Lagi lagi aku melempar baju yang barusan kucoba ke atas kasur. Entah ini sudah gaun ke berapa, mungkin sudah lebih dari yang ke sepuluh kali. Namun tak satupun kurasa sreg di hati. Aku menggaruk tengkuk memandang tumpukan baju baju itu. Memperhatikannya lagi, barangkali ada yang bisa kupertimbangkan untuk kukenakan malam ini.Kuhela napas panjang sambil terus berjalan mondar mandir di dalam kamar. Sepertinya aku mulai sedikit frustasi. Memang tak ada yang cocok semua baju itu! Kesibukanku akhir akhir ini membuatku bahkan tak sempat membeli baju sehelaipun. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk Ibu juga Aiswa. Oh, menyadari ini akupun jadi merasa bersalah pada mereka!"Loh, kenapa diberantakin seperti ini, Aina!" protes Ibu begitu masuk ke dalam kamarku, mendapati pakaian yang berserak di kasur."Maaf, Bu! Biar nanti aku yang rapikan. Aku ada undangan acara kantor hari ini, Bu. Tapi lupa persiapan," jawabku jujur.Ibu mengusap lembut bahuku, seolah mengerti kesulitanku. Tampak ia pun
Kupicingkan sebelah mataku mengintip keadaan sekitar. Memastikan semuanya baik baik saja. Huuuf... Aku mengelus dada, bernapas lega mendapati diriku memang demikian adanya."P - Pak Fattan!" terdengar suara Nita gugup. Aku menoleh, mendapati wajahnya yang tampak pias. Tunggu! Tadi Nita menyebut nama siapa? Cepat kupalingkan wajahku ke sisi lain. "Astaghfirullah!" spontan aku beristighfar. Dan, aah... Tanganku? Jantungku rasa terhentak! Ya Yuhan, kenapa baru nyadar sih kalau tanganku bergelayut di pundak lelaki itu. "Ma - maaf!" kataku seraya cepat melepaskan pelukan. Entahlah, wajahku pasti sudah sangat merah seperti kepiting rebus karna malu. Apalagi saat pandangan mata kami beradu satu sama lain. Rasanya aku benar benar ingin masuk saja ke dalam lubang semut!"Tidak mungkin!" "Apanya yang tidak mungkin?" Fattan berucap mantap dan melihat Nita dengan dingin.Nita tersenyum kecut memandang ke arahku. Sorot matanya seperti orang yang sedang diliputi keraguan. Sambil menunjuk lurus
"Hey Aina, kok kamu malah bengong sendirian aja di sini! Bukannya gabung sama temen temen kantor?" seseorang menepuk pundakku dari belakang.Aku menoleh, menilik si pemilik suara yang memang tak asing di telingaku."Winda!" seruku. Benar saja, rupanya bocah itu!"Noh dicariin kuda nil, eh Pak Daniel maksudku!" katanya sambil menunjukkan sebuah arah dengan bibirnya. Mataku mengekor mengikuti arah yang ditunjuknya. Tak jauh dari kami nampak seorang pria berjas rapi berjalan sambil melempar senyuman padaku. Di sampingnya berjalan pula seorang pria lain yang lebih muda mengikutinya."Aina, rupanya kamu datang juga," sapanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil sebagai respon."Pipi kamu..." Tiba tiba Pak Daniel berkata sambil menunjuk wajahku. "Pipiku?" aku mengulang pertanyaannya. "Astaga, Pak Daniel pasti sedang melihat keanehan di sana." batinku mulai cemas.Aku sedikit mengusap pipi dengan ujung jari. Masih tersisa perih akibat tamparan Nita tadi. Beruntung, saat kejadian tak
POV AuthorFattan merebahkan tubuhnya di sofa begitu sampai di rumah. Rasanya begitu lelah setelah kesibukannya beberapa hari bolak balik ke kantor papanya, di samping kesibukannya sebagai abdi negara, menjadi seorang Polisi.Menjadi Polisi adalah cita citanya sedari kecil. Fattan kecil begitu terpesona dan kagum setiap kali melihat para perwira yang berbadan tinggi tegap itu mengenakan seragam kebesaran mereka dengan segala atributnya. Di tambah dengan sepatu boot dan senjata di tangan mereka. Sungguh gagah dan berkharisma, begitulah pendapat Fattan kecil.Sedangkan menjadi seorang pengusaha sukses adalah tuntutan orang tuanya. Sebagai seorang pewaris perusahaan raksasa di Jakarta, Fattan lah pemegang estafet kepemilikan perusahaan setelah Papanya menyatakan pensiun. Meski sebelumnya, Fattan sempat menolak posisi tersebut."Biar Ferdy aja yang nerusin perusahaan Papa. Fattan belum berminat, Pa - Ma!" ucap Ferdy waktu itu, saat berkumpul di ruang keluarga."Kamu yakin dengan pilihan
Kedua mata Fattan tak berkedip menatap layar monitor CCTV. Matanya yang setajam elang memindai setiap hal yang terekam di dalamnya. Setiap sudut ruangan dan setiap orang yang hadir dan berlalu, tak luput dari perhatiannya."Tunggu...!" teriak Fattan tiba tiba. "Putar dua belas detik terakhir!" Layar diputar sesuai intruksi Fattan.Mata Fattan kian melebar mengamati rekaman kejadian."Stop! Perbesar gambar wanita yang memakai seragam katering itu!" perintah Fattan lagi. "Mira! Tak salah lagi, itu dia!" desisnya. Fattan segera berlari keluar gedung menuju tempat parkir. Ia ingin segera mengejar Mira yang sempat terekam kamera juga berjalan ke tempat itu dan kemudian pergi dengan sebuah mobil.Sementara itu di dalam gedung."Apa benar Mira kabur, Ma?" Ferdy yang melihat mamanya masih di dalam kamar rias Mira tiba tiba muncul dan bertanya.Rupanya Ferdy mulai menyadari kejanggalan yang terjadi saat melihat ekspresi dari orang orang di dalam gedung. Raut muka mereka begitu aneh. Mereka ju
"Tan Tan lucu banget, Ma! Hi hi hi..." Aiswa tergelak mengomentari kucing kecilnya yang sedang kupakaikan baju dengan model seragam polisi.Aku yang tadinya hanya iseng membelikan baju tersebut untuk Tan Tan menjadi semakin bersemangat. Apalagi Tan Tan yang jinak begitu penurut dan anteng saat aku mendandaninya."Foto-in, Ma! Foto-in!" teriak Aiswa begitu antusias setelah Tan Tan benar benar rapi. Tan Tan yang kupakaikan baju polisi lengkap dengan topi serta kaca mata hitam, memang terlihat sangat lucu dan menggemaskan. "Foto bertiga, yuk!" ajakku pada Aiswa yang langsung disambut anggukan kepala.Setelah beberapa kali jepretan, aku pun tersenyum puas melihat hasil foto foto kami. Satu foto dimana aku, Aiswa dan Tan Tan berpose bertiga kupilih dan kuunggah di storyku."Aiswa, tolong bukain pintu!" titahku pada Aiswa karna mendengar pintu rumah yang diketuk seseorang."Baik, Ma!" Aiswa pun segera berdiri dan berjalan ke pintu. Klik! Satu foto berhasil terkirim kepada seseorang. Sudut
Aku berjalan dengan langkah cepat masuk kantor. Jarak antara rumah dan tempat kerja yang lumayan jauh, ditambah padatnya kemacetan yang tak biasa hari ini membuatku datang sedikit terlambat."Eh, orangnya datang! Orangnya datang!" samar kudengar seseorang berbicara begitu aku memasuki ruang. Seperti memberi sebuah peringatan akan kehadiranku. Buktinya, sekelompok orang yang tadinya asik berkurumun di meja Siska langsung bubar begitu saja."Pagi!" sapaku pada mereka dan terus berjalan cuek menuju mejaku. Bagiku bukan hal yang baru melihat mereka bergosip pagi pagi seperti ini."Eh, Aina!" panggil Winda pelan menghampiriku."Ya," sahutku"Eh, tahu ga apa yang mereka bicarakan tadi?""Tidak pernah tertarik sama sekali," kataku menanggapi pertanyaan Winda barusan."Haiis, kamu itu! Jadi orang jangan terlalu cuek ngapa!" protesnya. Ia mendengus sebal sambil mengerucutkan bibir menatapku."Nih...!" lanjutnya seraya menyerahkan HP padaku. Aku mengernyit menerimanya. Apalagi melihat ekspresi
"Bagaimana keadaan Aiswa sekarang, Bu? Kenapa dia sampai bisa jatuh di tangga? Apa kata Dokter tadi, Bu?" aku memberondong Ibu dengan segala pertanyaan yang sedari tadi sudah menyesaki kepala.Ibu menepuk pundakku, ia pun berkata, " Tenang sedikit, Aina! Kata Dokter luka Aiswa tidak serius. Tadi sudah sempat siuman, tapi kembali tertidur setelah minum obat."Aku menarik napas lega mendengar semua penuturan Ibu. Nada bicara Ibu juga jauh lebih tenang, tak lagi panik seperti saat di telepon tadi.Aku berjalan mendekati Aiswa yang masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sebuah perban yang membalut lukanya menutupi sebagian dahinya. Wajah ayu putriku kini tampak pucat. Membuat hatiku pilu melihatnya."Ini Mama, Sayang," bisikku lembut di telinga Aiswa. Kuusap pucuk kepalanya dengan sangat hati hati"Syukurlah, Bu. Jujur aku tadi takut sekali. Apalagi Ibu bilang kepala Aiswa yang terbentur, sampai dia pingsan," kataku. Kini tanganku beralih meraih telapak tangan Aiswa."Sama saj