Aku lagi mikirin gimana caranya nolongin kucing kecil itu, Om!" jelas Aiswa. Matanya kembali terfokus pada pohon tempat hewan itu tersangkut."Hmmm....!" gumam Fattan. Kedua matanya mengikuti arah pandangan gadis kecil itu. Ia pun tersenyum, lalu berjalan ke arah pohon. Dengan gerakan yang gesit Fattan memanjat pohon, lalu meraih tubuh kucing malang tersebut. Haap...! Fattan melompat dari atas pohon. Tangan kirinya mendekap kucing kecil itu ke dadanya."Yeaaay....!" sorak Aiswa gembira. Anak kucing terselamatkan.Fattan yang sedang berjalan sambil mendekap anak kucing di lengannya hanya tersenyum melihat tingkah riang Aiswa."Anak manis, ini kucingmu?" Fattan berjongkok di depan Aiswa."Itu bukan kucing Aiswa, Om," jelas Aiswa polos."Oh ya?" Fattan kembali mengernyit, seperti sedang berpikir. Lalu ia pun tersenyum dan berkata, "Emm... kucing kecil ini sepertinya terpisah dari induknya hingga tersesat. Apa kamu mau merawatnya?""Emm..." gumam Aiswa dengan tatapan ragu.Diamatinya
"Aina, kamu ikut saya nanti setelah jam makan siang ke kantor 'Wijaya Corp.' Jangan lupa bawa semua berkas yang saya minta kemarin!" perintah Pak Daniel menghampiri meja kerjaku."Oh, siap Pak!" jawabku singkat disertai anggukan."Ehm... Atau bagaimana kalau sekalian saja kita keluar makan siang bersama nanti. Dan kita bisa langsung pergi bersama setelahnya?"Aku mendongak. Kupikir pria itu sudah pergi, ternyata masih terpaku berdiri di depanku. Bahkan menawariku untuk makan siang."Emm... Maaf tapi...""Ayolah Aina. Sudah sekian kali kamu menolakku. Toh hanya makan siang saja, apalagi hari ini hari spesial buatku," Pak Daniel memasang wajah melas dengan tatapan menghiba.Aku menarik napas panjang. Sebenarnya sama sekali tak berminat menuruti ajakannya, dan bahkan pria manapun juga. Tapi melihat caranya memohon kali ini membuatku merasa tak enak hati. Apalagi dia bilang ini adalah hari spesial untuknya. Akhirnya aku mengangguk mengiyakan ajakannya, "Baiklah!""Iyeeess...!" Pal Daniel
"Aiswa, kenapa makanannya tak dihabiskan?" tegurku saat melihat piring Aiswa yang masih banyak tersisa makanan. "Udah kenyang, Ma," jawabnya singkat."Hmm... Kamu sakit?" tanyaku lagi"Ga kok, Ma." Aiswa menggelengkan kepalanya kali ini. Selanjutnya ia berucap ragu, "Ma, bolehkah sisa makan Aiswa untuk Tan Tan?""Tan Tan?" ulangku. Terjawab sudah alasan putriku tak melahap habis makan siangnya, rupanya sengaja menyisihkan untuk kucing kesayangannya. "Emang biskuit Tan Tan udah habis?""I - iya, Ma. Maaf Aiswa lupa bilang kemarin kalau makanan Tan Tan tinggal sedikit."Aku hanya tersenyum mendengar pengakuan polosnya. Menyadari begitu bijaknya sifat putriku yang rela membagi jatah makanannya hanya untuk seekor kucing kecil."Jika alasannya karna Tan Tan, sebaiknya lebih baik cepat kamu habiskan makananmu. Biar setelah ini, Ibu belikan biskuit buat Tan Tan. Oke?""Oke, Ma. Makasih ya, Ma!" ujar Aiswa lagi dengan mata berbinar, dan langsung menyuapkan makanan kembali ke mulutnya.Akhi
Aiswa sedang asik bermain dengan kucing kecilnya saat aku tiba di rumah. Ia memainkan seutas tali berwarna merah yang diikatnya di ujung sebuah lidi, lalu menggerak gerakkannya di depan hewan itu. Alhasil, si kucing pun berlari dan melompat lompat kian kemari mengikuti arah tali tersebut. Gerakannya yang agresif dan lincah membuat putriku kegirangan melihatnya.Aku hanya ikut tersenyum menyaksikan tingkah keduanya yang sama sama polos dan menggemaskan."Aiswa, kasih Tan Tan makan dulu, Nak! Capek dia lompat lompatan terus," tegurku pada Aiswa."Eh, Mama!" ujarnya begitu menyadari kehadiranku. Yang langsung menghentikan permainannya, dan membopong kucing imut itu kembali ke kandangnya untuk makan."Nenek sudah bangun, Aiswa?""Sudah, Aina!" Ibu tiba tiba muncul dari dalam rumah menyahut ucapanku. Reflek membuat aku dan Aiswa pun menoleh ke arahnya. "Ibu kok keluar kamar, Ibu sudah baikan?""Alhamdulillah, sudah. Ibu juga bosan di kamar terus jadi Ibu keluar." tuturnya.Aku tersenyum l
"Nek, lihat deh Nek! Gaun yang itu kayaknya pas banget buat Mama, bagus lagi, Nek," pekik Aiswa antusias saat matanya tertuju pada sebuah gaun yang terpajang di etalase sebuah butik.Bu Marni yang mendengar seruan cucunya pun merespon dan mengikuti arah pandangan Aiswa. "Iya, bagus banget!"Siang itu selepas menjemput Aiswa pulang sekolah, Bu Marni memang mengajak Aiswa membeli beberapa bahan kue, serta sekaligus mencari sebuah kado untuk Aina. Sebab hari itu adalah hari ulang tahun Aina."Ayo Nek kita masuk ke sana, kita lihat yuk, Nek!" Aiswa kembali berseru sembari menarik narik tangan sang nenek."Eeh, iya Aiswa! Iya.. Tapi pelan pelan jalannya!" Bu Marni tampak kepayahan mengimbangi langkah Aiswa yang berjalan begitu cepat.Sampai di dalam butik, Aiswa segera menghambur menuju gaun tersebut. Sorot matanya nampak berbinar mengagumi keindahan gaun di depannya. Sebuah gaun panjang warna silver dengan belahan di bagian bawahnya. Hiasan manik mutiara yang cantik di bagian dada, menjad
"Bu Aina, maaf di depan ada kiriman paket. Apa mau diterima?" Roni seorang office boy di kantorku tiba tiba menghampiriku. "Paket?" ulangku. Ku hentikan aktifitasku di depan komputer, keningku mengernyit mengingat ingat sesuatu, sebab rasanya aku tidak memesan barang apapun dalam waktu dekat ini.Tapi untuk menjawab rasa penasaranku, aku pun terpaksa keluar ruangan menemui kurir tersebut."Benar dengan Bu Aina?" tanya si kurir padaku begitu aku tiba."Ya," jawabku singkat."Mohon diterima Ibu, ini kiriman bunganya!" Kurir itu pun menyodorkan sebuah bucket mawar putih padaku.Tak ada nama pengirim yang tertera. Hanya sederet tulisan tangan yang cukup rapi di secarik kertas. 'Selamat ulang tahun Aina, semoga kamu selalu bahagia', begitulah bunyi tulisan tersebut.Meski masih ragu ditengah kebingunganku tentang siapa sebenarnya pengirim bucket tersebut, tapi akhirnya aku menerimanya juga. Setelah membubuhkan tanda tangan sebagai penerima paket, aku pun gegas kembali ke ruang kerjaku. "
"Surprizeee...""Selamat ulang tahun, Ma!" Dua sosok langsung menyembul sambil berteriak mengejutkanku begitu pintu rumah kubuka. "Ibu..., Aiswa..." ucapku sembari mengelus dada karna kagetAiswa yang tengah membawa sebuah nampan berisi cake dengan sebuah lilin menyala di atasnya mulai berjalan mendekat ke arahku. Ia tersenyum dengan sangat manis, dan mengucapkan sebaris kalimat untukku, "Selamat ulang tahun, Ma. Semoga ke depannya kelak Mama akan selalu bahagia. Aamiin!""Aamiin," ucapku mengaminkan doa tulusnya.Sementara Ibu hanya tersenyum menatap kami berdua. Lalu dengan perlahan berjalan menhampiri. "Selamat ulang tahun, Aina! Semoga kelak nasibmu selalu beruntung," ujarnya."Keberuntungan terbesarku adalah memiliki Ibu, juga Aiswa!" ucapku terharu dan langsung memeluknya."Oh ya, kita tiup lilinnya sama sama ya!" Aku mengurai pelukanku dari Ibu. Selanjutnya ku keluarkan ponsel untuk merekam moment terindah dalam hidupku tersebut."Satu, dua, tiga!" Aku mulai memberi komand
Aku melengos pura pura tak mendengar gombalan dari makhluk aneh di depanku. Dan lantas pergi begitu saja meninggalkannya."Hey, mana terimakasihnya?" kudengar ia masih berteriak."Terimakasih!" balasku tanpa menoleh ke arahnya, hanya mengibaskan dompetku yang kuangkat tinggi tinggi di udara, dan terus berjalan.****"Ciiit!" suara derit rem sebuah mobil berhenti tepat di depanku yang sedang menunggu taksi online. "Masuk!" perintah lelaki yang duduk di depan kemudi. Yang hanya kutanggapi cuek, sementara ekor mataku terus melihat arah jalan, mencari cari kedatangan mobil yang telah kupesan.Aku tersenyum senang, sebab pada akhirnya yang ku tunggu tunggu datang juga. Sopir taksi bergegas keluar dan membukakan pintu untukku yang siap berjalan menghampirinya."Kliik!" pintu mobil kembali tertutup begitu aku bersiap masuk. Eh, bukan! Lebih tepatnya tangan seseorang telah sengaja menutupnya. Aku menoleh, melihat siapa orang iseng yang telah mempermainkanku. "Kamu!" Aku melotot marah, mend