"Assalamu'alaykum!" kuketuk pintu rumah dengan mengucap salam."Wa'alaykumsalam!" Seseorang menjawab salam disertai pintu yang mulai terbuka. Gadis kecil berambut panjang yang dikucir ekor kuda keluar menyambut kami."Mama!" sambutnya begitu melihatku."Om Tan Tan!" seru Aiswa lagi yang membuatku mengernyit bingung."Aiswa!" respon Fattan yang tak kalah membuatku makin bingung."Ma, ini Om yang Aiswa ceritain tempo hari. Yang udah nyelametin Tan Tan waktu terjebak di ranting pohon," ujar Aiswa bersemangat. Kedua matanya nampak berbinar senang melihat lelaki di sebelahku."Namanya Om Fattan, Aiswa bukan Tan...""Aiswa, ayo masuk! Om Tan Tan pingin mainan sama Aiswa," Fattan memotong cepat ucapanku yang belum selesai. Bahkan dengan percaya diri, dia mengajak dan menggandeng Aiswa masuk ke dalam rumah. Meninggalkan aku selaku tuan rumah yang jadi terbengong dibuatnya."Om lihat deh, si Tan Tan udah gendut banget sekarang! Tubuhnya sudah besar," Aiswa menggendong kucing kesayangannya kelu
Lagi lagi aku melempar baju yang barusan kucoba ke atas kasur. Entah ini sudah gaun ke berapa, mungkin sudah lebih dari yang ke sepuluh kali. Namun tak satupun kurasa sreg di hati. Aku menggaruk tengkuk memandang tumpukan baju baju itu. Memperhatikannya lagi, barangkali ada yang bisa kupertimbangkan untuk kukenakan malam ini.Kuhela napas panjang sambil terus berjalan mondar mandir di dalam kamar. Sepertinya aku mulai sedikit frustasi. Memang tak ada yang cocok semua baju itu! Kesibukanku akhir akhir ini membuatku bahkan tak sempat membeli baju sehelaipun. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk Ibu juga Aiswa. Oh, menyadari ini akupun jadi merasa bersalah pada mereka!"Loh, kenapa diberantakin seperti ini, Aina!" protes Ibu begitu masuk ke dalam kamarku, mendapati pakaian yang berserak di kasur."Maaf, Bu! Biar nanti aku yang rapikan. Aku ada undangan acara kantor hari ini, Bu. Tapi lupa persiapan," jawabku jujur.Ibu mengusap lembut bahuku, seolah mengerti kesulitanku. Tampak ia pun
Kupicingkan sebelah mataku mengintip keadaan sekitar. Memastikan semuanya baik baik saja. Huuuf... Aku mengelus dada, bernapas lega mendapati diriku memang demikian adanya."P - Pak Fattan!" terdengar suara Nita gugup. Aku menoleh, mendapati wajahnya yang tampak pias. Tunggu! Tadi Nita menyebut nama siapa? Cepat kupalingkan wajahku ke sisi lain. "Astaghfirullah!" spontan aku beristighfar. Dan, aah... Tanganku? Jantungku rasa terhentak! Ya Yuhan, kenapa baru nyadar sih kalau tanganku bergelayut di pundak lelaki itu. "Ma - maaf!" kataku seraya cepat melepaskan pelukan. Entahlah, wajahku pasti sudah sangat merah seperti kepiting rebus karna malu. Apalagi saat pandangan mata kami beradu satu sama lain. Rasanya aku benar benar ingin masuk saja ke dalam lubang semut!"Tidak mungkin!" "Apanya yang tidak mungkin?" Fattan berucap mantap dan melihat Nita dengan dingin.Nita tersenyum kecut memandang ke arahku. Sorot matanya seperti orang yang sedang diliputi keraguan. Sambil menunjuk lurus
"Hey Aina, kok kamu malah bengong sendirian aja di sini! Bukannya gabung sama temen temen kantor?" seseorang menepuk pundakku dari belakang.Aku menoleh, menilik si pemilik suara yang memang tak asing di telingaku."Winda!" seruku. Benar saja, rupanya bocah itu!"Noh dicariin kuda nil, eh Pak Daniel maksudku!" katanya sambil menunjukkan sebuah arah dengan bibirnya. Mataku mengekor mengikuti arah yang ditunjuknya. Tak jauh dari kami nampak seorang pria berjas rapi berjalan sambil melempar senyuman padaku. Di sampingnya berjalan pula seorang pria lain yang lebih muda mengikutinya."Aina, rupanya kamu datang juga," sapanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil sebagai respon."Pipi kamu..." Tiba tiba Pak Daniel berkata sambil menunjuk wajahku. "Pipiku?" aku mengulang pertanyaannya. "Astaga, Pak Daniel pasti sedang melihat keanehan di sana." batinku mulai cemas.Aku sedikit mengusap pipi dengan ujung jari. Masih tersisa perih akibat tamparan Nita tadi. Beruntung, saat kejadian tak
POV AuthorFattan merebahkan tubuhnya di sofa begitu sampai di rumah. Rasanya begitu lelah setelah kesibukannya beberapa hari bolak balik ke kantor papanya, di samping kesibukannya sebagai abdi negara, menjadi seorang Polisi.Menjadi Polisi adalah cita citanya sedari kecil. Fattan kecil begitu terpesona dan kagum setiap kali melihat para perwira yang berbadan tinggi tegap itu mengenakan seragam kebesaran mereka dengan segala atributnya. Di tambah dengan sepatu boot dan senjata di tangan mereka. Sungguh gagah dan berkharisma, begitulah pendapat Fattan kecil.Sedangkan menjadi seorang pengusaha sukses adalah tuntutan orang tuanya. Sebagai seorang pewaris perusahaan raksasa di Jakarta, Fattan lah pemegang estafet kepemilikan perusahaan setelah Papanya menyatakan pensiun. Meski sebelumnya, Fattan sempat menolak posisi tersebut."Biar Ferdy aja yang nerusin perusahaan Papa. Fattan belum berminat, Pa - Ma!" ucap Ferdy waktu itu, saat berkumpul di ruang keluarga."Kamu yakin dengan pilihan
Kedua mata Fattan tak berkedip menatap layar monitor CCTV. Matanya yang setajam elang memindai setiap hal yang terekam di dalamnya. Setiap sudut ruangan dan setiap orang yang hadir dan berlalu, tak luput dari perhatiannya."Tunggu...!" teriak Fattan tiba tiba. "Putar dua belas detik terakhir!" Layar diputar sesuai intruksi Fattan.Mata Fattan kian melebar mengamati rekaman kejadian."Stop! Perbesar gambar wanita yang memakai seragam katering itu!" perintah Fattan lagi. "Mira! Tak salah lagi, itu dia!" desisnya. Fattan segera berlari keluar gedung menuju tempat parkir. Ia ingin segera mengejar Mira yang sempat terekam kamera juga berjalan ke tempat itu dan kemudian pergi dengan sebuah mobil.Sementara itu di dalam gedung."Apa benar Mira kabur, Ma?" Ferdy yang melihat mamanya masih di dalam kamar rias Mira tiba tiba muncul dan bertanya.Rupanya Ferdy mulai menyadari kejanggalan yang terjadi saat melihat ekspresi dari orang orang di dalam gedung. Raut muka mereka begitu aneh. Mereka ju
"Tan Tan lucu banget, Ma! Hi hi hi..." Aiswa tergelak mengomentari kucing kecilnya yang sedang kupakaikan baju dengan model seragam polisi.Aku yang tadinya hanya iseng membelikan baju tersebut untuk Tan Tan menjadi semakin bersemangat. Apalagi Tan Tan yang jinak begitu penurut dan anteng saat aku mendandaninya."Foto-in, Ma! Foto-in!" teriak Aiswa begitu antusias setelah Tan Tan benar benar rapi. Tan Tan yang kupakaikan baju polisi lengkap dengan topi serta kaca mata hitam, memang terlihat sangat lucu dan menggemaskan. "Foto bertiga, yuk!" ajakku pada Aiswa yang langsung disambut anggukan kepala.Setelah beberapa kali jepretan, aku pun tersenyum puas melihat hasil foto foto kami. Satu foto dimana aku, Aiswa dan Tan Tan berpose bertiga kupilih dan kuunggah di storyku."Aiswa, tolong bukain pintu!" titahku pada Aiswa karna mendengar pintu rumah yang diketuk seseorang."Baik, Ma!" Aiswa pun segera berdiri dan berjalan ke pintu. Klik! Satu foto berhasil terkirim kepada seseorang. Sudut
Aku berjalan dengan langkah cepat masuk kantor. Jarak antara rumah dan tempat kerja yang lumayan jauh, ditambah padatnya kemacetan yang tak biasa hari ini membuatku datang sedikit terlambat."Eh, orangnya datang! Orangnya datang!" samar kudengar seseorang berbicara begitu aku memasuki ruang. Seperti memberi sebuah peringatan akan kehadiranku. Buktinya, sekelompok orang yang tadinya asik berkurumun di meja Siska langsung bubar begitu saja."Pagi!" sapaku pada mereka dan terus berjalan cuek menuju mejaku. Bagiku bukan hal yang baru melihat mereka bergosip pagi pagi seperti ini."Eh, Aina!" panggil Winda pelan menghampiriku."Ya," sahutku"Eh, tahu ga apa yang mereka bicarakan tadi?""Tidak pernah tertarik sama sekali," kataku menanggapi pertanyaan Winda barusan."Haiis, kamu itu! Jadi orang jangan terlalu cuek ngapa!" protesnya. Ia mendengus sebal sambil mengerucutkan bibir menatapku."Nih...!" lanjutnya seraya menyerahkan HP padaku. Aku mengernyit menerimanya. Apalagi melihat ekspresi
Sekilas kulirik lelaki di sampingku. Dalam hati berkata, "Kenapa Fattan gak bilang kalau Mamanya dan Aiswa sudah saling mengenal?"Tapi di saat yang sama, ekor mataku menangkap Fattan yang tengah terbengong menatap dua orang yang masih saling berpelukan di depan kami. Mulut lelaki itu sedikit menganga, kedua matanya pun melebar. Dari ekspresinya, sepertinya ia juga sama terkejutnya denganku.Tunggu!Kalau begitu, itu berarti Fattan juga tidak tahu kalau keduanya memang telah saling kenal sebelumnya?"Fattan, Aina, Ayo masuk! Malah bengong kalian berdua!" titah Mama Fattan yang sedikit mengejutkan kami. "Fattan, kamu kenapa sih melongo begitu. Jelek, tahu?""Haa...?" secara hampir bersamaan aku dan Fattan menjawab. "Ma, Mama kok ga bilang kalau udah kenal sama Aiswa?" sembur Fattan langsung begitu memasuki rumah. Pertanyaan yang juga mewakili rasa penasaranku."Lah, Mama sendiri juga ga tahu kalau ternyata Aiswa ini adalah anak dari Aina," Mama Fattan melihat ke arahku.Aku tertunduk.
"Loyo banget keliatannya kamu, Na!" Wina mendekatiku, menoel lenganku. Lalu dengan suara berbisik dia kembali berkata, "Begadang ya? Mikirin ayang Polisi ya?" Pletaakk!Aku menjitak jidatnya. "Duuh...! Semena mena banget sih, Na!" katanya cemberut sambil mengusap usap jidatnya. Bibirnya mengerucut. Hingga gemas aku rasanya, ingin mengikatnya dengan karet.Aku terkekeh. "Salah sendiri jahil. Punya temen satu, mulutnya suka suka rada blong remnya," ujarku."Nah, situ ngelamun aja kerjaannya. Ntar kesambet setan jomblo, baru tahu rasa loh. Minta dikawin dia! Ha ha...""Yeee... Pantesnya tuh ya, tuh Setan ama kamu. Klop sama sama jahil, sama sama jomblo juga!""Enak aja ngatain jomblo! Gue punya Pak Daniel, tahu?" dan Wina langsung membekap mulutnya kemudian. "Alamak, keceplosan!lMataku membola, menatap Wina serius. Tapi tatapanku itu hanya dibalas nyengir kuda tak jelas olehnya."Oh, akhirnya, bebas sudah satu pria gak akan mengejarku lagi!" aku menarik napas panjang dan menghembuskan
"Kamu sudah siap?" Fattan bertanya ke sekian kalinya dengan pertanyaan yang sama, sejak dari ia menjemputku di rumah, hingga perjalanan menuju rumahnya.Dan aku sendiri hanya mengangguk tiap kali ia bertanya demikian.Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin dengan kesiapanku. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan wanita yang paling penting di hidup Fattan selama ini. Mamanya. Jujur saja, aku sangat nervous. Berkali kali kumenghela napas panjang untuk mengurangi kegugupan. Tapi sepertinya sama sekali tak berhasil.Ciiittt...!Rem mobil berdecit pelan saat mobil memasuki sebuah garasi yang sangat luas. "Keluar!" titah Fattan disertai senyum manisnya. Ia juga mencubit gemas pipiku. "Tenang saja, Ibuku adalah wanita teranggun di dunia. Dia bukan singa yang akan menerkammu. Ha ha..."Fattan terkekeh memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Aku segera keluar dari mobil setelah pintu mobil terbuka secara otomatis. Pemandangan yang tak biasa kini tersuguh di depan mataku. Bagaimana ti
"Gimana, bagus kan, Ma? Surprize dari kita?" Aiswa bertanya masih dengan senyum lebar di bibirnya. Alih alih menjawab pertanyaannya, diriku yang masih mematung karna shock, hanya mampu melongo tanpa seucap kata pun."Bagaimana Aiswa bisa berada di sini sekarang? Bahkan mungkin tiba lebih dulu dariku! Bukankah tadi kata Ibu, Aiswa sudah tidur lebih awal? Dan undangan makan malam itu, palsu?Seribu pertanyaan itu kini saling berjejal di pikiranku.Kupandang Fattan juga Aiswa bergantian. Rona ceria di wajah mereka mungkin sangat kontras dengan wajahku yang pucat pasi saat ini.Fattan melepaskan gandengan tangannya dari Aiswa. Ia kemudian berjalan menuju sebuah meja. Menuang segelas air putih dari sebuah dispenser. Lalu kembali berbalik kepada kami. "Minumlah!" titahnya, menyodorkan gelas kepadaku. Sepertinya ia mulai paham tentangku yang belum juga pulih dari keterkejutan.Tanpa menjawab lagi aku pun meraih gelas tersebut, dan menenggak isinya hingga tandas. Perlahan napasku yang tadinya
"Na, mau makan siang bareng?" tanya Winda yang kini telah berdiri di samping mejaku."Aduh, kayaknya ga deh Win! Kerjaan aku masih numpuk banget soalnya," tolakku halus seraya menggelengkan kepala. "Tapi nitip aja kali, ya?""Emm... gimana ya?" Winda menyipitkan mata sambil mengerucutkan bibirnya. Pura pura berpikir. Menggodaku!Spontan saja kucubit pinggangnya. Membuatnya memekik geli, "Auu..., iya - iya, aku beliin! Ha ha ha...""Ehm... ehm...!" Mendengar suara deheman, aku dan Winda refleks menghentikan candaan kami. Hampir bersamaan kami menoleh. Sesosok pria dengan langkahnya yang tegap berjalan menghampiri kami."Eh, Pak Daniel!" sapa Winda pertama kali. Sementara aku hanya tersenyum dan menganggkukkan kepala melihat kehadirannya. "Kayaknya ada yang bakal diajak makan siang bareng, nih!" celetuk Winda melirik lirik ke arahku. Hmm, lagi bersiap siap usil dia rupanya!Aku melotot, dengan maksud supaya Winda berhenti berceloteh dan menggodaku. Karna memang dirinya sudah hapal di
"Bengong! Gimana, diterima tidak?" dia kembali bertanya."Aaah...?" aku makin tergagap. Ya ampun! Orang ini benar benar ga ada basa basinya menanyakan hal seperti ini, ya? To the point saja maunya. Melamarku dengan cara seperti ini. Sungguh nggak ada romantis romantisnya sama sekali!Eiiits...! Apa? Romantis? Lah, malah pikiranku kemana mana ini jadinya! Aku menepuk jidat frustasi."Aina!" kudengar Ibu memanggil. Kemudian setelahnya, ia sudah berdiri di ambang pintu. Raut mukanya kulihat seketika berubah canggung saat menatap ke dalam ruangan. Ah, iya! Jarak aku dan Fattan berdiri rupanya begitu dekat. "Maaf, mengganggu!" ucap Ibu sedikit kikuk."Nggak kok, Bu! Ada apa?" tanyaku. Dan di saat yang bersamaan, Fattan pun memutar badan ke arah Ibu berdiri. Ia lalu tersenyum dan menyapa, "Oh, Ibu?""Emm... Aina, ada tamu untukmu!" Ibu berkata mengungkapkan maksudnya menghampiri kami. Ekspresinya nampak ragu ketika mengatakannya."Tamu?" ulangku, sedikit mengernyit. Perasaan tidak ada tema
"A - apa?" tanyaku terbata, yang hanya dijawab dengan senyum mencibir di wajahnya."Kenapa? Kamu cemburu?" semprotnya langsung kala melihat ekspresiku seperti orang bingung."Diih...! Siapa juga yang cemburu? Ngapain juga?" tepisku buru buru, yang sekali lagi malah membuat tawanya kembali pecah."Apanya yang lucu sih?" sewotku. Aku mendelik melihatnya, menangkap sinyal sinyal keusilannya akan mulai beraksi."Hahaha... Ya kamu itu yang lucu. Udah jelas jelas cemburu gitu!" masih di sela tawanya, ia menjawab dengan pedenya. Lalu dengan cueknya kembali menstater mesin mobil dan melajukannya.Aku sendiri, masih dengan perasaanku yang tidak menentu selanjutnya hanya diam seribu bahasa. Rasanya lidahku kehilangan kata kata begitu saja. Toh, melanjutkan pembahasan hanya akan menjadikanku bulan bulanan olehnya. Sudah sering dia menggodaku seperti ini dan dirinya lalu tertawa puas saat aku sudah mulai dongkol.Kutekuk mukaku, kode bahwa aku tak ingin berbicara apapun lagi dengannya.Tapi bukan
Dengan langkah gontai aku kembali kepada Aiswa. Nampak ada yang berbeda kali ini darinya. Wajah pucatnya kini telah sedikit merona. Binar matanya juga telah kembali cerah seperti sedia kala. Seolah kehadiran Fattan benar benar menjadi obat yang sangat mujarab baginya.Mendapati kenyataan ini, hatiku lagi lagi dilanda dilema. Satu sisi aku merasa senang sebab kehadiran Fattan benar benar memberi pencerahan dalam kehidupan kami, terutama putriku. Sisi lainnya mau tak mau kami juga harus tahu diri untuk menjaga jarak dengan lelaki yang sebentar lagi menjadi pasangan orang lain itu."Ma..." lirih suara Aiswa memanggilku."Ya," sahutku."Mama suka sama Om Tan Tan?"Jeddaaar...! Pertanyaan Aiswa barusan membuat jantungku tersentak. "Ap - apa maksud Aiswa? Eh, ya, eh... sukalah. Kayak Aiswa sama Nenek, juga suka kan?"aku bertanya balik, menutupi kegugupanku. Huuf, kenapa juga aku bisa gugup begini?"Suka! Suka banget malah Aiswa sama Om, abis Om Tan Tan baiiiiikk... banget sih!" bocah itu m
"Bengong lagi!" Fattan menjitak jidatku, memutus rangkaian pemikiran di otakku. Huuh, kebiasaan!"Oh, ya udah ga pa pa. Makasih udah sempetin waktu buat Aiswa," ujarku dengan sedikit terpaksa senyum.Aku kembali terdiam. Padahal semula banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya. Tentang pesannya tempo hari agar aku lebih mawas diri dengan orang orang sekitar, tentang banyaknya CCTV yang ia pasangkan di rumah. Termasuk juga soal yang barusan, siapa orang yang selalu memberinya kabar tentang aku dan Aiswa.Semua pertanyaan itu rasanya menguap begitu saja dari otakku setelah mendengar kata 'tunangan' darinya barusan. Yang ada hanya segumpal perasaan aneh yang sangat tidak nyaman dan terasa menyesakkan. Kecewakah aku?****"Ayo, sesuap lagi!" titah Fattan lagi. Menyodorkan sendok ke bibir Aiswa, yang kemudian disambut bocah itu dengan membuka lebar mulutnya. "Anak hebat!" pujinya karna Aiswa berhasil menghabiskan makanannya.Melihatnya, aku dan Ibu pun tersenyum. Bernapas lega sebab Ai