"Aiswa mau nambah lagi makannya, sayang?" tanyaku pada Aiswa saat kulihat ia menyuapkan nasi terakhir di piringnya.
"Makasih, Ma! Aiswa sudah kenyang," jawabnya setelah selesai mengunyah makanannya.Sebuah restoran cepat saji menjadi pilihan kami untuk makan siang sekaligus beristirahat sejenak sepanjang perjalanan ke puncak saat itu."Okey, berarti lepas ini kita bisa langsung melanjutkan perjalanan ke villa," kataku sembari bangkit dari kursiku."Aiswa tunggu disini dulu sama nenek ya, mama mau ke kasir bayar makanan kita. Antriannya lumayan panjang. Jadi harus sabar nunggunya ya !""Oke, Ma!" Aiswa memberi kode dengan jempol dan ibu jarinya yang membentuk sebuah bulatan. Aku segera berjalan menuju antrean kasir. Kuedarkan pandangan ke sekeliling restoran sambil menunggu antrian. Para pegawai mulai dari kasir hingga pelayan terlihat sangat sibuk melayani pengunjung yang membludak di restoran kali ini.Libur panjang kali ini terasa berbeda dengan masa liburan sebelum sebelumnya yang begitu dibatasi karna pandemi Covid 19. Jadi ketika keadaan sudah mulai pulih dan aman seperti saat ini, otomatis hampir semua orang pun ingin menikmati masa liburan untuk mengunjungi objek objek wisata atau tempat hiburan yang sempat ditutup beberapa lama.ššš"Duuuh Aiswa, Mama kamu lama banget sih! Mana Nenek kebelet pipis lagi sekarang.""Ya udah Nek, sana Nenek ke toilet. Aiswa berani kok disini nunggu sendirian!""Ehm, tapi kamu jangan kemana mana ya, tetap duduk disini dan tunggu sampai Nenek atau Mama kembali !"He - eh !" Aiswa mengangguk tanda mengerti.Aiswa pun duduk tenang sambil kedua mata beningnya mengamati keadaan restoran. Mulai dari interior dan pernak pernik didalam ruangan, sampai para pengunjung yang keluar masuk dan menyantap hidangan pun tak luput dari tangkapan matanya.Mereka semua tampak asik dan bahagia menikmati makan bersama keluarga masing masing. Sudut bibir bocah itupun turut menyunggingkan senyum tiap melihat diantara mereka tertawa saat bercengkrama.Tiba tiba bola mata Aiswa menangkap sebuah benda tergeletak di atas meja di seberang tempat ia duduknya.Sebuah HP ! Sepertinya benda itu tertinggal oleh pemiliknya. Aiswa ingat betul siapa yang baru saja menempati meja tersebut. Ya, sepasang laki laki dan perempuan dengan usia kurang lebih seperti neneknya. Dan sepertinya mereka belum terlalu lama meninggalkan tempat itu.Aiswa mulai berjalan ke meja, lalu di ambilnya HP tersebut sambil matanya mengitari ruangan, barangkali si empunya masih berada di sekitar situ. Tapi nihil, Aiswa tak menemukan mereka. Hingga matanya tertumbuk pada sosok yang terlihat di luar pintu, lebih tepatnya di area parkir."Nyonya! Nyonya, HPnya ketinggalan !" Aiswa terus berlari mengejar sambil berteriak memanggil sosok yang tengah hendak membuka pintu mobil."Nyonya Hp nya ketinggalan ! Huh huh huh!" Aiswa menyodorkan HP ditangannya dengan napas yang masih ngos ngosan.Perempuan setengah baya itupun berbalik karna merasa ada seseorang yang tengah menghampiri dan berbicara padanya.Ternyata benar, ia melihat seorang anak perempuan dengan banyak kepang kecil kecil mengitari rambutnya. Ia pun tersenyum begitu melihat bocah tersebut. Tapi itu hanya sesaat. Karna detik selanjutnya wajah nyonya itu berubah seperti orang yang sedang terkejut. Seolah menangkap sesuatu yang aneh di wajah anak itu."Ba - bagaimana mungkin? Wajah Ferdy masa kecil dan wajah anak ini?" Batin perempuan itu dipenuhi tanda tanya dan keterkejutan."Nyonya, Nyonya ini HP anda kan?" Suara Aiswa kembali terdengar hingga membuyarkan lamunan perempuan tersebut."Ooh, sebentar!" Setelah dicek dan mencocokkan sandi di HP tersebut, ternyata benar HP itu adalah miliknya. Ia pun tersenyum. "Anak manis, terimakasih sudah mengembalikan HP Oma. Oh iya, panggil Oma Ani aja ya, jangan Nyonya!""Iya, sama sama Nyonya. Eh, Oma Ani!" Jawab Aiswa disertai senyum ramahnya.Aiswa membalikkan badan, berniat segera kembali masuk ke dalam restoran. Takut kalau Nenek dan Mamanya bingung mencari cari dirinya bila tak ada di tempatnya. Sebelum pada akhirnya, langkah kakinya dicegah oleh sebuah panggilan, "Eh tunggu!""Ya, Oma!" Aiswa kembali memutar badannya."Nama kamu siapa, sayang?""Aiswa, Oma.""Oh, nama yang sangat cantik!""Emm, ini ada sedikit dari Oma di terima ya!""Makasih, Oma. Tapi tidak usah. Karna kata Nenek bila kita mengembalikan hak orang lain tanpa mengharap imbalan, maka Allah akan memberi imbalan pahala yang lebih besar!""Oh, begitu!" Oma Ani sedikit tertegun mendengar penuturan bocah polos di depannya. Tanpa sadar, tangannya mengelus lembut pipi Aiswa."Emm, kalau begitu Oma boleh minta satu hal pada Aiswa, tidak?""Apa itu, Oma?""Oma boleh ambil foto Aiswa? Satu saja!" Oma memandang Aiswa penuh harap, yang kemudian dijawab anggukan pasti oleh Aiswa. "Cekreeek!" Kamera ponsel selesai mengambil gambar Aiswa."Terimakasih sekali lagi, Aiswa!" Terlihat Oma Ani sangat senang usai mendapatkan ffoto Aiswa."Sama sama." Aiswa tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari menghambur masuk ke dalam restoran.Sementara Oma Ani menjadi terdiam beberapa saat, netranya tak berkedip memandang foto Aiswa. Kesedihan diam diam telah merambat dalam hatinya. "Ferdy, Aiswa, kenapa wajah kalian begitu mirip?""Kenapa Mi, dari tadi Papi perhatiin Mami lebih banyak diam. Mami juga keliatan gelisah gitu, ada masalah ?""Ehm... Ga ada Pap!""Atau Mami kurang puas dengan acara liburan kita kali ini? Maafin Papi ya Mi, Papi sengaja ajak Mami liburan ke daerah Puncak agar kita bisa sekalian meninjau pembangunan hotel dan juga resort kita yang baru." Pak Wijaya meraih tangan halus istrinya yang masih saja terlihat murung semenjak perjalanan pulang. Padahal di restoran tempat terakhir mereka singgah, istrinya masih nampak riang dan bersemangat menceritakan banyak hal.Namun tak sepatah kata pun yang terucap dari bibir wanita yang duduk disamping pria paruh baya tersebut. Dialah Ani Wijaya, istri dari seorang pebisnis sukses, Hadi Wijaya. Pengusaha bidang properti di Jakarta. Dan kini tengah melebarkan sayap perusahaannya ke lain daerah, termasuk kawasan puncak Bogor salah satunya."Atau Mami akan terus diam dan biarkan Papi menerka nerka kegelisahan hati Mami?" Hadi Wijaya kian menatap lekat istrin
Aku lagi mikirin gimana caranya nolongin kucing kecil itu, Om!" jelas Aiswa. Matanya kembali terfokus pada pohon tempat hewan itu tersangkut."Hmmm....!" gumam Fattan. Kedua matanya mengikuti arah pandangan gadis kecil itu. Ia pun tersenyum, lalu berjalan ke arah pohon. Dengan gerakan yang gesit Fattan memanjat pohon, lalu meraih tubuh kucing malang tersebut. Haap...! Fattan melompat dari atas pohon. Tangan kirinya mendekap kucing kecil itu ke dadanya."Yeaaay....!" sorak Aiswa gembira. Anak kucing terselamatkan.Fattan yang sedang berjalan sambil mendekap anak kucing di lengannya hanya tersenyum melihat tingkah riang Aiswa."Anak manis, ini kucingmu?" Fattan berjongkok di depan Aiswa."Itu bukan kucing Aiswa, Om," jelas Aiswa polos."Oh ya?" Fattan kembali mengernyit, seperti sedang berpikir. Lalu ia pun tersenyum dan berkata, "Emm... kucing kecil ini sepertinya terpisah dari induknya hingga tersesat. Apa kamu mau merawatnya?""Emm..." gumam Aiswa dengan tatapan ragu.Diamatinya
"Aina, kamu ikut saya nanti setelah jam makan siang ke kantor 'Wijaya Corp.' Jangan lupa bawa semua berkas yang saya minta kemarin!" perintah Pak Daniel menghampiri meja kerjaku."Oh, siap Pak!" jawabku singkat disertai anggukan."Ehm... Atau bagaimana kalau sekalian saja kita keluar makan siang bersama nanti. Dan kita bisa langsung pergi bersama setelahnya?"Aku mendongak. Kupikir pria itu sudah pergi, ternyata masih terpaku berdiri di depanku. Bahkan menawariku untuk makan siang."Emm... Maaf tapi...""Ayolah Aina. Sudah sekian kali kamu menolakku. Toh hanya makan siang saja, apalagi hari ini hari spesial buatku," Pak Daniel memasang wajah melas dengan tatapan menghiba.Aku menarik napas panjang. Sebenarnya sama sekali tak berminat menuruti ajakannya, dan bahkan pria manapun juga. Tapi melihat caranya memohon kali ini membuatku merasa tak enak hati. Apalagi dia bilang ini adalah hari spesial untuknya. Akhirnya aku mengangguk mengiyakan ajakannya, "Baiklah!""Iyeeess...!" Pal Daniel
"Aiswa, kenapa makanannya tak dihabiskan?" tegurku saat melihat piring Aiswa yang masih banyak tersisa makanan. "Udah kenyang, Ma," jawabnya singkat."Hmm... Kamu sakit?" tanyaku lagi"Ga kok, Ma." Aiswa menggelengkan kepalanya kali ini. Selanjutnya ia berucap ragu, "Ma, bolehkah sisa makan Aiswa untuk Tan Tan?""Tan Tan?" ulangku. Terjawab sudah alasan putriku tak melahap habis makan siangnya, rupanya sengaja menyisihkan untuk kucing kesayangannya. "Emang biskuit Tan Tan udah habis?""I - iya, Ma. Maaf Aiswa lupa bilang kemarin kalau makanan Tan Tan tinggal sedikit."Aku hanya tersenyum mendengar pengakuan polosnya. Menyadari begitu bijaknya sifat putriku yang rela membagi jatah makanannya hanya untuk seekor kucing kecil."Jika alasannya karna Tan Tan, sebaiknya lebih baik cepat kamu habiskan makananmu. Biar setelah ini, Ibu belikan biskuit buat Tan Tan. Oke?""Oke, Ma. Makasih ya, Ma!" ujar Aiswa lagi dengan mata berbinar, dan langsung menyuapkan makanan kembali ke mulutnya.Akhi
Aiswa sedang asik bermain dengan kucing kecilnya saat aku tiba di rumah. Ia memainkan seutas tali berwarna merah yang diikatnya di ujung sebuah lidi, lalu menggerak gerakkannya di depan hewan itu. Alhasil, si kucing pun berlari dan melompat lompat kian kemari mengikuti arah tali tersebut. Gerakannya yang agresif dan lincah membuat putriku kegirangan melihatnya.Aku hanya ikut tersenyum menyaksikan tingkah keduanya yang sama sama polos dan menggemaskan."Aiswa, kasih Tan Tan makan dulu, Nak! Capek dia lompat lompatan terus," tegurku pada Aiswa."Eh, Mama!" ujarnya begitu menyadari kehadiranku. Yang langsung menghentikan permainannya, dan membopong kucing imut itu kembali ke kandangnya untuk makan."Nenek sudah bangun, Aiswa?""Sudah, Aina!" Ibu tiba tiba muncul dari dalam rumah menyahut ucapanku. Reflek membuat aku dan Aiswa pun menoleh ke arahnya. "Ibu kok keluar kamar, Ibu sudah baikan?""Alhamdulillah, sudah. Ibu juga bosan di kamar terus jadi Ibu keluar." tuturnya.Aku tersenyum l
"Nek, lihat deh Nek! Gaun yang itu kayaknya pas banget buat Mama, bagus lagi, Nek," pekik Aiswa antusias saat matanya tertuju pada sebuah gaun yang terpajang di etalase sebuah butik.Bu Marni yang mendengar seruan cucunya pun merespon dan mengikuti arah pandangan Aiswa. "Iya, bagus banget!"Siang itu selepas menjemput Aiswa pulang sekolah, Bu Marni memang mengajak Aiswa membeli beberapa bahan kue, serta sekaligus mencari sebuah kado untuk Aina. Sebab hari itu adalah hari ulang tahun Aina."Ayo Nek kita masuk ke sana, kita lihat yuk, Nek!" Aiswa kembali berseru sembari menarik narik tangan sang nenek."Eeh, iya Aiswa! Iya.. Tapi pelan pelan jalannya!" Bu Marni tampak kepayahan mengimbangi langkah Aiswa yang berjalan begitu cepat.Sampai di dalam butik, Aiswa segera menghambur menuju gaun tersebut. Sorot matanya nampak berbinar mengagumi keindahan gaun di depannya. Sebuah gaun panjang warna silver dengan belahan di bagian bawahnya. Hiasan manik mutiara yang cantik di bagian dada, menjad
"Bu Aina, maaf di depan ada kiriman paket. Apa mau diterima?" Roni seorang office boy di kantorku tiba tiba menghampiriku. "Paket?" ulangku. Ku hentikan aktifitasku di depan komputer, keningku mengernyit mengingat ingat sesuatu, sebab rasanya aku tidak memesan barang apapun dalam waktu dekat ini.Tapi untuk menjawab rasa penasaranku, aku pun terpaksa keluar ruangan menemui kurir tersebut."Benar dengan Bu Aina?" tanya si kurir padaku begitu aku tiba."Ya," jawabku singkat."Mohon diterima Ibu, ini kiriman bunganya!" Kurir itu pun menyodorkan sebuah bucket mawar putih padaku.Tak ada nama pengirim yang tertera. Hanya sederet tulisan tangan yang cukup rapi di secarik kertas. 'Selamat ulang tahun Aina, semoga kamu selalu bahagia', begitulah bunyi tulisan tersebut.Meski masih ragu ditengah kebingunganku tentang siapa sebenarnya pengirim bucket tersebut, tapi akhirnya aku menerimanya juga. Setelah membubuhkan tanda tangan sebagai penerima paket, aku pun gegas kembali ke ruang kerjaku. "
"Surprizeee...""Selamat ulang tahun, Ma!" Dua sosok langsung menyembul sambil berteriak mengejutkanku begitu pintu rumah kubuka. "Ibu..., Aiswa..." ucapku sembari mengelus dada karna kagetAiswa yang tengah membawa sebuah nampan berisi cake dengan sebuah lilin menyala di atasnya mulai berjalan mendekat ke arahku. Ia tersenyum dengan sangat manis, dan mengucapkan sebaris kalimat untukku, "Selamat ulang tahun, Ma. Semoga ke depannya kelak Mama akan selalu bahagia. Aamiin!""Aamiin," ucapku mengaminkan doa tulusnya.Sementara Ibu hanya tersenyum menatap kami berdua. Lalu dengan perlahan berjalan menhampiri. "Selamat ulang tahun, Aina! Semoga kelak nasibmu selalu beruntung," ujarnya."Keberuntungan terbesarku adalah memiliki Ibu, juga Aiswa!" ucapku terharu dan langsung memeluknya."Oh ya, kita tiup lilinnya sama sama ya!" Aku mengurai pelukanku dari Ibu. Selanjutnya ku keluarkan ponsel untuk merekam moment terindah dalam hidupku tersebut."Satu, dua, tiga!" Aku mulai memberi komand