertemu siapapun!" "Iya Bu. Nita ngerti kok. Nita turut prihatin dengan keadaan Aina sekarang." Nita mengusap lembut bahu ibu dari sahabatnya tersebut."Aina benar benar terpukul dengan apa yang menimpanya. Saat ini Ibu hanya bisa lebih menjaganya." Mata Bu Marni nampak berkaca kaca mengingat keadaan putrinya."Ibu yang sabar, ya!"Bu Marni semakin terisak saat meceritakan bagaimana depresi Aina yang membuatnya selalu mengurung diri di rumah. Bahkan beberapa kali Aina pingsan setelah berteriak teriak histeris."Dua kali Ibu mendapati obat penggugur kandungan di laci meja kamarnya. Ibu tidak tahu dari mana ia mendapatkannya .""Tapi Bu, Darimana Ibu tahu bahwa itu adalah obat....""Ibu diam diam mengambil obat itu, dan menanyakannya kepada bidan yang biasa Ibu undang kemari untuk memeriksa Aina."Bu Marni menarik napas dalam. Diwajahnya terlukis jelas gurat kesedihan akibat apa yang menimpa putrinya kini."Ibu sudah pernah kehilangan anak sebelumnya. Kakak Aina dulu meninggal saat usianya masih terlalu dini. Bahkan sebelum Aina lahir." Mata Bu Marni menerawang jauh, seolah melihat gambaran peristiwa masa lalu disana."Itulah sebabnya Ibu begitu takut kehilangan Aina. Ibu tahu obat obatan itu sangat berbahaya bagi keselamatan Aina."Nita sedikit terperangah mendengar semua cerita Bu Marni. Diam diam disudut hatinya kini terselip perasaan bersalah pada sahabatnya. Karna kini, Dion dan dirinya telah menjalin hubungan serius. Tepatnya hanya selang beberapa saat setelah Dion putus dari Aina.Diakui atau tidak, putusnya hubungan Aina dengan Dion membawa keberuntungan bagi Nita. Bagaimana tidak? Kedekatan mulai terjalin saat Dion sering berkeluh kesah padanya. Sejak itu, Nita terus memberi perhatian lebih untuk Dion. Hingga hati laki laki yang dulu seolah selalu menolaknya itu pun akhirnya luluh dan menerima cinta Nita.đź’–đź’–đź’–Telah lama Nita menyukai Dion. Meski Kenyataannya Dion lebih memilih Aina dibanding dirinya. Pun semakin ia tekan perasaannya untuk Dion karna memandang persahabatannya dengan Aina, semakin ia merasa tersiksa dengan perasaannya. Hingga satu sore, dirinya mengundang Dion ke sebuah taman. Bahkan secara terang terangan menyatakan cintanya untuk Dion. "Aku menyukaimu Dion sangat menyukaimu. Tak bisakah kamu membuka sedikit hatimu untukku Dion?"Dion terlonjak kaget mendengar penuturan Nita. Jantungnya rasa tertembus peluru. Bagaimana bisa? Nita, sahabat kekasihnya tengah menembaknya. "Nita menyukai dirinya".Lelaki tinggi berkulit putih dengan kacamata yang membingkai mata elangnya itu sempat terdiam beberapa saat. Ia berusaha tetap tenang. Berpikir bagaimana menolak Nita dengan tidak menyakiti perasaannya.Aah, ironi sekali! Sehalus apapun kata kata Dion, penolakan cinta tetap saja satu hal yang menyakitkan! "Terimakasih untuk rasa yang kamu punya untukku, Nita. Tapi maaf, aku sudah memilih Aina. Bahkan kami sudah bertunangan." Dion memperlihatkan cincin di jari manisnya.Mata Nita terbelalak saat itu juga. Pasalnya ia tak pernah tahu pertunangan itu. Hatinya begitu perih saat ia tahu hubungan Aina dan Dion ternyata sudah dalam tahap yang serius. Aina tidak pernah menceritakan hal itu padanya. Mungkin Aina memang sangat merahasiakannya, bagaimanapun mereka masih berstatus siswa sekolah. Yang bagi banyak orang masih hal yang tabu. Karena mereka pasti akan berpikrir dan mencap " Kecil kecil sudah kebelet kawin."Dion sendiri adalah lelaki yang sudah mapan dan bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan. Usianya sudah 23 tahun, beda 5 tahun dengan Aina juga Nita yang masih sepantaran. "Aku sangat mencintai Aina, dan bersedia menunggunya 5 tahun kedepan. Memberinya kesempatan mengejar cita citanya." Sungguh sebuah kalimat yang manis dari seorang pria kepada wanitanya. Semanis senyum lelaki itu saat mengucapkannya. Tapi sayang seribu sayang, wanita beruntung itu bukanlah dirinya, Nita."Dion!" panggil Nita lagi pada lelaki bermata leo itu. "Apakah kamu juga akan menolak jika aku menawarkan sebuah hubungan rahasia?"Dion mengernyit, tak mengerti ucapan perempuan didepannya itu. "Maksudmu, Nita?"Jadikan aku yang kedua Dion. Pacar rahasiamu. Aku mohon!" Nita dengan sangat gamblang mengatakannya.Nita tak lagi peduli bila Dion memandang rendah dirinya. Cinta telah membutakannya. Ia rela mengorbankan harga diri juga persahabatannya asal Dion mau menerima cintanya.Dion berjalan mendekat pada Nita. Menatap intens kedua manik sahabat dari kekasihnya itu. Kedua tangannya kemudian menangkup kedua bahu Nita." Sekali lagi maaf, Nita. Aku hanya mencintai Aina!"Deeeeghhh! Jantung Nita seperti ditusuk ribuan pedang. Sakit tak berdarah atas penolakan cintanya!"Apa kurangnya aku dibanding Aina, Dion? Aku bahkan mungkin mencintaimu lebih dari Aina!" Nita melangkah mundur beberapa langkah dengan tangis yang mulai pecah."Nita! A - a - aku...,""Kenapa? Kenapa Dion?" Nita histeris disela isakannya. Menatap Dion penuh amarah sebelum akhirnya ia berlari pergi.Tinggalah Dion melongo ditempat melihat kepergian Nita. Beberapa orang ditaman yang melihatnya tengah saling berbisik. Dion mengusap kasar rambutnya, risih menjadi pusat perhatian.Berkali kali kulirik jam dipergelangan tanganku. Huuh, waktu terasa begitu lambat"Bu Aina, apa ada saran yang ingin disampaikan sebelum rapat ini di akhiri?" Teguran Pak Daniel selaku pemimpin rapat sedikit mengejutkanku. Untung aku masih bisa mendengarnya dengan baik, meski pikiranku sedikit kurang konsen."Eh,tidak! Tidak ada, Pak!" Aku mendongak menatap sang moderator dengan ekspresi yakin. Tentu saja untuk menutupi keterkejutanku saat namaku tiba tiba disebut. Lalu selanjutnya sedikit ku edarkan pandangan pada para peserta rapat lainnya.Seeeeett! Sekilas mataku bersitatap dengan seseorang yang sepertinya melihatku dengan begitu serius. "Dion!" pekikku dalam hati.Ia nampak sedikit gelagapan begitu menyadari tatapan kami bertemu. Sebelum detik selanjutnya aku lebih memilih membuang pandanganku ke arah lain. Tapi aku merasa seperti ada yang janggal. "Oh ya, Nita. Dimana Nita? Bukankah harusnya hari ini dia masih mengikuti rapat bersama Dion mewakili perusahaannya ?""Ah sudahl
Aku memarkirkan mobilku di pelataran plaza. Rencananya aku akan membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan besok. Ini week end pertamaku dengan keluarga kecilku. Rasanya aku sungguh tak sabar menunggu momen itu hingga berpuluh jam lagi.Ku dorong trolly dan memasukkan barang barang yang telah aku buat list sebelumnya. Setelah semuanya lengkap, segera aku berjalan ke meja kasir untuk menyelesaikan transaksi pembayaran.Wajah Aiswa yang nampak begitu bahagia saat mendengar ajakanku berlibur kemarin, demikian terbayang di pelupuk mata. Membuat bibirku tanpa sadar menerbitkan sebuah senyum."Eh mbak, yang di belakang dah pada antri tuh. Buruan!" Seorang ibu yang sedang mengantri di kasir sebelah menyenggol lenganku."Diiih, malah senyum senyum sendiri!" Terdengar yang lain ikut menimpali.Aku tersentak kaget. Antara keki juga malu, ku tengok orang orang di belakangku. Ternyata benar, antrian begitu panjang mengular, dan sudah tiba giliranku untuk membayar. Pantas saja mereka sewot."Oh, m
"Aiswa mau nambah lagi makannya, sayang?" tanyaku pada Aiswa saat kulihat ia menyuapkan nasi terakhir di piringnya."Makasih, Ma! Aiswa sudah kenyang," jawabnya setelah selesai mengunyah makanannya.Sebuah restoran cepat saji menjadi pilihan kami untuk makan siang sekaligus beristirahat sejenak sepanjang perjalanan ke puncak saat itu."Okey, berarti lepas ini kita bisa langsung melanjutkan perjalanan ke villa," kataku sembari bangkit dari kursiku."Aiswa tunggu disini dulu sama nenek ya, mama mau ke kasir bayar makanan kita. Antriannya lumayan panjang. Jadi harus sabar nunggunya ya !""Oke, Ma!" Aiswa memberi kode dengan jempol dan ibu jarinya yang membentuk sebuah bulatan. Aku segera berjalan menuju antrean kasir. Kuedarkan pandangan ke sekeliling restoran sambil menunggu antrian. Para pegawai mulai dari kasir hingga pelayan terlihat sangat sibuk melayani pengunjung yang membludak di restoran kali ini.Libur panjang kali ini terasa berbeda dengan masa liburan sebelum sebelumnya yang
"Kenapa Mi, dari tadi Papi perhatiin Mami lebih banyak diam. Mami juga keliatan gelisah gitu, ada masalah ?""Ehm... Ga ada Pap!""Atau Mami kurang puas dengan acara liburan kita kali ini? Maafin Papi ya Mi, Papi sengaja ajak Mami liburan ke daerah Puncak agar kita bisa sekalian meninjau pembangunan hotel dan juga resort kita yang baru." Pak Wijaya meraih tangan halus istrinya yang masih saja terlihat murung semenjak perjalanan pulang. Padahal di restoran tempat terakhir mereka singgah, istrinya masih nampak riang dan bersemangat menceritakan banyak hal.Namun tak sepatah kata pun yang terucap dari bibir wanita yang duduk disamping pria paruh baya tersebut. Dialah Ani Wijaya, istri dari seorang pebisnis sukses, Hadi Wijaya. Pengusaha bidang properti di Jakarta. Dan kini tengah melebarkan sayap perusahaannya ke lain daerah, termasuk kawasan puncak Bogor salah satunya."Atau Mami akan terus diam dan biarkan Papi menerka nerka kegelisahan hati Mami?" Hadi Wijaya kian menatap lekat istrin
Aku lagi mikirin gimana caranya nolongin kucing kecil itu, Om!" jelas Aiswa. Matanya kembali terfokus pada pohon tempat hewan itu tersangkut."Hmmm....!" gumam Fattan. Kedua matanya mengikuti arah pandangan gadis kecil itu. Ia pun tersenyum, lalu berjalan ke arah pohon. Dengan gerakan yang gesit Fattan memanjat pohon, lalu meraih tubuh kucing malang tersebut. Haap...! Fattan melompat dari atas pohon. Tangan kirinya mendekap kucing kecil itu ke dadanya."Yeaaay....!" sorak Aiswa gembira. Anak kucing terselamatkan.Fattan yang sedang berjalan sambil mendekap anak kucing di lengannya hanya tersenyum melihat tingkah riang Aiswa."Anak manis, ini kucingmu?" Fattan berjongkok di depan Aiswa."Itu bukan kucing Aiswa, Om," jelas Aiswa polos."Oh ya?" Fattan kembali mengernyit, seperti sedang berpikir. Lalu ia pun tersenyum dan berkata, "Emm... kucing kecil ini sepertinya terpisah dari induknya hingga tersesat. Apa kamu mau merawatnya?""Emm..." gumam Aiswa dengan tatapan ragu.Diamatinya
"Aina, kamu ikut saya nanti setelah jam makan siang ke kantor 'Wijaya Corp.' Jangan lupa bawa semua berkas yang saya minta kemarin!" perintah Pak Daniel menghampiri meja kerjaku."Oh, siap Pak!" jawabku singkat disertai anggukan."Ehm... Atau bagaimana kalau sekalian saja kita keluar makan siang bersama nanti. Dan kita bisa langsung pergi bersama setelahnya?"Aku mendongak. Kupikir pria itu sudah pergi, ternyata masih terpaku berdiri di depanku. Bahkan menawariku untuk makan siang."Emm... Maaf tapi...""Ayolah Aina. Sudah sekian kali kamu menolakku. Toh hanya makan siang saja, apalagi hari ini hari spesial buatku," Pak Daniel memasang wajah melas dengan tatapan menghiba.Aku menarik napas panjang. Sebenarnya sama sekali tak berminat menuruti ajakannya, dan bahkan pria manapun juga. Tapi melihat caranya memohon kali ini membuatku merasa tak enak hati. Apalagi dia bilang ini adalah hari spesial untuknya. Akhirnya aku mengangguk mengiyakan ajakannya, "Baiklah!""Iyeeess...!" Pal Daniel
"Aiswa, kenapa makanannya tak dihabiskan?" tegurku saat melihat piring Aiswa yang masih banyak tersisa makanan. "Udah kenyang, Ma," jawabnya singkat."Hmm... Kamu sakit?" tanyaku lagi"Ga kok, Ma." Aiswa menggelengkan kepalanya kali ini. Selanjutnya ia berucap ragu, "Ma, bolehkah sisa makan Aiswa untuk Tan Tan?""Tan Tan?" ulangku. Terjawab sudah alasan putriku tak melahap habis makan siangnya, rupanya sengaja menyisihkan untuk kucing kesayangannya. "Emang biskuit Tan Tan udah habis?""I - iya, Ma. Maaf Aiswa lupa bilang kemarin kalau makanan Tan Tan tinggal sedikit."Aku hanya tersenyum mendengar pengakuan polosnya. Menyadari begitu bijaknya sifat putriku yang rela membagi jatah makanannya hanya untuk seekor kucing kecil."Jika alasannya karna Tan Tan, sebaiknya lebih baik cepat kamu habiskan makananmu. Biar setelah ini, Ibu belikan biskuit buat Tan Tan. Oke?""Oke, Ma. Makasih ya, Ma!" ujar Aiswa lagi dengan mata berbinar, dan langsung menyuapkan makanan kembali ke mulutnya.Akhi
Aiswa sedang asik bermain dengan kucing kecilnya saat aku tiba di rumah. Ia memainkan seutas tali berwarna merah yang diikatnya di ujung sebuah lidi, lalu menggerak gerakkannya di depan hewan itu. Alhasil, si kucing pun berlari dan melompat lompat kian kemari mengikuti arah tali tersebut. Gerakannya yang agresif dan lincah membuat putriku kegirangan melihatnya.Aku hanya ikut tersenyum menyaksikan tingkah keduanya yang sama sama polos dan menggemaskan."Aiswa, kasih Tan Tan makan dulu, Nak! Capek dia lompat lompatan terus," tegurku pada Aiswa."Eh, Mama!" ujarnya begitu menyadari kehadiranku. Yang langsung menghentikan permainannya, dan membopong kucing imut itu kembali ke kandangnya untuk makan."Nenek sudah bangun, Aiswa?""Sudah, Aina!" Ibu tiba tiba muncul dari dalam rumah menyahut ucapanku. Reflek membuat aku dan Aiswa pun menoleh ke arahnya. "Ibu kok keluar kamar, Ibu sudah baikan?""Alhamdulillah, sudah. Ibu juga bosan di kamar terus jadi Ibu keluar." tuturnya.Aku tersenyum l
Sekilas kulirik lelaki di sampingku. Dalam hati berkata, "Kenapa Fattan gak bilang kalau Mamanya dan Aiswa sudah saling mengenal?"Tapi di saat yang sama, ekor mataku menangkap Fattan yang tengah terbengong menatap dua orang yang masih saling berpelukan di depan kami. Mulut lelaki itu sedikit menganga, kedua matanya pun melebar. Dari ekspresinya, sepertinya ia juga sama terkejutnya denganku.Tunggu!Kalau begitu, itu berarti Fattan juga tidak tahu kalau keduanya memang telah saling kenal sebelumnya?"Fattan, Aina, Ayo masuk! Malah bengong kalian berdua!" titah Mama Fattan yang sedikit mengejutkan kami. "Fattan, kamu kenapa sih melongo begitu. Jelek, tahu?""Haa...?" secara hampir bersamaan aku dan Fattan menjawab. "Ma, Mama kok ga bilang kalau udah kenal sama Aiswa?" sembur Fattan langsung begitu memasuki rumah. Pertanyaan yang juga mewakili rasa penasaranku."Lah, Mama sendiri juga ga tahu kalau ternyata Aiswa ini adalah anak dari Aina," Mama Fattan melihat ke arahku.Aku tertunduk.
"Loyo banget keliatannya kamu, Na!" Wina mendekatiku, menoel lenganku. Lalu dengan suara berbisik dia kembali berkata, "Begadang ya? Mikirin ayang Polisi ya?" Pletaakk!Aku menjitak jidatnya. "Duuh...! Semena mena banget sih, Na!" katanya cemberut sambil mengusap usap jidatnya. Bibirnya mengerucut. Hingga gemas aku rasanya, ingin mengikatnya dengan karet.Aku terkekeh. "Salah sendiri jahil. Punya temen satu, mulutnya suka suka rada blong remnya," ujarku."Nah, situ ngelamun aja kerjaannya. Ntar kesambet setan jomblo, baru tahu rasa loh. Minta dikawin dia! Ha ha...""Yeee... Pantesnya tuh ya, tuh Setan ama kamu. Klop sama sama jahil, sama sama jomblo juga!""Enak aja ngatain jomblo! Gue punya Pak Daniel, tahu?" dan Wina langsung membekap mulutnya kemudian. "Alamak, keceplosan!lMataku membola, menatap Wina serius. Tapi tatapanku itu hanya dibalas nyengir kuda tak jelas olehnya."Oh, akhirnya, bebas sudah satu pria gak akan mengejarku lagi!" aku menarik napas panjang dan menghembuskan
"Kamu sudah siap?" Fattan bertanya ke sekian kalinya dengan pertanyaan yang sama, sejak dari ia menjemputku di rumah, hingga perjalanan menuju rumahnya.Dan aku sendiri hanya mengangguk tiap kali ia bertanya demikian.Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin dengan kesiapanku. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan wanita yang paling penting di hidup Fattan selama ini. Mamanya. Jujur saja, aku sangat nervous. Berkali kali kumenghela napas panjang untuk mengurangi kegugupan. Tapi sepertinya sama sekali tak berhasil.Ciiittt...!Rem mobil berdecit pelan saat mobil memasuki sebuah garasi yang sangat luas. "Keluar!" titah Fattan disertai senyum manisnya. Ia juga mencubit gemas pipiku. "Tenang saja, Ibuku adalah wanita teranggun di dunia. Dia bukan singa yang akan menerkammu. Ha ha..."Fattan terkekeh memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Aku segera keluar dari mobil setelah pintu mobil terbuka secara otomatis. Pemandangan yang tak biasa kini tersuguh di depan mataku. Bagaimana ti
"Gimana, bagus kan, Ma? Surprize dari kita?" Aiswa bertanya masih dengan senyum lebar di bibirnya. Alih alih menjawab pertanyaannya, diriku yang masih mematung karna shock, hanya mampu melongo tanpa seucap kata pun."Bagaimana Aiswa bisa berada di sini sekarang? Bahkan mungkin tiba lebih dulu dariku! Bukankah tadi kata Ibu, Aiswa sudah tidur lebih awal? Dan undangan makan malam itu, palsu?Seribu pertanyaan itu kini saling berjejal di pikiranku.Kupandang Fattan juga Aiswa bergantian. Rona ceria di wajah mereka mungkin sangat kontras dengan wajahku yang pucat pasi saat ini.Fattan melepaskan gandengan tangannya dari Aiswa. Ia kemudian berjalan menuju sebuah meja. Menuang segelas air putih dari sebuah dispenser. Lalu kembali berbalik kepada kami. "Minumlah!" titahnya, menyodorkan gelas kepadaku. Sepertinya ia mulai paham tentangku yang belum juga pulih dari keterkejutan.Tanpa menjawab lagi aku pun meraih gelas tersebut, dan menenggak isinya hingga tandas. Perlahan napasku yang tadinya
"Na, mau makan siang bareng?" tanya Winda yang kini telah berdiri di samping mejaku."Aduh, kayaknya ga deh Win! Kerjaan aku masih numpuk banget soalnya," tolakku halus seraya menggelengkan kepala. "Tapi nitip aja kali, ya?""Emm... gimana ya?" Winda menyipitkan mata sambil mengerucutkan bibirnya. Pura pura berpikir. Menggodaku!Spontan saja kucubit pinggangnya. Membuatnya memekik geli, "Auu..., iya - iya, aku beliin! Ha ha ha...""Ehm... ehm...!" Mendengar suara deheman, aku dan Winda refleks menghentikan candaan kami. Hampir bersamaan kami menoleh. Sesosok pria dengan langkahnya yang tegap berjalan menghampiri kami."Eh, Pak Daniel!" sapa Winda pertama kali. Sementara aku hanya tersenyum dan menganggkukkan kepala melihat kehadirannya. "Kayaknya ada yang bakal diajak makan siang bareng, nih!" celetuk Winda melirik lirik ke arahku. Hmm, lagi bersiap siap usil dia rupanya!Aku melotot, dengan maksud supaya Winda berhenti berceloteh dan menggodaku. Karna memang dirinya sudah hapal di
"Bengong! Gimana, diterima tidak?" dia kembali bertanya."Aaah...?" aku makin tergagap. Ya ampun! Orang ini benar benar ga ada basa basinya menanyakan hal seperti ini, ya? To the point saja maunya. Melamarku dengan cara seperti ini. Sungguh nggak ada romantis romantisnya sama sekali!Eiiits...! Apa? Romantis? Lah, malah pikiranku kemana mana ini jadinya! Aku menepuk jidat frustasi."Aina!" kudengar Ibu memanggil. Kemudian setelahnya, ia sudah berdiri di ambang pintu. Raut mukanya kulihat seketika berubah canggung saat menatap ke dalam ruangan. Ah, iya! Jarak aku dan Fattan berdiri rupanya begitu dekat. "Maaf, mengganggu!" ucap Ibu sedikit kikuk."Nggak kok, Bu! Ada apa?" tanyaku. Dan di saat yang bersamaan, Fattan pun memutar badan ke arah Ibu berdiri. Ia lalu tersenyum dan menyapa, "Oh, Ibu?""Emm... Aina, ada tamu untukmu!" Ibu berkata mengungkapkan maksudnya menghampiri kami. Ekspresinya nampak ragu ketika mengatakannya."Tamu?" ulangku, sedikit mengernyit. Perasaan tidak ada tema
"A - apa?" tanyaku terbata, yang hanya dijawab dengan senyum mencibir di wajahnya."Kenapa? Kamu cemburu?" semprotnya langsung kala melihat ekspresiku seperti orang bingung."Diih...! Siapa juga yang cemburu? Ngapain juga?" tepisku buru buru, yang sekali lagi malah membuat tawanya kembali pecah."Apanya yang lucu sih?" sewotku. Aku mendelik melihatnya, menangkap sinyal sinyal keusilannya akan mulai beraksi."Hahaha... Ya kamu itu yang lucu. Udah jelas jelas cemburu gitu!" masih di sela tawanya, ia menjawab dengan pedenya. Lalu dengan cueknya kembali menstater mesin mobil dan melajukannya.Aku sendiri, masih dengan perasaanku yang tidak menentu selanjutnya hanya diam seribu bahasa. Rasanya lidahku kehilangan kata kata begitu saja. Toh, melanjutkan pembahasan hanya akan menjadikanku bulan bulanan olehnya. Sudah sering dia menggodaku seperti ini dan dirinya lalu tertawa puas saat aku sudah mulai dongkol.Kutekuk mukaku, kode bahwa aku tak ingin berbicara apapun lagi dengannya.Tapi bukan
Dengan langkah gontai aku kembali kepada Aiswa. Nampak ada yang berbeda kali ini darinya. Wajah pucatnya kini telah sedikit merona. Binar matanya juga telah kembali cerah seperti sedia kala. Seolah kehadiran Fattan benar benar menjadi obat yang sangat mujarab baginya.Mendapati kenyataan ini, hatiku lagi lagi dilanda dilema. Satu sisi aku merasa senang sebab kehadiran Fattan benar benar memberi pencerahan dalam kehidupan kami, terutama putriku. Sisi lainnya mau tak mau kami juga harus tahu diri untuk menjaga jarak dengan lelaki yang sebentar lagi menjadi pasangan orang lain itu."Ma..." lirih suara Aiswa memanggilku."Ya," sahutku."Mama suka sama Om Tan Tan?"Jeddaaar...! Pertanyaan Aiswa barusan membuat jantungku tersentak. "Ap - apa maksud Aiswa? Eh, ya, eh... sukalah. Kayak Aiswa sama Nenek, juga suka kan?"aku bertanya balik, menutupi kegugupanku. Huuf, kenapa juga aku bisa gugup begini?"Suka! Suka banget malah Aiswa sama Om, abis Om Tan Tan baiiiiikk... banget sih!" bocah itu m
"Bengong lagi!" Fattan menjitak jidatku, memutus rangkaian pemikiran di otakku. Huuh, kebiasaan!"Oh, ya udah ga pa pa. Makasih udah sempetin waktu buat Aiswa," ujarku dengan sedikit terpaksa senyum.Aku kembali terdiam. Padahal semula banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya. Tentang pesannya tempo hari agar aku lebih mawas diri dengan orang orang sekitar, tentang banyaknya CCTV yang ia pasangkan di rumah. Termasuk juga soal yang barusan, siapa orang yang selalu memberinya kabar tentang aku dan Aiswa.Semua pertanyaan itu rasanya menguap begitu saja dari otakku setelah mendengar kata 'tunangan' darinya barusan. Yang ada hanya segumpal perasaan aneh yang sangat tidak nyaman dan terasa menyesakkan. Kecewakah aku?****"Ayo, sesuap lagi!" titah Fattan lagi. Menyodorkan sendok ke bibir Aiswa, yang kemudian disambut bocah itu dengan membuka lebar mulutnya. "Anak hebat!" pujinya karna Aiswa berhasil menghabiskan makanannya.Melihatnya, aku dan Ibu pun tersenyum. Bernapas lega sebab Ai